Share

Bab 3. Kiriman Dari CEO.

Dengan kesal Soraya berdiri menghampiri si sekertaris. "Miss! Kenapa lama sekali? Sudah satu jam lebih aku menunggu di sini. Apa selama itukah waktu untuk peserta wawancara di perusahaan ini?" ketusnya.

Sekertaris ikut berdiri. "Maaf, Miss, tapi Anda harus menunggu. Biasanya Pak Bernar akan memberikan evaluasi langsung bagi calon karyawan baru di perusahaan ini."

Soraya terdiam. "E-evaluasi?" tanyanya pelan.

"Iya, Miss, Pak Bernar akan memberikan beberapa pertanyaan pada setiap calon pegawai baru. Dan jika berhasil menjawab, saat itu juga beliau akan menerima peserta hari itu juga. Saya rasa Nona Kensky sedang dievaluasi."

"Oh, begitu." Soraya tampak gelisah. "Hmm, apa bisa Anda memberikan bocoran tentang soal yang akan diberikan Bernar nanti?"

Sekertaris itu menatap aneh. "Siapa dia? Kenapa dia menyebutkan nama kecil Pak Bernar?" katanya dalam hati. Selama dua tahun ia bekerja di Kitten Group tidak ada seorang pun yang berani menyebut nama Sang Pemimpin sekaligus pemilik perusahaan seperti itu. "Maaf, Miss, tapi hal itu bersifat pribadi, hanya beliau yang tahu soal itu. Beda divisi beda pertanyaan. Silahkan Anda duduk kambali dan menunggu giliran," balasnya tak kalah ketus.

Dengan kesal Soraya kembali ke tempat duduknya lalu menatap tajam ke arah sekertaris yang sudah duduk kembali sambil menatap layar komputer. "Lihat saja nanti, begitu aku diterima di perusahan ini, aku akan menyuruh Bernar untuk memecatmu," katanya dalam hati.

Bunyi handle pintu membuat Soraya dan sekertaris menoleh. Dengan cepat Si Sekertaris berdiri dan menyapa Kensky yang baru saja keluar. "Bagaimana, Miss, apa kata Pak Bernar?" Ia tampak penasaran dan antusias.

"Oh, jadi panggilannya Pak Bernar?" kata Kensky dalam hati, "Aku diterima, Bu Sekertaris." Ia tersenyum lebar.

"Benarkah? Selamat, ya, Miss Oxley."

Soraya mendekati mereka berdua. Ia berdiri tepat di depan meja sekertaris yang tak jauh dari ruangan CEO. "Jangan senang dulu, Sky, pasti juga kau tidak akan bertahan lama di perusahaan ini."

Kensky tidak menggubris. Ia hanya melirik Soraya dan kembali menatap sekertaris itu. "Terima kasih banyak, ya. Aku permisi dulu. Besok aku akan memulai hari baru di kantor ini."

"Iya. Semangat, ya? Sampai ketemu besok."

"Terima kasih. Bye."

Sekertaris itu menatap Kensky berjalan menuju lift. Setelah tubuh seksi gadis itu menghilang di baliknya, ia menatap Soraya yang juga sedang menatap Kensky dengan tatapan iri. Ia pun sangat yakin kalau wanita yang wajahnya dipenuhi makeup tebal itu adalah suadara tiri Kensky. Meski belum tahu kebenarannya, tapi ketidaksukaan Soraya pada Kensky membuatnya sangat yakin.

Soraya balas menatapnya. "Sekarang giliranku, kan, Ibu Sekertaris yang terhormat?" katanya penuh penekanan. Wajahnya datar.

Sekertaris itu tak kalah tegas. "Iya, Miss, tapi tunggu sebentar, aku harus mengkonfirmasinya dulu dengan Pak Bernar." Ia merasa menang dan meninggalkan Soraya, yang ia yakin semakin kesal akibat kata-katanya.

Soraya menatap tajam. Rasanya ia ingin menarik rambut wanita itu untuk mengajaknya berkelahi. Tapi demi menjaga nama baik, Soraya membiarkan sekertaris itu berjalan memasuki ruangan CEO. "Sombong sekali dia!" ketusnya. "Kita lihat saja nanti, akan kubuat kau dan Kensky tidak akan betah kerja di sini."

Sejurus kemudian sekertaris itu keluar. "Anda sudah diperbolehkan masuk."

Soraya tak menjawab. Ia malah menatap sekertaris itu dengan tatapan meremehkan dari atas ke bawah dengan alis mengerut lalu masuk ke dalam ruangan CEO.

Wanita itu menggeleng kepala. "Sangat disayangkan, cantik-cantik, tapi sombong," kata si sekertaris saat Soraya menghilang di balik pintu.

***

"Selamat pagi, Bernar," sapa Soraya begitu melihat pria berjas hitam yang sedang duduk menatap dokumen di atas meja.

Dean terkejut dan menatapnya. "Berani-beraninya Anda memanggilku seperti itu, Nona! Siapa kau?"

Soraya tersenyum samar. "Maaf, tapi aku rasa kau sudah tahu siapa aku, kan?" Ia melangkah pelan mendekati meja Dean. "Atau jangan-jangan kau memang tidak mengenaliku?" Soraya tersenyum licik.

Dean menatap tajam pada Soraya lalu melirik ke arah berkas yang ada di atas meja. "Jadi kau Soraya Oxley?"

"Ya, aku Soraya Oxley, Bernar. Aku rasa Anda tidak usah berpura-pura lagi, bukannya Anda sangat mengenal ibuku? Kata beliau Anda punya perjanjian khusus dengannya. Dan karena perjanjian itu maka Anda menyuruhku hadir di kantor ini untuk wawancara. Apa benar begitu, Pak Bernar?"

Ekpresi Dean biasa-biasa saja. "Oke, baiklah. Tapi sebelum itu, apa boleh aku mengajukan satu pertanyaan untukmu, Nona Oxley?"

"Tentu saja, calon suamiku. Apa pun yang ingin kau tanyakan, aku pasti akan menjawabnya."

Dean menyeringai samar. "Apa hubunganmu dengan wanita yang bernama Kensky Oxley?"

Ekpresi Soraya langsung berubah begitu mendengar nama itu. Ia berdecak. "Oh, dia?" katanya dengan nada mengejek. Ia berjalan pelan mendekati jendela. "Dia saudara tiriku. Ayahnya menikah dengan ibuku saat aku berusia delapan tahun. Tapi sejak menjadi ayah sambungku, lelaki itu menyuruhku menggunakan nama belakangnya." Ia membelakangi Dean. "Aku rasa dia melakukan itu, karena merasa bertanggung jawab setelah menikah dengan ibuku."

Dean tersenyum samar. Dan tanpa basa-basi ia berkata, "Baiklah, Soraya, kalau begitu kau diterima."

Soraya terkejut. Dengan cepat ia berbalik menatap Dean. "Aku diterima? Tanpa wawancara?"

"Benar. Hari ini juga kau sudah bisa bekerja di sini sebagai asisten sekertaris."

"Sekertaris? Kau serius, Bernar?"

Dean berdiri dari kursinya dengan kedua tangan di dalam saku celana. "Asisten sekertaris, Soraya, bukan sekertaris"

"Ya, seperti itu. Oh Tuhan, aku senang sekali. Terima kasih banyak, Sayang."

"Tapi dengan satu syarat," kata Dean dengan nada mengancam.

"Apa? Katakanlah." Soraya menatapnya.

"Kau harus menjaga sikap. Di perusahan ini ada aturannya; sesama karyawan dilarang berpacaran. Kau mengerti maksudku, bukan? Jadi kau jangan pernah memanggilku lagi dengan sebutan seperti tadi. Dan ingat ..." Dean berjalan mengintari meja dan berdiri di depannya. "Jika kau tidak berhasil menjaga sikap, aku akan memecatmu."

Soraya menelan ludah. "Apa kau setega itu pada calon istrimu, Bernar?"

Dean mendorong tubuhnya dari meja lalu kembali ke kursi. "Aku bahkan tak akan segan-segan membatalkan perjodohan kita kalau kau membuat masalah."

Soraya semakin takut. Dilihatnya Dean meraih gagang interkom sambil menekan tombol.

"Masuklah, Kim," titahnya lalu meletakan kembali gagang interkom itu. Ia menatap Soraya.

Soraya yang berdiri agak jauh darinya tampak berpikir dan bertanya-tanya dalam hati siapa itu Kim? Ia bahkan tidak menyadari bahwa Dean masih menatapnya.

Sejurus kemudian sosok gadis yang merupakan sekertarisnya muncul dari balik pintu. "Oh, jadi namanya Kim," kata Soraya dalam hati.

"Kim, hari ini kau bisa langsung mengajarkan Soraya. Dia akan menjadi asistenmu," kata Dean dengan nada tegas.

"Kenapa harus dia, sih? Kenapa bukan Kensky saja?" katanya dalam hati, "Baik, Pak!"

"Oh, iya, Kim! Tolong setelah ini, kau hubungi bagian inventaris untuk menyiapkan ruangan yang full fasilitas untuk Mr. Hans dan asisten barunya. Suruh mereka kerjakan hari ini, karena besok pagi ruangan itu harus segera ditempati."

"Baik, Pak!" Ia menunduk paham.

Soraya menatap tajam ke arah dinding. "Full fasilitas? Asisten baru? Besok? Apa jangan-jangan itu Kensky?" katanya dalam hati, "Bodoh amat, yang penting dia tidak seruangan dengan calon suamiku."

"Soraya?"

Suara berat Dean mengagetkannya. "Eh! Ya, Sa ..." Dengan cepat ia mengoreksi perkataannya, "Eh, maksudku ada apa, Pak Bernar?"

"Sekarang kau boleh keluar dan ikuti setiap tugas yang diperintahkan Kimberly. Jangan membantah, paham?"

"Ba-baik, Pak."

"Mari ikut saya." Sekertaris itu menunduk pamit pada Dean lalu mengajak Soraya keluar.

Karena Soraya berdiri di belakang Kim, ia menatap Dean dan mengedipkan mata dengan nakal. Dean balas tersenyum. Meski hanya senyum datar, tapi hal itu membuat hati Soraya rasanya ingin meloncat keluar. Ia berbung-bunga.

***

Saat makan malam Kensky duduk di samping kanan Eduardus. Dengan ragu-ragu ia melirik sang ayah yang sedang menyantap makan malamnya dengan lahap.

Eduardus adalah pria berambut hitam. Matanya hijau seperti Kensky. Tubuhnya gemuk dan kulitnya yang seputih susu diwariskan pada putri semata wayangnya, Kensky Revina Oxley.

Di sisi kiri Soraya justru tampak bahagia. Setiap kali selesai menyuapi sendok ke dalam mulutnya lalu tersenyum samar. Senyuman Dean tadi pagi selalu terbayang dan membuat jantungnya berdebar-debar.

"Bagaimana hasil wawancara tadi?" tanya Eduardus sambil menatap piring yang berisi menu ayam kecap dan sayur capcay.

"Sangat lancar." Kensky dan Soraya menjawab serentak dan hal itu membuat Eduardus juga istri kedua-nya itu menatap bingung.

"Kau juga ikut wawancara bersama Soraya, Sky?" tanya Rebecca yang tak lain adalah ibu tirinya.

"Iya. Aku dan Soraya punya jadwal yang sama."

"Wow, benar-benar sebuah kebetulan, bukan?" jawab Rebecca dengan nada mengejek, "Pasti kau diterima, karena pergi bersama Soraya."

Kensky hendak menjawab, tapi Eduardus langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Kensky harus menelan kembali cemoohannya. "Kau dapat posisi di bagian apa?"

Kensky merasa senang. Ini pertama kalinya Eduardus berbicara dengan nada pelan. "Aku jadi asisten kepala keuangan, Dad."

"Kau Soraya?" tanya Eduardus tanpa menatapnya.

Soraya dengan pelan meletakkan sendok dan garpunya. Disekanya bibir dengan serbet linen sebelum menjawab, "Aku asisten sekertaris, Pa."

"Asisten sekertaris?" pekik Rebecca.

Soraya tersenyum meremehkan ke arah Kensky. "Iya, Ma, aku asisten sekertarisnya Pak Dean Bernardus Stewart."

"Wah! Selamat, Sayang. Kalau begitu kau harus bekerja dengan baik agar nanti kau bisa naik jabatan menjadi sekertaris Pak Bernar langsung."

"Tentu saja, Ma. Itu memang yang akan kulakukan," katanya sambil menatap Kensky.

Kensky mencerna sikap Rebecca dan Soraya yang tiba-tiba aneh. Sejak Soraya muncul di kantor tadi pagi ia memang sudah curiga, karena hal yang tidak mungkin di saat yang bersamaan Soraya tiba-tiba diwawancara. Kensky tahu wanita itu tidak mengajukan permohonan, tapi gadis itu mendapatkan jabatan yang lebih tinggi darinya. "Apa jangan-jangan yang dijodohkan dengan Dean adalah Soraya?" katanya dalam hati.

"Ayah hanya bisa mendukung dan memberi selamat pada kalian berdua," kata Eduardus yang membuat Kensky terkejut dari pikirannya. "Tapi ingat ...," Eduardus berdiri seakan menyudahi makanannya, "siapa di antara kalian yang lebih dulu menikah, dialah pewaris tunggal Kapleng Group milik ayah."

Kensky tidak terima. Ia segera berdiri dan menghadapi sang ayah. "Itu tidak adil, Daddy!"

"Sky!" pekik Rebecca, "Jangan membantah."

Kensky tidak menggubris. "Itu perusahan warisan mommy, Daddy! Harusnya Daddy mewariskannya padaku. Aku adalah anak Daddy dan Mommy, bukan dia!"

Plak!

Bunyi tamparan membuat Kensky terkejut. Soraya yang juga melihatnya langsung ternganga menatap saudara tirinya yang ditampar, sedangkan Rebecca tersenyum puas dengan tontonan tersebut.

"Jangan pernah kau berkata begitu, Sky! Kau dan Soraya adalah anakku. Karena aku sudah menikahi ibunya, itu berarti dia adalah tanggung jawabku." Dada Eduardus naik turun. "Dengar, sekali lagi kau berkata begitu, akan kugaris namamu dari daftar warisanku. Ingat itu!" Eduardus meninggalkan ruang makan.

Mata Kensky nanar menahan perih di pipinya. Wajahnya memerah karena amarah yang hendak meledak.

"Kensky, Kensky," kata Rebecca sambil berdiri. "Sudah Mama bilang bukan? Jangan membantah. Coba saja tadi kau mendengarkan perkataan Mama, begini ayahmu___"

Ting-Tong!

Bunyi bel rumah menghentikan perkataan Rebecca. Kensky pun mengambil kesempatan untuk bergerak lalu meninggalkan meja menuju tangga ke lantai dua.

Ting-Tong!

"Biar aku saja, Ma." Soraya beranjak pergi, sementara Rebecca kembali duduk dan merasa senang karena ternyata putrinya akan mendapat warisan. Ia pun membayangkan bagaimana hidupnya nanti jika Soraya mendapatkan warisan dari Eduardus dan menikah dengan Dean. "Oh, Rebecca, hidupmu pasti akan bahagia."

"Ma!"

Teriakan Soraya membuat Rebecca terkejut. Tanpa menyahut, ia langsung bangkit dari kursi dan berjalan ke ruang depan. "Siapa, Soraya?" Ia menatap lelaki berjas hitam yang berdiri di depan pintu.

"Lelaki ini ingin mencari Kensky."

"Kensky? Untuk apa kau mencarinya?" tanya Rebecca pada lelaki yang sama sekali tidak terlihat seperti kurir. Ia berdiri di samping Soraya lalu memborong tubuh lelaki itu dari atas ke bawah.

Lelaki itu memperlihatkan kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna pink. "Begini, Bu, saya ingin mengantarkan kiriman ini untuk Nona Kensky."

"Kiriman? Kiriman apa itu?" tanya Soraya. "Berikan saja padaku."

"Tidak bisa, Nona, saya ditugaskan untuk memberikan barang ini secara langsung pada Nona Kensky."

"Dia se___" Rebecca mencubit lengan Soraya agar gadis itu diam dan menatapnya.

"Panggil dia," katanya pelan. Setelah Soraya pergi dengan kesal, Rebecca menatap lelaki itu. "Tunggu sebentar, ya?"

"Baik, Nyonya."

Rebecca menyandarkan punggung di kusen pintu dengan tangan yang bertaut di depan tubuh. "Kalau boleh tahu, siapa pengirimnya?"

Lelaki itu memperlihatkan kotak yang tanpa nama dan alamat itu. "Maaf, Bu, tapi saya juga tidak tahu. Saya hanya diperintahkan untuk membawa kiriman ini langsung kepada Nona Kensky."

Rebecca kesal. "Tidak perlu diulang. Kau tadi sudah mengatakannya."

Sejurus kemudian Kensky muncul dengan mata yang bengkak. "Maaf, apa Anda mencari saya?"

"Apa benar Anda yang bernama Kensky Oxley?"

"Benar."

"Anda pikir kami ini penipu, ya?" ketus Soraya.

"Maaf, Nona, saya hanya memastikan," balasnya sambil menatap Kensky, "Ini ada kiriman untuk Anda, Nona." Lelaki itu memberikan kotak yang bentuknya persegi panjang kecil dengan kertas dan bolpoin. "Boleh Anda tanda tangan di sini."

Kensky mengangguk dan mulai mencoret kertas itu dengan tanda tangannya. "Ada lagi?"

"Hanya itu, Nona. Terima kasih, saya permisi dulu." Ia menunduk pamit.

"Kembali kasih," kata Kensky. Ia membolak-balikkan kotak yang tanpa nama itu. "Kok tidak ada nama pengirim, ya?"

Soraya dan Rebecca yang masih berdiri di sana ikut penasaran. "Dari siapa, Sky?" tanya Soraya.

Kensky menoleh lalu menatapnya. "Dasar kepo." Ditinggalkannya kedua orang itu yang kesal akibat ucapannya.

"Mama jadi penasaran," kata Rebecca. "Kiriman apa itu, ya? Kenapa tidak ada nama pengirimnya?"

"Aku juga, Ma."

***

Tibanya di kamar Kensky langsung mengunci pintu dan membuka bungkusan kotak yang terbungkus dengan kertas berwarna pink. Gambar beruang di kertas itu membuat Kensky tersenyum. "Kira-kira siapa pengirimnya, ya? Kok dia bisa tahu kalau aku suka beruang?" Kensky menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Kensky melepaskan semua bungkusan kado itu hingga kotaknya terlihat. Matanya terbelelak. "Handphone? Ini kan .... "

Senyumnya berubah cemerlang begitu melihat tipe handphone yang selama ini menjadi incarannya. Kensky memang berkeinginan untuk memiliki handphone ios canggih yang keluaran baru itu. Tapi apa daya, semenjak ibunya meninggal, ia harus menabung dulu untuk menadapatkan barang-barang yang ia inginkan.

Tapi sekarang, entah apa yang menimpanya hari ini, tanpa harus menabung bertahu-tahun lagi, ia sudah memiliki benda itu saat ini. Handphone itu merupakan benda portable yang baru keluar bulan lalu dan rasanya ia ingin berteriak saking senangnya memiliki benda itu.

Dibukanya kardus ponsel dengan jari hingga layarnya terlihat. "Ya ampun, siapa pun kamu yang mengirimnya, aku doakan kau akan mendapatkan balasan yang setimpal."

Kensky tiba-tiba terdiam dan berpikir. "Tapi kenapa dia bisa tahu aku butuh handphone, ya?" Kensky mengotak-atik kotak handphone itu untuk diperiksa. Ia berharap semoga bisa menemukan petujuk dari si pengirim.

Karena tidak menemukan petunjuk apa pun, ia langsung meraih benda berwarna hijau gelap itu kemudian menghidupkannya. "Semoga saja pengirim itu meninggalkan jejak di dalam ponsel ini."

Setelah ponselnya hidup, Kensky terkejut. Ia menatap layar yang ternyata adalah foto mendiang ibunya. "Mom?" Mata Kensky yang bengkak itu berubah nanar. "Apakah Mom yang mengirimnya?" Ia menangis. "Oh, Mommy." Dipeluknya handphone itu dengan erat.

Ting!

Bunyi notifikasi membuat Kensky kembali menatap layar ponsel yang ternyata ada satu pesan masuk dari kontak yang bernama CEO. Saking penasaran Kensky segera membuka pesan itu yang lagi-lagi membuatnya terkejut.

"Apa kau suka ponselnya? Jika kau suka aku sangat senang. Tapi kumohon padamu, Sky, cintailah ponsel ini seperti kau mencintai ibumu."

Kensky ternganga. "Mommy? Dia mengenal Mommy? Ya Tuhan, siapa pun dirimu, aku sangat berterima kasih. Kau telah mengingatkanku pada ibuku." Ia memeluk kembali benda itu. Dalam hati ia sangat yakin, sosok yang bernama CEO di kontak itu pasti adalah orang yang mengelan ibunya. "Tapi siapa? Apakah dia keluarga Mommy?"

Continued___

BEBBIKITTEN

Nah, kira-kira siapa CEO itu, ya? Jangan lupa untuk masukan ke perpustakaan ya, Readers. Jangan lupa juga untuk kasih komentar di kolom review ya, Sobat.  

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status