Share

BAB : 3


Dia yang tadinya sudah bersiap mengobati luka di tangan Arland, malah menghentikan seketka itu juga sambil memasang wajah kesal.

"Kalau tahu kamu orangnya, aku nggak akan nolongin," kesalnya beranjak dari hadapan Arland dan berlalu pergi begitu saja.

Saking kesalnya, dia tak sengaja malah menyenggol siku Arland, membuatnya sedikit meringis. Tentu saja reaksinya itu membuat kedua adiknya terlihat cemas.

"Sakit banget ya, Kak?"

"Ngga, kok," jawabnya mengelak sambil sedikit tersenyum. Padahal aslinya lumayan perih. 

Dia yang tadinya sudah berlalu pergi, tiba-tiba saja kembali menghampiri Arland. Kemudian mengambil kotak obat yang berada di tangan Lauren dan lanjut membersihkan serta mengobati luka di siku Arland. Ya ... meskipun wajahnya itu sangat menunjukkan kalau dirinya sedang kesal.

"Apa rasanya sakit?" Dia bertanya, meskipun pandangannya hanya berfokus pada luka itu. Takut saja, sentuhannya nantinya malah membuat rasa perih makin bertambah.

"Tidak," jawab Arland.

Tak ada pembicaraan apapun lagi, baik itu dari Arland-nya sendiri ataupun si cewek, hingga selesai mengobati luka itu.

"Apa kalian berdua saling kenal?" tanya Lhinzy mengarah pada keduanya.

"Nggak," jawab keduanya singkat dan serentak, membuat si kembar malah tersenyum gaje.

"Wihhh ... kok bisa barengan gitu, sih,” komentar Lhinzy.

“Apa ini yang dinamakan jodoh?"

Arland menatap horor kearah dua adiknya. Kenapa mereka harus berkata sedewasa itu. Masih anak-anak, loh, malah ngomong masalah jodoh.

"Haii, Kak ... aku Lauren dan ini kembaranku namanya Lhinzy. Ini Kakakku tercinta namanya Arland," jelas Lauren

"Iya, salam kenal juga. Namaku Kiran," balasnya memperkenalkan diri sambil tersenyum manis. Tapi, senyuman itu kembali pudar saat mengarah pada Arland.

"Kemarikan telapak tanganmu," pintanya pada Arland. Tapi malah diacuhkan saja, hingga ia langsung saja menarik tangan Arland dengan paksa.

"Biasanya luka goresan aspal rasanya akan lebih perih meskipun sedikit," ujarnya membersihkan luka itu sambil sesekali meniup-niup agar tak ada rasa perih dirasakan Arland.

Tiba-tiba saja Arland merasa ada yang aneh pada hatinya. Matanya, juga seolah tak mau diajak beralih dari sosok Kiran yang kini sibuk mengobati lukanya. Apalagi sentuhan itu, membuatnya merasa tenang. Rasa perih seolah hilang begitu saja.

"Kak Kiran, kita makan, yuk," ajak Lhinzy pada Kiran yang selesai mengobati luka di telapak tangan Arland.

"Maaf, ya, Dek ... bukannya Kakak nggak mau, tapi Kakak mesti ke Rumah Sakit," jelas Kiran menolak secara halus ajakan si kembar dengan senyuman manis mengukir bibir tipisnya.

"Yaah ..." keluh keduanya.

Ia membereskan dan memasukkan obat-obatan itu ke dalam sebuah kotak dan mengembalikan pada Lhinzy. "Kalau gitu, Kakak pergi dulu ya. Bye," pamit Kiran pada Lauren dan Lhinzy, tapi tidak pada Arland. Setidaknya ia sudah melemparkan pandangan kesal pada makhluk itu.

Lauren dan Lhinzy hanya menatap kepergian Kiran dengan lesu. Padahal mereka berdua berharap kalau Kiran mau ikut makan bersama. Kini, pandangan itu beralih pada Arland dengan tatapan kecut

"Kenapa menatap seperti itu?"

"Kakak, sih, jadinya Kak Kiran pergi," keluh Lauren menyalahkan Arland sambil bersidekap dada.

"Kok malah Kakak yang disalahin?"

"Iyalah. Tampangnya jutek giu. Nggak bisakah Kakak berbagi sedikit senyuman? Smile, Kak, smile..."

"Padahal kita berdua tadinya kan mau comblangin Kakak sama Kak Kiran," ungkap Lhinzy blak-blakan mengakui niat tersembunyi yang dari tadi sudah keduanya susun dengan baik.

Ekspressi wajah Arland langsung berubah drastis. "Apa?!" Benar-benar tak percaya dengan tingkah kedua adiknya ini.

"Iya, daripada sama Kak Ceryl. Emang Kakak mau, nggak kan?"

"Kalian masih kecil juga, udah ngerti comblang-comblangan. Trus sekarang kita jadi makan nggak, nih?"

"Jadi dong," jawab keduanya serentak.

Mereka bertiga pun segera memasuki restoran untuk melanjutkan makan malam yang sempat tertunda.

---000---

Alvin merasa berada di rumah sendiri, tapi seperti terkurung dalam sangkar burung murai. Ceryl tiba-tiba saja datang sambil ngomel-ngomel dan heboh karena Arland tak kunjung menemuinya untuk menemani dia ke ultah salah satu temannya.

"Kan, Tante udah janji sama aku supaya Kak Arland mau nemenin. Dan sekarang Tante bilang dia nggak ada di rumah. Gimana, sih, Tan," rengeknya yang sudah seperti seekor kucing yang gagal menangkap seekor tikus.

Bahkan di seluruh penjuru ruangan rumah, hanya suara Ceryl lah yang terdengar. Seperti suara terompet di malam tahun baru.

"Tante minta maaf, tapi dia nggak mau mengecewakan adik-adiknya."

"Apa dia lebih menyayangi adik-adiknya daripada aku? Kenapa dia nggak pernah perhatian padaku?"

Bagi yang baru mengenal Cheryl, suara ocehannya itu seakan-akan menyambar-nyabar di dalam telinga.

Kim tak berkomentar apa-apa, karna menurutnya sudah jelas Arland lebih memilih adik-adiknya. Mereka berdua segalanya bagi Arland, bahkan ia mengambil libur setiap hari minggu hanya untuk mengajak dua bocah itu keluar.

"Ehem ...."

Deheman itu membuat pandangan kedua wanita itu mengarah padanya secara bersamaan. Ia sampai keluar dari ruang kerjanya saat mendengar kehebohan di lantai bawah.

"Malam, Om," sapa Ceryl pada Alvin yang dating menghampirinya dan Kim.

"Ada apa, nih ... kok datang malam-malam begini. Udah ijin sama orang tua kamu, kan?" tanya Alvin tertuju pada Cheryl.

"Udah kok, Om," jawabnya.

"Oiya ... mumpung kamu ada di sini, Om mau bicara sesuatu," ujar Alvin pada Ceryl.

"Mau bicara apa, Om?"

"Kamu suka sama Arland?" tanya Alvin .

Ceryl malah tersenyum menanggapi pertanyaan Alvin.

"Pertanyaan Om mah ... kan Om juga tahu kalau aku udah suka dan cinta sama Kak Arland dari dulu," jelas Ceryl sambil senyum-senyum gaje.

"Dan Arland-nya sendiri?"

"Kak Arland pasti juga punya rasa yang sama kayak yang aku rasain. Cuman mungkin dia malu aja untuk mengatakannya, Om," jelas Ceryl percaya diri dengan apa yang dikatakannya.

Coba saja Arland ada di situ, mungkin dia bakalan ngamuk-ngamuk mendengar omongan Ceryl yang menurutnya sangat tak masuk akal itu.

"Kamu yakin?"

"Iyalah, Om."

"Om akan pastikan itu sama Arland. Tapi kalau dia nggak cinta sama kamu, bisakah kamu menerimanya?"

Wajah Ceryl berubah murung saat mendengar perkataan Alvin.

"Nggak mungkinlah Kak Arland nggak suka sama aku, Om. Buktinya selama ini dia selalu perhatian sama aku. Kalau nggak cinta, lalu apa?"

Ternyata, tingkat percaya diri Ceryl sangat tinggi. Ditambah lagi perhatian Arland malah membuat dia semakin baper. Padahal Arland sendiri juga bersikap sama dengan Keyra ataupun Dilla, yang merupakan putri dari sahabat kedua orang tuanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status