Bab 26
Aku tersentak kaget ketika pimpinan itu membalikkan badan. Ternyata laki-laki gendut itu yang pernah kulihat bersama Santi. Ya mirip sekali dengan suaminya Santi. Aku berusaha tenang, pura -pura tidak pernah melihatnya. Apa yang harus aku lakukan ?Adit menyapa," Selamat pagi, Pak!"
"Pagi juga, Adit."
"'Ini Pram, mahasiswa yang mau manggang di restoran kita Pak," kata Adit dengan memperkenalkanku.
Tangan Adit menyenggol pundakku. Aku agak grogi."Dia di sini 3 minggu Pak," jelas Adit dengan mata melirikku.
Aku bersikap gagah dan memasang senyum yang manis. Jangan sampai Adit atau bos restoran tahu kalau aku pernah melihatnya. Ah … itu kan masih perkiraanku. Belum tentu benar.
"Oh
Bab 27 Badanku seolah kaku seperti daging yang berada dalam frezer. Betapa tidak? Wanita yang bersama bos baruku adalah wanita yang sangat aku kenal. Walaupun telah lama menghilang dari kehidupanku. Bahkan kemaren sempat bertemu di bandara. Deg… Aku berusaha menguasai diriku. Jangan sampai bosku mengetahuinya. Apalagi kalau dia tahu bahwa aku pernah menjadi bagian dalam kehidupannya. "Eh ya Pak. Anda memanggil saya," kataku gugup. Wanita yang bersama dengan Pak Bos juga tidak kalah kaget. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka. Sekian detik kami terbawa dengan situasi ini. Sebelum akhirnya sama-sama saling menyadari. "Iya, Pram," kata Pak Bos. Apakah bos menget
Sudah seminggu aku magang di sebuah restoran asing di Palembang. Ada perasaan gembira dan sedih yang tidak kumengerti. Gembira karena aku mempunyai pengalaman baru menjadi seorang Chef. Sedih karena harus meninggalkan Sarah sendirian. Setiap malam dia menelpon atau ngobrol melalui vidio call. Aku melihat ada kerinduan di matanya. Entah mengapa aku juga merasakan rindu yang sama. Sementara Santi terus saja menggodaku tanpa malu. Bahkan dia juga meminta nomer telponku. Selama ini aku hanya bertahan agar bisa menyelesaikan tugas magang. Aku hanya tidak suka dengan sikapnya. Dia adalah istri dari bosku. Apa yang dia pikirkan? Dia mengirim pesan kepadaku. Aku tidak pernah membalasnya. Aku hanya malu dengan diriku sendiri. Mengapa harus ketemu dengannya lagi? Malam itu, aku memasak spaghetti untu
Malam ini sangat indah, apalagi didampingi wanita yang sangat cantik dan selalu tersenyum. Tatapan matanya sangat sendu. Tangannya tak mau lepas dari genggamanku. Kepalanya selalu ditaruh manja di pundakku. Aku sangat bahagia, terlepas dari beban masa laluku. Aku ingin bercerita tentang Santi. Apakah sekarang waktu yang tepat ? Aku ingin tidak menyimpan rahasia apapun dengannya. Kami duduk di pojok ruangan yang temaram. Suasana yang tenang dengan debur suara sungai Musi memberikan sensasi yang luar biasa. Sarah duduk di depanku, menatap lekat mataku, seolah lama tidak bertemu. Aku tersipu malu ketika matanya tidak berkedip menukik sampai ulu hatiku. "Ada apa sih, Sayang. Aku jadi malu. Sadari tadi kamu ngliatin aku terus. Aku tetap di hatimu, Sayang. T
Bab 30Sarah terkejut melihatku tersedak makanan. Segera dia mengambilkan minuman yang ada di depanku. Tangannya yang halus mengelus pundakku."Ada apa sih, Pram? Mengapa kamu nampak terkejut ketika aku menyebut bos yang punya restoran. Adakah yang aneh?" tanya Sarah.Kerongkonganku masih sakit, apalagi tersedak dengan kuah pedas. Rasanya sampai ke hidung dan mata.Aku menggeleng pelan. Wajah Sarah nampak pias ketika melihatku. Dengan cekatan tangannya mengelap keringat yang keluar dari dahiku."Pelan-pelan makannya. Aku jadi gak enak. Pas ngobrol mendadak kamu tersedak.""Gak ada apa-apa. Cuma kuahnya terlalu pedas aja," jawabku membela diri.Mendadak selera makanku langsung hilang. Ingin sekali aku menceritakan perihal Santi kepadanya. Jangan sampai Sarah mengetahuinya terlebih dulu. Atau dia mendapatkan berit
Kami menoleh ke belakang. Sosok wanita muda dan cantik telah berdiri di sana. Rambutnya yang panjang dengan warna coklat tergerai. Dandanannya sangat elegan dan feminim. Wanita itu menatapku."Siapa, Sayang?" bisik Sarah di telingaku."Wanita itu Santi pacarku yang barusan aku ceritakan. Kamu gak cemburu, kan?" tanyaku."Ooh. Cantik, ya," bisik Sarah.Santi melangkah mendekatiku dan Sarah. Dengan langkah yang agak sombong dan tatapan yang tidak suka."Hai, Pram," sapa Santi." Malam, Bos," jawabku sopan." Hai, Nyonya," sapa Santi kepada Sarah." Malam juga, Non," jawab Sarah.Santi menatapku lama. Lalu tatapannya beralih kepadaku."Wah, dunia ternyata sempit ya," sindir Santi dengan tatapan aneh.Dengan sigap aku mer
Bab 32Sarah memberikan ponsel itu kepadaku. Mengapa raut mukanya berbeda. Sambil kupeluk tubuh mungilnya kubuka panggilan yang tidak terjawab.Aku tersenyum. Ketika melihat siapa yang telah mengganggu kami. Ternyata Santi yang menelpon. Ada apakah wanita itu menelponku?"Kamu cemburu, ya?" godaku dengan mencubit hidungnya."Mungkin dia tidak rela. Laki-laki yang selama ini telah mengisi hidupnya bersanding dengan seorang wanita yang sudah tua," kata Sarah dengan mulutnya yang dimajuin."Sudahlah. Kita tidak bisa merubah masa lalu, kan? Masa laluku dan masa lalumu akan menjadi pelajaran yang berharga untuk langkah ke depannya. Mungkin kita akan menghadapibersama-sama." kataku untuk menghibur Sarah.
Bab 33Siapa yang menelpon? Kuraih gawai yang disodorkan Sarah. Aku pikir panggilan dari Santi. Ah … mengapa Santi lagi, sih?Aska?Ternyata putra pertama Sarah yang menelponku. Memang hampir seminggu, aku jarang berkomunikasi dengan anak itu. Aku juga kangen dengannya. Kupandang Sarah sebentar, dia hanya mengangguk."Hai … Aska!" sapaku memulai panggilan "Mas Pram?!" teriak Aska di ponsel."Aska kangen, Mas," katanya lagi." Kapan Mas Pram balik ke Jakarta? Mommy juga pergi ke Palembang, Mas. Kalian ketemu gak di sana?"Deeg … bagaikan sembilu yang mengiris hatiku. Haruskah aku berbohong. Aku hanya diam. Bergeming. Entah apa yang h
Bab 34"Ada apa, Yang?" tanyaku curiga melihat raut wajah Sarah."Ayo kita pulang, Pram. Sore ini kita harus pulang ke Jakarta," kata Sarah dengan nafas yang tidak teratur."Ada apa?!" tanyaku lagi dengan mempercepat jalan.Sebuah taksi berhenti tepat di depan kami. Sarah nampak tegang. Dia hanya diam, sementara tangannya sibuk dengan ponselnya. Dia memesan dua tiket Palembang-Jakarta sore ini."Serius ini?" tanyaku lagi.Dia mengangguk. Perlahan bulir air mata jatuh dari kedua matanya. Wajahnya berusaha tegar. Walaupun, terjadi sesuatu yang begitu membuatnya bersedih.Ada apa dengan istriku?