Beranda / Rumah Tangga / NAFKAH YANG TERBAGI / Bab 5 Anak siapa, Mas?!

Share

Bab 5 Anak siapa, Mas?!

Penulis: Yuni Masrifah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-20 13:02:13

Sungguh, apa yang dilihat Ratri itu sungguh menyakiti hatinya.

Dengan tubuh gemetar, Ratri kemudian bersiap menaiki ojek yang sudah disewanya tadi. Karena sebelum pergi ke kantor Rusdi, Ratri sempat meminjam uang kepada Marni.

"Bang, ikuti mobil itu!" tunjuk Ratri pada mobil yang dikendarai Rusdi.

"Jaga jarak ya, Bang. Jangan sampai kita ketahuan," ujar Ratri yang disambut oleh anggukan tukang ojek itu.

Mobil Rusdi keluar dari parkiran, kemudian melaju membelah jalanan yang sedikit padat.

Ketika Ratri fokus menatap mobil yang dikendarai Rusdi. Ratri merasa ponsel di dalam saku celananya bergetar. Sebenarnya ia enggan untuk mengangkatnya. Namun, takut jika yang menelpon ada keperluan penting.

"Mas Rusdi," gumam Ratri ketika layar ponsel itu tertera nama Rusdi.

"Halo, Mas!" sapa Ratri.

"Halo, Rat, kok berisik sekali. Kamu ada dimana?" tanya Rusdi.

"Eh ini aku ... Ada di jalan. Kebetulan aku habis beli sabun cuci piring di warung pinggir jalan," jawab Ratri sekenanya.

"Oh ... Ini, Rat, aku cuma mau kasih tahu. Barusan aku ditelepon lagi sama bos aku. Katanya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi kemungkinan aku bakalan pulang telat. Nggak apa-apa, kan?" tanya Rusdi.

Ratri menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Entah kenapa, feeling Ratri mengatakan, jika Rusdi sedang berbohong. Apakah Ratri harus mempercayainya lagi?

"Halo, Rat ... Kamu masih di situ, kan?" tanya Rusdi.

"Em ... Iya, nggak apa-apa. Tentunya pekerjaan kamu lebih penting kan, dari pada anakku," jawab Ratri.

"Kok ngomongnya gitu, aku ...." Belum sempat Rusdi berbicara lagi, Ratri telah memutuskan teleponnya.

Sampai di pertigaan jalan, Rusdi berbelok ke arah gang dan berhenti di depan rumah yang terbilang cukup besar dari rumah-rumah yang lain, kemudian memasukkan mobilnya ke dalam garasi.

Ratri mengernyit merasa bingung, ia tidak tahu rumah yang dikunjungi Rusdi itu rumah siapa.

Jarak antara kantor ke rumah itu memakan waktu sekitar satu jam lamanya.

"Mas Rusdi kok ke sini? Ini rumah siapa sebenarnya?" gumam Ratri. Ia tak bisa menerka-nerka. Ia hanya bisa memantau Rusdi dari jauh saja sambil bertanya-tanya dalam hati.

"Bang, berhenti di sini. Abang tunggu di sini, ya! Jangan kemana-mana," imbuh Ratri yang disambut anggukan kepala tukang ojek itu.

Rusdi keluar dari dalam mobil, kemudian berjalan hendak menuju rumah itu. Rasa penasaran Ratri kian membuncah. Namun, ada debaran aneh di setiap detak jantungnya. Debaran yang seperti menyiratkan akan adanya sesuatu yang entah apa itu.

Ratri membuntuti Rusdi yang telah masuk ke dalam pelataran rumah itu. Terlihat, di pelataran rumah yang tidak dipasang pagar itu, Ratri melihat motor Rusdi terparkir rapi di sana. Membuat Ratri yang melihatnya tambah kebingungan. Ada apa sebenarnya? Kenapa motor Rusdi ada di depan rumah itu?

Rusdi hendak berjalan menuju teras rumah itu. Namun tiba-tiba suara langkah kaki berlari terdengar nyaring dari dalam rumah itu.

Ceklek!

Dari dalam rumah, seseorang membukakan pintu lalu menyambut hangat Rusdi yang berdiri di depan pintu.

"Papa ...."

Deg!

Seperti disambar petir disiang bolong, Ratri mendengar ucapan yang begitu menyayat hati. Apa? Papa? Siapa anak itu? Kenapa memanggil Rusdi dengan sebutan papa. Ratri membekap mulutnya sendiri tak percaya.

Anak perempuan yang baru saja memanggil Rusdi papa, memeluk dan bergelantungan di lengan Rusdi. Mungkin jika orang lain yang melihatnya, akan menyangka jika mereka adalah sepasang ayah dan anak.

Belum apa-apa air mata Ratri telah berlinang dan dengan mudahnya terjatuh membasahi pipinya. Berkali-kali Ratri memukulkan tangannya ke pohon yang ada di hadapannya. Membuat buku-buku tangannya berubah menjadi merah dan sedikit mengeluarkan cairan merah.

Ratri masih berdiam diri di tempat semula. Ia berdiri di balik pohon berukuran cukup besar, sambil memandangi Rusdi yang terlihat menggendong ria seorang anak kecil itu. Diperkirakan mungkin anak perempuan itu seumuran Gina.

Kemudian keluar seorang wanita dari dalam rumah itu. Ia berjalan menghampiri Rusdi dan anak kecil itu.

"Mas, sudah pulang? Ya sudah kalau begitu, kita berangkat sekarang saja, yuk! Aku sudah lapar, nih. Aku dan Cherly belum makan dari tadi. Kami sengaja nungguin kamu pulang. Ngomong-ngomong, kita makannya di cafe ontohod saja, ya!" ujar seorang wanita cantik berambut hitam dan panjang sambil terus tersenyum ke arah Rusdi.

Ratri tidak tahu siapa wanita itu. Tidak ingin menerka-nerka sebelum semuanya jelas. Ratri berniat akan kembali mengikuti mereka sampai Ratri tahu, siapa sebenarnya wanita cantik dan anak perempuan itu. Dan ada hubungan apa mereka dengan Rusdi?

Rusdi mengangguk, kemudian membukakan mobil itu untuk wanita dan anak itu.

Gegas Ratri berlari mendekati tukang ojek tadi. Ia bersembunyi dengan cara memalingkan wajahnya ketika mobil yang dikendarai Rusdi melintas di hadapannya.

"Bang, ikuti lagi mobil itu. Jangan sampai kita kehilangan jejak," ujar Ratri menepuk bahu, menginterupsi tukang ojek itu.

Tukang ojek itu mengangguk, lalu menghidupkan mesin motornya dan berusaha mengikuti mobil itu dengan sangat hati-hati.

Sepanjang jalan, hati Ratri merasakan nyeri, walau pun ia belum tahu jelas kebenarannya. Namun, wanita mana yang tidak curiga melihat suaminya seperti itu.

Terlebih hubungan rumah tangganya dilandasi dengan kebohongan, yang Ratri sendiri baru tahu sekarang.

"Sabar, Ratri, semuanya belum jelas. Sabar ...." Ratri berusaha menghibur dirinya sendiri sepanjang motor yang ditumpanginya melaju.

Sampai di depan cafe yang dituju, mobil yang dikendarai Rusdi berhenti. Mereka bertiga keluar dari dalam mobil itu. Tampak wanita itu bergandengan tangan dengan Rusdi memasuki cafe tersebut dengan anak kecil itu berjalan di depan mereka.

"Abang tunggu saya lagi, ya! Jangan kemana-mana. Saya mau masuk dulu," titah Ratri.

Dengan cepat, Ratri masuk ke dalam cafe tersebut.

Dengan penyamaran menggunakan masker, ia mencari tempat duduk yang tak jauh dari tempat Rusdi dan wanita itu duduk.

"Tega kamu, Mas ... Di rumah, aku hanya makan berlaukan garam dan cabai saja. Sementara kamu, enak-enakan dengan wanita lain makan di cafe." Batin Ratri menggerutu dengan tubuh yang bergetar hebat. Ia menelan salivanya kasar.

"Mas, jadi benar hari ini mau pulang? Padahal aku dan Cherly masih ingin bersama kamu terus." Ratri mendengarkan percakapan mereka sambil berpura-pura memainkan ponselnya supaya mereka tidak curiga. Ia sedang memata-matai Rusdi dan wanita itu dari dekat. Namun, tentu tanpa ketahuan oleh mereka.

"Ya ... mau bagaimana lagi, Sayang? Anak aku nanyain aku terus. Malas sih sebenarnya pulang, tapi ya ... Aku bingung," sahut Rusdi sambil menggedikkan bahu.

Wanita itu tampak menghela nafas kasar.

"Padahal Cherly anak kamu juga loh, Mas. Ya ... walau pun dia hanya anak sambung. Tapi dia lebih membutuhkan kasih sayang kamu dibanding anak kamu itu," ujar wanita itu.

"Hanya kamu pria yang sangat disayangi Cherly. Dia anakmu, anakmu juga, Mas!" lanjut wanita itu menegaskan.

"Ya Tuhan ...." Ratri membekap mulutnya sendiri dengan sebelah tangan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau ratri bodoh. apa belum cukup juga sebagai bukti semua yg kamu lihat,njing!! percuma kau punya kawan yg nisa kau mintai tolong.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • NAFKAH YANG TERBAGI    Bab 96 Hukuman Mati

    Selain meninggalkan ponsel baru untuk Gina. Lena pun meninggalkan nomornya, supaya Gina menghubunginya.Gina kemudian menghubungi Lena untuk mengucapkan terima kasih. Lena begitu perhatian. Bersyukur ia memiliki ibu sambung sepertinya. Selain itu, Gina juga menanyakan kabar tentang orang tuanya. Belum begitu lama tinggal di kampung, Gina merasa sangat merindukan mereka. Entah sedang apa mereka, apakah mereka masih sibuk mencari Gina?Telepon pun tersambung, Lena segera mengangkatnya."Halo, Bunda. Bunda di mana sekarang? Maaf, tadi kata Nenek saat Bunda berkunjung, akunya nggak ada di rumah. Aku sedang ada urusan di luar. Oh iya, terima kasih banyak ya, Bun ponsel dan uangnya. Kebetulan sekali aku sangat membutuhkan ponsel ini," ucap Gina."Halo, Sayang. Iya tidak apa-apa. Bunda ada di jalan, sebentar lagi sampai di rumah," sahut Lena."Em ... Bunda, bagaimana kabar ayah? Terus ibu dan ayah Saga? Bunda juga apa kabar? Kangen aku sama kalian," imbuh Gina."Kabar ibu dan ayah Saga baik-

  • NAFKAH YANG TERBAGI    Bab 95 Membawa Pulang

    Beberapa saat kemudian, Farrel dan tim kepolisian kembali dengan tangan kosong. Rumiah telah lolos dari kejaran mereka. Sehingga membuat Rumiah ditetapkan menjadi DPO."Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencari keberadaan saudari Rumiah." Polisi pun pamit dari rumah Farrel."Bagaimana ini? Keadaan ini belum aman jika Rumiah masih bebas berkeliaran. Bisa saja sewaktu-waktu, dia kembali mencari Ayah dan memaksa lagi untuk memberikan semua milik Ayah. Bahkan tak segan membuat Ayah menderita lagi." Farrel merasa khawatir.Mereka terdiam untuk beberapa saat. Namun, beberapa saat kemudian Gina mengutarakan pendapatnya."Em ... Bagaimana kalau Om Romi ikut kita ke kampung saja, Rel. Sekalian kita jelaskan kepada ibu kamu," imbuh Gina.Farrel menoleh ke arah ayahnya. Pak Reno pun ikut menimpali, "Ide yang bagus. Memang sebaiknya untuk sementara waktu, Ayah kamu harus kamu bawa dari rumah ini. Bahaya jika dibiarkan tinggal sendirian, seme

  • NAFKAH YANG TERBAGI    Bab 94 Ditangkap

    "Ya Tuhan, Gina!" teriak Rumiah, ketika Gina terbatuk dan menyemburkan air di dalam mulutnya pada berkas itu."Aduh, maaf-maaf. Aku tidak sengaja, biar aku bersihkan berkasnya," ucap Gina.Gina kemudian merebut berkas itu, lalu berusaha mengeringkannya menggunakan ujung kerudung yang dipakainya."Ya ... Sobek," ujar Gina.Rumiah melotot tajam, melihat apa yang dilakukan oleh Gina. Namun, pak Reno dan juga Farrel menahan tawa atas apa yang terjadi."Kamu, ya! Kamu apakan berkas ini? Kurang ajar kamu, Gina!"Rumiah melayangkan tamparan ke arah Gina. Namun, secepatnya Farrel menahan tangan Rumiah."Berani menampar dia, maka rekaman itu akan aku berikan ke polisi dan aku sebar luaskan." Farrel memberi ancaman.Rumiah menepis tangan Farrel, ia berbalik badan menghadap Farrel."Rekaman apa yang kamu maksud? Bukankah rekaman itu sudah aku hapus? Jangan main-main denganku, Farrel. Aku tidak bisa kamu kelabuhi. Aku bukan wanita bodoh seperti yang kamu pikirkan," cetus Rumiah.Farrel tertawa be

  • NAFKAH YANG TERBAGI    Bab 93 Menandatangani

    Rumiah membeliak, saat melihat kak Reno memperlihatkan rekaman kejahatannya barusan. Farrel, Gina dan pak Reno tersenyum puas atas bukti yang telah mereka dapatkan."Sialan kalian semua, ternyata kalian menjebakku. Aku tidak akan tinggal diam. Aku hanya menuntut hakku sebagai istri Romi. Tapi kalian, berani-beraninya merekamku tanpa sepengetahuanku," ujar Rumiah.Romi bangkit lalu berdiri, ia menimpali ucapan Rumiah, "Apa? Hak? Jelas-jelas aku sudah menjatuhkan talak terhadap kamu. Lagi pula, kita hanya menikah secara siri. Jadi, tidak ada hak untuk kamu menguasai apa yang aku punya.""Jelas aku punya hak, kamu hanya memberikan sebagian kecil uang dan perhiasan. Kamu jangan hanya mau enaknya saja, Romi!" sarkas Rumiah."Kamu tidak bisa bersyukur, Rumiah. Aku sudah menolongmu dari garis kemiskinan. Aku menikahi kamu, karena aku kira kamu baik. Tapi ternyata, kamu tidak lebih dari seekor ular. Beruntung aku hanya menikahi kamu secara siri. Kamu tidak ada bedanya dengan seorang penipu. K

  • NAFKAH YANG TERBAGI    Bab 92 Bukti Kejahatan

    Dua hari kemudian, Farrel bergegas membawa kembali ayahnya untuk pulang. Terpaksa ia dan Gina tidak pulang ke kampung, karena urusan bersama ayahnya sangat penting, demi menyelesaikan misinya.Sesampainya di rumah, Romi kembali dipakaikan baju yang terakhir kali ia pakai di rumah itu. Walau pun sudah tidak nyaman. Namun, demi mengelabuhi Rumiah, Romi harus memakainya lagi.Tidak hanya itu, Farrel juga sengaja menyimpan sedikit makanan mentah di atas lantai. Seolah-olah Romi telah memakan makanan itu demi bertahan hidup.Tepat pada siang hari, Farrel, Gina dan pak Reno kembali bersembunyi saat terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Namun, sebelumnya pak Reno telah menyimpan sebuah kamera tersembunyi di kamar itu, untuk merekam aksi kejahatan yang akan dilakukan Rumiah."Semoga rencana ini berhasil, ya Tuhan. Aku ingin melihat Ayah dan Ibu kembali bersama lagi seperti dulu, bahagia tanpa ada wanita jahat itu. Tuhan, tolong permudah jalan kami untuk mengungkap semuanya di ha

  • NAFKAH YANG TERBAGI    Bab 91 Menyesal

    Romi menelan sedikit demi sedikit air kelapa itu. Walau pun sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Namun, ia masih bisa menelan cairan yang diberikan oleh pak Reno.Romi telah menghabiskan air kelapa itu satu botol. Pak Reno membiarkan Romi setelah meminum air itu, menunggu reaksi air kelapa yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Romi sedikit demi sedikit mulai bisa menggerakkan tangannya. Hal itu membuat Farrel senang."Ayah coba gerakkan kakinya," ujar Farrel.Walau pun belum pulih sepenuhnya, sedikit demi sedikit kaki Romi pun mulai bisa di gerakkan. Romi pun kembali bisa berbicara walau pun belum lancar sepenuhnya."Aku akan panggilkan dokter, Romi. Kamu butuh dokter untuk memeriksa keadaan kamu," ujar pak Reno."Em ... Pak, apa nggak sebaiknya kita bawa saja Ayah ke rumah sakit? Lagi pula, wanita itu sudah pergi," sahut Farrel memberi usul."Ya, kamu benar, Farrel. Ayok, kita bawa Ayah kamu ke rumah sakit. Saya akan siapkan mobil saya dulu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status