Ceryl yang kesal akan tingkah Arland padanya, ternyata benar-benar mengadukan itu semua pada Kim, mamanya Arland. Karena ia tahu betul, wanita paruh baya ini akan menuruti keinginannya seperti biasanya.
"Tante.”
Ceryl datang-datang langsung mewek nggak jelas. Tentu saja itu membuat Kim jadi bingung. Apa yang terjadi pada gadis ini?
"Ceryl ... kamu kenapa, kok datang-datang sedih gitu?" tanya Kim.
"Kak Arland, Tante. Dia nggak mau nemenin aku ke acara ulang tahun temenku ntar malam," jelasnya masih mewek-mewek. “Malah aku dimarahin lagi.”
"Benarkah?"
"Iya, Tan. Dia juga bilang kalau nggak sayang lagi sama aku."
"Ya udah, kamu tenang aja. Nanti biar Tante yang bilang sama dia, pasti dia mau kok dengerin omongan mamanya."
"Beneran, ya, Tan?""
"Iya," angguk Kim.
Pada saat yang bersamaan, Dilla juga datang. Yang jelas pada saat itu baik Dilla maupun Ceryl tak ada sapaan bahkan saling pandangpun tidak. Ini semua berawal satu tahun yang lalu. Sifat Ceryl yang terlalu posesive pada Arland membuatnya nekad melabrak Dilla yang dia anggap terlalu dekat dengan Arland. Padahal, mereka hanya berteman .
"Dilla ... ada apa, Nak, ayo masuk," ajak Kim menghampiri Dilla yang berdiri mematung di pintu masuk.
Bagaimana ia mau masuk, ada Ceryl di sana. Ia tak ingin mencari masalah lagi dengan gadis itu. Cukup sekali dalam hidupnya berurusan dengan dia.
"Ahh ... enggak usah Tante," tolaknya. "Aku kesini cuman diminta Papa buat nganterin surat ini sama Om Alvin," jelasnya sambil menyodorkan sebuah map berwarna biru pada Kim.
"Ya udah, nanti biar Tante kasih sama Om, ya. Soalnya Om lagi jemput si kembar," jelas Kim menerima map dari Dilla.
"Iya, nggak apa-apa. Kalau gitu aku pulang dulu ya, Tan," pamit Dilla.
"Ya udah, hati-hati ya. Salam buat Mama Papa, ya," pesan Kim
"Iya."
Setelah Dilla berlalu pergi, Kim kembali duduk bersama Ceryl.
"Sampe sekarang kalian berdua masih belum baikan?" tanya Kim pada Ceryl.
"Aku nggak bakalan mau baikan sama dia," ungkapnya dengan ketus.
"Nggak boleh gitu loh. Masa iya orang tua kalian pada sahabatan tapi anak-anaknya pada musuhan," komentar Kim.
"Salah dia, kenapa nyoba buat merebut Kak Arland dari aku."
Mendengar penuturan Ceryl, udah, Kim tak mau berkomentar apa-apa lagi. Sedikit banyak ia paham bagaimana sikap gadis ini. Salah sedikit, nanti malah bikin suasana makin panas.
---000---
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Semuanya sudah berada di rumah, kecuali Arland.
"Kakak mana, Ma?" tanya Lhinzy yang saat ini sedang menikmati kue mochi favoritnya .
"Belum pulang, kan ke Rumah Sakit dulu."
"Kak Arland sama Kak Ceryl itu pacaran ya, Ma?" tanya Lhinzy lagi.
Kim menutup majalah yang ia baca. "Ya ... Mama nggak tahu. Eh, tapi kalau mereka berdua beneran pacaran gimana menurut kalian?" tanya Kim pada keduanya putrinya.
Tapi ia sangat berharap jawaban mereka sama persis dengan keinginannya.
"Kita nggak setuju," jawab keduanya berbarengan.
Wajah Kim yang tadinya berseri karena ia yakin kalau pendapatnya dan si kembar adalah sama, kini langsung memudar. Layaknya kain berwarna merah kena pemutih. Luntur seketika.
"Lah, kenapa?"
"Kita nggak suka sama dia. Lagian, mana mungkinlah Kak Arland pacaran sama Kak Ceryl. Kakak kan nggak suka sama wanita itu," jelas Lhinzy dengan gaya bicara sok dewasanya.
"Masa?"
"Mama tanya aja sama Kak Arland langsung kalau nggak percaya."
"Udahlah ... ngapain ngurusin urusan percintaannya Arland, sih. Dia itu udah dewasa, dia tahu mana wanita yang cocok untuknya." Alvin yang baru saja keluar dari kamar ikut komentar.
"Tapi Mama pinginnya dia itu sama Ceryl." Kim masih kekeuh dengan keinginannya.
"Dan jangan bilang, kalau kamu mau pake acara jodoh-jodihin Arland sama Ceryl. Aku nggak akan setuju sama usulan kamu," tambah Alvin mengeluarkan pendapatnya. .
"Iya, kita juga," ujar Lauren dan Lhinzy ikut-ikutan.
"Kok kompakan gitu, sih? Nggak ada yang sependapat sama Mama?"
"Nggak," jawab keduanya.
"Kita mah enggak mau punya Kakak ipar model begituan," terang Lauren.
Merasa kalah suara, akhirnya Kim menutup pembicaraan mengenai hubungan putranya. Bisa-bisa duo kembar ini malah menyerangnya balik.
---000---
Ini sudah malam dan Arland belum pulang ke rumah. Tentu saja membuat Lauren dan Lhinzy jadi uring-uringan nggak jelas. Bolak-balik nelvon dan nggak ada jawaban.
"Ma, Kakak kok pulangnya lama banget, sih?" tanya Lauren dan Lhinzy menghampiri mamanya
Belum sempat ia menjawab pertanyaan tu bocah dua, tiba-tiba terdengar suara deru mobil memasuki halaman.
"Nah, itu pasti Kakak," tebak Lhinzy dan Lauren girang langsung berlarian menuju teras depan.
"Ya ampun, dari tadi nungguin Kakaknya terus," gumam Kim seperginya Lauren dan Lhinzy.
Saat membuka pintu, benar saja, sosok yang mereka tunggu-tunggu lah yang datang.
"Kak Arland!!!" Heboh keduanya menyambut laki-laki yang baru turun dari mobil.
"Hai ..."
"Kak, mana hadiahnya? Nilai kita berdua 100."
Heboh keduanya sambil menengadahkan telapak tangan dihadapan Arland. Berharap sesuatu akan turun dan jatuh ke telapak tangan mereka.
"Beneran?"
"Iya."
"Nanti, ya," balas Arland berlalu masuk ke dalam rumah. Tapi kedua adiknya sepertinya sangat berharap kalau hadiah itu akan datang saat ini juga.
''Kak, hadiahnya sekarang aja," rengek Lauren.
"Iya, Kak. Kita udah nungguin dari tadi siang tahu, nggak," tambah Lhinzy.
Arlan menghentikan langkahnya di anak tangga pertama dan berbalik badan menghadap keduanya.
"Hmm ... sekarang malam minggu, gimana kalau kita jalan keluar?" tanyanya mengusulkan.
Jomblo mah gitu, nggak punya kekasih, ya, ngajakin saudari.
"Yeee!!!!" Keduanya malah langsung berteriak heboh.
Bagaimana tidak, mereka berdua jarang diajak jalan keluar, apalagi oleh Alvin. Sebagai Kakak, Arland sudah menjadi Kakak yang sempurna bagi keduanya. Karena sesibuk-sibuknya dia bekerja, hari Minggu tetap ia luangkan untuk mereka.
"Ya udah kalau gitu, sana ganti baju. Kakak mau mandi bentar, abis itu kita jalan."
Tanpa berkomentar panjang lagi, mereka keduanya langsung berlari menuju kamar.
Meskipun rasanya capek, tapi setidaknya ia bisa membuat kedua adiknya merasa bahagia.
Baru saja tangannya akan menyentuh gagang pintu kamar, panggilan mamanya menghentikan niatnya.
"Mama mau bicara bentar, bisa?"
"Ntar aja, Ma. Aku mau mandi dulu," balasnya langsung berlalu masuk kamar.
Sedikit kesal dengan sikap Arland padanya, tapi ia paham, toh papanya juga begitu. Jadi, ya disabarin aja.
Beberapa menit kemudian Lauren dan Lhinzy sudah siap dan rapi ... begitupun dengan Arland yang berada diantara keduanya.
"Loh, kalian pada mau kemana?" tanya Alvin pada Arland dan juga kedua adiknya.
"Aku mau ajak mereka jalan, Pa," jawab Arland.
"Kamu gimana sih, Land ... Mama kan mau minta kamu buat nemenin Ceryl ke pesta ulang tahun temennya." Kim langsung heboh seketika
Arland menghela napasnya saat mendengar penuturan mamanya. "Jadi Ceryl tadi ngadu lagi ke Mama?" Terlihat raut tak senang di wajahnya.
"Dia nggak ngadu, cuman cerita doang."
Alvin saja sampai memijit pelipisnya mendengar ocehan Kim. Bisa-bisa dirinya bisa terserang darah tinggi. Meskipun anaknya udah tiga, dan udah pada gede, tak menjamin kalau sikap istrinya juga ikut dewasa.
"Aku udah bilang berapa kali sih, sama Mama, kalau aku nggak bisa punya hubungan yang lebih sama dia. Tapi Mama tetap aja mau bikin aku sama dia semakin dekat."
"Tapi Land ..."
"Udah, Ma ... kita mau jalan dulu. Dan ini lebih penting daripada ngeladenin keinginan si Ceryl," jelasnya pamit pada Alvin dan Kim, begitupun dengan Lauren dan Lhinzy yang ikut pamitan.
Setelah ketiganya pergi, barulah Alvin membuka suaranya perkara omongan istrinya barusan. Ia tak mau ikut bicara tadi, bukan karena tak berani. Hanya saja tak ingin ketiga anaknya melihat di saat orang tuanya berdebat. Apalagi sampai harus menggunakan emosi.
"Aku kan sudah bilang, jangan terlalu ikut campur sama urusan percintaannya Arland, tapi kamu tetap tak mendengarkannya. Aku tahu kamu ingin yang terbaik untuk anak kita, tapi kita juga harus menerima keputusannya. Jangan karena masa lalu yang kamu alami malah membuatmu ingin melakukannya juga pada anak-anak," jelas Alvin.
"Aku nggak balas dendam," elak Kim.
"Nggak balas dendam, tapi setidaknya ingin anakmu merasakan bagaimana rasanya itu dijodohkan tanpa cinta. Jangan berpikir kalau perjodohan itu bakalan berakhir bahagia seperti yang kita alami. Kehidupan setiap orang berbeda-beda," terang Alvin.
Kim hanya terdiam tanpa kata. Ia akui kalau dirinya memang sedikit cerewet. Tapi saat Alvin mulai bicara dengan penjelasannya, ia pun tak akan berani lagi berkomentar. Meskipun next-time tetap ia ulangi.
---000---
Arland benar-benar tidak habis pikir pada mamanya yang terus mendesak hubungannya dengan Ceryl. Ia tahu, keluarganya dan gadis itu sudah saling mengenal bahkan sangat mengenal, tapi kalau melibatkan urusan hati di dalamnya ia tetap tidak bisa.
"Kak, tadi Mama bilang mau jodohin Kakak sama Kak Ceryl, loh," ujar Lauren di mobil saat dalam perjalanan.
"Benarkah?" tanya Arland tak percaya dengan apa yang dikatakan Lauren. Sebegitu inginnyakah mamanya menjadikan Ceryl sebagai menantunya?
"Tapi Papa marah waktu Mama bilang gitu," tambah Lhinzy.
Apa jadinya hidupnya kalau itu benar benar terjadi. Sekarang saja hidupnya selalu dibayang-bayangi oleh makhluk mengerikan itu.
"Kak, kita makan dulu ya, laper," ajak Lhinzy.
"Oke."
Arland menghentikan laju mobilnya di parkiran sebuah restoran. Ketiganya turun dan berlanjut memasuki tempat itu. Tapi pada saat jalan dari parkiran menuju ke dalam restoran, Lauren yang tak melihat sebuah mobil yang melaju dari arah belakang, nyaris menghantam tubuh kecil itu kalau saja Arland tak segera menarik dengan cepat.
Hasilnya, sang adik selamat, tapi malah dirinyalah yang terluka menahan tubuh Lauren agar tak terluka terkena goresan aspal.
"Kakak!!!" teriak Lhinzy yang melihat Arland dan saudarinya yang nyaris tertabrak. Dan gilanya lagi, itu si pemilik mobil langsung pergi begitu saja. Tanyain kek, atau setidaknya bilang maaf .
"Kamu nggak kenapa-kenapa, kan, Ren?" tanya Arland pada Lauren yang ada dipelukannya.
Lauren menjawab pertanyaan Arland dengan gelengan. Mungkin, dia hanya shock.
"Tangan Kakak berdarah," tunjuk Lauren ke arah siku kiri Arland yang terluka karna goresan aspal.
Benar saja, saat ia lihat ada luka gores di siku dan juga telapak tangannya yang sepertinya terkena benturan aspal.
"Kakak Nggak apa-apa kok," ungkapnya.
Rasanya memang agak sedikit perih, tapi kalau ia meringis nanti kedua adiknya malah khawatir. Jadilah, luka itu hanya ia tahan.
Di saat yang bersamaan, tiba-tiba seorang gadis menghampiri mereka bertiga.
"Astaga ... ada apa ini, apa Anda terluka?" tanya gadis itu pada Arland.
"Iya," jawab Lauren. "Tadi Kakak nyelamatin aku yang hampir ditabrak mobil. Eh, tapi malah dia yang luka," jelas Lauren sambil menunjuk kearah luka di siku dan telapak tangan Arland yang mengeluarkan darah.
"Ini harus segera diobati ... kalau tidak, bisa-bisa nanti infeksi," ujarnya sambil melihat kondisi luka Arland.
"Kamu ambil kotak obat di mobil, ya," pinta Arland pada Lauren yang langsung dituruti gadis kecil itu.
Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Lauren kembali pada Arland dengan kotak obat di tangannya.
"Ini, Kak," ujarnya.
"Biar aku bantu," timpal gadis itu terlebih dahulu merebut kotak obat dari tangan Lauren.
"Makasih," ucap Arland.
Kebetulan pada saat itu Arland mengenakan topi. Saat topi itu ia lepas dari kepalanya, sontak dirinya langsung kaget. Tidak, bukan hanya ia yang kaget, gadis yang ada dihadapannya yang saat itu sedang mengobati lukanya pun menunjukkan ekspresi yang sama.
"Kamu??!!" kaget keduanya berbarengan sambil menunjuk sama lain.
Dia yang tadinya sudah bersiap mengobati luka di tangan Arland, malah menghentikan seketka itu juga sambil memasang wajah kesal."Kalau tahu kamu orangnya, aku nggak akan nolongin," kesalnya beranjak dari hadapan Arland dan berlalu pergi begitu saja.Saking kesalnya, dia tak sengaja malah menyenggol siku Arland, membuatnya sedikit meringis. Tentu saja reaksinya itu membuat kedua adiknya terlihat cemas."Sakit banget ya, Kak?""Ngga, kok," jawabnya mengelak sambil sedikit tersenyum. Padahal aslinya lumayan perih.Dia yang tadinya sudah berlalu pergi, tiba-tiba saja kembali menghampiri Arland. Kemudian mengambil kotak obat yang berada di tangan Lauren dan lanjut membersihkan serta mengobati luka di siku Arland. Ya ... meskipun wajahnya itu sangat menunjukkan kalau dirinya sedang kesal."Apa rasanya sakit?" Dia bertanya, meskipun pandangannya hanya
Melelahkan, apalagi mengajak dua gadis heboh seperti Lauren dan Lhinzy, yang tadi bisa diam. Tulang belulangnya seakan mau patah.“Gimana jalannya, seru dong?” tanya Alvin yang menyambut ketiga anaknya yang baru sampai.“Seru, Pa,” jawab keduanya."Lemes amat jawabnya," komentar Alvin melihat ekspresi Lauren begitupun Lhinzy yang tak jauh berbeda."Ngantuk, Pa," jawab keduanya serentak."Ya udah, kalau gitu gih pada tidur. Jangan lupa cuci kaki, cuci tangan, ya," pesan Alvin pada keduanya yang segera mereka angguki dan berlalu pergi menuju kamar.Setelah memarkirkan mobilnya, Arland memasuki rumah. Ini hari yang melelahkan. Tapi tak apa, asal adiknya senang."Loh, ini kamu kenapa pada luka-luka gini sih?" tanya Alvin pada Arland yang balik dari garasi mobilnya. Bagaimana ia tak bertanya seperti itu saat dibagian siku dan tangan putranya terdapat luka yang dipl
Lauren dan Lhinzy menuruni anak tangga dengan sedikit berlari. Seperti biasa, keduanya mana pernah turun tangga dengan langkah lambat."Bibik ... Kak Arland dimana?" tanya Lauren pada asisten Rumah tangga yang bernama Bik Ani."Di kamar mungkin, Non. Soalnya dari tadi pagi Bibik belum lihat Den Arland keluar," jawab wanita paruh baya itu sambil menghentikan aktivitas mencuci piringnya."Nggak ada di kamarnya, Bik," balas Lhinzy."Lah, Den Arland kemana dong?" Giliran Bibik yang bertanya."Aduhh si Bibik, ditanya, eh ... sekarang malah balik nanya," gerutu Lauren sambil berlalu pergi dengan Lhinzy yang terus mengekorinyaDi ruang tamu, keduanya berpapasan dengan Alvin yang saat itu hendak keluar rumah."Loh, anak-anak Papa pada ngapain dari dapur? Hmm ... habis bantuin Bibik masak, ya?"Tebakan macam apa yang dikatakan Alvin. Di usia mereka yan
Kesan pertemuan pertamanya dengan cowok ini dalam mode yang tak mengenakkan. Hingga membuatnya kesal dan sudah mencap Arland sebagai daftar orang yang tak ia sukai. Dan sekarang, ia harus meminta pertolongannya? Aih ... dunia sempit sekali."Ada apa lagi?" tanya Arland dengan ekspresi dingin sambil berdiri berhadap-hadapan dengan Kiran."Lagi? Itu berarti kalian sudah saling kenal, begitukah?'' tanya Tristan. Rasa keponya meningkat tajam. Ayolah ... jarang-jarang sobatnya ini berurusan dengan seorang wanita."Pernah ketemu, bukan berarti mengenal," komentar Arland tak terima dengan perkataan Tristan.Tristan malah tertawa mendengar pernyataan sobatnya itu. "Wah ... jarang-jarang lo kenal cewek selain, Mama lo, si kembar, Ceryl, Dilla dan Keyra," jelas Tristan.Apa Tristan berniat meledeknya di depan Kiran. Ingin menghajar sobatnya itu, tapi takutnya gadis ini malah memandangnya sebagai cowok psyco.
Arland dan Kiran sampai di rumah sakit. Keduanya berjalan beriringan layaknya sepasang kekasih. Itu anggapan orang-orang yang tak mengenal keduanya. Padahal aslinya mah mereka tak saling mengenal.Beberapa suster menyapa dan melemparkan senyuman pada Arland. Jangan dikira dirinya akan membalasnya dengan senyuman juga. Paling hanya anggukan tak berarti. Bikin kesal, sih, tapi tetap saja cewek-cewek pada antri mendapatkan hatinya. Yang jelas-jelas sangat susah untuk dicairkan.Sementara Kiran yang terus mengekorinnya dari semenjak turun dari mobil pun baru percaya 100%, kalau ternyata Arland benar-benat seorang dokter. Tadinya, sih, ia masih ragu."Kenapa kamu terus saja mengikuti saya?" tanya Arland pada Kiran yang juga hendak masuk mengikutinya ke ruang ganti."Nggak boleh, ya?""Apa kamu juga mau ikut saya buat ganti baju, hmm?"Kiran hanya tersenyum g
Arland tertidur di ruangannya dengan berbantalkan lengan. Bahkan, saat seseorang menyelinap masuk dan menghampirinya pun, ia tak sadar dan terbangun sama sekali.Beberapa saat kemudian, barulah, sebuah deringan ponsel miliknya yang membuatnya terbangun. Saat ia lihat, ternyata papanya lah yang menelepon. Segera, ia menggeser tombol hijau yang ada di layar datar itu."Iya, Pa,” sahutnya."Ini Mama, bukan Papa."Ekspressi mengantuknya langsung berubah."Ada apa, Ma?" Mamanya tahu, kalau meneleponnya tak akan dijawab. Malah menggunakan ponsel papanya."Mama mau kamu pulang sekarang," suruh Kim."Aku lagi sibuk, Ma,'' elak Arland."Mama nggak mau tahu ... pokoknya kamu pulang sekarang!"Kim langsung mengakhiri pembicaraannya begitu saja tanpa menunggu tanggapan Arland."Pasti Ce
Pada saat pak Satpam datang sambil membopong Arland, tak sengaja ia bertemu dengan Tristan yang baru saja keluar dari kamarnya."Padahal udah di bilang jangan sampai mabuk, masih aja ngeyel ni orang,” ujar Tristan yang langsung menghampiri Arland dan membantu membawanya ke kamar."Iya mas Tristan, mabuk berat kayaknya ini Mas Arland nya," ujar pak Satpam."Apa tadi dia bawa mobil sendiri, Pak?""Nggak, Mas ... barusan ada gadis yang mengantarkannya.""Gadis?" bingung Tristan."Iya, itu loh mas ... gadis yang kemaren bareng Mas Arland ke Rumah Sakit," jelas pak satpam pada Tristan mengingatkan.'Gadis yang bernama Kiran kemaren kah,' batin Tristan."Kalau begitu saya permisi dulu, Mas " pamit pak satpam pada Tristan ."Oke, makasih, Pak.”---000---Pagi ini Arland masih tertidur nyeyak di ranj
Arland yang baru saja sampai di Rumah sakit, bergegas menuju ruangannya. Panggilan mendadak dari Rumah Sakit membuatnya harus meninggalkan meeting di kantor. Dan untungnya ada si Tristan, meskipun selama ini sobatnya itu tak pernah mau saat ia minta untuk memimpin meeting.Terburu-buru, membuatnya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang sampai dia terhentak ke lantai."Astaga!” keluhnya sambil memegangi bokongnya yang terasa nyeri."Maaf,” ucap Arland merasa bersalah dan membantu gadis itu untuk bengun."Kamu?" kaget Arland melihat siapa yang ia tabrak barusan. Yap, Kiran. Gadis yang seharian kemarin berurusan dengannya."Duh, dokter ... apa jangan-jangan efek mabuk semalam masih berasa, ya, dok?”"Apa?!”Bagaimana ia tak kaget. Kenapa Kiran bisa tahu kalau dirinya semalam mabuk?“Permisi dokter, saya