Share

BAB : 5

Lauren dan Lhinzy menuruni anak tangga dengan sedikit berlari. Seperti biasa, keduanya mana pernah turun tangga dengan langkah lambat. 

"Bibik ... Kak Arland dimana?" tanya Lauren pada asisten Rumah tangga yang bernama Bik Ani.

"Di kamar mungkin, Non. Soalnya dari tadi pagi Bibik belum lihat Den Arland keluar," jawab wanita paruh baya itu sambil menghentikan aktivitas mencuci piringnya.

"Nggak ada di kamarnya, Bik," balas Lhinzy.

"Lah, Den Arland kemana dong?" Giliran Bibik yang bertanya.

"Aduhh si Bibik, ditanya, eh ... sekarang malah balik nanya," gerutu Lauren sambil berlalu pergi dengan Lhinzy yang terus mengekorinya

Di ruang tamu, keduanya berpapasan dengan Alvin yang saat itu hendak keluar rumah.

"Loh, anak-anak Papa pada ngapain dari dapur? Hmm ... habis bantuin Bibik masak, ya?"

Tebakan macam apa yang dikatakan Alvin. Di usia mereka yang masih tergolong kecil, hal yang dilakukan hanyalah makan, bukan memasak makanan. Lagian, keduanya diajarkan oleh mamanya untuk tak berurusan dengan perabot dapur untuk saat ini.

"Kita lagi nyariin Kakak, Pa ... bukannya mau masak."

"Kakak kalian lagi ada kerjaan, jadi buat hari ini nggak bisa nemenin jalan dulu. Oke?"

"Yaahh ..."

Keduanya padahal sudah berharap bisa jalan-jalan. Lumayan, daripada mendekam di dalam rumah seharian. Tapi semuanya gagal total.

"Hmm ... gimana kalau jalan sama Papa aja?" tanya Alvin memberikan penawaran.

"Setuju ..."

Terserahlah ... menurut keduanya, sama siapapun yang mengajak jalan keluar boleh. Asal jangan sama Kim. Kenapa? Karena kalau sama wanita itu, bukannya mengajak keduanya jalan, malah keduanya seolah tak beringsut dari yang namanya belanja. Pengalaman, sih.

"Jalan sama bapak-bapak sekali-sekali nggak apa-apalah daripada di rumah, ngebosenin," ungkap Lhinzy sambil tertawa.

Alvin celingak-celinguk kiri kanan melihat situasi. "Jangan salah, bapak-bapak yang satu ini masih punya penggemar loh," balas Alvin.

Kedua putrinya langsung tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan Alvin. Tapi memang, sih ... untuk tampang seorang ayah dengan tiga anak, bahkan anak pertama pun sudah dewasa ... ia masih terlihat memesona. Maka dari itu, setiap jalan bersama Kim, ia seolah di kekepin terus. Bahkan tak pernah melepaskan dirinya walau hanya sebentar.

---000---

Pagi ini di Rumah Sakit, Kiran sedang menemani sahabatnya yang sedang kritis karena penyakit jantung yang telah lama dideritanya. Sudah beberapa hari ini ia tak mendapatkan istirahat yang cukup. Hingga ia merasa kepalanya terasa sangat berat, sakit dan pusing karena kurang tidur.

"Maaf, apa kita bisa bicara sebentar?"

Dokter menghampirinya yang saat itu tengah duduk di kursi tunggu sambil menyenderkan kepalanya ke dinding.

"Iya, dokter," jawabnya yang langsung mengikuti langkah dokter.

"Saya ingin memberitahukan, kalau saat ini sudah ada donor jantung yang cocok untuk sahabat Anda," jelas dokter.

Kiran tersenyum bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama menunggu, semuanya akan berujung manis.

"Benarkah, dok?" Tergurat senyuman di sudut bibirnya.

"Iya. Dan sebaiknya operasi secepatnya dilakukan. Tapi masalahnya sekarang adalah, dokter bedah jantung terbaik di rumah sakit ini sedang tidak bertugas hari ini karena sedang libur," tambah dokter menjelaskan.

Senyuman tadi memudar.

"Jadi, maksudnya sahabat saya nggak bisa dioperasi hari ini, begitukah, dok?"

"Iya ..."

"Maaf dokter, kalau boleh saya tahu, apa dokternya liburan ke luar kota ini atau ..."

"Nggak. Setiap hari minggu dia memang selalu ambil libur," jelas dokter.

"Apa boleh saya minta alamat beliau, dokter?"

"Iya, boleh," balas dokter sambil menyodorkan sebuah kartu nama dokter ahli bedah yang ia maksud barusan.

"Arland Devano Geraldi?" Kiran bergumam menyebutkan nama itu. Ia merasa nama itu sangat tak asing. Tapi dimana ia pernah mendengar nama itu?

Dengan berbekal alamat yang diberikan dokter, ia segera menuju lokasi. Dirinya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk kesembuhan sahabatnya. Kesempatan tak datang dua kali, bukan.

Saat tiba di alamat yang tertera di kartu nama yang masih ia pegang, hal pertama yang harus ia siapkan adalah kata kata apa yang akan ia lontarkan pada si dokter? Kenapa tiba-tiba ia merasa takut?

"Maaf, cari siapa, ya?"

Seorang satpam tiba-tiba saja muncul begitu saja dari balik pagar ... membuatnya yang masih memikirkan perkataan untuk si dokter, kaget seketika.

"Maaf, Pak ... apa benar ini kediamannya dr. Arland Devano Geraldi?" tanya Kiran pada satpam.

"Ahh ... iya Non. Mari, silahkan masuk," ajaknya. "Saya akan bilang tuan dulu."

Pak satpam membuka gerbang dan mengajak Kiran untuk masuk. Pandangannya dibuat terpana oleh area rumah ini. Benar-benar luas.

Ia duduk di sebuah Kursi yang ada di teras, sementara Pak satpam memanggil si tuan rumah.

"Maaf, kamu siapa, ya?"

Pertanyaan tiba-tiba itu membuyarkan lamunan Kiran. Penampakan seorang laki-laki paruh baya saat ini sedang berdiri dihadapannya. Ia yakin sekali kalau dia sudah tak muda lagi, tapi, masalah ketampanan masih lumayan.

"Ah, itu ... saya mau ketemu sama dokter Arland. Apakah Anda ..."

"Oo ... bukan. Saya Alvin, ayah dari dokter Arland."

Dan hal yang dipikirkan Kiran saat ini adalah "Kalau bapaknya saja masih muda begini, gimana sama anaknya?"

"Kamu benar, anak saya memang masih muda," ujar Alvin.

"Hah?!" Tentu saja Kiran kaget. Barusan ia hanya bicara dalam pikirannya, kenapa beliau malah bisa tahu?

"Kok bapak bisa ..."

"Panggil Om saja," komentar Alvin.

"Iya, kok Om bisa tahu apa yang sedang ku pikirkan?" tanya Kiran sambil menggaruk tengkuknya dengan kebingungan akut.

Alvin duduk di kursi yang bersebelahan dengan Kiran.

"Sudah, jangan dipikirkan. Oiya, ada apa kamu mencari anak saya?" Alvin mengalihkan pembicaraan.

"Begini, Om ... sahabat saya lagi kritis dan secepatnya mesti operasi cangkok jantung. Tapi dokter bedah jantung hari ini tidak masuk karena sedang libur. Makanya saya kesini mau menemui dokter Arland untuk minta tolong supaya bisa melakukan tindakan operasi itu secepatnya," jelas Kiran.

"Sayangnya saat ini dia tidak di rumah. Semalam dia nginep di apartment," jelas Alvin.

"Ahh ... begitu ya, Om,” keluh Kiran sedikit tak bersemangat.

Alvin bisa melihat raut sedih di wajah gadis itu. Tak hanya itu, dia juga terlihat lelah dan tak sehat. Seperti sering begadang.

"Maaf, Om ... apa boleh saya minta alamat apartmen dokter Arland?" Agak ragu, sih, kalau ia akan mendapatkan alamat itu. Tapi setidaknya mesti mencoba.

"Iya, tentu saja," respon Alvin sambil mengambil secarik kertas yang ada di meja dan menuliskan sebuah alamat. Kemudian menyodorkan pada Kiran.

"Terimakasih, Om ..."

Ia bahkan tak menyangka akan mendapatkan alamat dokter Arland semudah ini. Kan, jarang-jarang ada dokter yang mau urusan pribadinya direcoki.

"Iya."

"Kalau begitu saya pamit dulu,"

pamit Kiran sambil mencium punggung tangan Alvin tanda hormatnya dan berlalu pergi.

"Gadis yang sopan," gumam Alvin sepeninggal Kiran. Bahkan hingga gadis itu pergipun, ia masih menatap dari kejauhan.

"Loh, itu bukannya Kak Kiran?" Lauren mengarahkan pandangan pada Kiran yang baru saja keluar dari pagar.

"Iya, kamu bener, Ren ... itu Kak Kiran," setuju Lhinzy.

Alvin hanya memandangi omongan kedua gadis kecilnya itu. "Kiran? Siapa maksud kalian berdua?"

"Itu, Pa ... Kakak yang barusan keluar dari rumah kita namanya Kak Kiran," terang Lhinzy sambil terus menyeruput susu kotak miliknya.

"Papa nggak tahu namanya. Di datang nyariin Kakak kalian."

"Tentu saja, dia kan pacarnya Kak Arland," ujar Lauren.

Mereka itu dua, tapi seolah satu pemikiran. Jadi, tanpa di komando pun yang lain pasti bakalan mengerti isi pemikiran yang lainnya.

"Apa, pacar!?" Kaget Alvin akan ucapan ni bocah.

Bukannya gadis itu bilang mau ketemu putranya karena ingin agar segera datang ke RS. Dan sekarang Lauren sama Lhinzy bilang kalau gadis itu adalah pacarnya Arland?

"Jangan bohong," ingatkan Alvin

"Papa nggak percaya?" tanya Lauren.

"Ya sudahlah, kita nggak maksa,"

tambah Lhinzy.

Keduanya pun berlalu kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan Akvin dengan wajah bingungnya. Ini, nih, yang paling menyenangkan buat si kembar. Membuat papanya bingung dan harus memutar otak. Kan, jarang-jarang bisa berhasil.

---000---

Saat ini Kiran sudah berada di depan pintu Apartment dokter Arland. Entah kenapa tiba-tiba saja ia malah merasa deg-deg'an. Padahal yang akan ia temui hanyalah seorang dokter, tapi rasanya seperti mau ketemu artis saja. Jantungnya saja seolah bertedak tak beraturan. Aneh, yang sakit jantung dan mesti di operasi adalah sahabatnya. Tapi sekarang jantungnya lah yang bermasalah.

Dengan tekad yang kuat dan hati yang yakin, Kiran langsung memencet bel di pintu masuk. Tak perlu menunggu lama, seseorang membuka pintu dari dalam.

"Maaf, cari siapa, ya?"

"Saya mau bertemu dokter Arland, apakah Anda?"

''Oh bukan, aku temennya. Arland ada di dalam. Sebentar aku panggilkan dulu," ujarnya kembali masuk untuk memanggil Arland. Siapa lagi dia kalau bukan Tristan.

"Mau bertemu dokter saja, susahnya minta ampun. Udah muter muter, bikin kepala tambah pusing aja," dumel Kiran sambil memijit tengkuknya yang terasa pegal.

Tristan menghampiri Arland yang saat itu sedang tiduran di sofa.

"Siapa?" tanya Arland pada Tristan.

"Ada tamu yang nyariin lo, tuh," tunjuk Tristan kearah pintu.

"Salah orang kali," balasnya tak percaya dan seolah tak berniat untuk bangun. Karena nggak ada satupun yang tahu alamat Apartmnet-nya kecuali keluarga dan para sahabatnya.

"Nggak, tadi dia bilang mau ketemu sama dokter Arland. Nah, itu kan lo," komentar Tristan meyakinkan sobatnya.

"Cewek atau cowok?"

"Cewek, cantik. Pasien lo, mungkin," tebak Tristan.

"Pasien?" dahi Arland sampai berkerut dengan jawaban yang diberikan Tristan.

"Iya, pasien cinta lo," timpal Tristan ngakak.

Arland membalas tingkah gaje sobatnya itu dengan lemparan bantal. Orang lagi serius, dianya malah bercanda. Kan jadi kesal.

Arlandpun berjalan menuju pintu masuk untuk menemui orang yang mencari-nya. Saat pandangan mereka bertemu tiba-tiba keduanya saling tunjuk.

"Loh, kok ..." Keduanya sama-sama memasang wajah kaget.

"Nah, tuh, kan ... apa gue bilang barusan," ujar Tristan di antara kekagetan Arland dan juga Kiran.

"Kenapa malah kamu yang ada di sini? Aku nyarinya dokter Arland," jelas Kiran dengan sewot. Entah kenapa kalau sudah melihat cowok ini bawaannya kesal nggak jelas aja.

"Orang yang ada dihadapan kamu saat ini ya dokter Arland," ungkap Tristan.

"Hah!?" Kaget Kiran. Tapi kaget nya ini seolah olah ia masih meragukan kalau orang yang berada dihadapannya ini adalah yang ia cari. Ya ampun ... bagaimanapun juga ia tak percaya saja. Tampang slengek'an, ngeselin, dan nyebelin begini seorang dokter? Serius?

"Masih belum percaya?" tanya Tristan mengambil paksa dompet Arland dan ia pampangin KTP sobatnya itu di depan kedua matanya Kiran.

Mata Kiran mulai membaca identitas itu. Tak percaya, tapi kenyataan yang ada di depan matanya membuatnya harus percaya.

"Ja-jadi, dia ..."

"Jadi, yang ada dihadapan kamu ini adalah dr.Arland devano geraldi." Tristan langsung menimpali perkataan Kiran.

Keduanya sibuk membahas status dan namanya, sementara si pemilik nama hanya diam tak berkomentar. Ini tak penting dan sepertinya akan membuang-buang waktu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status