"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.
Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah? Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu. "Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana. "Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana. "Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu, Mas ... Kamu lebih mementingkan anak orang lain dari pada darah daging kamu sendiri," batin Ratri semakin nyeri. Setelah selesai makan, Rusdi meminta pelayan cafe untuk membungkus sisa makanan mereka untuk dibawa pulang. Sedangkan Ratri masih terus memperhatikannya tanpa Rusdi sadari. Ratri memutuskan untuk pulang, setelah mengetahui kenyataan tentang suaminya itu. Perih, sudah pasti. Namun, ia harus kuat demi Gina. "Antar saya pulang, Bang!" ajak Ratri ketika ia telah keluar dari cafe itu. Sepanjang perjalanan pulang, Ratri terus meratapi kenyataan pahit yang ia dapatkan, bahwa ternyata selama ini suaminya menyimpan rahasia besar. Berawal dari tidak kesengajaan bertemu di cafe saat bersama Rara. Kini, kenyataan lainnya pun bermunculan. "Tega kamu, Mas ... ternyata kamu diam-diam menikah lagi di belakang aku," batin Ratri menangis. Sampai di depan rumah, Ratri segera membayar ongkos ojek, lalu masuk ke dalam rumah. Tak ayal, selama Ratri berada di dalam rumah seorang diri, pikirannya kacau. Entah langkah apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui kenyataan ini. Untuk sedikit mengobati rasa sakit hatinya. Kembali, Ratri melanjutkan tulisan cerbungnya di grup aplikasi biru. Ratri mencurahkan segala kesakitan yang ia alami. Seperti sebelumnya, setelah menuliskan kisahnya, perasaan Ratri sedikit merasa tenang, walau pun tidak sepenuhnya. Ratri menghembuskan nafas kasar, kemudian beranjak mengambil air minum dari dapur. Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Ratri membiarkan Gina untuk menginap malam ini di rumah Marni. Toh Gina sendiri yang ingin sekali menginap di rumah tantenya itu. Lagi pula, Marni dengan senang hati bersedia menjaga Gina malam ini. Ratri kemudian membuka kembali aplikasi biru miliknya. Di ikon lonceng di layar atasnya, terdapat banyak notifikasi like dan juga komentar. Ternyata mereka pembaca yang setia membaca tulisan Ratri di salah satu grup itu. Lagi-lagi tak menyangka, mereka begitu menyukai cerita yang Ratri tulis. Disaat Ratri tengah sibuk membaca komentar-komentar mereka. Ponsel yang ia pegang tiba-tiba berdering, dan tertera nama Rara yang sedang melakukan panggilan ke nomornya. "Halo, Ra!" sapa Ratri. "Halo, Ratri ... Eh aku nggak nyangka loh, ternyata kamu pandai juga membuat cerbung. Barusan aku lihat ada postingan kamu muncul di beranda aku. Awalnya aku nggak percaya itu kamu. Tapi setelah melihat profil kamu, eh ternyata benar itu kamu," ujar Rara. "Kok kamu bisa tahu, Ra?" tanya Ratri. "Aku kan termasuk anggota di grup baca itu. Kebetulan aku suka banget baca cerbung online. Aku masuk di banyak grup, hanya untuk mencari bacaan yang menurut aku menarik. Setelah melihat tulisan kamu, kok aku suka banget ya. Oh iya, apa kamu masukin cerita kamu ke sebuah platform menulis? Maksud aku ... Aplikasi menulis novel gitu. Lumayan kan kalau ceritanya menarik terus banyak pembaca, cerita kamu bisa menghasilkan uang," jawab Rara. Ratri membenarkan posisi duduknya. "Aku belum pernah menulis online, Ra. Hanya cerita di grup saja yang aku tulis," ujar Ratri. "Aduh, Say ... Coba deh kamu masukin cerita kamu itu ke aplikasi menulis novel online. Siapa tahu itu ladang rejeki kamu," sahut Rara. Ratri terdiam, mencerna ucapan Rara. "Ya sudah, Ra ... Nanti aku coba. Aku juga mesti banyak belajar," ujar Ratri. "Ya sudah kalau begitu, aku sih hanya kasih saran saja, ya! Soalnya sayang cerita sebagus ini kalau nggak jadi uang. Ya sudah ya, Rat ... Suami aku manggil. Bye, Rat!" Rara mengakhiri teleponnya. Ratri terdiam, menimang-nimang ucapan Rara. "Apa aku coba saja, ya? Benar juga saran Rara. Aku coba saja deh sekarang," batin Ratri kemudian mulai mengunduh aplikasi menulis novel lalu mendaftar. Disaat Ratri tengah sibuk dengan ponselnya, terdengar suara motor di depan kemudian berhenti tepat di depan rumahnya. Ceklek! Pintu terbuka dari luar, menampakkan Rusdi yang berpenampilan seperti biasa. Ia memakai seragam office boy dan tas yang seperti biasa ia bawa. Ratri hanya menatapnya penuh sakit. Baju, mobil, tas, dan sepatu mewah. Kemanakan semua itu? "Suaminya baru pulang kok nggak disambut. Tadi di telepon katanya rindu," imbuh Rusdi mendekati Ratri. Ratri menyalami Rusdi, yang telah duduk di sebelahnya. "Biar aku ambilkan minum." Ratri bergegas menuju dapur. "Kemana, Gina?" tanya Rusdi. "Ada, dia menginap di rumah Marni," jawab Ratri seperlunya, setelah ia kembali membawa air minum. Rusdi menatap Ratri penuh tanya atas sikapnya. Ia mendekat mengamati wajah Ratri. "Kenapa kamu cemberut saja? Apa kamu sudah nggak kangen sama aku?" tanya Rusdi. Ratri terdiam, tangannya meremas ujung hijabnya. "Padahal aku sudah bawakan makanan enak loh buat kamu sama Gina. Sengaja aku beli lebih banyak dari biasanya." Rusdi bangkit lalu mengambil bungkusan makanan yang masih tergantung di motor yang ia parkir di depan rumah. Melihat tingkah suaminya, membuat Ratri kesal dan mual. Ingin rasanya ia cabik-cabik wajah suaminya dan juga istri barunya. "Berhubung Gina nggak ada, jadi ini buat kamu saja. Ini aku beli khusus buat kalian berdua. Kamu pasti suka dengan makanannya. Kebetulan tadi aku mendapatkan uang tips lagi dari karyawan yang menyuruh aku membelikan makanan. Jadi uang kembaliannya dikasih aku deh. Ayo makan, Rat! Biar Gina besok saja aku belikan lagi makanannya," imbuh Rusdi setelah kembali dan membawakan bungkusan makanan itu. Ratri menatap bungkusan makanan itu dengan getir. Ia seperti mengenali bungkusan makanan itu. "Kenapa hanya dilihatin saja? Ayo buka terus makan. Maafkan aku, Rat ... Baru kali ini aku bisa membelikanmu makanan enak. Sebelum-sebelumnya aku belum pernah. Doakan aku, ya, semoga rejekiku melimpah. Jadi aku bisa membelikan apa yang kamu mau," ujar Rusdi. Dalam hati, Ratri berdecih. Apa iya, Ratri harus mendoakan suami pembohong seperti Rusdi? Sementara nafkah yang ia berikan jauh dari kata layak untuk jaman yang sudah serba mahal seperti sekarang ini. Tangan Ratri meraih bungkusan makanan itu. Perlahan ia membukanya dan melihat isi makanan yang ada di dalamnya. Ratri mengambil makanan itu kemudian melemparkannya ke wajah Rusdi.Selain meninggalkan ponsel baru untuk Gina. Lena pun meninggalkan nomornya, supaya Gina menghubunginya.Gina kemudian menghubungi Lena untuk mengucapkan terima kasih. Lena begitu perhatian. Bersyukur ia memiliki ibu sambung sepertinya. Selain itu, Gina juga menanyakan kabar tentang orang tuanya. Belum begitu lama tinggal di kampung, Gina merasa sangat merindukan mereka. Entah sedang apa mereka, apakah mereka masih sibuk mencari Gina?Telepon pun tersambung, Lena segera mengangkatnya."Halo, Bunda. Bunda di mana sekarang? Maaf, tadi kata Nenek saat Bunda berkunjung, akunya nggak ada di rumah. Aku sedang ada urusan di luar. Oh iya, terima kasih banyak ya, Bun ponsel dan uangnya. Kebetulan sekali aku sangat membutuhkan ponsel ini," ucap Gina."Halo, Sayang. Iya tidak apa-apa. Bunda ada di jalan, sebentar lagi sampai di rumah," sahut Lena."Em ... Bunda, bagaimana kabar ayah? Terus ibu dan ayah Saga? Bunda juga apa kabar? Kangen aku sama kalian," imbuh Gina."Kabar ibu dan ayah Saga baik-
Beberapa saat kemudian, Farrel dan tim kepolisian kembali dengan tangan kosong. Rumiah telah lolos dari kejaran mereka. Sehingga membuat Rumiah ditetapkan menjadi DPO."Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencari keberadaan saudari Rumiah." Polisi pun pamit dari rumah Farrel."Bagaimana ini? Keadaan ini belum aman jika Rumiah masih bebas berkeliaran. Bisa saja sewaktu-waktu, dia kembali mencari Ayah dan memaksa lagi untuk memberikan semua milik Ayah. Bahkan tak segan membuat Ayah menderita lagi." Farrel merasa khawatir.Mereka terdiam untuk beberapa saat. Namun, beberapa saat kemudian Gina mengutarakan pendapatnya."Em ... Bagaimana kalau Om Romi ikut kita ke kampung saja, Rel. Sekalian kita jelaskan kepada ibu kamu," imbuh Gina.Farrel menoleh ke arah ayahnya. Pak Reno pun ikut menimpali, "Ide yang bagus. Memang sebaiknya untuk sementara waktu, Ayah kamu harus kamu bawa dari rumah ini. Bahaya jika dibiarkan tinggal sendirian, seme
"Ya Tuhan, Gina!" teriak Rumiah, ketika Gina terbatuk dan menyemburkan air di dalam mulutnya pada berkas itu."Aduh, maaf-maaf. Aku tidak sengaja, biar aku bersihkan berkasnya," ucap Gina.Gina kemudian merebut berkas itu, lalu berusaha mengeringkannya menggunakan ujung kerudung yang dipakainya."Ya ... Sobek," ujar Gina.Rumiah melotot tajam, melihat apa yang dilakukan oleh Gina. Namun, pak Reno dan juga Farrel menahan tawa atas apa yang terjadi."Kamu, ya! Kamu apakan berkas ini? Kurang ajar kamu, Gina!"Rumiah melayangkan tamparan ke arah Gina. Namun, secepatnya Farrel menahan tangan Rumiah."Berani menampar dia, maka rekaman itu akan aku berikan ke polisi dan aku sebar luaskan." Farrel memberi ancaman.Rumiah menepis tangan Farrel, ia berbalik badan menghadap Farrel."Rekaman apa yang kamu maksud? Bukankah rekaman itu sudah aku hapus? Jangan main-main denganku, Farrel. Aku tidak bisa kamu kelabuhi. Aku bukan wanita bodoh seperti yang kamu pikirkan," cetus Rumiah.Farrel tertawa be
Rumiah membeliak, saat melihat kak Reno memperlihatkan rekaman kejahatannya barusan. Farrel, Gina dan pak Reno tersenyum puas atas bukti yang telah mereka dapatkan."Sialan kalian semua, ternyata kalian menjebakku. Aku tidak akan tinggal diam. Aku hanya menuntut hakku sebagai istri Romi. Tapi kalian, berani-beraninya merekamku tanpa sepengetahuanku," ujar Rumiah.Romi bangkit lalu berdiri, ia menimpali ucapan Rumiah, "Apa? Hak? Jelas-jelas aku sudah menjatuhkan talak terhadap kamu. Lagi pula, kita hanya menikah secara siri. Jadi, tidak ada hak untuk kamu menguasai apa yang aku punya.""Jelas aku punya hak, kamu hanya memberikan sebagian kecil uang dan perhiasan. Kamu jangan hanya mau enaknya saja, Romi!" sarkas Rumiah."Kamu tidak bisa bersyukur, Rumiah. Aku sudah menolongmu dari garis kemiskinan. Aku menikahi kamu, karena aku kira kamu baik. Tapi ternyata, kamu tidak lebih dari seekor ular. Beruntung aku hanya menikahi kamu secara siri. Kamu tidak ada bedanya dengan seorang penipu. K
Dua hari kemudian, Farrel bergegas membawa kembali ayahnya untuk pulang. Terpaksa ia dan Gina tidak pulang ke kampung, karena urusan bersama ayahnya sangat penting, demi menyelesaikan misinya.Sesampainya di rumah, Romi kembali dipakaikan baju yang terakhir kali ia pakai di rumah itu. Walau pun sudah tidak nyaman. Namun, demi mengelabuhi Rumiah, Romi harus memakainya lagi.Tidak hanya itu, Farrel juga sengaja menyimpan sedikit makanan mentah di atas lantai. Seolah-olah Romi telah memakan makanan itu demi bertahan hidup.Tepat pada siang hari, Farrel, Gina dan pak Reno kembali bersembunyi saat terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Namun, sebelumnya pak Reno telah menyimpan sebuah kamera tersembunyi di kamar itu, untuk merekam aksi kejahatan yang akan dilakukan Rumiah."Semoga rencana ini berhasil, ya Tuhan. Aku ingin melihat Ayah dan Ibu kembali bersama lagi seperti dulu, bahagia tanpa ada wanita jahat itu. Tuhan, tolong permudah jalan kami untuk mengungkap semuanya di ha
Romi menelan sedikit demi sedikit air kelapa itu. Walau pun sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Namun, ia masih bisa menelan cairan yang diberikan oleh pak Reno.Romi telah menghabiskan air kelapa itu satu botol. Pak Reno membiarkan Romi setelah meminum air itu, menunggu reaksi air kelapa yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Romi sedikit demi sedikit mulai bisa menggerakkan tangannya. Hal itu membuat Farrel senang."Ayah coba gerakkan kakinya," ujar Farrel.Walau pun belum pulih sepenuhnya, sedikit demi sedikit kaki Romi pun mulai bisa di gerakkan. Romi pun kembali bisa berbicara walau pun belum lancar sepenuhnya."Aku akan panggilkan dokter, Romi. Kamu butuh dokter untuk memeriksa keadaan kamu," ujar pak Reno."Em ... Pak, apa nggak sebaiknya kita bawa saja Ayah ke rumah sakit? Lagi pula, wanita itu sudah pergi," sahut Farrel memberi usul."Ya, kamu benar, Farrel. Ayok, kita bawa Ayah kamu ke rumah sakit. Saya akan siapkan mobil saya dulu