Sudah berjalan beberapa bulan, Rumah yang disewanya dengan harga lumayan besar itu sudah lengkap dengan peralatan rumah tangga. Jadi, Zea tidak kebingungan lagi masalah itu. Rumah itu pun bersih dan nyaman. Namun, keuangan Zea hasil penjualan cincin pernikahannya semakin menipis. Uang itu hanya cukup untuk beberapa kali lagi membayar rumah kontrakan itu.
"Zea, aku bawakan makanan untukmu," ucap Adam tiba-tiba datang saat Zea melamun, hingga ia tak mendengar suara mobil taksi Adam."Adam, kau baru saja datang?" tanya Zea terkejut."Ya, kau tidak mengetahui kedatangan mobil taksiku, kah?" Adam menanyai bagaimana Zea tidak mendengar suara mobil.Kedatangan Adam bukan hanya tidak diketahui Zea saja, tapi juga ibu pemilik rumah kontrakan yang selalu sibuk sehingga belum pernah bertemu Adam sekalipun."Tidak, aku … aku," sahut Zea terbata-bata tak ingin menceritakan tentang kekhawatirannya."Uangmu apa sudah habis?" tanya Adam."Tidak, uangku masih ada," sahut Zea.Adam melihat raut kegelisahan di wajah Zea. Ia bisa menebak bahwa Zea sedang kebingungan untuk biaya kelanjutan hidup dirinya dan bayinya. Namun, Adam tak bisa membantu banyak, ia sudah menyerahkan gajinya pada ibunya. Meskipun ia marah pada ibunya, tetapi ia adalah anak yang berbakti. Ia tetap menyayangi ibunya, apalagi ketika Zea mengatakan kalau ibunya tidak ingin ditinggalkan olehnya."Kurasa aku akan melamar pekerjaan di perusahaan Ruan, Adam," ucap Zea menyampaikan apa yang beberapa hari ini terlintas dalam pikirannya."Kau yakin?" tanya Adam meyakinkan."Iya, Adam. Aku sudah memikirkan matang-matang," balas Zea."Tapi, apa …." ucap Adam terhenti bermaksud ingin bertanya tentang perasaan Zea yang sempat terluka karena suaminya."Kau tenang saja, Adam," sahut Zea bisa menebak apa yang Adam pikirkan.Hingga malam beberapa jam setelah Adam pulang, Zea terus saja memikirkan dan membuat rencana, mengaturnya dengan sedemikian pemikirannya. Zea sudah yakin dengan keputusannya.Malam berganti pagi, Zea menemui Adam di tempat yang sudah mereka tentukan kemarin. Adam sudah menunggu Zea sejak satu jam. Saat ini Zea baru muncul, ia berdiri di hadapan Adam kini. Namun, Adam kebingungan dengan sosok yang ia tak kenali ini."Nona, kau ingin menaiki taksiku. Maaf, aku sedang tidak mengambil penumpang," ucap Adam."Adam, ini aku," balas Zea kemudian membuka rambut palsunya serta menghapus titik hitam kecil di pipinya."Kau! Zea?!" Adam terkejut melihat Zea."Apa maksudmu ini? Kau akan menyamar?" tanya Adam masih terkejut."Iya, Adam! Aku akan melakukan ini untuk melamar di perusahaan suamiku. Kuharap dia menerimaku," jawab Zea berharap dengan cemas sebenarnya."Kuharap begitu! Tapi …." Adam terhenti karena tertawa."Tapi kau tidak bercermin dahulu? Kau … kau sangat jelek sekali …." lanjutnya kemudian menertawai lagi penampilan Zea yang memang merubah penampilannya menjadi wanita yang tidak cantik tak seperti diri aslinya."Sudahlah kau jangan menertawaiku terus," kesal Zea tersenyum kecut."Ya, ya, baiklah! Apa kau sudah menitipkan Vio?" tanya Adam disela tertawanya."Ya, di tempat kemarin," sahut Zea.Zea menitipkan Vio– bayinya, di tempat jasa penitipan anak yang sudah terjamin. Kemarin Zea dan Adam mendatangi tempat itu. Adam yang merekomendasikannya, ia banyak tahu tempat itu dari orang-orang yang bercerita ketika menjadi penumpangnya."Kau merekomendasikan tempat yang bagus, Adam," ucap Zea tentang tempat jasa penitipan anak itu."Ya, sayangnya biaya untuk itu sangat mahal," sahut Adam."Itu sudah seimbang," timpal Zea."Baiklah, kita berangkat. Sudah cukup siang, kau akan terlambat nanti," usul Adam.Zea memasuki mobil taksi Adam untuk menuju perusahaan Ruan, suami Zea. Dia akan bertemu dengan suaminya nanti setelah perpisahan sejak kejadian perselingkuhan yang kepergok itu. Entah bagaimana kabar Ruan setelah itu.Adam sudah banyak membantu Zea dan menemani Zea selama ini. Adam yang awalnya sangat kesal dan menolak takdir pertemuannya dengan Zea. Namun, kini dia menjadi orang yang paling terdepan dalam kehidupan Zea."Kita sudah sampai, Adam. Aku sangat gugup sekali." Zea terlihat panik dan tak tenang."Apa perasaanmu seperti seorang gadis yang akan berkencan?" ledek Adam."Tidak, lebih dari itu, Adam," jawab Zea."Tariklah nafas mu dan hembuskan, lalu berdoa lah." Adam menyarankan. Zea melakukan apa yang disarankan Adam."Terima kasih Adam, ini membuatku lebih baik," ucap Zea haru."Semangat dan tetap tenang, Zea," support Adam. Zea tersenyum merasa haru lagi."Baiklah, aku tidak bisa mendampingimu. Aku harus kembali bekerja. Argoku masih sangat sedikit, perusahaan akan mengira aku pemalas nanti." Adam menatap Zea, khawatir juga sebenarnya meninggalkan Zea."Baiklah, doakan aku, Adam," pinta Zea."Pasti," balas Adam."Aku akan datang satu atau dua jam lagi ke sini." tanpa menunggu respon Zea, Adam segera menarik tuas mobil taksinya lalu melesat pergi.Zea menarik lagi napasnya baru kemudian benar-benar memasuki gedung kantor milik Ruan. Ia melangkah dengan perlahan sambil melihat-lihat ke sekeliling. Tak ada yang berubah dari semua yang ada di dalam gedung itu. Tatanannya, para pekerjanya dan ia baru saja melihat Ruan lewat.'Ruan, Apa itu kau? Kau sangat kurus' batin Zea.Justru Ruan lah yang terlihat ada perubahan. Tubuhnya tampak kurus, rambutnya sedikit gondrong hanya saja ia mengikatnya. Ia juga memiliki rambut-rambut halus di pinggir wajahnya. Ia tampak sangat tidak terurus.Zea mengikuti Ruan dari belakang dengan mengendap dan hati-hati. Ia melihat Ruan menuju lift, ia mengikuti juga kemudian. Sampai Ruan memasuki sebuah lift, ia juga memberanikan diri masuk ke dalam lift itu.Lebih dekat, ia melihat Ruan tampak kerepotan dengan beberapa map dipegangnya. Ponselnya kemudian berdering, ia juga kerepotan memegang ponselnya. Akhirnya map itu jatuh dan beberapa berkas berhamburan jatuh dari dalam map itu."Astaga!" geramnya.Zea dengan cepat membantu Ruan membereskan berkas-berkas itu, sementara ponselnya terus saja berdering. Hal itu membuatnya kebingungan antara memunguti berkas-berkasnya atau mengangkat panggilan teleponnya."Kau bisa mengangkat ponselmu, biar aku yang membereskan berkas-berkasmu," tawar Zea.Sejenak Ruan terdiam memperhatikan Zea yang penampilannya tak ia kenali kini. Namun Ruan teringat jika Zea istrinya juga pernah berkata seperti itu ketika di rumah ia sedang mengerjakan pekerjaan kantor yang ia bawa pulang sementara ponselnya terus berdering."Ponselmu kau belum mengangkatnya?" tegur Zea lagi membuat Ruan sedikit terkejut, sehingga membuyarkan lamunannya teringat akan Zea."Ha … halo!" Ruan telah mengangkat panggilan teleponnya dan mulai melakukan pembicaraan.Sambil berbicara dalam sambungan telepon, sebentar-sebentar ia melihat pada Zea kemudian berpaling setelah Zea juga melihat padanya. Sementara tangga lift terus berjalan menuju lantai yang dituju Ruan, sedangkan Zea tidak memiliki lantai tujuan.Suara berdenting dari lampu lift terdengar kemudian, tertanda telah sampai di lantai tujuan. Sambil menelpon Ruan keluar dari lift diikuti Zea yang telah selesai merapikan berkas-berkas milik Ruan. Kini ia memegangi dan membawa map-map itu dengan berjalan di belakang Ruan.Sampai di ruangannya Ruan masih berbicara di telepon. Ia bahkan menyuruh Zea juga masuk ke ruangannya. Zea melihat sekeliling ruang kerja Ruan itu. Masih sama juga dan tidak ada yang berubah. Ia melihat foto pernikahannya masih terpajang di meja kerja Ruan."Berikan itu padaku," ucap Ruan setelah selesai menelpon. Zea memberikan map itu pada Ruan tanpa kata-kata."Permisi!" ucap Zea pamit untuk meninggalkan ruangan Ruan itu. Ia bermaksud untuk kembali ke lantai dasar pada seorang resepsionis tempat menyerahkan surat lamaran pekerjaan."Apa kau akan melamar pekerjaan?" tanya Ruan."I-iya," jawab Zea tergagap."Baiklah, kau diterima," ucap Ruan dengan mudahnya."Di … diterima?" kaget Zea yang begitu mudahnya diterima bekerja oleh Ruan."Sekarang duduklah, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan padamu," titah Ruan.Zea masih dalam keadaan kebingungan atau lebih tepatnya syok. Bagaimana ia bisa dengan begitu saja diterima oleh Ruan, suaminya itu."CV mu." Ruan meminta CV atau surat lamaran Zea.Perlahan Zea mengulurkan map berisi data diri dan lainnya yang disebut juga curriculum vitae. Sedikit berdebar ketika map itu sudah berpindah ke tangan Ruan. Zea berharap Ruan tidak teliti saat memeriksa berkas-berkasnya.Duduk sejajar dan berhadapan dengan Ruan, Zea hanya tertunduk cemas. Ruan mulai membuka map milik Zea sambil sesekali melihat pada Zea. Tentunya Ruan tidak mengenali Zea dengan segala atribut penyamarannya saat ini. Tidak ada cantik-cantiknya membuat Zea berpikir Ruan akan menarik lagi ucapan yang tadi katanya sudah menerimanya."Namamu 'Mimi'? 'Mimi Aretha'? tanya Ruan setelah baru hanya membaca bagian nama saja."I-iya, Pak," jawab Zea tergagap lagi.Bukan hanya dirinya saja yang dipalsukan, tetapi juga identitasnya. Bantuan Adam membuat semuanya teratasi dengan baik. Memiliki banyak kenalan orang-orang, tak jarang si sopir taksi itu mendapat bantuan dari berbagai hal dan caranya. Termasuk merubah data diri Zea saat i
"Sudahlah, kau tidak perlu mengerjakan pekerjaanmu," tandas Ruan yang sebenarnya kesal juga dengan keponakannya yang selalu melalaikan pekerjaannya.Ya, wanita itu adalah Angel–keponakan Ruan. Ia memang kerap kali menyalahi jabatannya sebagai manager. Namun, kadang ia juga bekerja dengan baik. Ah, bisa dikatakan juga gadis itu hanyalah manager abal-abal.Angel menghentikan geraknya, lalu melihat bingung penuh tanya pada Ruan. Sudah ketakutan akan dimarahi sang bos, karena sudah keseringan seperti itu. Namun, kini ia malah diperbolehkan untuk tidak melakukan pekerjaannya."Lalu? Apa kau akan memecatku, Uncle? Uncle, jangan pecat aku atau kau akan menurunkan jabatanku? Maafkan aku, Uncle. Aku berjanji akan mengerjakan pekerjaanku dengan baik, aku … aku tidak akan menunda-nunda lagi. Aku …." cerocos panik Angel tanpa jeda memohon sambil memegang tangan Ruan."Jangan seperti ini, Angel. Kau dan aku harus bersikap profesional. Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu dan kita harus menjag
'Dia tidak akan minum kopi pagi hari' batin Zea, tersenyum kecil merasa lucu.Angel memasang wajah cantik dan senyum yang dibuat semanis mungkin, berharap respon yang baik pula dari sang uncle pujaan hati. Hanya sesaat melihat pada Angel kemudian beralih lagi pada laptop-nya. Ruan tak merespon lebih."Aku tidak minum kopi pagi hari," jawabnya singkat. Hal itu membuat Angel cemberut.Zea menyembunyikan tertawanya, sang keponakan nakal itu tak berhasil dengan misi konyolnya. Ia kembali duduk di sofa masih dengan cemberut kesal. Ia membanting kasar cara duduknya, sehingga tubuhnya sedikit mengambul."Kau boleh membuatkan kopi untuknya jam 2 siang nanti, dia pasti akan meminumnya," ucap Zea sedikit meledek.Sontak saja membuat Angel melihat pada Zea. Antara terkejut, percaya dan bertanya apakah yang dikatakan wanita yang baru ia lihat bentuknya itu adalah benar. Angel melihat detail pada Zea, namun juga bertanya-tanya. Bagaimana ia bisa mengatakan hal yang tampak seperti sudah diketahui la
"Ba-bapak bilang apa?" tanya Zea memastikan itu bukan panggilan untuknya."Ooh, tidak. Lupakan," jawab Ruan terhenyak, kemudian kembali fokus menyetir.Kembali hening. Zea memberanikan diri lagi untuk melihat mencuri pandang pada Ruan. Wajah tampan itu sedikit tertutupi rambut-rambut halus di pinggir wajahnya. Meski begitu, tak sedikitpun mengurangi wajah tampannya. Rambut yang melebihi tengkuknya, hanya saja terikat rapi."Apa kau sudah berpengalaman mengenai perkantoran?" tanya Ruan memecah keheningan."Itulah, Pak. Mengapa Anda menerimaku begitu saja. Aku belum pernah bekerja di kantor sebelumnya," ungkap Zea dengan sesungguhnya. Ruan menoleh diam pada Zea."Anda masih bisa mencari orang lain sebelum terlambat, Pak," lanjut Zea. Ruan masih terdiam."Tidak. Tidak perlu! Aku yakin kau bisa," balas Ruan begitu yakinnya pada Zea."Bagaimana Anda bisa seyakin itu, Pak?" tanya Zea.Rasa canggungnya mulai turun berganti ingin tahu lebih banyak tentang Ruan saat ini dan bagaimana setelah
Sudah sampai di tempat tujuan, Ruan berjalan selangkah di depan Zea. Sesekali Ruan berhenti, agar Zea menyusulnya melangkah beriringan. Namun, Zea sepertinya tidak ingin hal itu. Ia selalu saja memperlambat langkahnya agar tertinggal lagi."Ish, kau ini kura-kura atau siput? Berjalanlah disampingku! Apa kau ingin terlihat seperti babu?" omel Ruan."Aku, aku hanya tidak terbiasa dengan sepatuku, Pak," jawab Zea beralasan yang tak sebenarnya.Tak lagi mempermasalahkan soal langkah yang tak seiringan, Ruan terus melanjutkan langkahnya lebih cepat. Ia tidak menunggu Zea lagi, hingga akhirnya Zea bersusah payah mengejar langkah tertinggal itu dengan sepatu berhak tinggi yang sebenarnya ia sudah terbiasa memakainya. Wig dan kacamatanya yang bergerak-gerak cukup membuat repot."Ruan, kau datang tepat waktu. Kita sudah akan memulai presentasi," ucap seorang wanita berpenampilan elegan."Ya, baiklah," sahut Ruan.Wanita itu adalah yang menelpon Ruan saat di mobil tadi. Dia adalah teman dekat R
Sambil terus melihat pada Adam, Ruan keluar dari mobil. Zea pun sama, ia juga melihat pada Adam. Hanya saja cara memandang mereka berbeda. Jika Zea melihat dengan penuh senyum, lain halnya Ruan yang melihat dengan tanda tanya."Siapa yang memesan taksi di jam kerja seperti ini?" tanya Ruan bergumam sendiri sambil melihat jam tangannya."Itu Adam," jawab Zea."Kau mengenalnya?" tanya Ruan. Entah mengapa ada rasa cemburu untuk hal ini dihati Ruan."Dia temanku! Bolehkah aku menemuinya?" jawab sekaligus tanya Zea."Ini masih jam kerja, paham!" Ruan meninggalkan Zea begitu saja."Ini masih jam kerja, paham," ulang Zea mengejek ucapan Ruan. Zea merasa sebal sekali dengan Ruan yang sekarang.Disaat seperti itu, Adam menghampiri Zea. "Hey, siapa dia? Apa dia bos mu? Atau itukah suamimu? Lalu apa dia mengenalimu?" berondongan pertanyaan dari Adam membuat Zea kebingungan untuk menjawab."Adam, dia itu memang Ruan suamiku. Dia tidak mengenaliku sama sekali. Sekarang kau pergilah dulu, ini masih
Pintu ruangan Ruan terbuka, Angel terlihat kemudian. Ia masuk dengan wajah yang dibuat secantik mungkin. Senyumnya selalu tercurah untuk Ruan. Gadis ini memang akan kehilangan akal sehat, jika sudah di depan Ruan."Uncle Ru, kau memanggilku? Aku akan selalu ada untukmu," katanya."Ya, Angle. Aku ingin kau mengantar Aretha ke meja kerjanya," timpal Ruan."What? Kau mengganggu kerjaku hanya untuk itu? Uncle Ru, please. Meja kerja sekretaris itu hanya selangkah dari balik pintumu ini!" kesalnya, memprotes."Bukan untuk itu saja, Angel. Kau juga akan memberi arahan untuknya." Ruan sampai bangun dari tempat duduknya.Angel melihat sinis pada Zea. Dia tidak akan sudi pastinya, tetapi jika pria idamannya ini yang memerintah mau tidak mau ia harus menuruti. Sementara Zea menyembunyikan senyum merasa lucunya."Baiklah, ikut aku!" ucap Angel ketus pada Zea.'Dari pada nanti Uncle Ru yang membimbingmu lebih baik aku saja' pikir Angel.Setelah berpamitan untuk keluar ruangan Ruan dan mengikuti An
Daycare Pelangi MitraSebuah papan nama menempel tepat di atas pintu. Pintu berbahan kaca tebal, kemudian didorong Zea untuk masuk kedalamnya. Barulah kemudian ia menemui seorang resepsionis."Silakan," ucapnya setelah menerima sebuah kartu yang menandakan Zea adalah orang yang berkepentingan di tempat itu.Melanjutkan langkahnya, Zea memasuki ruangan inti. Banyak anak yang dititipkan disitu. Berhubung saat ini adalah jam tidur, maka anak-anak yang dititipkan itu sedang tertidur. Walaupun ada beberapa yang belum tidur, terutama usia bayi seperti Vio. Vio sendiri pun belum juga tertidur.Zea melihat seorang wanita petugas yang sedang menjaga Vio. Terlihat ia tengah menggendong Vio mencoba untuk menidurkannya. Namun, bukannya tidur, Vio malah tak bisa diam dalam gendongan petugas itu. Sebentar-sebentar, Vio juga merengek. "Dia sudah sangat menginginkan ASI Anda, Bu," ucap petugas yang menjaga Vio–putra Zea dan Ruan."Ouh, Sayang." Zea meraih Vio dari gendongan petugas wanita yang sudah