Share

My Sweet Doctor
My Sweet Doctor
Author: Fii

--- 001

Adefi Putri Trisya, hanya seorang gadis berumur 19 tahun dengan keadaan ekonomi pas-pasan serta penampakan biasa. Depan-belakang sangat biasa, tanpa ada lekukan di tubuhnya membuat orang-orang yang minim ahklak memanggilnya tepos, papan cucian, triplek, daun lidi dan segala hinaan lainnya yang membuat Fi- nama panggilan Adefi sakit hati.

Sebagai anak satu-satunya dalam keluarga Fi diharuskan untuk bekerja keras, menanggung semua beban di pundaknya sendirian. Mungkin selama ini anggapan bahwa anak satu-satunya akan menjadi anak emas yang selalu disayang salah. Selama ini Fi tidak pernah merasakan kebahagiaan tersebut.

Saat teman-temannya sibuk hangout di cafe-cafe terkenal, Fi sibuk mencuci pakaian laundry di tempat orang. Ketika mereka disibukkan dengan hubungan percintaan, Fi menutup dirinya dan memilih belajar mati-matian untuk meraih cita-citanya. Dia cukup sadar diri, sebagai anak dengan keadaan ekonomi yang menyedihkan tidak seharusnya mengharapkan kehidupan glamour seperti orang-orang di sekitarnya.

Maka dari itu baginya, satu-satunya jalan agar dia bisa lepas dari jerat kemiskinan ini dengan belajar bersungguh-sungguh dirinya akan sukses di suatu hari nanti.

Orang tua? Bagi seorang Adefi orang tua hanyalah sepasang orang egois yang menyelamatkan dirinya sendiri. Ibunya yang sejak umurnya 7 tahun pergi tanpa meninggalkan senyuman di hari kepergiannya, bersama lelaki lain. Tidak ingin terikat lagi dengan keadaan suaminya yang payah dalam mencari nafkah. Dan dirinya yang berakhir menjadi sasaran pelampiasan akan kekesalan ayahnya. 

Ayah Adefi menjadi kacau saat kepergian istrinya, tuak dan judi menjadi pelariannya. Utang dan tagihan terus menerus berdatangan dan mengharuskan Fi mencari nafkah ketika umurnya menginjak angka 9 tahun. Bekerja banting tulang menafkahi ayahnya sendiri.

Merasakan rasanya didewasakan saat dirinya masih terlalu kecil untuk memahami kerasnya kehidupan.

Hingga saat dirinya menginjak bangku perkuliahan, ayahnya sama sekali tak mendukung niat baiknya itu. Dia justru memaksa putri semata wayangnya untuk bekerja lagi dan lagi agar dirinya bisa terus berjudi.

Tidak ada yang bisa Fi lakukan, selain dirinya tidak ingin kehilangan satu-satunya keluarga yang dimiliki, dia masih yakin ayahnya akan berubah suatu saat nanti. Meskipun dengan bayaran dia akan terus menerima tamparan dari tangan kasar lelaki itu.

Hingga pada suatu hari yang mendung, di saat dia baru saja pulang dari rumah majikannya. Dengan tubuh letih kehabisan tenaga, Fi mengetuk pintu rumah dan mendapati seorang lelaki tua duduk di hadapan Ayahnya. Dengan kumis tebal di sertai dengan mata keranjangnya yang memicing tajam. Mereka seolah telah sampai pada kesepakatan terakhir.

Di detik itu entah mengapa jantung Fi seolah berhenti, dia dapat membaca ekspresi Ayahnya tersebut. Ekspresi puas yang hanya ditunjukkannya sewaktu dia mendapatkan uang hasil bekerjanya.

Lelaki berkumis tebal itu keluar, Fi bukannya tidak kenal dengannya. Lelaki yang telah menikahi 3 orang wanita muda di desa mereka. Lelaki mata keranjang itu belakangan dikatakan sedang mencari calon istri lagi dan baru kemarin juga ayahnya mengatakan bahwa dirinya memiliki utang kepada orang tersebut.

"Ayah... Jangan bilang..." Pelupuk gadis itu digenangi air mata, pundaknya seolah jatuh ke lantai. Tak sanggup lagi dirinya jika mendengar kata-kata tersebut keluar dari ayahnya. 

"Kamu bakal dinikahkan dengan Pak Jamal, maafin Ayah, Fi."

"Yah... Gak bisa gitu. Selagi aku masih ada tangan sama kaki, aku masih bisa nyari uang. Berapapun aku kumpulin, kalau ayah butuh uang juga selama ini aku kasih kan? Asalkan jangan dinikahin begini Yah."

Tenggorokan gadis itu tercekat, dia masih berusaha menahan isak tangis, menggigit bibirnya sekuat tenaga hingga akhirnya tak bisa tertahan lagi.

"Pak Jamal bakal datang melamar, jangan keras kepala atau kamu yang ayah tampar." Ayahnya seolah tak mempedulikan kata-kata anak semata wayangnya, yang terbayang di kepalanya saat ini hanya segepok uang. Dia tak membutuhkan gadis itu lagi. 

"Ayah!"

"Jaga bicaramu, Adefi!!" Bentak ayahnya lebih keras, kaki gadis itu mundur beberapa langkah. Merinding jika ayahnya itu mengamuk dan menghantamkan kepalanya di sudut laci meja seperti biasanya. Fi gemetaran kala nyalang merah di mata ayahnya menatap tajam.

"Keputusan ayah sudah bulat, kamu bakal dinikahkan. Memang kamu pikir mau jadi apa dengan kuliahmu itu, hah?!" 

Saat-saat seperti ini Fi tahu ke mana arah pembicaraan akan berakhir, dia menyandarkan punggungnya di dinding kayu. Suaranya tertahan dan terdengar ketakutan. "Aku udah berjuang dari kecil, buat bisa sekolah, biar bisa sukses dan bahagiakan Ayah. Dan berharap Ibu bakal kembali kalau lihat aku udah kaya.Kurang apa aku jadi anak? Sekali ini aja yah, Fi minta tolong. Jangan nikahin aku sama orang tua itu!"

Pak Jamal yang dimaksud Fi memang sudah menginjak umur 50 tahun, siapa yang ingin dinikahkan dengan lelaki bau tanah berhidung belang sepertinya. Mimpi buruk. Adefi tidak bisa membayangkan kehidupannya setelah menikah nanti.

"Fi, kamu sayang sama ayah kan?" Tiba-tiba nada bicara laki itu melembut, membuat lagi-lagi Fi tak sanggup menahan kesedihannya.

"Sayang, Ayah..."

Suaranya melemah.

"Kalau begitu ikut kata ayah. Ini semua demi kebaikan kamu. Kebaikan kita. Ayah gak akan sanggup nafkahin kamu. Kalau ayah mati nanti, cuma suami kamu yang bisa menjaga kamu. Kasih makan kamu. Jadi tolong jangan buat Ayah kecewa, ya."

Pintu rumah tertutup, meninggalkan Fi menangis di sudut ruangan tamu. Menangis dalam diam. Bibirnya bergetar hebat. Bunyi hujan yang begitu gemuruh di atas genteng tenggelam, sama sekali tak dirasakannya apapun lagi.

"Semuanya yang aku punya, semua yang aku lakuin buat kalian. Kenapa gak ada sedikitpun rasa peduli sama aku, Ayah... Ibuk..."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mirles
kisah yang menyedihkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status