Share

Dunia Tara

Gadis itu sedang duduk di cafetaria sambil memandangi selembar kertas yang ada di hadapannya.  Krisna tak tahu, bertemu dengan Bam adalah sebuah kesialan atau keberuntungan hang harus dia syukuri adanya. Karena setelah pernah kehilangan banyak hal waktu itu, Bayu menjadi hal terakhir yang membuat Krisna bertahan hidup. Mimpi dan segala rencana prihal membangun keluarga kecil yang bahagia dengan pria itu, memberikan Krisna langkah dan tujuan baru.

Namun sekarang apa? Krisna bahkan tak tahu kenapa dia harus mempertahankan hidupnya. Dasar Bam saja yang seenaknya menyelamatkan Krisna, lalu memperbudaknya sebagai imbalan? tcih! tidak adil.

Saat gadis itu tengah asik bergelut dengan banyak pikiran di otaknya, tiba-tiba seorang pria menyeret kursi yang ada di sebelah Krisna, lantas duduk di sana. Membuat Krisna menoleh.

"Eh, Pak?"

"Duh, jangan panggil gitu dong," katanya sambil tercengir, "orang masih muda gini masa dipanggil Pak."

"Tapi kan Bapak yang punya perusahaan," jawab Krisna canggung, "saya takut nggak sopan."

"Krisna ... santai aja. Lagi pula kamu bukan karyawan sini. Jadi menurutku nggak masalah mau panggil aku apa aja. Please, yang menyebalkan cukup Bam aja, kamu gak usah ikut-ikutan."

Perkataannya membuat Krisna tertawa, "beneran nggak apa-apa?"

"Of course ..."

"Oke ... Kevin."

"Nah, kalau gitu kan kedengarannya akrab." Pemuda tampan itu menaik-turunkan alisnya.

Tiba-tiba, seorang wanita muda yang menggunakan jeans, kaos putih press body yang hanya mampu menutup sampai atas pusar, serta kacamata hitam bertengger di atas kepalanya itu menghampiri Kevin.

"Hei, Vin! kamu lihat Bam? aku dari kantornya barusan tapi dia nggak ada," tanyanya.

"Biasa. Meeting di luar. Emangnya nggak ngabarin dulu kalau kamu mau ke sini?"

Perempuan berwajah barat dengan hidung kecil yang lancip itu terlihat menghela napas, lantas menyeret kursi di sebelah Kevin dan duduk di sana. "You know lah. Kalau kubilang mau kesini, pasti anak itu bakal cari alasan untuk menghindar. Nggak bakal ketemu."

"Memangnya kalau dadakan gini bakal ketemu?" ledek Kevin dan hanya di balas dengan mengangkat kedua pundaknya pasrah.

"Ada yang penting? bilang aja ke asistennya. Nanti dia bakal kasih tahu Bam."

"Asisten Bam?" Sebelah alis Grace terangkat naik.

Ekor mata Kevin terarah pada Krisna. "Asisten barunya Bam."

Mata besar dengan bulu mata lentik Grace membulat. "Kamu Krisna?"

Krisna terheran saat wanita cantik di hadapannya menatap dia dengan tatapan seperti itu. Namun yang lebih membuatnya heran, dia yakin bahwa dirinya sama sekali tak mengenali wanita itu. "Kok bisa tahu nama saya?"

Kevin menunjukan eskpresi yang tak kalah herannya pula.

"Oh, maaf ..." Grace terlihat berusaha menekan ekspresinya, dan tersenyum kecil. "Kenalin aku Gracyca Julya Febranta. Kakak Bam," lanjutnya.

Krisna menjabat tangan Grace yang terasa dingin. "Namanya terdengar nggak asing..."

"Aku dulu pernah berkerja sama dengan Winde Grup sebelumnya," jawab Grace membuat Krisna kembali mengingat bahwa wanita di hadapannya sekarang ialah seorang model yang beberapa kali sempat menjalin kerja sama dengan perusahaan milik pak Gio.

Krisna hanya menganggukkan kecil kepalanya. "Senang bertemu dengan anda."

"Santai aja. Nggak perlu terlalu formal," ucap Grace. "Tapi... gimana bisa?" Kini dia menatap Kevin dengan dahi yang berkerut.

Kevin mengangkat kedua pundaknya, "aku juga penasaran."

Lalu mereka berdua kompak memandang ke arah Krisna secara bersamaan. Baru saja Grace akan membuka mulutnya, sebuah panggilan menghampiri ponsel Grace dan membuatnya dengan segera mengambil benda persegi itu dari dalam tas.

"Halo ... Iya ... Sekarang?" Grace melirik arloji rosegold di lengan kanannya sebentar. "Oke aku ke sana sekarang, ya. Bye ..." Dia memutuskan sambungan.

"Sebenernya banyak banget yang pingin kutanyakan, tapi aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa, Krisna. Kapan-kapan kita harus keluar bareng, ya." Grace beranjak sembari tersenyum. Tak lupa juga melambai-lambaikan tangannya sebelum benar-benar menghilang.

"Apa?" tanya Krisna pada Kevin yang masih menatapnya dalam, tanpa berkedip sedikit pun.

"Enggak ..." ia lantas menggelengkan kepalanya.

Kevin dan Bam benar-benar dua kepribadian yang bertolak belakang. Jika di dunia ini Tuhan menciptakan makhluk seperti Bam sebagai bongkahan batu, maka Kevin adalah air yang mengalirinya. Pria itu sangat hangat dan bersahabat. Caranya bicara, tatapannya, serta caranya memandang orang lain sungguh menenangkan.

Kevin mengenal Bam saat mereka sama-sama menuntut ilmu di salah satu universitas terbaik di Jerman, kemudian tak sengaja bertemu kembali beberapa tahun lalu, ketika Bam menawarkan diri untuk bekerja sama membantu Kevin membangun kembali perusahaan milik papa Kevin yang hampir bangkrut.

Darinya juga, Krisna jadi tahu beberapa hal tentang Bam termasuk fakta bahwa es batu bernapas itu merupakan orang yang sangat tertutup, bahkan dengan keluarganya. Ia benci sekali dengan sesuatu yang merepotkan dan intim. Karena itulah Kevin dan Grace lumayan terkejut mengetahui Bam kini punya asisten pribadi, sebab selama ini ia memang tidak punya. Bam selalu bisa mengurus dirinya sendiri. Plus, banyak yang tak tahan dengan sikap tanpa empati Bam.

Satu-satunya teman yang Bam miliki hanyalah Kevin. Meski kadang Kevin tak tahu pantas atau tidak melebeli dirinya sebagai teman Bam. Rasanya untuk seorang teman, Kevin masih merasa belum tahu cukup banyak tentang pria itu.

"Tapi terlepas dari semuanya, dia baik, kok. Cuma menyebalkan aja."

"Menyebalkan banget!" ralat Krisna lantas mereka berdua tertawa.

***

"Sudah ditandatangani?" tanya Bam pada Krisna.

Mereka sudah berada sebuah restoran siap saji yang letaknya tak jauh dari kantor Bam.

Krisna mengangguk mantap, dan menyodorkan benda itu.

"Oke bagus. Saya anggap aku sudah paham dengan apa yang tertulis di dalam sana. Ini tugas dan agenda kamu mulai besok." Bam menyerahkan kertas lainnya, kemudian mulai memesan makanan.

Lengan Krisna meraih lembaran itu. Dia hanya menelan ludahnya ketika mendapati banyak tulisan yang tercetak di sana. Kepalanya pening. Krisna hanya melihat dan membolak-baliknya sekilas. Sebagian besar isinya hanya informasi soal Bam. Jam berapa Bam bangun, jam berapa dia makan, apa yang dia sukai, apa yang tidak Bam sukai. Mungkin rasanya akan seperti ... mengurus bayi.

Seorang bayi raksasa yang menyebalkan.

Setelah itu tak ada lagi percakapan. Beberapa menit kemudian, pramusaji datang dan menyajikan menu andalan restoran mereka. Lantas Bam dan Krisna menikmati makan malam tanpa obrolan sedikitpun.

"Kamu bisa menyetir?" tanya Bam yang dibalas anggukkan oleh Krisna.

Pria itu kemudian memparkan kunci di tangannya kepada gadis itu.

"Langung pulang ke rumah?" tanya Krisna pada pria yang sudah duduk di sampingnya.

"Kita perlu belikan kamu running shoes. Kamu bahkan enggak punya baju untuk lari."

"Lari?"

"Iya lari."

Krisna baru ingat kalau jadwal Bam setiap bangun tidur adalah lari pagi. Namun, Krisna sama sekali tidak tahu jika itu artinya Krisna harus menemaninya. Demi seember es krim gratis, Krisna sangat benci kegiatan satu itu.

"Tapi aku nggak pernah lari pagi sebelum ini, Bam. Bisa nggak yang satu ini dinego?" Krisna setengah memohon sambil memelaskan wajahnya.

"Saya tidak sedang mengajak kamu bernegosiasi, Na!"

"Tapi kalau nanti aku malah cidera, gimana? atau malah merepotkan kamu karena pingsang di jalan, gimana? ..." Krisna berkelit. Untuk alasan apa-pun. Apa saya, asal bukan lari.

Bam menghela napas singkat. "Saya benci sekali direpotkan. Tapi ini semua demi kebaikan kamu juga. Biar kamu sehat. Kalau kamu jadi penyakitan karena malas olahraga, kamu akan lebih merepotkan saya."

Krisna memanyunkan bibirnya. "Kayanya manusia nggak akan jadi penyakitan semudah itu, deh."

"Sepertinya, manusia juga tidak akan pingsan semudah itu, deh. Jadi tidak ada alasan."

Baiklah ... sepertinya, mulai besok neraka sebenarnya baru akan dimulai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status