Mas Raihan terlihat sangat gelisah, aku yakin dia tengah menunggu kedatangan orang tua kita seperti yang tadi aku bilang, rasanya ingin tertawa melihat tingkahnya, berani berbohong, berani berdusta tapi tak berani bertanggungjawab.
"Kamu gak ke kantor, Mas?" tanyaku.
"Bukankah orang tua kita akan datang," ucapnya.
"Ternyata kamu takut juga kan? Makanya jangan coba-coba bermain apa kalau kamu gak mau terbakar, Mas."
"Sayang, aku tidak sedang bermain api. Aku hanya…."
"Sudah Mas, aku sudah bilang apapun yang keluar dari mulut kamu sudah tak bisa aku percaya. Pergilah, mereka tak jadi datang. Lagi pula aku masih bisa berpikir bijak, harusnya kamu yang datang meminta maaf pada orang tua kita telah berkhianat. Nanti siang aku izin keluar, untuk berkonsultasi soal masalah kita ini."
Mas Raihan terlihat lebih terkejut dengan ucapanku ini, dia menghampiriku.
"Sayang, aku rasa tak perlu seperti itu. Aku minta maaf dan kamu maafkan aku, maka semua selesai. Aku janji tak akan mendoakan dia lagi," ucapnya memohon.
"Janji kamu itu menyakitkan aku, Mas."
"Sayang, tolong beri aku kesempatan sekali lagi."
Mas Raihan melipat dua tangannya dan menyimpannya di depan wajahnya, menatap serius kedua bola mataku, aku dapat melihat penyesalan di dalamnya tapi aku tak mau percaya kembali dengan begitu mudahnya. Aku memalingkan wajah dari pandangannya, mencoba tidak terpengaruh dengan permohonannya itu sampai aku bisa membuktikan tak ada hal lain selain kebohongan itu yang sedang direncanakan Mas Raihan.
"Pergilah," ucapku.
Mas Raihan tak mengejarku saat aku meninggalkannya mungkin dia mematung, sedangkan aku kembali merenung di dalam kamar. Mas Raihan memang sudah berbohong dan menyakitiku, tapi bukan berarti begitu mudah aku menyerah, aku harus berusaha mencari tahu seberapa dalam doa menyimpan nama itu. Jika memang pada akhirnya aku yang harus mengalah akan aku lakukan.
Kuraih ponsel di atas nakas, lalu mengirim pesan pada Hanifa.
[Dek, boleh minta nomor pemilik butik yang kemarin launching?]
[Untuk apa kak? Aku harus izin dia dulu]
Aku menghela napas berat, balasan dari Hanifa membuat aku sedikit kecil harapan. Hanifa pasti tak akan memberikannya, dia tahu soal hubungan kakaknya dengan perempuan itu. Ya, tentu saja pasti tahu itu sebabnya dia marah saat aku memegang ponselnya kemarin pagi.
Pukul sepuluh, aku sudah bersiap untuk menemui perempuan itu. Mas Raihan sudah berangkat.
Aku mohon jangan melakukan tindakan gegabah. Aku pergi dulu, karena barusan menerima telepon dari kantor. Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin.
Aku tersenyum kecut, apa-apaan dia nulis kalimat itu di secarik kertas jadul sekali. Kuremas kertas itu lalu bergegas melakukan apa yang ingin aku lakukan.
Mobil online yang kupesan telah berhenti tepat di depan mall besar itu, aku memasang kacamata hitam lalu turun dan berjalan menuju lantai tiga. Perlahan berjalan, semua rangkaian bunga sudah tak terlihat, mall ini sudah bersih kembali begitupun di depan pintu masuk hanya satu yang masih betah diam disana. Buket bunga dengan balon di atasnya itu yang dikirim oleh inisial MR. MRA masih anteng disana.
Ada rasa nyeri kembali menyerang, entahlah aku merasa bunga itu dari Mas Raihan. Karena nama Mas Raihan adalah Muhammad Raihan Abdullah, nama yang bagus tapi sayang menyimpan kebohongan besar.
"Selamat datang, Mbak."
Ucapan dari para pelayan dengan kompak itu membuatku sedikit terkejut.
"Assalamualaikum, Mbak. Ada yang bisa kamu bantu," sapa seorang perempuan yang kutaksir dia pramuniaga butik ini.
"Aku mau bertemu dengan pemilik butik ini, ada?"
"Kebetulan ibu Zahra sedang keluar, Mbak. Boleh tahu dengan ibu siapa nanti saya coba kabarkan."
"Oh, tidak perlu. Aku akan menunggunya saja."
"Baik, silakan mbak sambil melihat koleksi butik kami. Promo diskon lima belas persen masih berlaku atau Mbak nya berminat melihat koleksi desain spesial limited edition di butik ini tinggal tersisa tiga model lagi."
Dengan ramah dan detail pramuniaga itu menjelaskan semuanya, aku sedikit penasaran dengan hasil desain perempuan itu. Di ikuti pramuniaga itu aku berjalan menuju tempat koleksi spesial hasil rancangan perempuan yang namanya disebut dalam doa suamiku.
Satu per satu aku melihat setiap model baju itu, memang sungguh memukau dan menarik hati. Rasanya aku ingin membawa pulang satu dari di antara tiga model ini, tapi tunggu jika aku melakukan itu bukan tak mungkin Mas Raihan akan mengenali hasil perempuan itu. Karena aku tak percaya jika mereka lost kontak selama perempuan itu di luar negeri.
"Assalamualaikum, Bu."
Serentak para pramuniaga itu mengucap salam dan aku segera menoleh ke pintu masuk, seorang perempuan dengan hijab mengulur panjang, gamis yang nyaris menyapu lantai datang dengan senyum menyenangkan dan menenangkan. Dia menyapa semua pegawainya dengan ramah.
"Bu, ada tamu ingin bertemu ibu."
"Siapa?" tanya perempuan itu.
Ah, ternyata dia pemilik butik ini. Zahra Khaura perempuan masa lalu suamiku dan yang disebut dalam doanya, kini dia nyata ada di depanku. Betapa tak ada apa-apanya aku dibanding dia yang masih terlihat muda, cantik, pintar berbisnis seperti ini.
"Itu Bu," ucap pramuniaga itu mengarahkan telunjuknya kepadaku.
Senyum yang sejak tadi mengembang mendadak memudar perlahan saat dia menatap ke arahku, tunggu apakah dia mengenalku? Tampak di wajahnya seperti penuh luka saat menatapku. Berjalan perlahan menemuiku, lalu seulas senyum hadir di bibirnya manakala telah sampai di depanku.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya.
"Bisa kita bicara berdua."
"Silakan, Mbak."
Tanpa ragu perempuan itu mempersilakan aku berjalan untuk mengikutinya, mungkin dia mengajakku ke ruangannya.
"Kalau ada yang mencari saya lagi, di tahan dulu ya."
Entahlah, dia sedang menyindir atau apa dengan kalimat itu. Aku tak peduli dan terus mengikutinya, benar saja dia membawaku ke ruangannya.
"Silakan duduk, mbak."
Perempuan itu lalu ikut duduk setelah aku lebih dulu duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya lagi.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mencoba mengatur diri agar lebih rileks dan tenang. Kali ini aku sedang berada di kandang rival ku ah bukan di tempat perempuan yang kisahnya disembunyikan dariku. Perempuan yang pernah sangat membuat suamiku jatuh cinta, bisa kalian bayangkan rasanya seperti apa?
"Apakah kamu masih mencintai suami saya?"
"Maksud Mbak?" tanyanya heran.
"Muhammad Raihan Abdullah. Apakah kamu masih mencintai lelaki itu?"
Perempuan itu terlihat sedikit terkejut lalu menghela napas, aku tak sedikit pun lengah dari tatapannya agar aku tahu sejauh mana dia akan berdusta. Hingga tatapan kami saling bertemu, hening sejenak dia seolah masih mencari jawaban atas pertanyaanku itu.
***
Suka gaya Naura, gercep...
Mataku nanar menatap lelaki yang baru saja memanggilku, lelaki yang membuatku kuat melawan apapun yang terjadi dalam hidup ini, lelaki yang membuatku tak punya waktu untuk memikirkan kehidupan lain selain mimpi-mimpi indahku untuk menjadi seorang desainer profesional. Mas Raihan, kenapa Allah harus mempertemukan kami kembali? Aku kembali ke negeri ini karena merasa inilah rumahku, tempat aku harus memiliki manfaat setelah berjuang bertahun-tahun di luar negeri. Berusaha tetap bersikap tenang dan tegas menghadapi lelaki itu, hingga aku berhasil pergi menjauh darinya. Baru sebulan menginjakan kaki di sini sudah bertemu dengan dia lagi, mungkin memang seharusnya aku tak memilih kota ini untuk membangun bisnis ini tapi hanya disini tempat yang paling menantang untuk mengaplikasikan apa yang sudah aku dapatkan. Pertemuan singkat tapi mampu membangkitkan kembali ingatanku ke masa lalu yang begitu menguras emosi jiwa dan raga, peristiwa yang membuatku tak bisa melupakannya begitu saja. Ra
"Halo, Mas.""Assalamualaikum, sayang.""Waalaikumsalam, Mas. Ada apa?" "Kamu dimana?" tanya Mas Raihan di ujung sana.Seketika aku baru sadar kalau aku belum memutuskan jadi pergi atau tidak."Aku di jalan, Mas. Kenapa?" tanyaku. "Aku sudah di rumah, mau aku jemput?" tanyanya. Aku terdiam, sebetulnya jarak ke rumah tinggal sebentar lagi ingin rasanya melihat mereka bertemu. Ya, melihat Mas Raihan dan Zahra bertemu, aku penasaran dengan reaksi mereka apalagi reaksi Mas Raihan. "Boleh, Mas. Aku nanti kirim lokasinya." Mas Raihan pun menutup panggilan setelah mengucapkan kalimat pamit ciri khasnya, bagaimana mungkin Mas Raihan masih bisa setenang itu setelah semalaman kita berdebar soal perempuan itu. Aku meminta supir taksi online itu kembali ke mall, mengatur sedemikian rupa rencana pertemuan mereka. Sepanjang jalan aku terbayang kembali obrolan aku dengan Zahra, di ruang kerjanya tadi. "Apakah anda masih bisa mencintai lelaki yang telah menancapkan luka hebat di hati anda?" ta
"Hey, ada apa sih?"Sikutan Shofa membuatku terkejut dan segera mencoba menenangkan diri, sejak tadi pikiranku memang melayang entah kemana, rasanya begitu rumit tapi sebetulnya akan sangat gampang jika aku berani mengambil sikap. "Lagi ada masalah?" tanya lagi.Aku menunduk, enggan berbagi tapi aku perlu teman untuk bisa mendapat solusi dari masalah ini. Lima tahun berumah tangga, ini adalah masalah terberat dan penuh misteri untukku. Jika selama ini Shofa melihat rumah tanggaku baik-baik saja, mungkin sekarang saatnya dia tahu bahwa semua tak seperti yang dilihatnya selama ini. "Hey, ayolah. Kita sudah duduk di meja ini hampir satu jam bahkan aku sudah menghabiskan semua pesananku sedangkan kamu masih ngelamunin mie semangkok di depan kamu. Come on, ladies, talk about your problem to me."Aku tersenyum tipis, rasanya geli mendengar dia pakai bahasa asing yang katanya baru dia pelajari karena lagi dekat sama lelaki asal Brunei. Ah, dasar Shofa aneh. "Nah, udah mulai senyum kan? Ay
"Maksud kamu apa ngajak mama kesana, hah?"Aku menanggapi santai kemarahan mama, semua kini sudah mulai terbuka. Allah seakan memudahkan langkahku untuk mencari tahu semua yang disembunyikan oleh Mas Raihan dan keluarganya. "Iya, mbak. Mbak tega banget melakukan ini, mbak sengaja ya mau bikin mama malu."Hanifa ikut-ikutan menyalahkan ku, bagaimana tidak hari ini Mama seakan menerima balasan atas apa yang dilakukannya beberapa tahun lalu pada perempuan itu. Entah kenapa kini aku berbalik simpati padanya saat dia dengan elegan membalas semua sikap Mama. Memang sejak dulu Mama Raihan itu terkenal dengan keangkuhan dan kesombongan padahal tanpa kedua orang tuaku mereka bukan siapa-siapa. Aku hanya terdiam, menikmati bayangan peristiwa tadi di dalam butik itu. Setelah sampai di mall siang itu dan bertemu mama juga Hanifa, kami berjalan menuju butik itu. "Mbak, kenapa harus ke butik ini?" tanya Hanifa dengan sikap yang membuatku bisa menebak dia salah tingkah. "Ini butik baru, Mama be
"Dek."Aku terperanjat mendengar suara Mas Raihan, belum lagi lingkar tangan di pinggang membuat aku terpaksa mengulas senyum tipis. "Habis terima telpon atau pesan dari siapa?" tanyanya. "Biasa Shofa, Mas.""Oh, dia masih betah single."Aku melepaskan pelukan Mas Raihan, berbalik dan tersenyum padanya. Senyum penuh arti yang lemparkan pada lelaki yang ternyata menyimpan banyak rahasia yang tak aku ketahui. Berjalan menuju ranjang, Mas Raihan mengikuti dari belakang. Lalu kami sama-sama duduk di atas ranjang, pikiranku masih penasaran dengan jawaban Mas Raihan soal perempuan yang disebut dalam doanya itu. "Belum bertemu jodoh yang pas mungkin Mas, lagi pula aku baru sadar suatu hal.""Apa?" tanya Mas Raihan penasaran. Aku menatap dua bola hitam legam itu, sungguh dia tampan, baik dan selalu membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung memilikinya. Tapi nyatanya di balik semua itu, aku adalah perempuan yang paling malang. "Saat kita sudah menemukan jodoh kita pun bisa saja
"Apa yang kamu temukan?" tanyaku tak sabar pada Shofa. "Tunggu, aku mau tahu dulu sudah sejauh mana dengan strategi kamu?" tanyanya. Aku menghela napas, sahabatku ini memang paling jago bikin penasaran. Dua hari ini dia terus mengirim kabar yang membuatku terkejut soal masa lalu Mas Raihan yang tak pernah aku usik dari Mas Raihan karena merasa dia jujur sudah menceritakan semuanya nyatanya banyak hal yang disembunyikan oleh lelaki yang pandai berubah sikap itu. Tanpa menunggu lama aku menceritakan semuanya, peristiwa yang terjadi kemarin. Saat aku mengajak Mama Raihan ke butik perempuan itu dan bagaimana sikapku sekarang pada Mas Raihan yang mulai sedikit acuh, aku masih melayaninya tapi saat Mas Raihan mulai merayu, berkata manis atau bahkan seakan mengajakku bercumbu aku selalu menolak. Karena rasanya perih saat aku dengar ternyata tak hanya aku di dalam hatinya terlebih saat kemarin malam Shofa mengirimkan pesan suara itu. "Fix, suami kamu itu punya kelainan karakter.""Maksud
Aku mematung melihat dia kembali datang ke tempat kerjaku, kali ini wajahnya tampak sedih dan menyiratkan luka berbeda dengan kedatangannya beberapa waktu lalu. Tak ada amarah seperti kemarin, tatapannya sayu, kelopak matanya menggambarkan kesedihan mendalam. Aku menghampirinya, mencoba menghilangkan perasaan tak suka dengan kedatangannya lagi. Kubiarkan dia tenang dulu, setelah membantunya berjalan dan duduk di sofa, memberikannya minum tak lama dia terisak, aku sungguh bingung dengan sikapnya. "Ada apa?" tanyaku. "Aku… aku…."Ucapannya terhenti hanya air mata yang kembali mengaliri pipinya yang putih, aku menghela napas mungkinkah dia telah mengetahui kelakuan suaminya. Aku merangkul tubuhnya, membawa perempuan yang dulu sempat aku benci itu dalam pelukan, membuang semua kesakitan masa lalu. "Jika kamu bersedia berceritalah," ucapku lagi. Perempuan itu akhirnya melepaskan pelukanku, mengusap air matanya dan berusaha seolah semua baik-baik saja padahal ku tahu luka itu masih san
"Tidak apa-apa, anaknya lucu mbak.""Terima kasih.""Saya permisi," pamitku pada perempuan yang sepertinya mengenalku tapi saat dia tahu aku bersikap seolah heran padanya dia bisa bersikap biasa saja. Hebat sekali akting kamu, Mbak. Sekarang aku semakin yakin bahwa Mas Raihan sudah mengkhianatiku. Usia anak bernama Zahra tadi sekitar empat tahunan, aku dan Mas Raihan menikah lebih dari lima tahun maka jelas mereka berselingkuh atau bahkan sudah menikah. Langkahku terasa berat tapi aku terus melangkah, tujuanku adalah butik Zahra mantan calon tunangan Mas Raihan yang sempat aku tuduh dialah yang disebut Mas Raihan dalam doanya, tapi kini aku yakin telah salah sangka padanya maka tujuanku adalah meminta maaf padanya. Setelah memastikan dia ada di butik, aku segera meminta supir mobil online untuk melaju menuju tempat tujuan dengan kecepatan yang lebih cepat agar bisa lebih cepat sampai benar saja Alhamdulillah hanya satu jam saja sudah sampai. Berdiri mematung di depan pintu, menata