Share

Part 11

"Jika kamu adalah perjalanan paling jauh untukku, semoga ujungnya berakhir indah, ya."

----------

Kanaya Naratama

Eh? Pencuri?

Tapi dia seperti nggak asing deh, aku pandangi orang yang berjalan mendahului ku itu, walaupun cuma bagian belakang yang bisa ku lihat, aku sudah tau siapa dia.

"Alfizam." Gumam ku lirih.

"Al, ada perlu ya?" Tanyaku, aku pun menghentikan langkahku.

          Al hanya diam dan terus melangkahkan kakinya. Aku berlari kecil menyusul langkahnya yang panjang-panjang. Aku hampir lupa kalau Al kan gak ngomong sama sembarang orang, dan tante Marta juga pernah bilang kalo dia itu dingin kayak es batu.

"Hei Al terimakasih tapi aku bisa sendiri kok." Aku berusaha menarik tas laptopku kembali, tapi Al sama sekali gak bergeming, aku sudah menarik kuat-kuat tasku tapi percuma saja.

"Al, sebenarnya kamu mau apa sih?" Tanyaku kesal. Tuh kan nggak dijawab lagi.

Aku pun mengikutinya hingga sampai ke sebuah mobil yang terparkir di depan kampus. Alfizam segera membuka pintu penumpang untukku.

"Masuk." Ujarnya singkat.

"Eh, nggak usah, aku naik taksi aja." Aku berusaha mengambil tas laptopku yang masih ada ditangannya.

"Aku antar pulang." Katanya masih dengan ekspresi datarnya.

"Tapi...."

"Udah masuk." Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, Al udah terlebih dahulu memotong ucapanku. Dia juga langsung memasukkan tas laptopku ke dalam mobilnya.

"Ya Allah, nih anak kalo bukan anaknya om Sam udah aku cakar-cakar wajahnya yang tampan itu." Gerutuku dalam hati.

          Aku pun langsung masuk ke dalam mobil, saat di dalam mobil sudah ada Alvaro yang duduk di kursi kemudi.

"Hai, Bu dosen calon kakak ipar." Sapa Varo tiba-tiba.

"Eh Varo, mau pulang ya?" Tanyaku.

"Iya mbak, tadi bang Helga telfon katanya suruh nganter mbak Naya pulang." Jelas Varo yang langsung mengemudikan mobil.

"Oh" Jawabku singkat.

          Alfizam dan Alvaro itu kakak beradik, tapi herannya sifat mereka beda 180°. Kalau Varo yang ceria dan banyak bicara sedangkan Alfizam, sumpah dia itu datar kayak triplek plus dingin kayak es batu.

"Mbak bawa apa itu?" Tanya Varo melihat paper bag yang aku bawa.

"Oh, ini coklat, kamu mau?" Tanyaku pada Varo.

"Nggak, aku nggak suka coklat, emang dari siapa kok keliatannya banyak banget?" 

" Entahlah, tiba-tiba udah ada di mejaku pas aku selesai ngajar, mau di buang mubazir, mana coklatnya mahal-mahal lagi." Balasku.

"Paling dari penggemar mbak Naya atau mungkin dari calon suami mbak." Goda Varo yang kulihat dia melirik ke arah Al.

"Nggak lah." Sanggah ku pada Varo.

"Tapi mbak suka kan?"

"Iya lah, ini kan....."

"Kesukaan kamu." Al memotong ucapanku.

"Sok tau deh Lo bang." Varo melirik Al yang sedang memainkan iPhone-nya.

"Bodo."

"Jangan-jangan Lo yang......"

Sebelum Varo menyelesaikan ucapannya, Al sudah terlebih dahulu menyentil kening Varo.

"Awww" Varo memegangi keningnya yang terasa sedikit sakit.

Melihat tingkah kedua kakak beradik itu, aku hanya geleng-geleng kepala.

----------

          Karena ada urusan yang harus Varo selesaikan, ia tidak bisa ikut mengantar Kanaya pulang. Varo baru saja mendapat telfon yang mengharuskan dirinya segera ke cafe barunya. 

"Mbak Naya, maaf ya nggak bisa anterin mbak pulang, ada yang harus aku urus di cafe." Varo segera menghentikan mobilnya setelah tiba di sebuah cafe kekinian yang sedang banyak pengunjung.

"Terus aku pulang sama siapa dong Ro." Kanaya sedikit khawatir kalo dia harus diantar pulang Dinnar. Siap-siap senam jantung, kalau hanya berdua dengan Dinnar.

"Biar diantar bang Dinnar, ya bang?" Varo melirik abangnya namun Dinnar hanya diam.

"Tapi....."

"Tenang mbak, bang Dinnar nggak bakalan macem-macem, entar kalau macem-macem, aduin aja sama bang Helga. Palingan juga di gantung di Monas." Gurau Varo yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Dinnar.

          Setelah Varo masuk ke dalam cafe, Dinnar segera melajukan mobilnya. Selama dalam perjalanan hanya ada keheningan, tidak ada obrolan sama sekali. Namun sesekali Dinnar melirik Kanaya, terlihat Kanaya sedang memainkan Hpnya. Dinnar pun tersenyum melihat Kanaya.

           Tapi selang beberapa menit mobil yang dikendarai Dinnar dan Kanaya tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Saat menyadari mobil sudah berhenti, Kanaya segera memasukkan Hpnya ke dalam tas. 

"Eh, udah sampai ya?" Kanaya bertanya pada Dinnar namun saat menyadari dimana dia berada ia bingung, pasalnya bukan di depan rumah malah berada di depan sebuah pusat perbelanjaan.

"Kok...." Kanaya menghentikan ucapannya saat tau Dinnar sudah keluar dari mobil.

           Kanaya melihat Dinnar keluar dari mobil kemudian berjalan dan membukakan pintu untuknya. Matanya terpesona dengan pemandangan yang ada di depannya. Sosok laki-laki dengan tubuh tinggi atletis dibalut dengan pakaian khas eksekutif muda dan tak lupa dengan kacamata hitam yang menambah kadar ketampanannya. Dan 100% bakal menghipnotis wanita yang melihatnya tak terkecuali dirinya.

"Hello…." Dinnar melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Kanaya.

"I-iya, ada apa?" Tanya Kanya gugup.

"Kenapa bisa grogi gini sih, fokus Nay fokus." Batin Kanaya dalam hati.

"Turun." Perintah Dinnar.

          Kanaya pun turun dari mobil, masih dengan perasaan gugup tapi juga bingung. Kenapa ada disini bukanya pulang ke rumah.

"Ayo." Ajak Dinnar, walaupun masih irit ngomong tapi kali ini sudah sedikit berekspresi.

"Kemana? Bukannya kamu mau nganter aku pulang ya?" Walaupun masih gugup, Kanaya memberanikan dirinya untuk bertanya.

"Ada urusan yang harus aku selesaikan, nanti aku antar pulang. Aku sudah izin om Diga, kalo nanti kamu pulang sedikit terlambat." Jelas Dinnar.

          Kanaya mengikuti langkah Dinnar. "Kenapa kamu dibelakang ku? Kamu bukan sekertaris ku, jadi berjalan di sampingku." Kanay mempercepat langkahnya dan mensejajarkan langkahnya dengan Dinnar.

"Kamu itu calon istri ku, Kanaya Naratama." Batin Dinnar.

    Sampai di dalam pusat perbelanjaan itu, Kanaya dibuat takjub. Pasalnya semua karyawan yang berpapasan memberi hormat pada laki-laki yang berada disampingnya itu.

    Terlihat Dinnar menghampiri seorang laki-laki, dan mereka terlihat sedang ngobrol serius, Kanaya pun hanya bisa menunggu. Saat menunggu Kanaya dibuat kesal oleh orang-orang disekitar. Tak hanya pengunjung tapi tingkah karyawan pun membuat mood Kanaya buruk.

Bersambung......

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fadly Achmad A
rqwyueddrr
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status