Dia yang tadinya sudah bersiap mengobati luka di tangan Arland, malah menghentikan seketka itu juga sambil memasang wajah kesal.
"Kalau tahu kamu orangnya, aku nggak akan nolongin," kesalnya beranjak dari hadapan Arland dan berlalu pergi begitu saja.
Saking kesalnya, dia tak sengaja malah menyenggol siku Arland, membuatnya sedikit meringis. Tentu saja reaksinya itu membuat kedua adiknya terlihat cemas.
"Sakit banget ya, Kak?"
"Ngga, kok," jawabnya mengelak sambil sedikit tersenyum. Padahal aslinya lumayan perih.
Dia yang tadinya sudah berlalu pergi, tiba-tiba saja kembali menghampiri Arland. Kemudian mengambil kotak obat yang berada di tangan Lauren dan lanjut membersihkan serta mengobati luka di siku Arland. Ya ... meskipun wajahnya itu sangat menunjukkan kalau dirinya sedang kesal.
"Apa rasanya sakit?" Dia bertanya, meskipun pandangannya hanya berfokus pada luka itu. Takut saja, sentuhannya nantinya malah membuat rasa perih makin bertambah.
"Tidak," jawab Arland.
Tak ada pembicaraan apapun lagi, baik itu dari Arland-nya sendiri ataupun si cewek, hingga selesai mengobati luka itu.
"Apa kalian berdua saling kenal?" tanya Lhinzy mengarah pada keduanya.
"Nggak," jawab keduanya singkat dan serentak, membuat si kembar malah tersenyum gaje.
"Wihhh ... kok bisa barengan gitu, sih,” komentar Lhinzy.
“Apa ini yang dinamakan jodoh?"
Arland menatap horor kearah dua adiknya. Kenapa mereka harus berkata sedewasa itu. Masih anak-anak, loh, malah ngomong masalah jodoh.
"Haii, Kak ... aku Lauren dan ini kembaranku namanya Lhinzy. Ini Kakakku tercinta namanya Arland," jelas Lauren
"Iya, salam kenal juga. Namaku Kiran," balasnya memperkenalkan diri sambil tersenyum manis. Tapi, senyuman itu kembali pudar saat mengarah pada Arland.
"Kemarikan telapak tanganmu," pintanya pada Arland. Tapi malah diacuhkan saja, hingga ia langsung saja menarik tangan Arland dengan paksa.
"Biasanya luka goresan aspal rasanya akan lebih perih meskipun sedikit," ujarnya membersihkan luka itu sambil sesekali meniup-niup agar tak ada rasa perih dirasakan Arland.
Tiba-tiba saja Arland merasa ada yang aneh pada hatinya. Matanya, juga seolah tak mau diajak beralih dari sosok Kiran yang kini sibuk mengobati lukanya. Apalagi sentuhan itu, membuatnya merasa tenang. Rasa perih seolah hilang begitu saja.
"Kak Kiran, kita makan, yuk," ajak Lhinzy pada Kiran yang selesai mengobati luka di telapak tangan Arland.
"Maaf, ya, Dek ... bukannya Kakak nggak mau, tapi Kakak mesti ke Rumah Sakit," jelas Kiran menolak secara halus ajakan si kembar dengan senyuman manis mengukir bibir tipisnya.
"Yaah ..." keluh keduanya.
Ia membereskan dan memasukkan obat-obatan itu ke dalam sebuah kotak dan mengembalikan pada Lhinzy. "Kalau gitu, Kakak pergi dulu ya. Bye," pamit Kiran pada Lauren dan Lhinzy, tapi tidak pada Arland. Setidaknya ia sudah melemparkan pandangan kesal pada makhluk itu.
Lauren dan Lhinzy hanya menatap kepergian Kiran dengan lesu. Padahal mereka berdua berharap kalau Kiran mau ikut makan bersama. Kini, pandangan itu beralih pada Arland dengan tatapan kecut
"Kenapa menatap seperti itu?"
"Kakak, sih, jadinya Kak Kiran pergi," keluh Lauren menyalahkan Arland sambil bersidekap dada.
"Kok malah Kakak yang disalahin?"
"Iyalah. Tampangnya jutek giu. Nggak bisakah Kakak berbagi sedikit senyuman? Smile, Kak, smile..."
"Padahal kita berdua tadinya kan mau comblangin Kakak sama Kak Kiran," ungkap Lhinzy blak-blakan mengakui niat tersembunyi yang dari tadi sudah keduanya susun dengan baik.
Ekspressi wajah Arland langsung berubah drastis. "Apa?!" Benar-benar tak percaya dengan tingkah kedua adiknya ini.
"Iya, daripada sama Kak Ceryl. Emang Kakak mau, nggak kan?"
"Kalian masih kecil juga, udah ngerti comblang-comblangan. Trus sekarang kita jadi makan nggak, nih?"
"Jadi dong," jawab keduanya serentak.
Mereka bertiga pun segera memasuki restoran untuk melanjutkan makan malam yang sempat tertunda.
---000---
Alvin merasa berada di rumah sendiri, tapi seperti terkurung dalam sangkar burung murai. Ceryl tiba-tiba saja datang sambil ngomel-ngomel dan heboh karena Arland tak kunjung menemuinya untuk menemani dia ke ultah salah satu temannya.
"Kan, Tante udah janji sama aku supaya Kak Arland mau nemenin. Dan sekarang Tante bilang dia nggak ada di rumah. Gimana, sih, Tan," rengeknya yang sudah seperti seekor kucing yang gagal menangkap seekor tikus.
Bahkan di seluruh penjuru ruangan rumah, hanya suara Ceryl lah yang terdengar. Seperti suara terompet di malam tahun baru.
"Tante minta maaf, tapi dia nggak mau mengecewakan adik-adiknya."
"Apa dia lebih menyayangi adik-adiknya daripada aku? Kenapa dia nggak pernah perhatian padaku?"
Bagi yang baru mengenal Cheryl, suara ocehannya itu seakan-akan menyambar-nyabar di dalam telinga.
Kim tak berkomentar apa-apa, karna menurutnya sudah jelas Arland lebih memilih adik-adiknya. Mereka berdua segalanya bagi Arland, bahkan ia mengambil libur setiap hari minggu hanya untuk mengajak dua bocah itu keluar.
"Ehem ...."
Deheman itu membuat pandangan kedua wanita itu mengarah padanya secara bersamaan. Ia sampai keluar dari ruang kerjanya saat mendengar kehebohan di lantai bawah.
"Malam, Om," sapa Ceryl pada Alvin yang dating menghampirinya dan Kim.
"Ada apa, nih ... kok datang malam-malam begini. Udah ijin sama orang tua kamu, kan?" tanya Alvin tertuju pada Cheryl.
"Udah kok, Om," jawabnya.
"Oiya ... mumpung kamu ada di sini, Om mau bicara sesuatu," ujar Alvin pada Ceryl.
"Mau bicara apa, Om?"
"Kamu suka sama Arland?" tanya Alvin .
Ceryl malah tersenyum menanggapi pertanyaan Alvin.
"Pertanyaan Om mah ... kan Om juga tahu kalau aku udah suka dan cinta sama Kak Arland dari dulu," jelas Ceryl sambil senyum-senyum gaje.
"Dan Arland-nya sendiri?"
"Kak Arland pasti juga punya rasa yang sama kayak yang aku rasain. Cuman mungkin dia malu aja untuk mengatakannya, Om," jelas Ceryl percaya diri dengan apa yang dikatakannya.
Coba saja Arland ada di situ, mungkin dia bakalan ngamuk-ngamuk mendengar omongan Ceryl yang menurutnya sangat tak masuk akal itu.
"Kamu yakin?"
"Iyalah, Om."
"Om akan pastikan itu sama Arland. Tapi kalau dia nggak cinta sama kamu, bisakah kamu menerimanya?"
Wajah Ceryl berubah murung saat mendengar perkataan Alvin.
"Nggak mungkinlah Kak Arland nggak suka sama aku, Om. Buktinya selama ini dia selalu perhatian sama aku. Kalau nggak cinta, lalu apa?"
Ternyata, tingkat percaya diri Ceryl sangat tinggi. Ditambah lagi perhatian Arland malah membuat dia semakin baper. Padahal Arland sendiri juga bersikap sama dengan Keyra ataupun Dilla, yang merupakan putri dari sahabat kedua orang tuanya.
Melelahkan, apalagi mengajak dua gadis heboh seperti Lauren dan Lhinzy, yang tadi bisa diam. Tulang belulangnya seakan mau patah.“Gimana jalannya, seru dong?” tanya Alvin yang menyambut ketiga anaknya yang baru sampai.“Seru, Pa,” jawab keduanya."Lemes amat jawabnya," komentar Alvin melihat ekspresi Lauren begitupun Lhinzy yang tak jauh berbeda."Ngantuk, Pa," jawab keduanya serentak."Ya udah, kalau gitu gih pada tidur. Jangan lupa cuci kaki, cuci tangan, ya," pesan Alvin pada keduanya yang segera mereka angguki dan berlalu pergi menuju kamar.Setelah memarkirkan mobilnya, Arland memasuki rumah. Ini hari yang melelahkan. Tapi tak apa, asal adiknya senang."Loh, ini kamu kenapa pada luka-luka gini sih?" tanya Alvin pada Arland yang balik dari garasi mobilnya. Bagaimana ia tak bertanya seperti itu saat dibagian siku dan tangan putranya terdapat luka yang dipl
Lauren dan Lhinzy menuruni anak tangga dengan sedikit berlari. Seperti biasa, keduanya mana pernah turun tangga dengan langkah lambat."Bibik ... Kak Arland dimana?" tanya Lauren pada asisten Rumah tangga yang bernama Bik Ani."Di kamar mungkin, Non. Soalnya dari tadi pagi Bibik belum lihat Den Arland keluar," jawab wanita paruh baya itu sambil menghentikan aktivitas mencuci piringnya."Nggak ada di kamarnya, Bik," balas Lhinzy."Lah, Den Arland kemana dong?" Giliran Bibik yang bertanya."Aduhh si Bibik, ditanya, eh ... sekarang malah balik nanya," gerutu Lauren sambil berlalu pergi dengan Lhinzy yang terus mengekorinyaDi ruang tamu, keduanya berpapasan dengan Alvin yang saat itu hendak keluar rumah."Loh, anak-anak Papa pada ngapain dari dapur? Hmm ... habis bantuin Bibik masak, ya?"Tebakan macam apa yang dikatakan Alvin. Di usia mereka yan
Kesan pertemuan pertamanya dengan cowok ini dalam mode yang tak mengenakkan. Hingga membuatnya kesal dan sudah mencap Arland sebagai daftar orang yang tak ia sukai. Dan sekarang, ia harus meminta pertolongannya? Aih ... dunia sempit sekali."Ada apa lagi?" tanya Arland dengan ekspresi dingin sambil berdiri berhadap-hadapan dengan Kiran."Lagi? Itu berarti kalian sudah saling kenal, begitukah?'' tanya Tristan. Rasa keponya meningkat tajam. Ayolah ... jarang-jarang sobatnya ini berurusan dengan seorang wanita."Pernah ketemu, bukan berarti mengenal," komentar Arland tak terima dengan perkataan Tristan.Tristan malah tertawa mendengar pernyataan sobatnya itu. "Wah ... jarang-jarang lo kenal cewek selain, Mama lo, si kembar, Ceryl, Dilla dan Keyra," jelas Tristan.Apa Tristan berniat meledeknya di depan Kiran. Ingin menghajar sobatnya itu, tapi takutnya gadis ini malah memandangnya sebagai cowok psyco.
Arland dan Kiran sampai di rumah sakit. Keduanya berjalan beriringan layaknya sepasang kekasih. Itu anggapan orang-orang yang tak mengenal keduanya. Padahal aslinya mah mereka tak saling mengenal.Beberapa suster menyapa dan melemparkan senyuman pada Arland. Jangan dikira dirinya akan membalasnya dengan senyuman juga. Paling hanya anggukan tak berarti. Bikin kesal, sih, tapi tetap saja cewek-cewek pada antri mendapatkan hatinya. Yang jelas-jelas sangat susah untuk dicairkan.Sementara Kiran yang terus mengekorinnya dari semenjak turun dari mobil pun baru percaya 100%, kalau ternyata Arland benar-benat seorang dokter. Tadinya, sih, ia masih ragu."Kenapa kamu terus saja mengikuti saya?" tanya Arland pada Kiran yang juga hendak masuk mengikutinya ke ruang ganti."Nggak boleh, ya?""Apa kamu juga mau ikut saya buat ganti baju, hmm?"Kiran hanya tersenyum g
Arland tertidur di ruangannya dengan berbantalkan lengan. Bahkan, saat seseorang menyelinap masuk dan menghampirinya pun, ia tak sadar dan terbangun sama sekali.Beberapa saat kemudian, barulah, sebuah deringan ponsel miliknya yang membuatnya terbangun. Saat ia lihat, ternyata papanya lah yang menelepon. Segera, ia menggeser tombol hijau yang ada di layar datar itu."Iya, Pa,” sahutnya."Ini Mama, bukan Papa."Ekspressi mengantuknya langsung berubah."Ada apa, Ma?" Mamanya tahu, kalau meneleponnya tak akan dijawab. Malah menggunakan ponsel papanya."Mama mau kamu pulang sekarang," suruh Kim."Aku lagi sibuk, Ma,'' elak Arland."Mama nggak mau tahu ... pokoknya kamu pulang sekarang!"Kim langsung mengakhiri pembicaraannya begitu saja tanpa menunggu tanggapan Arland."Pasti Ce
Pada saat pak Satpam datang sambil membopong Arland, tak sengaja ia bertemu dengan Tristan yang baru saja keluar dari kamarnya."Padahal udah di bilang jangan sampai mabuk, masih aja ngeyel ni orang,” ujar Tristan yang langsung menghampiri Arland dan membantu membawanya ke kamar."Iya mas Tristan, mabuk berat kayaknya ini Mas Arland nya," ujar pak Satpam."Apa tadi dia bawa mobil sendiri, Pak?""Nggak, Mas ... barusan ada gadis yang mengantarkannya.""Gadis?" bingung Tristan."Iya, itu loh mas ... gadis yang kemaren bareng Mas Arland ke Rumah Sakit," jelas pak satpam pada Tristan mengingatkan.'Gadis yang bernama Kiran kemaren kah,' batin Tristan."Kalau begitu saya permisi dulu, Mas " pamit pak satpam pada Tristan ."Oke, makasih, Pak.”---000---Pagi ini Arland masih tertidur nyeyak di ranj
Arland yang baru saja sampai di Rumah sakit, bergegas menuju ruangannya. Panggilan mendadak dari Rumah Sakit membuatnya harus meninggalkan meeting di kantor. Dan untungnya ada si Tristan, meskipun selama ini sobatnya itu tak pernah mau saat ia minta untuk memimpin meeting.Terburu-buru, membuatnya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang sampai dia terhentak ke lantai."Astaga!” keluhnya sambil memegangi bokongnya yang terasa nyeri."Maaf,” ucap Arland merasa bersalah dan membantu gadis itu untuk bengun."Kamu?" kaget Arland melihat siapa yang ia tabrak barusan. Yap, Kiran. Gadis yang seharian kemarin berurusan dengannya."Duh, dokter ... apa jangan-jangan efek mabuk semalam masih berasa, ya, dok?”"Apa?!”Bagaimana ia tak kaget. Kenapa Kiran bisa tahu kalau dirinya semalam mabuk?“Permisi dokter, saya
"Loh, kamu kok ada di sini?"Kiran mengarahkan pandangannya pada seorang cowok yang menghampirinya saat langkahnya mendekati pintu.Dahi Kiran berkerut sambil berpikir. "Kamu bukannya yang kemaren ada di apartementnya dokter Arland, kan?""Tepat sekali,” sahut Tristan cepat. “Ternyata kamu masih mengingatku. Aah ... tapi sepertinya bukan aku yang kamu ingat, melainkan Arland,” godanya menambahkan.Kiran tersneyum manis mendengar penuturan Tristan. "Nggaklah, kebetulan saja masih ingat.”“Ngomong-ngomong, kok kamu ada di sini?” tanya Tristan."Lagi ngelamar kerja, tapi ternyata nggak bisa,” jawabnya dengan senyuman berat mengiringi."Kenapa?""Aku nggak punya pengalaman kerja dan statusku juga masih mahasiswi,” ungkapnya berusaha tenang, tapi dalam hatinya terasa sedih.Tristan hanya ma