Share

7. Kanjeng Ratu

Suara bel yang terus berbunyi membuat tidur Olin terganggu. Dia mengerang dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Suara bel yang tak kunjung berhenti membuat Olin terpaksa membuka matanya. Perlahan dia meraih ponsel untuk melihat jam, masih jam delapan, terlalu pagi untuk Olin yang baru bisa memejamkan mata di jam empat pagi.

"Iya, sebentar."

Dengan malas Olin bangun dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen yang ia tinggali semalam. Olin memang sengaja tidur di sofa ruang tengah karena merasa tidak nyaman jika tidur di kamar utama.

Olin membuka pintu dan mulai kebingungan saat melihat wanita paruh baya di hadapannya.

"Kamu siapa?"

Rasa kantuk Olin langsung menguap. Dia merapikan penampilannya cepat dan menatap wanita di hadapannya dengan canggung.

"Maaf, Tante siapa ya?" tanya Olin sedikit menunduk.

Mata wanita paruh baya itu menyipit. Olin dibuat semakin ketakutan saat wania itu melihatnya dari atas ke bawah dengan lekat.

"Seharusnya saya yang tanya, kamu itu siapa?"

"Sa—saya Olin, Tante."

"Siapanya Gevan?"

"Om Gevan?" tanya Olin bingung, "Saya...," Dia menggaruk lehernya sambil berpikir. Olin tidak tahu harus menjawab apa. Jika dikatakan teman pun mereka bukanlah teman. Lagipula Gevan sudah terlalu tua untuk menjadi temannya.

"Di mana Gevan?" Wanita paruh baya itu berdecak dan mulai masuk ke dalam apartemen.

"Maaf, kalau boleh saya tau Tante siapa ya?"

Wanita itu berbalik dan menatap Olin tajam, "Saya ibunya Gevan."

Mata Olin membulat mendengar itu. Dengan cepat dia berjalan mendekat dan mencium tangan Ibu Gevan dengan sopan.

"Maaf, Tante. Saya nggak tau." Olin meringis.

"Di mana anak saya?" Ibu Gevan mulai masuk semakin dalam dan memeriksa semua kamar. “Gevan keluar kamu!" teriaknya.

Olin berlari kecil mengikuti, "Om Gevan nggak ada di sini, Tante."

"Jujur sama saya. Di mana dia sembunyi? Dasar anak nakal!"

Olin meringis dan mulai mengambil ponselnya. Dia mengetikkan pesan untuk Gevan untuk segera datang membantunya. Jujur saja Olin sedikit takut dengan wanita di hadapannya itu.

"Sekarang kamu bilang sama saya, dibayar berapa kamu sama dia?" Kali ini Ibu Gevan mulai menatap Olin sepenuhnya.

"Maksudnya, Tan?" Olin tampak bingung.

"Nggak usah pura-pura nggak tau. Saya tau kalau kamu salah satu dari sekian banyaknya wanita yang jadi temen main Gevan kalau malem. Iya kan?"

Dengan reflek Olin memeluk tubuhnya sendiri. Dia bergerak mundur dan menggeleng cepat.

"Tante salah paham. Saya bukan temen main kuda-kudaannya Om Gevan."

"Kamu pikir saya percaya?"

"Ya harus percaya dong, Tan. Kan saya memang bukan cewek kayak begitu." Olin mulai memelas.

"Udah lah, sekarang kamu bilang di mana anak saya sekarang?"

Saat akan menjawab, Olin mendengar suara pintu apartemen yang dibuka.

"Olin, ini saya bawain sarapan." Suara Gevan membuat tubuh Olin menegang.

"Kamu bohong sama saya? Gevan keluar buat beli sarapan kan?"

Olin dengan cepat menggeleng, "Bukan gitu, Tante."

"Olin, kamu di man—na?" Gevan menghentikan langkahnya saat melihat Olin bersama ibunya.

"Om Gevan nggak baca chat saya?" bisik Olin pelan.

Gevan dengan lemah menggeleng. Dia masih menatap ibunya terkejut, "Mama ngapain di sini?"

"Dasar anak nakal!" Ibu Gevan melempar tasnya pada Gevan. Perlahan air mata mulai turun di pipinya.

"Loh, Tante jangan nangis." Olin mulai panik.

"Mama udah capek-capek kenalin kamu ke temen-temen anak Mama, tapi kamu malah suka main perempuan kayak gini. Sakit hati Mama, Van." Sepertinya tangis Ibu Gevan bukanlah sandiwara kali ini. Dia benar-benar kecewa dengan Gevan yang tak pernah mendengarkannya dan bertingkah seperti pria yang tidak bertanggung jawab.

"Pak, bantuin jawab!" ucap Olin mengenggol lengan Gevan.

"Ma.. aku minta maaf." Gevan menarik ibunya untuk masuk ke dalam pelukannya.

"Sekarang jelasin ke Mama. Siapa dia?"

Olin mundur satu langkah saat Ibu Gevan menunjuknya. Dia meringis menyadari tatapan tajam wanita itu.

"Dia cewek panggilan kan?" Lanjutnya.

"Bukan, Ma." Gevan dengan cepat dan tegas menggeleng.

"Terus kenapa dia ada di sini? Di apartemen kamu?!”

Gevan meringis dan mulai menarik Olin mendekat. Dia menarik napas dalam dan menghembuskannya. "Olin pacar aku, Ma,” ucapnya tiba-tiba.

Kali ini bukan hanya Ibu Gevan yang terkejut, melainkan Olin juga. Matanya membulat menatap Gevan tidak percaya. Dia ingin menjauh tapi dengan cepat pria itu menahan pinggangnya.

"Kamu bilang apa tadi?" Ibu Gevan mulai menghapus air matanya.

"Kenalin, dia Olin. Pacar aku."

"Tapi Om—" Olin menelan ucapannya kembali saat Gevan meremas pinggangnya cukup erat. Seolah memberi tanda untuk tetap diam.

"Jadi dia bukan cewek panggilan?" Ibu Gevan kembali memastikan.

"Bukan, Ma. Dia pacar aku, jadi Mama nggak perlu mikir yang aneh-aneh tentang Olin. Iya kan, Sayang?" Gevan menatap Olin lekat, berharap jika wanita itu tahu akan sinyal bantuan yang ia butuhkan.

"I—iya, Tante."

Ibu Gevan menghela napas lega. Dia berjalan mendekat dan menyentuh lengan Olin.

"Maaf ya. Tante agak pusing liat kelakuan Gevan akhir-akhir ini jadinya mikir yang enggak-enggak."

Olin tersenyum tipis, "Nggak papa kok, Tante. Om Gevan emang pantes dicurigain."

"Om?"

"Mas," jawab Gevan cepat, "Olin suka bercanda, Ma. Dia panggil aku Mas kok."

"Kamu umur berapa, Sayang?" tanya Ibu Gevan mulai melunak. Bagaimana dia tidak senang jika mendengar anaknya sudah memiliki kekasih?

"Mau 26 tahun, Tante."

Ibu Gevan tersenyum senang, "Pas!"

"Apanya yang pas?" tanya Gevan waspada.

"Kapan kalian nikah? Mama udah punya kenalan wedding organizer dari temen-temen Mama."

Olin tesedak ludahnya sendiri mendengar itu. Dia masih terkejut dengan kebohongan yang Gevan ucapkan, lalu sekarang Olin kembali dibuat terkejut dengan topik pernikahan ini.

"Itu masih jauh, Ma. Aku sama Olin mau nikmatin waktu dulu."

"Kamu itu udah tua!" Ibu Gevan memukul kepala anaknya kesal.

"Tapi hubungan aku sama Olin itu masih baru, Ma."

"Baru berapa lama?"

"Baru 2 bulan," ucap Gevan asal.

"Udah cukup buat pendekatan. Nggak baik ditunda-tunda, apalagi pas Mama tau kalau kalian... tidur bareng."

"Kita nggak tidur bareng, Tante." Olin menggeleng tegas.

"Halah, nggak usah bohong. Gevan nggak pulang ke rumah semalem, udah pasti dia tidur di sini kan?"

Olin menatap Gevan penuh pertanyaan. Seingatnya pria itu berkata jika akan pulang ke rumah semalam.

"Aku tidur di apartemen Tama, Ma,” jawab Gevab jengah.

Gevan mengatakan kejujuran. Dia memilih untuk mengungsi di tempat Tama dari pada bertemu dengan ibunya dan mendapatkan pertanyaan yang sama setiap harinya.

"Kamu pikir Mama percaya kamu di tempat Tama? Udah, Mama nggak mau tau, pokoknya kalian harus cepet nikah." Ibu Gevan beralih pada Olin, "Kapan Tante bisa ketemu sama orang tua kamu, Lin?" tanyanya lembut.

"Anu.. itu, Tan. Orang tua saya sudah meninggal."

Gevan dan ibunya terkejut mendengar itu.

"Maaf, Tante nggak tau, Lin."

Olin tersenyum dan menggeleng, "Nggak papa kok, Tante."

"Ya udah, berarti persiapan bisa

lebih cepat. Kalian bisa nikah lebih dalam waktu dekat." Ibu Gevan menepuk tangannya senang.

"Ma...," Gevan ingin menyerah saja rasanya.

"Nggak usah protes!" ucap Ibu Gevan tegas, "Kamu ada jadwal jaga kan habis ini? Kalau gitu lagsung siap-siap dan berangkat. Mama mau pulang dan belanja bahan makanan. Nanti malem Mama mau kalian berdua makan malam di rumah."

"Oke, sekarang Mama pulang dulu." Gevan dengan cepat membawa ibunya untuk keluar dari apartemen.

"Inget, Van. Cepetan cari tanggal. Mama udah nggak sabar pingin gendong cucu."

"Iya, nanti aku bikinin 10," ucap Gevan asal dan mendorong Ibunya untuk masuk ke dalam lift, "Hati-hati," ucapnya sambil mencium kening ibunya.

Gevan menghela napas dan mengusap wajahnya kasar. Setelah Ibunya pergi, dia berbalik untuk kembali ke apartemen. Langkahnya terhenti saat melihat Olin yang tengah bersandar di pintu apartemen dengan tangan yang terlipat di dada. Tatapannya tampak mengerikkan berharap akan ada penjelasan yang keluar dari bibir Gevan mengenai kejadian tadi.

"Jadi dramanya bakal ada berapa episode, Om?" tanya Olin.

"Maaf."

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status