Share

--- 003

Dari kejauhan terdengar suara air hujan mulai jatuh membasahi bumi, aliran air mulai muncul di atas tanah mengarah ke arah selokan. Untungnya Fi sudah lebih dulu sampai ke rumah, tas yang tadinya digunakan untuk melindungi kepalanya kini ia tepuk-tepuk. 

"Anak ayah... Ayo masuk dulu."

Tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil dari belakang, entah mengapa sikapnya begitu lembut ia juga tak tahu. Lelaki tua itu telah menunggunya di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, dengan sepiring gorengan di depan dan juga makanan yang terlihat enak. Sangat jarang sekali lelaki itu membelikan makanan warung.

"Makan dulu."

Banyak pertanyaan muncul di benaknya namun Fi juga tak mau menyia-nyiakan kebaikan ayahnya yang sangat langka ini. Meskipun dia tahu lelaki itu sebentar lagi akan menikahkannya dengan pria hidung belang. Fi masih menganggapnya sebagai ayah.

Tidak terucap satu patah kata pun dari mulut lelaki itu, sebelum akhirnya Fi mengatakan dia mau mandi dan segera mengerjakan tugas. 

"Kamu harus segera bersiap dengan pernikahanmu, Fi. Lupakan sekolahmu itu."

Anaknya menelan ludah dengan susah payah, seolah ada pisau yang menusuk tepat di jantungnya entah dari mana. Atau dari omongan ayahnya sendiri?

Menguatkan pijakan, akhirnya Fi berlalu tanpa menjawab apapun. Dia segera membersihkan diri dan mengumpulkan binder serta buku-bukunya. Pandangannya berangsur dari atas kasur ke arah lemari. Dia tidak meninggalkan kamarnya dalam keadaan berantakan begini seingatnya.

Seprei yang sudah tak karuan dan beberapa helai pakaian yang berhamburan ke lantai, lantas Fi langsung membereskannya dan teringat dengan sesuatu. Dia agak mencurigai dari mana ayahnya dapat membeli makanan seperti tadi sementara lelaki itu sama sekali tidak bekerja.

Jika benar dugaannya...

Kosong.

Tidak ada amplop berisi uang hasil bekerjanya, uang yang akan digunakannya untuk membayar uang SPP nanti. Semuanya sirna. Bahkan sepeserpun tak tertinggal di sana.

"A... Yah..." tangis gadis itu mulai sesak, ayahnya sudah menatapnya lekat-lekat di daun pintu. "Lupakan saja impianmu itu, sebentar lagi pak Jamal akan menikahimu."

"Tapi ayah gak berhak ngambil uang hasil kerja aku- itu satu-satunya yang aku punya. Setengahnya udah kukasih ke ayah... Hikss... Kenapa masih ngambil uang aku, yah..., Kenapa?!"

Dia tahu walaupun menangisi uangnya semalaman pun takkan menghasilkan apa-apa. Lelaki itu sudah menghamburkannya untuk kesenangannya sendiri.

"Memang mau kamu pake buat apa lagi? Buat kuliah?! Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya cuma bakal dipake di dapur sama kasur!"

Selalu kata-kata itu yang keluar dari mulut ayahnya. Fi tidak tahan lagi. 

"Aku udah cukup sabar sama ayah. Dari kecil sampe sekarang, mau ayah pukulin, mau ayah hina aku, mau ayah usir dari rumah. Aku tetap bertahan di sini, karena aku sayang sama Ayah."

"Apa? Sekarang kamu memang mau kabur dari rumah? Heh, memang punya tempat tinggal?"

Satu-satunya alasan mengapa Fi tetap bertahan di rumah tua ini karena memang dirinya tak memiliki tujuan dan tempat tinggal. 

"Gak punya, kan?! Makanya jadi anak tau diri sedikit. Bukannya dibesarkan untuk menurut malah jadi pembangkang!"

Fi memeluk lututnya ketakutan, lelaki tersebut sudah bersiap dengan sapu di tangannya. Untuk memberikan pelajaran pada anaknya yang sudah menginjak umur 19 tahun. Sama halnya seperti dirinya masih kecil, pria itu tak pernah berubah. Tetap menyakitinya dan bersikap seolah menguasai semuanya di bawah telapak tangannya.

Lebam dan memar mulai terasa di pundak dan tubuh Adefi, gadis itu meringkuk kesakitan menahan kemarahan ayahnya. Hingga dua jam berakhir, dengan tubuhnya yang seolah mati rasa dan air hujan yang tak kunjung reda semalaman. Fi bangun sempoyongan, ayahnya sudah pergi keluar. Apalagi jika tidak menggunakan uang sekolahnya tadi untuk mabuk-mabukan.

Air mata kembali menetes di matanya, suara gadis itu serak. Tak memikirkan banyak hal lagi dia segera mengemas barang-barangnya, tentu untuk meninggalkan rumah yang telah menjadi tempatnya berteduh selama ini. Mungkin dia akan sangat merindukan tempat ini, namun tidak dengan kenangan buruk di dalamnya.

Untungnya ayahnya memang tidak akan pulang hingga besok pagi, Fi bisa langsung kabur tanpa hambatan. Berulang kali mengusap pipinya, masih menangis kecil. Tidak terasa lagi luka di tubuhnya. Hanya kesedihan mendalam yang tergambar jelas di wajah gadis itu.

"Ayah, aku pergi dulu. Tolong jangan cariin, mau aku mati di manapun nanti. Aku memang anak durhaka, jadi ayah gak perlu repot-repot memakamkan mayatku nanti." Sedikit gentar hatinya kali ini, pertama kali dirinya meninggalkan rumah. 

°°

Jam telah menunjukkan ke angka sembilan malam, jalanan kota yang diguyur oleh bendungan air banjir tak kunjung surut dari tadi. Beberapa orang telah kembali ke rumah mereka masing-masing, berteduh dan tidur. Membuat jalanan yang biasanya ramai menjadi lebih sepi, tak sedikitpun sinar bulan muncul di malam yang dingin itu. 

Sedih, kecewa, marah dan takut bercampur aduk semenjak Fi melangkahkan kakinya pergi dari rumah. Dia tidak tahu di mana tempat berlindung, di mana dia akan berteduh dan dengan apa dia akan makan nantinya. Pundak gadis itu gemetaran menahan dinginnya angin sejuk kala melalui trotoar jalan.

Kembali perutnya berbunyi, dia hanya memakan sedikit gorengan yang dibawakan ayahnya sore tadi. Lapar. Haus. Dan kedinginan. Napas Fi memberat. 

Sebuah mobil berlalu begitu saja, air yang menggenangi jalanan terciprat membasahi jaket miliknya. Membuat pakaiannya basah sekaligus kotor. Ingin rasanya dia memprotes namun si pemilik mobil telah lebih dahulu melajukan mobilnya. Barang bawaannya pun hanya beberapa lembar baju dan buku-buku. Tanpa sepeser pun uang bahkan untuk membeli makanan nanti.

Langkah kakinya msih terus berjalan menyusuri jalan, setidaknya jarak dari rumahnya agak jauh. Dengan begitu ayah tidak akan menemukannya dengan mudah. Namun tak begitu lama hujan deras kembali turun, memaksa Fi untuk berhenti sementara di depan kios-kios terbengkalai. Sendirian menatapi air hujan yang jatuh dari atap-atap genteng. Dia mengusap bajunya yang terkena cipratan air tadi. Agar nantinya tidak terlalu dingin.

Sambil berharap hujan mereda. Satu-satunya tempat yang dapat diharapkannya hanyalah rumah bibinya yang tak begitu dari sini. Fi tak begitu yakin apa wanita itu akan menerimanya atau tidak tapi jika dia menjelaskan situasi mungkin wanita itu akan menaruh iba padanya dan membiarkan Fi tinggal satu atau dua hari di rumahnya.

Sebelum tiba ke rumah bibinya itu Fi mungkin akan mengabarinya. Dia mengeluarkan ponsel. Terdengar suara bibinya tak berselang lama.

"Halo? Hah, ada perlu apa kamu telepon malam-malam?" Nada bicara tak bersahabat itu memang sudah biasa didengar Fi.

"Bi, aku boleh tinggal gak di rumah bibi barang satu atau dua hari? Soalnya-"

"Gak, gak bisa!"

Penolakan mentah-mentah itu langsung dilontarkannya tanpa pandang bulu. "Beras di rumah saya saja udah gak cukup buat kasih makan tiga anak saya. Sekarang mau nambah kamu lagi, makan apa kami nanti?"

"Aku bisa cari uang sendiri kok Bi, sisanya nanti aku-"

"Gak bisa pokoknya gak bisa! Sudah saya mau tidur. Jangan pernah telpon saya lagi!"

Untuk hari ini mungkin Fi memutuskan untuk tidur di jalanan, kedinginan dan ketakutan menemaninya di malam panjang tersebut.

Tak terasa kembali matanya menghangat. Hanya bisa menatap langit mendung di atas sana.

Pada akhirnya tetap tidak ada yang bersedia menerima kehadirannya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mirles
sungguh malang nasibmu Fi, aku jadi ingin menangis .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status