Share

Fitnah

Setelah menaruh Al-Qur'an, Intan menghempaskan tubuhnya ke kasur. Matanya menerawang, menatap ruang hampa, separuh jiwanya pergi seiring terkuburnya sang pujaan hati.

Adzan isya sudah di kumandangkan sejak beberapa menit yang lalu, namun Gita yang sedang ngaji di rumah pak ustadz belum juga pulang. Biasanya, mereka akan shalat isya bersama setelah Gita pulang.

Intan masih tetap menunggu, ia berjalan ke arah meja riasnya yang sudah usang. Ia mengambil sebuah bingkai foto di laci, di foto itu, dia sedang menggendong Gita yang masih bayi, suaminya memeluknya dari belakang. Seketika airmatanya mengalir, batinnya sakit. Kerinduan yang semakin membubcah di jiwanya, membuat dadanya kian sesak. Kehilangan orang tercinta kembali menumpahkan air matanya. 

'Mas, andai kamu masih ada bersamaku, mungkin aku gak akan di pandang rendah oleh mereka, mungkin saat ini Gita sedang bermain atau membaca Al-Qur'an bersama kamu,' batin Intan. Dia memang sudah ikhlas, namun sebagai manusia biasa, ia masih sering merindukan suaminya. Lelaki terbaik dalam hidupnya.

Intan seorang gadis yatim piatu. Orangtuanya meninggal lantaran musibah banjir bandang yang mendera tempat tinggalnya. Seluruh keluarganya hilang dan meninggal. Saat itu, ia mencoba peruntungan ke kota, bekerja apa saja yang penting halal. Hingga suatu hari ia bertemu dengan seorang pria Sholeh yang kini menjadi ayahnya Gita.

Berkali-kali Bayu mendekati Intan, namun dia bukanlah gadis yang mudah di dekati oleh sembarang pria. Ayah dan ibunya seorang pengemban dakwah Islam. Sejak kecil ia di tanamkan nilai-nilai tauhid oleh kedua orangtuanya. Sehingga saat usia remaja, saat kejadian naas merenggut nyawa orang tercintanya, hatinya sudah terpaut akan takdir Allah, ia yakin segala sesuatu yang terjadi pada dirinya atas kehendak Allah, dan akan selalu ada rencana indah di balik musibah.

"Assalamualaikum, mama kok nangis?" tanya Gita sembari menaruh iqra yang selalu ia bawa setiap ngaji.

"Wa'alaikumsalam anak sholehah mama," jawab Intan. Gita mencium tangan ibunya. Sedangkan Intan mengelus kepala anaknya lembut.

"Ma, di luar ada om Fathan, tadi Gita di jemput om Fathan ke pengajian," kata Gita.

Mata intan membulat. Untuk apa Fathan menjemput Gita? Ia khawatir jika Fathan datang ke rumahnya justru akan semakin memperkeruh suasana. Ia takut fitnah untuknya semakin tak terkendalikan.

"Ya sudah, kalau gitu Gita makan dulu ya," pinta Intan.

"Gita udah makan kok ma, tadi di traktir bakso sama om Fathan he ... tapi Gita mau makan lagi, kan mama udah capek masak buat Gita" jawab Gita polos, lalu berlari ke tempat makan.

Pantas saja Gita pulang ngaji telat, biasanya sebelum isya dia sudah kembali. Intan memang tak selalu mengantar jemput anaknya, karena ia hidup di sebuah kampung pinggir kota, di mana anak-anak selalu bermain dan pulang pergi mengaji bersama.

"Oh, Alhamdulillah, kalau gitu mama temuin om Fathan sebentar ya," ucap Intan. Ia segera mengambil gamis, hijab lalu memakai kaus kaki sebelum menghadap Fathan.

"Ada apa mas Fathan? Silakan di minum airnya," ucap Intan saat tiba di ruang tamu. Ia menaruh segelas air di meja. Fathan yang sedang duduk di kursi bambu sembari memainkan ponselnya tersentak mendengar ucapan kakak iparnya.

"Eh mbak Intan, maaf sebelumnya saya gak ngabarin mbak Intan kalau mau ke sini, saya tadi cuma kangen sama Gita, jadi saya jemput Gita, kebetulan ada yang mau saya omongin juga sama mbak Intan," jawab Fathan ramah.

"Mau ngomong apa mas? Sebenernya saya juga ada yang mau di omongin sama mas Fathan," ungkap Intan.

Fathan mendongak. Hatinya tiba-tiba saja gelisah mendengar ucapan Intan yang di sertai ekspresi tak mengenakan itu.

"Begini mbak, sebentar lagi kan tahun ajaran baru, niatnya saya mau menyekolahkan Gita di TK yang bagus dan berkualitas, biar Gita dan Gea di sekolahkan di sekolah yang sama, karena setelah mas Bayu gak ada, pendidikan Gita menjadi tanggung jawab saya," ungkap Fathan percaya diri.

Jauh dalam hatinya, Intan bahagia dan bersyukur, adik kandung suaminya sangat faham tentang pertanggungjawaban. Gita sudah merengek ingin sekolah, sengaja Intan tak memasukan Gita ke paud karena ia sibuk menjadi buruh cuci sehingga tak sempat mengantar Gita sekolah paud yang lokasinya berada di sebrang jalan raya.

Niatnya dia akan langsung menyekolahkan Gita ke TK, ia berusaha menabung untuk pendidikan Gita, namun sering sekali terpakai untuk hal-hal yang mendesak. Apalagi, uang bulan ini yang di berikan Fathan sudah di ambil kembali oleh Rena.

"Gimana ya mas, saya bingung jawabnya. Saya faham mas Fathan hanya ingin tanggung jawab, tapi saya takut hal ini justru menjadi fitnah, mas Fathan tahu sendiri bagaimana ibu-ibu di sini menggosipkan saya," ungkap Intan.

"Mbak Intan gak usah khawatir, mereka mungkin hanya belum tahu hukumnya, karena memang di lingkungan kita banyak sekali yang lepas tangan atas nafkah anak yatim, tapi insyaallah saya gak begitu mbak, bahkan saya menganggap Gita seperti anak kandung sendiri. Insyaallah perlahan lingkungan juga akan mengerti mbak. Kalau urusan Rena, biarlah itu menjadi urusan saya, saya hanya perlu izin dari mbak Intan untuk menyekolahkan Gita saja," tutur Fathan.

Intan melirik sekilas ke arah Gita yang sedang makan, dari tempatnya duduk terlihat jelas aktifitas Gita di ruang tengah. Sebagai seorang ibu, pastinya ia ingin anaknya di sekolahkan di tempat yang berkualitas. Hatinya berkecamuk, ingin menolak tapi ia kasihan pada Intan, ia takut menjadi ibu yang egois, hanya karena omongan orang lain, anaknya harus kehilangan hak nya, bukankah tawaran yang di berikan Fathan memang lah hak Gita?

"Bagaimana mbak Intan?" pertanyaan Fathan membuyarkan lamunan Intan.

"Eh, mmm ... iya mas Fathan, tapi bolehkah saya meminta satu hal?" tanya Intan lagi.

"Apa?" tanya Fathan.

"Mas Fathan gak usah kasih uang bulanan sama saya untuk Gita, uang jatah Gita biar mas Fathan pakai untuk biaya sekolah Gita, jika mas Fathan ingin berikan jajan untuk Gita, berilah langsung padanya dengan nominal sewajarnya untuk jajan anak-anak," pinta Intan.

Fathan terenyuh mendengar ucapan Intan. Ia sadar, mungkin intan meminta itu karena ia takut di marahi Rena. 

"Iya mbak, saya mengerti. Mbak pasti terpukul dengan video itu, saya minta maaf atas perlakuan Rena yang membuat mbak Intan viral di sosial media, atas nama Rena saya benar-benar meminta maaf ..." kata Fathan. Belum selesai ia mengungkapkan maksudnya, Intan langsung memotong pembicaraannya.

"Video? Viral? Maksud mas Fathan apa? Saya gak ngerti," tanya Intan dengan heran.

"Lha, mbak Intan memangnya belum tahu?" Fathan menanya balik, wajahnya terlihat kaget.

"Enggak, saya gak ngerti, viral yang mana ?" tanya Intan lagi.

Fathan merogoh ponsel di sakunya, ia memberikan video viral itu pada Intan. Airmata Intan luruh seriring banyaknya komentar negatif tentangnya. Ternyata ia tak bisa secuek itu saat suara sumbang fitnah itu begitu gencar di tuduhkan padanya.

"Maafin saya ya mbak, maafin Rena, insyaallah saya akan buat video klarifikasi untuk memulihkan nama baik mbak Intan," ucap Fathan.

Prok ... Prok ... Prok ...

Intan dan Fathan mendongak mendengar suara tepukan tangan yang tiba-tiba. Padangan keduanya beralih pada Rena dan Bu Lastri yang sudah berdiri di di ambang pintu. Bu Lastri mengarahkan ponselnya ke arah Intan.

"Pantas saja kamu cuekin aku mas? Ternyata benar, kamu lagi berdua-duaan sama janda gatal itu." sindir Rena.

"Rena, kamu salah faham. Aku cuma mau bilang sama mbak Intan kalau aku mau sekolahkan Gita bareng sama Gea, itu aja," jelas Fathan.

"Kenapa gak kamu diskusikan dulu sama aku mas? Kamu anggap aku apa?" jerit Rena. 

"Percuma! Percuma Rena, kamu gak bakal izinin aku, makanya aku datang tanpa meminta persetujuan kamu," papar Fathan. 

Seketika warga kembali berkerumun di rumah Intan karena mendengar keributan. Setelah ini, pasti Intan akan menjadi bahan gunjingan lagi. 

"Rena, kamu salah faham, aku sama mas Fathan gak pernah ada hubungan apapun, aku mohon kamu dewasa sedikit kalau ingin rumah tanggamu adem ayem," ungkap Intan.

"Alah, kamu keenakan kan anaknya di sekolahin di sekolahan bagus, jadi kamu bisa leyeh-leyeh. Janda tuh kerja, banting tulang buat biayain anak, jangan jadi benalu buat keluarga orang lain," cela Rena.

"Rena sudah! Kalian lagi, ngapain kumpul-kumpul di sini? Bubar, ini bukan tontonan!" hardik Fathan saat melihat warga semakin banyak berkerumun.

Melihat kemarahan Fathan satu persatu warga pergi meninggalkan rumah Intan. Namun Bu Lastri masih tetap berdiri dengan kamera menyala. Emosi Fathan semakin membuncah. Bu Lastri selalu membuat onar. Fathan yang geram langsung meraih ponsel Bu Lastri lalu melemparnya ke lantai, setelah itu Fathan menginjaknya hingga hancur. Bu Lastri melongo melihat perlakuan Fathan pada ponsel yang baru saja beberapa bulan di kreditnya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status