MasukLangit malam menumpahkan hujan seperti sedang menguji nyali Clarissa. Jalanan menuju lokasi kecelakaan itu sepi, hanya suara gemuruh ban mobil menembus genangan air dan detak jantungnya sendiri yang tak kunjung tenang.Pesan misterius itu masih terpampang di layar ponsel.“Datang ke lokasi kecelakaan. Sendirian.”Clarissa menggenggam setir kuat-kuat. Tangannya dingin, tapi pikirannya terbakar oleh tanya yang tak berujung. Kata-kata Zahra terus bergema di kepalanya.“Kamu yang ada di sana malam itu, Clarissa.”Tidak mungkin.Dia yakin malam itu dia sedang menunggu Raihan di rumah. Tapi kenapa, begitu mendengar kata “Bima”, ada rasa sesak di dada dan bayangan samar mobil rusak di antara hujan?Mobil berhenti di tikungan tua — tempat di mana Bima dikabarkan meninggal bertahun-tahun lalu. Lampu jalan hanya satu yang masih menyala redup,
Raihan tertidur gelisah di ranjang rumah sakit, keringat dingin membasahi pelipisnya. Clarissa duduk di sisi tempat tidur, memegangi tangan suaminya erat-erat, berusaha menenangkan gemetar yang tak kunjung reda.“Aku di sini, Mas… tenang, ya,” bisiknya.Setiap malam, bayangan kejadian di taman belakang itu masih menghantui Clarissa. Tatapan kosong Raihan, jeritan Zahra, dan darah di lantai yang sempat menetes dari bibir Zahra membuatnya sulit tidur. Tapi yang paling membekas adalah kalimat Zahra sebelum pingsan:“Kamu gak bisa hadapi sendirian.”Clarissa menatap wajah Raihan yang tampak tenang dalam tidur. Ia tahu di balik ketenangan itu ada badai besar yang belum usai.Pagi itu, dokter menyarankan agar Raihan dirujuk ke terapis trauma psikis. Clarissa menyetujui, tapi ia juga tahu — terapi hanya akan mengobati luka di permukaan. Ia harus menemukan akar dari semua ini.
Langit pagi tampak kelabu ketika Clarissa menatap pantulan wajahnya di kaca mobil. Mata yang biasanya tenang kini terlihat lelah dan basah. Ia menatap jam di pergelangan tangan — pukul 09.47. Masih ada 13 menit sebelum janji pertemuannya dengan Zahra.Di kursi belakang, Kania sudah dititipkan ke tetangga. Raihan tidak tahu kalau istrinya akan pergi hari ini. Clarissa hanya meninggalkan pesan singkat di meja makan: “Aku butuh waktu untuk menenangkan diri.”Mobil Clarissa berhenti di depan sebuah bangunan tua bercat putih yang kini berubah jadi tempat rehabilitasi mental swasta. Tulisan di depan gerbangnya membuat Clarissa menelan ludah. Ia mengenali tempat ini — bangunan yang sama tempat Raihan dulu dirawat setelah keluar dari penjara.Langkah Clarissa terasa berat. Ia sempat ingin memutar balik, tapi rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takut.Zahra sudah menunggunya di taman belakang gedung. Duduk di bangku p
“Permisi,” ucap Zahra lembut. “Saya datang untuk menyelesaikan yang belum selesai, Raihan.”Suara perempuan itu terdengar tenang, tapi menusuk. Clarissa berdiri di ambang ruang tamu, memeluk kedua lengannya sendiri. Sementara Raihan masih terdiam di depan pintu, sorot matanya penuh keterkejutan dan ketakutan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan.“Zahra…” suaranya serak. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Zahra tersenyum samar. “Kamu tidak berubah, ya. Masih selalu menanyakan hal yang sudah kamu tahu jawabannya.”“Ini bukan tempat untuk kamu datang seenaknya.”“Aku tahu. Tapi aku juga tahu, kamu pasti gak akan datang kalau aku cuma mengirim pesan.”Clarissa melangkah maju satu langkah. “Miss Zahra… maksud Anda apa datang ke rumah saya?”Zahra menatapnya lama. Tatapan itu lembut tapi dalam, seperti sedang menilai seseorang dari uju
“Senang bertemu dengan Anda, kembali.”Kalimat itu menancap dalam di kepala Clarissa, berputar-putar sampai suara Kania pun nyaris tak terdengar di telinganya. Kembali? Apa maksudnya? Clarissa menatap Zahra, mencoba menebak-nebak di balik senyum anggun perempuan itu yang terasa terlalu tenang untuk sebuah pertemuan kebetulan.“Oh iya, Miss… kalau boleh tahu, Ibu pernah kenal saya sebelumnya?” tanya Clarissa akhirnya, dengan nada seramah mungkin.Zahra tersenyum, sedikit menunduk. “Entah, mungkin hanya saya yang merasa pernah mengenal Anda, Bu Clarissa. Kadang wajah seseorang bisa membawa ingatan lama.”Clarissa tertawa pelan. “Mungkin begitu. Dunia ini memang sempit, ya.”“Terlalu sempit, mungkin,” sahut Zahra pelan. Ada sesuatu di matanya—campuran iba dan kehati-hatian—yang membuat Clarissa menggigit bibir bawahnya tanpa sadar.Kania yang sedari tadi memegangi tangan ibunya menatap bergantian ke dua perempuan itu. “Mama, Miss Zahra suka banget sama gambar Kania yang Mama dan Papa pel
"Mas."Clarissa akhirnya mengalahkan egonya untuk tidak menyapa suaminya, sejak obrolan tentang ibu Raihan. Clarissa memilih untuk bungkam, percakapan dengan Kania tadi malam sungguh membuat Clarissa kian bertambah pusing. Kenapa pada akhirnya orang-orang di masa lalu kembali hadir saat kehidupan mereka sudah membaik."Iya, dek." "Mas, soal ibu."Raihan menatap Clarissa dalam, dia sudah pasrah dengan apapun keputusan Clarissa karena mungkin Raihan sadar bahwa selama ini keluarganya sama sekali tak pernah peduli padanya. Lalu mendadak kembali hadir setelah semua yang dilalui oleh mereka berdua. Raihan sadar tak mudah jadi Clarissa yang dinikahinya secara sembunyi-sembunyi, melewati masa sulit saat Raihan di penjara. Clarissa sempat ingin menyerah tapi akhirnya tetap bertahan, menemani Raihan hingga titik sekarang dan mereka sudah meresmikan pernikahan secara negara juga. Semua kepahitan hidup yang sudah dilewati oleh Raihan tak lepas dari dukungan dan kehadiran Clarissa, kini semua







