Share

Sebuah Kesepakatan

Sebuah tangan menarik tubuh Krisna, sesaat sebelum sebuah mobil besar menghantamnya, hingga membuat mereka terjatuh di sisi jalan.

"Kalau mau mati jangan di sini! nyusahin orang lain saja."

Krisna mendapati wajah yang kini tidak asing lagi untuknya. Tiba-tiba saja, tangis gadis itu pecah. Timbul perasaan bersalah dibenak Bam. Apa kalimat yang dia ucapkan barusan menyakiti gadis itu? tapi Bam sungguh tak tahu bagaimana cara menghibur seseorang dengan kata-kata.

Dapat Bam lihat wajah gadis di hadapannya tertutupi rambutnya yang basah berantakan. Matanya yang sesekali memejam itu mulai tampak sembab. Bibir mungilnya yang terisak, memucat. Bam kemudian mengambil tubuh Krisna dan mendekapnya kuat-kuat. Membiarkan gadis itu tenggelam dengan setiap sakitnya di dada Bam, dengan tangis yang bersaut-sautan dengan suara hujan yang semakin mendera.

Mereka berdua sudah duduk di dalam mobil Bam. Mulut Krisna masih terkunci rapat. Iris cokelatnya menatap kosong ke depan. Bam mengambil sebuah handuk kecil yang terletak di kursi belakang, lalu menyodorkannya pada Krisna.

"Keringkan rambut kamu. Nanti masuk angin."

Krisna tersenyum miring. "Andai rambut basah bisa bikin orang mati," gumamnya pelan, tanpa mengambil handuk yang Bam tawarkan.

Bam berdecak sekilas, lantas menutupi kepala gadis itu dengan handuk, dan mulai mengeringkan rambut gadis yang penampakkannya persis seperti mayat hidup itu.

"Rambut basah yang dibiarkan, emang tidak akan bikin orang mati. Tapi bisa bikin orang demam. Kalau demam, mungkin ada yang bisa bikin orang mati," jelasnya. Dia menghentikan gerakan tangannya di kepala Krisna, dan mengambil satu buah handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya. "Tapi jangan mati dulu. Nanti saya repot, soalnya orang yang terlihat terakhir bersama kamu itu saya."

"Kenapa kamu nyelametin saya?"

"Soalnya saya kasihan lihat orang yang nabrak kamu akan kesusahan nantinya. Dia bisa saja masuk penjara hanya karena perbuatan bodoh kamu," ucap Bam yang berhasil membuat Krisna merasa tampar.

Krisna hanya diam. Meratapi dirinya sendiri, yang ketika mati pun masih akan tetep merepotkan orang.

"Kamu sudah makan?" tanya Bam pada gadis di sampingnya.

Krisna menggeleng lemah.

"Mau makan sesuatu?"

Krisna menggeleng lagi.

Bam mengetuk-ketukkan jarinya di kemudi untuk beberapa saat, lalu mulai melajukan mobil sport hitamnya membelah jalanan. Bam memutuskan untuk tak banyak bicara pada Krisna yang tampak sedang sibuk bergelut dengan isi otaknya.

15 menit kemudian, Bam menepikan mobilnya di pinggir jalan.

"Tunggu sebentar dan jangan kemana-mana!" ucapnya sebelum keluar, meninggalkan Krisna sendirian di sana.

"Memangnya aku mau kemana? memangnya ada tempat yang bisa kutuju?"

Krisna menghembuskan napas berat, lalu menyandarkan tubuh ringkihnya di kursi. Dia menutupi wajahnya dengan handuk di kepalanya, kemudian terpejam.

***

"Krisna ... Krisna ..."

Krisna menggeliat kecil, sambil mengusap kedua matanya pelan.

"Bangun, Na. Ganti baju, setelah itu makan."

Krisna duduk dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya.

Satu detik ...

Dua detik ...

Tiga detik ...

Sampai akhirnya dia menyadari sedang berada di mana gadis itu sekarang. Apakah dia sudah ada di surga?

Matanya tertuju pada punggung bidang yang sedang tampak sibuk dengan masakannya. Punggung yang tampak tak asing. Krisna menyipitkan mata, berusaha memahami bahwa yang terjadi tadi benar-benar kenyataan dan bukan sekedar mimpi.

Bam berbalik, lengkap dengan iris kelam, wajah datar, dan aura sedingin kutub utara khas dirinya. Matanya menatap ke arah Krisna sekilas sambil berujar, "Ganti baju dulu sana. Setelah itu makan." pandangannya beralih pada sebuah paper bag yang terletak di tas meja sebelah kanannya.

Krisna menoleh. Ini seperti deja vu. Dengan pria yang sama, pun situasi yang sama pula. Bedanya kali ini Krisna masih mengenakan pakaiannya, yang mulai mengering di badan. Mereka juga tak sedang berada di hotel, melainkan ruangan sebuah rumah yang terlihat amat besar, tapi sepi di saat bersamaan.

Di ruang tempat krisna sekarang, hanya dibatasi oleh sebuah rak dengan ornamen serta tanaman bonsai yang cantik, dari dapur-- tempat Bam berdiri sekarang sambil kembali memunggunginya.

Tanpa pikir panjang, gadis itu segera menyambar paper bag tersebut.

Sebelum Krisna bertanya, Bam sudah mengarahkan telunjuknya ke pintu hitam yang terletak di ujung lorong, untuk memberitahukan bahwa kamar mandinya berada di sana.

Krisna memasuki kamar mandi, kemudian meletakkan benda tersebut di atas wastafel. Dia mematut bayangan dirinya di cermin. Benar-benar tampak mengerikan. Entah sudah yang keberapa kalinya Krisna menghela napas panjang seperti itu. Krisna tidak tahu apakah seharusnya dia mensyukuri kehidupannya, atau menyesali rencana kematiannya yang gagal.

Tangan Krisna bergerak mengeluarkan sebuah flora dress berwarna cerah dari dalam paper bag. Modelnya sederhana, namun terlihat begitu indah. Tentu saja. Dari segi mana pun, Bam memang terlihat memiliki selera yang bagus.

Krisna kembali menghampiri Bam. Langkahnya berhenti di mulut dapur, memperhatikan bagaimana tangan pria itu dengan lihainya mengolah masakan. Menyajikannya di piring, serta menambahkan garnis yang mampu membuat sajian di piring tersebut terlihat sangat menggiurkan.

"Sini duduk," ajak Bam pada Krisna.

Krisna kemudian mengambil posisi duduk pada kursi yang ada di hadapan Bam. Dia hanya diam, sambil memandangi hidangan di depannya.

"Suka lasagna tidak?" tanya Bam.

Namun Krisna hanya diam. Tentu saja bukan karena dia tidak suka, tapi Krisna bahkan tak punya selera untuk makan sekarang ini.

"Jangan keras kepala dan makanlah kalau masih ingin hidup," ucap Bam.

Krisna menatap makanan di hadapannya, lalu mengambil napas panjang sebelum akhirnya tangannya bergerak memegang sendok dan garpu yang ada di sana.

Ingin hidup? Dia saja tidak tahu sekarang masih ingin atau tidak.

Saat memasukan seusapan dengan malas ke dalam mulutnya, mata Krisna membulat seketika. Masakan Bam benar benar sempurna. Bahkan jauh lebih enak dari masakan terenak yang pernah Krisna buat. Krisna menyantapnya dengan lahap dan senyum di bibirnya, seolah-olah makanan tersebut menyihir dan membuat Krisna lupa jika baru saja beberapa menit yang lalu dia bahkan kehilangan selera untuk bernapas.

"Ini enak banget Tara!" ucap Krisna dengan mata yang berbinar-binar.

"Tentu saja," balas Bam sombong, membuat Krisna menyesal telah memujinya. Krisna memanyunkan bibirnya sambil menerima segelas air mineral yang baru saja Bam tuangkan ke gelas Krisna.

"Jadi bagiamana, Nona? masih ingin mati?" ledek Bam, sambil menaikkan sebelah alis tebalnya.

Krisna meneguk habis air dalam gelasnya kemudian menjawab, "Nggak! hanya nggak ingin hidup."

Bam mendekatkan wajahnya ke arah Krisna dengan tangan yang terlipat di atas meja. Krisna sontak memundurkan kepalanya beberapa senti.

"Kalau tidak ingin, bagaimana kalau diberikan ke saya saja," ucapnya sambil menaik turunkan alisnya.

Dahi Krisna berkerut. Tangannya mengusap tengkuk, sambil memaksakan sebuah senyum yang kaku. Baiklah... kalau pria gila ini baru saja bercanda, ini sama sekali tidak lucu.

"Sebelumya, terimakasih untuk makanan dan bajunya, Tara," ucap Krisna sambil berdiri dari duduknya dengan senyum canggung, bersiap melarikan diri.

"Mau ke mana?"

"Pulang."

"Memangnya ada tempat untuk pulang?"

Bukannya menjawab, Krisna justru membalasnya dengan pertanyaan lainnya, "bagaimana kau tahu?"

"Tentu saja aku tahu semua hal tentangmu, Na. Aku juga tahu jika insiden malam itu berhasil membuat namamu masuk dalam blacklist hampir setiap perusahaan," ujarnya kemudian melanjutkan, "haruskah kuucapkan selamat?"

Krisna menelan salivanya dengan susah payah. Pria hadapannya sekarang bukan seorang psikopat yang akan membunuhnya, kan? memotongnya menjadi bagian-bagian kecil kemudian menyimpannya di dalam kulkas besar itu hanya karena kini dia tahu bahwa Krisna tak punya siapa-siapa.

Bam tersenyum tipis melihat wajah Krisna sekarang ini, "untuk apapun yang sedang ada di kepalamu saat ini, tolong hentikan itu. Itu melukai harga diriku."

"Tapi kenapa kamu baik denganku?"

"Aku? baik denganmu? Baiklah ... hanya karena di hidupmu, kau tidak menemukan orang baik, bukan berarti orang baik itu tidak ada," jedanya beberapa detik. "Tentu saja bukan aku orangnya."

Jadi, kalau bukan orang baik, lalu bukan orang jahat juga, dia ini apa?

"Dari pada menyebutnya kebaikan, bagaimana kalau kita menyebutnya ..." Bam tampak berpikir sebentar, kemudian berucap, "Sebuah kesepakatan."

"Sebuah kesepakatan?" Krisna mengulangi ucapan Bam sambil mengerutkan dahi.

Bam menganggukkan kepalanya, "Yah ... sebut saja begitu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status