Share

6. Rasa Stroberi

Seperti yang sudah-sudah, kencan buta Gevan malam ini lagi-lagi tidak berhasil. Bedanya kali ini bukan dia yang pergi, melainkan Tasya. Sepertinya Tasya adalah tipe wanita yang tidak suka diabaikan. Sengaja Gevan melakukannya dan ternyata rencananya berhasil. Seperti biasa juga, Gevan tidak akan kembali pulang malam ini. Untuk apa lagi jika bukan menghindari ibunya? Gevan bahkan sudah mematikan ponselnya sejak dua jam yang lalu.

"Kita langsung ke hotel?" tanya seorang wanita yang masuk ke dalam mobil Gevan.

"Hm." Gevan hanya bergumam dan mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir tempat hiburan malam.

Di dalam mobil, hanya ada keheningan yang terjadi. Gevan membiarkan tangan wanita itu mulai menyentuh bahunya dan mulai naik hingga ke leher.

"Aku beli sesuatu dulu,” ucap Gevan.

Dia menghentikan mobilnya di depan supermarket yang buka 24 jam. Dengan berlari kecil, dia masuk ke dalam supermarket dan membeli barang yang sangat ia butuhkan saat ini.

"Mas, rasa stroberi satu kotak," ucap Gevan langsung saat di depan kasir.

Saat akan membayar barangnya, terdengar panggilan dari belakang tubuhnya. Gevan mengenal suara itu.

"Om Gevan?" panggil suara itu.

"Kamu ngapain di sini?" Gevan terkejut dan seketika langsung panik.

"Beli gula, Om. Om Gevan sendiri ngapain di sini malem-malem?" tanya Olin sambil memperlihatkan barang yang ia bawa. Ya, dia adalah Olin.

"Pakai kantong plastik, Kak?" tanya penjaga kasir tiba-tiba.

Gevan mengumpat dan melempar barang yang ia beli hingga jatuh ke bawah meja kasir. Meskipun berusaha untuk menutupi, tapi Olin sudah melihatnya sekilas tadi.

"Om Gevan beli apa itu?" tanya Olin dengan mata yang menyipit.

"Nggak beli apa-apa. Saya mau beli kinder joy kok." Gevan mengambil beberapa permen dan cokelat yang berada di depan kasir.

Olin mengangguk pelan dan tersenyum dalam diam. Dia tahu betul apa yang Gevan lakukan. Olin tidak sepolos itu untuk mengetahui barang apa yang pria itu beli. Dengan jelas benda itu terpajang di meja kasir.

"Kamu cuma beli gula?" tanya Gevan.

"Iya, Om." Olin menggangguk mantap.

"Sekalian aja kalau gitu." Gevan mengambil gula dari tangan Olin dan meletakkannya di meja kasir.

"Dibayarin, Om?" tanya Olin dengan mata yang berbinar.

"Hm."

"Saya tambah minyak goreng boleh?" Olin terkekeh mendengar ucapannya sendiri.

"Ambil sana. Cepet.”

Mendengar itu dengan cepat Olin berlari ke arah di mana minyak goreng berada. Selagi Olin pergi, Gevan dengan segera meminta kasir untuk mengambil barang yang ia lempar tadi. Dengan sangat cepat, Gevan memasukkannya ke dalam kantong celana. Tak lama Olin kembali dengan satu minyak goreng di pelukannya.

"Cuma itu? Nggak ada yang lain?"

Olin mengangguk yakin. Dia menatap belanjaannya dengan senang. Beruntung dia bertemu Gevan malam ini sehingga dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk kebutuhan dapurnya.

"Kamu pulang naik apa?" tanya Gevan saat mereka sudah berada di luar supermarket.

"Jalan kaki, Om."

"Jalan?"

Olin mengangguk dan menunjuk ke arah seberang jalan, "Iya, kontrakan saya masuk ke gang itu."

"Biar saya anter."

Olin dengan cepat menggeleng, "Nggak usah, Om. Makasih ya."

"Udah malem, Lin."

"Masih jam 11 kok," ucap Olin santai.

"Oke kalau gitu,” jawab Gevan ragu. "Hati-hati ya."

Olin mengangguk dan mulai berlalu pergi. Dia berdiri di trotoar untuk menunggu lampu merah berubah warna menjadi merah. Saat masih menunggu, Olin dikejutkan dengan dua orang pria yang berada di seberang jalan. Dari gerak-geriknya, kedua pria itu terlihat tengah mencari seseorang.

"Mampus gue!" umpat Olin yang mulai berlari menghindar.

Langkah kakinya membawanya kembali ke supermarket. Saat ini, mobil Gevan adalah tujuannya.

"Om Gevan! Tungguin!" Dengan tergesa Olin masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang. Beruntung Gevan belum melajukan mobilnya.

"Kamu kenapa?" tanya Gevan terkejut sekaligus bingung.

Bagaimana dia harus bersikap sekarang? Hancur sudah nama baik yang Gevan bangun selama ini. Keberadaan wanita asing yang baru ia kenal tadi tentu membuat Olin akan berpikir yang tidak-tidak.

"Om, ayo cepet pergi!" Olin terlihat sangat panik.

"Kenapa, Lin? Ada apa?"

"Udah, ayo cepet!" Olin menepuk bahu Gevan keras.

Melihat Olin yang ketakutan, Gevan langsung melajukan mobilnya. Wanita itu mulai menghela napas lega di belakang sana.

"Sebenernya ada apa?" tanya Gevan masih fokus menyetir.

Olin menunduk dan memainkan tangannya gelisah. Dia bingung harus berkata jujur atau tidak saat ini.

"Kenapa, Lin? Kalau kamu nggak bilang, saya turunin langsung di sini."

Dengan cepat Olin menahan lengan Gevan, "Saya dikejar rentenir."

"Rentenir?" Gevan kembali terkejut. "Kamu punya hutang?"

"Bukan utang saya, tapi Bapak saya." Olin mengerucutkan bibirnya kesal.

"Kenapa mereka kejar kamu? Bapak kamu di mana sekarang?"

"Di kuburan," jawab Olin ketus. Jujur saja dia kembali kesal saat teringat dengan hutang-hutang ayahnya sebelum meninggal.

"Maaf.” Gevan berdeham pelan, “Sekarang kita ke mana?"

Olin menggaruk lehernya bingung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Saat ini rumahnya tidak lagi aman karena dikepung oleh para rentenir.

"Kita mau ke hotel kan?" Tiba-tiba wanita di samping Gevan berbicara.

Gevan mengumpat dalam hati dan menatap wanita itu tajam. Olin yang sadar mulai berdeham.

"Berhenti di sini aja, Om. Saya turun di sini."

Gevan menghentikan mobilnya di samping halte. Dia menoleh dan menatap Olin lekat. Terlihat jelas raut ketakutan dan kebingungan di wajahnya.

"Kamu mau ke mana, hm?"

Tanpa menjawab, Olin hanya menggeleng. Melihat respon yang diberikan, Gevan menghela napas kasar. Dengan cepat dia mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. Gevan memberikan uang itu pada wanita di sampingnya.

"Kamu bisa turun di sini kan?"

"Oke," jawab wanita itu dan bergegas turun dari mobil. Tidak ada protes karena dia juga tidak merasa dirugikan.

"Maaf, Om. Gara-gara saya Om Gevan nggak jadi jajan," gumam Olin menunduk.

Gevan tersedak ludahnya sendiri. Bagaimana bisa Olin mengatakannya secara jelas padahal Gevan berusaha untuk menyembunyikannya sedari tadi? Rasa percaya diri Gevan sudah benar-benar menipis saat ini dan itu semua karena Olin.

"Untuk malam ini kamu tidur di apartemen saya aja."

"Apartemen?" Olin terkejut dan memeluk tubuhnya sendiri.

Gevan berdecak, "Jangan mikir aneh-aneh. Apartemen saya kosong dan ka—"

"Kosong?!" Olin mulai histeris.

"Diem." Gevan menggeram gemas. "Maksud saya apartemen saya kosong, jadi kamu bisa tidur di sana malam ini. Kalau saya ya pulang ke rumah saya sendiri."

"Oh...," Olin mengangguk paham. Perlahan cengiran konyol mulai muncul di wajahnya.

"Makasih ya, Om."

***

Olin masuk ke dalam apartemen Gevan dengan langkah pelan. Meskipun sedikit ragu, tapi dia tidak memiliki pilihan lain. Olin sangat bersyukur dengan bantuan Gevan.

"Kenapa Om Gevan nggak tidur di sini?"

"Apartemen ini saya sewain dulu. Baru kosong dua minggu yang lalu."

Olin mengangguk mengerti. Dia berbalik dan menahap Gevan lekat. Perlahan dia melambaikan tangannya pada pria itu.

"Apa?" tanya Gevan bingung.

"Selamat malam, Om. Saya udah ngantuk, sampai jumpa besok."  Olin masih melambaikan tangannya.

Gevan menggelengkan kepalanya pelan. Olin benar-benar wanita yang konyol menurutnya.

"Kamu punya nomer saya kan? Telepon aja kalau ada apa-apa."

"Oke, Om."

"Saya pulang dulu," pamit Gevan sambil mengacak pelan rambut Olin.

"Hati-hati."

Gevan mengangguk dan mulai keluar dari apartemennya. Kepalanya menggeleng saat tersadar dengan apa yang ia lakukan. Lagi-lagi Gevan membantu Olin. Kenapa dia selalu bersedia melakukan ini?

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status