Share

Mimi Aretha

"CV mu." Ruan meminta CV atau surat lamaran Zea.

Perlahan Zea mengulurkan map berisi data diri dan lainnya yang disebut juga curriculum vitae. Sedikit berdebar ketika map itu sudah berpindah ke tangan Ruan. Zea berharap Ruan tidak teliti saat memeriksa berkas-berkasnya.

Duduk sejajar dan berhadapan dengan Ruan, Zea hanya tertunduk cemas. Ruan mulai membuka map milik Zea sambil sesekali melihat pada Zea. Tentunya Ruan tidak mengenali Zea dengan segala atribut penyamarannya saat ini. Tidak ada cantik-cantiknya membuat Zea berpikir Ruan akan menarik lagi ucapan yang tadi katanya sudah menerimanya.

"Namamu 'Mimi'? 'Mimi Aretha'? tanya Ruan setelah baru hanya membaca bagian nama saja.

"I-iya, Pak," jawab Zea tergagap lagi.

Bukan hanya dirinya saja yang dipalsukan, tetapi juga identitasnya. Bantuan Adam membuat semuanya teratasi dengan baik. Memiliki banyak kenalan orang-orang, tak jarang si sopir taksi itu mendapat bantuan dari berbagai hal dan caranya. Termasuk merubah data diri Zea saat ini. Hanya saja, Adam tidak mengetahui rencana Zea yang merubah dirinya menjadi sebegitu berbedanya.

Dreett …

Ponsel Ruan berdering, membuat aktivitasnya memeriksa CV Zea teralihkan. Ruan segera meraih ponsel yang sama persis dengan milik Zea itu di sampingnya. Sekilas Zea merasa terenyuh ponsel couple yang mereka beli secara bersamaan itu masih ada ditangan Ruan, sementara ponselnya sudah tidak ditangannya.

'Wajar saja jika dia masih memakai ponsel itu. Kurasa itu hanya karena ada beberapa nomor penting, termasuk nomor sekretarisnya' batin Zea menatap sinis pada Ruan.

'Tapi di mana dia, dari tadi aku belum melihat batang hidungnya' batinnya lagi.

Ruan masih berbicara melalui sambungan telepon tanpa beranjak dari duduknya, ia juga berbicara tanpa ragu atau merahasiakannya dari Zea. Zea sendiri sudah bisa menebak percakapan Ruan itu dengan siapa. Ia terlihat serius, tak ada kata romantis, tak ada senyum-senyum sendiri. Itu artinya yang menelpon Ruan bukan sekretaris cantik selingkuhannya. Begitu fikir Zea.

Teringat lagi peristiwa itu, membuat Zea yang tadinya bersikap tenang namun sedikit tegang karena pemeriksaan CV-nya takut ketahuan, kini menjadi menatap benci pada Ruan. Sekilas Ruan melihat tatapan itu, namun Zea menyadarinya. Zea menurunkan pandangannya, tetapi tidak dengan rasa panas di dadanya.

'Zea tenanglah, lupakan itu. Sekarang hidupmu hanya untuk Vio' batin Zea menenangkan diri sendiri.

Ruan menurunkan ponsel dari telinganya, pembicaraan dalam sambungan telepon itu telah berakhir. Tak kembali memeriksa CV Zea, ia malah menutup map berwarna biru muda itu. Kemudian ia melihat pada Zea.

"Siapa namamu tadi?" tanya Ruan.

"Mimi! Mimi Aretha," jawab Zea.

"Baiklah Mimi! Argh, aku tidak suka dengan nama itu. Aku akan memanggilmu 'Aretha' saja. Kau setuju?" Ruan menatap pada Zea.

"Baiklah, terserah Anda saja, Pak." Zea menuruti.

"Aretha, kau mulai tugasmu sekarang juga," titah Ruan kemudian dengan lembut.

"Tugas? Memangnya apa tugasku?" Zea belum tahu tugas apa yang akan diberikan Ruan.

"Kau sekretaris, tugasmu mencatat semua jadwalku dan perusahaan," sedikit penjelasan dari Ruan.

Sejenak Zea terdiam berpikir, kembali teringat pada sekretaris selingkuhan suaminya ini. Banyak hal yang kemudian ditanyakan otaknya. Kemana sekretarisnya itu, mengapa ia diterima menjadi sekretaris dengan penampilan jeleknya ini dan lagi, tadinya Zea ingin melamar menjadi office girl atau cleaning cervis. Secara pendidikan yang tercantum hanyalah tamatan SMA.

"Tapi, Pak. Saya hanya …." Zea bermaksud untuk menolak, ia ingin mengungkapkan tujuan pekerjaan yang ingin ia lamar awalnya dan pendidikannya yang hanya tamatan SMA, tetapi ucapannya terhenti.

"Kau pikir di sini membuka lowongan pekerjaan lainnya? Apa kau tidak membaca iklannya, kalau kami hanya membutuhkan sekertaris! Baiklah, kau punya waktu satu jam untuk mempelajari tugas-tugasmu." Ruan memotong ucapan Zea tanpa jeda dan tidak memberikan kesempatan untuk Zea membalas lagi.

Bukan hanya tidak membaca iklan, justru Zea tidak mengetahui kalau perusahaan suaminya ini tengah membuka lowongan yang terkhusus bagian sekretaris. Zea hanya kebetulan datang melamar pekerjaan di perusahaan Ruan hanya karena terdesak dan tidak ada jalan lain dalam pikirannya. Berharap diterima atau tidak bagaimana hasilnya nanti, Zea sudah memasrahkannya.

"Ini berkas-berkas yang harus kau pelajari! Silakan kau pelajari di sini. Aku akan keluar sebentar," titah Ruan sambil memberi map file pada Zea.

Zea menerima map file itu tanpa berkata-kata. Ia masih keheranan dengan apa yang terjadi padanya saat ini. Semuanya diluar rencana dan dugaannya. Zea juga masih tak habis pikir dengan Ruan yang entah bagaimana dan apa yang ada dipikirannya mengapa ia begitu saja mempercayai Zea.

Baru saja Ruan akan beranjak untuk keluar dari ruangannya itu, tetapi Zea kemudian memanggilnya dengan ragu. Ada rasa takut jika pria yang akan menjadi bosnya itu malah akan marah. Ruan menoleh pada Zea yang menatapnya dengan berani.

"Pak, apa Anda tidak mencurigaiku? Mengapa Anda mempercayaiku untuk berada di ruangan ini sendiri?" tanya Zea.

Sejenak Ruan terdiam, kemudian berucap, "Kau kerjaan saja apa yang kuperintahkan."

Tak memberi jawaban yang pasti, Ruan meninggalkan Zea tanpa menoleh lagi. Ia mendekati pintu, membuka knop pintu lalu keluar. Setelah menutup pintu itu kembali, sesaat Ruan melihat pada pintu yang tertutup itu. Ada rasa aneh dalam benaknya. Ia membenarkan juga pernyataan Zea tadi, mengapa ia begitu mempercayai Zea. Orang asing yang baru saja ia kenal, itu pun karena melihatnya dari data surat lamaran pekerjaan.

'Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membiarkan wanita itu ada di dalam ruanganku' batin Ruan sambil melihat pada pintu.

'Aku seperti tidak asing dengannya saat di lift tadi, entahlah' Ruan menggeleng sendiri.

Ruan melanjutkan langkahnya, lalu ia mengambil ponselnya dari saku celananya. Sambil terus melangkah ia menghubungi seseorang yang tak lama kemudian mendapat sahutan dari seberang sana.

"Kami akan datang satu jam lagi," katanya.

Jam memang menunjukkan masih bisa dikatakan pagi. Jadi, jika Ruan akan menemui seseorang yang ditelponnya tadi berjarak satu jam lagi maka itu masih batas waktu yang normal. Ruan sudah memasukkan kembali ponselnya ke saku celananya. Kemudian ia melangkah menuju satu ruangan lainnya.

Sudah berada di depan pintu ruangan lain itu, Ruan kemudian mengetuk pintunya. Tak lama menunggu, pintu pun terbuka. Seorang wanita terlihat jelas menyambut kedatangan Ruan ke ruangannya itu.

Wanita cantik berpenampilan kantoran nan elegan itu mempersilakan Ruan untuk masuk. Tak menunda lagi, Ruan masuk kedalamnya. Pintu ruangan itu dibiarkan terbuka saja, tak ditutup lagi baik oleh si pemilik ruangan atau Ruan sendiri.

"Apa kau sedang mengerjakan pekerjaanmu?" tanya Ruan.

Ditanya seperti itu, wanita itu kemudian terlihat panik. Barulah ia mengeluarkan berkas-berkas yang tersusun rapi di atas mejanya. Tampak jelas jika tumpukan berkas-berkas itu belum tersentuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status