Share

Chapter 6

Penulis: Nisa Noor
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-20 20:41:45

Mas Raihan terlihat sangat gelisah, aku yakin dia tengah menunggu kedatangan orang tua kita seperti yang tadi aku bilang, rasanya ingin tertawa melihat tingkahnya, berani berbohong, berani berdusta tapi tak berani bertanggungjawab. 



"Kamu gak ke kantor, Mas?" tanyaku. 



"Bukankah orang tua kita akan datang," ucapnya. 



"Ternyata kamu takut juga kan? Makanya jangan coba-coba bermain apa kalau kamu gak mau terbakar, Mas."



"Sayang, aku tidak sedang bermain api. Aku hanya…."



"Sudah Mas, aku sudah bilang apapun yang keluar dari mulut kamu sudah tak bisa aku percaya. Pergilah, mereka tak jadi datang. Lagi pula aku masih bisa berpikir bijak, harusnya kamu yang datang meminta maaf pada orang tua kita telah berkhianat. Nanti siang aku izin keluar, untuk berkonsultasi soal masalah kita ini."



Mas Raihan terlihat lebih terkejut dengan ucapanku ini, dia menghampiriku. 



"Sayang, aku rasa tak perlu seperti itu. Aku minta maaf dan kamu maafkan aku, maka semua selesai. Aku janji tak akan mendoakan dia lagi," ucapnya memohon. 



"Janji kamu itu menyakitkan aku, Mas."



"Sayang, tolong beri aku kesempatan sekali lagi." 



Mas Raihan melipat dua tangannya dan menyimpannya di depan wajahnya, menatap serius kedua bola mataku, aku dapat melihat penyesalan di dalamnya tapi aku tak mau percaya kembali dengan begitu mudahnya. Aku memalingkan wajah dari pandangannya, mencoba tidak terpengaruh dengan permohonannya itu sampai aku bisa membuktikan tak ada hal lain selain kebohongan itu yang sedang direncanakan Mas Raihan. 



"Pergilah," ucapku. 



Mas Raihan tak mengejarku saat aku meninggalkannya mungkin dia mematung, sedangkan aku kembali merenung di dalam kamar. Mas Raihan memang sudah berbohong dan menyakitiku, tapi bukan berarti begitu mudah aku menyerah, aku harus berusaha mencari tahu seberapa dalam doa menyimpan nama itu. Jika memang pada akhirnya aku yang harus mengalah akan aku lakukan. 



Kuraih ponsel di atas nakas, lalu mengirim pesan pada Hanifa. 



[Dek, boleh minta nomor pemilik butik yang kemarin launching?]



[Untuk apa kak? Aku harus izin dia dulu]



Aku menghela napas berat, balasan dari Hanifa membuat aku sedikit kecil harapan. Hanifa pasti tak akan memberikannya, dia tahu soal hubungan kakaknya dengan perempuan itu. Ya, tentu saja pasti tahu itu sebabnya dia marah saat aku memegang ponselnya kemarin pagi. 



Pukul sepuluh, aku sudah bersiap untuk menemui perempuan itu. Mas Raihan sudah berangkat. 



Aku mohon jangan melakukan tindakan gegabah. Aku pergi dulu, karena barusan menerima telepon dari kantor. Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin.



Aku tersenyum kecut, apa-apaan dia nulis kalimat itu di secarik kertas jadul sekali. Kuremas kertas itu lalu bergegas melakukan apa yang ingin aku lakukan. 



Mobil online yang kupesan telah berhenti tepat di depan mall besar itu, aku memasang kacamata hitam lalu turun dan berjalan menuju lantai tiga. Perlahan berjalan, semua rangkaian bunga sudah tak terlihat, mall ini sudah bersih kembali begitupun di depan pintu masuk hanya satu yang masih betah diam disana. Buket bunga dengan balon di atasnya itu yang dikirim oleh inisial MR. MRA masih anteng disana. 



Ada rasa nyeri kembali menyerang, entahlah aku merasa bunga itu dari Mas Raihan. Karena nama Mas Raihan adalah Muhammad Raihan Abdullah, nama yang bagus tapi sayang menyimpan kebohongan besar. 



"Selamat datang, Mbak."



Ucapan dari para pelayan dengan kompak itu membuatku sedikit terkejut. 



"Assalamualaikum, Mbak. Ada yang bisa kamu bantu," sapa seorang perempuan yang kutaksir dia pramuniaga butik ini. 



"Aku mau bertemu dengan pemilik butik ini, ada?"



"Kebetulan ibu Zahra sedang keluar, Mbak. Boleh tahu dengan ibu siapa nanti saya coba kabarkan."



"Oh, tidak perlu. Aku akan menunggunya saja." 



"Baik, silakan mbak sambil melihat koleksi butik kami. Promo diskon lima belas persen masih berlaku atau Mbak nya berminat melihat koleksi desain spesial limited edition di butik ini tinggal tersisa tiga model lagi."



Dengan ramah dan detail pramuniaga itu menjelaskan semuanya, aku sedikit penasaran dengan hasil desain perempuan itu. Di ikuti pramuniaga itu aku berjalan menuju tempat koleksi spesial hasil rancangan perempuan yang namanya disebut dalam doa suamiku. 



Satu per satu aku melihat setiap model baju itu, memang sungguh memukau dan menarik hati. Rasanya aku ingin membawa pulang satu dari di antara tiga model ini, tapi tunggu jika aku melakukan itu bukan tak mungkin Mas Raihan akan mengenali hasil perempuan itu. Karena aku tak percaya jika mereka lost kontak selama perempuan itu di luar negeri. 



"Assalamualaikum, Bu."



Serentak para pramuniaga itu mengucap salam dan aku segera menoleh ke pintu masuk, seorang perempuan dengan hijab mengulur panjang, gamis yang nyaris menyapu lantai datang dengan senyum menyenangkan dan menenangkan. Dia menyapa semua pegawainya dengan ramah. 



"Bu, ada tamu ingin bertemu ibu."



"Siapa?" tanya perempuan itu. 



Ah, ternyata dia pemilik butik ini. Zahra Khaura perempuan masa lalu suamiku dan yang disebut dalam doanya, kini dia nyata ada di depanku. Betapa tak ada apa-apanya aku dibanding dia yang masih terlihat muda, cantik, pintar berbisnis seperti ini. 



"Itu Bu," ucap pramuniaga itu mengarahkan telunjuknya kepadaku. 



Senyum yang sejak tadi mengembang mendadak memudar perlahan saat dia menatap ke arahku, tunggu apakah dia mengenalku? Tampak di wajahnya seperti penuh luka saat menatapku. Berjalan perlahan menemuiku, lalu seulas senyum hadir di bibirnya manakala telah sampai di depanku. 



"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya. 



"Bisa kita bicara berdua."



"Silakan, Mbak."



Tanpa ragu perempuan itu mempersilakan aku berjalan untuk mengikutinya, mungkin dia mengajakku ke ruangannya. 



"Kalau ada yang mencari saya lagi, di tahan dulu ya."



Entahlah, dia sedang menyindir atau apa dengan kalimat itu. Aku tak peduli dan terus mengikutinya, benar saja dia membawaku ke ruangannya. 



"Silakan duduk, mbak."



Perempuan itu lalu ikut duduk setelah aku lebih dulu duduk di sofa yang ada di ruangan itu. 



"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya lagi. 



Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mencoba mengatur diri agar lebih rileks dan tenang. Kali ini aku sedang berada di kandang rival ku ah bukan di tempat perempuan yang kisahnya disembunyikan dariku. Perempuan yang pernah sangat membuat suamiku jatuh cinta, bisa kalian bayangkan rasanya seperti apa? 



"Apakah kamu masih mencintai suami saya?"



"Maksud Mbak?" tanyanya heran. 



"Muhammad Raihan Abdullah. Apakah kamu masih mencintai lelaki itu?"



Perempuan itu terlihat sedikit terkejut lalu menghela napas, aku tak sedikit pun lengah dari tatapannya agar aku tahu sejauh mana dia akan berdusta. Hingga tatapan kami saling bertemu, hening sejenak dia seolah masih mencari jawaban atas pertanyaanku itu.

***

Suka gaya Naura, gercep...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Aisah Zakia
suka banget Thor ini seharusnya yang kita lakukan sebelum terlalu jauhhh
goodnovel comment avatar
Annisa Rizky
Bagus jga novel ny
goodnovel comment avatar
Isnanik Nik
suka, jadi bacanya gak bertele tele.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 115 (The End)

    Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan menepi di depan sebuah vila sederhana di pinggir hutan pinus. Aroma tanah basah bercampur dengan udara dingin pegunungan menyergap mereka begitu turun dari mobil. Clarissa merapatkan mantel, memeluk perutnya yang kini membesar tujuh bulan. Raihan buru-buru menutup jarak, memayunginya meski hujan tinggal rintik kecil.“Pelan-pelan sayang, tangganya licin,” ucap Raihan sambil menggenggam tangannya.Clarissa tersenyum lembut. “Aku hamil, bukan rapuh, Han.”Raihan mengerling. “Buatku dua-duanya sama pentingnya.”Vila itu sederhana. Kayu cokelat tua, jendela besar, dan aroma pinus yang menenangkan. Setelah semua badai yang mereka lalui—pengintaian misterius, masa lalu yang terungkap, ancaman yang nyaris merenggut Clarissa—tempat ini terasa seperti jeda yang Tuhan kirim khusus untuk mereka.Raihan membuka pintu. Hangat. Tenang. Sunyi.Untuk pertama kalinya s

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 114

    Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan memasuki halaman rumah. Langit sore masih menggantung kelabu, aroma tanah basah memenuhi udara. Clarissa turun dengan perlahan, satu tangannya memegangi perut yang mulai membesar. Raihan langsung sigap memayungi, memastikan istrinya tidak menapaki ubin yang licin.“Pelan, Sayang,” ucapnya lembut.Clarissa mengangguk, meski wajahnya masih memendam kekhawatiran sejak insiden di kantor. Motor hitam itu… bayangan pengendaranya… tatapan diam yang terasa terlalu sengaja. Semua itu masih bergema seperti gema samar di belakang kepala.Begitu pintu rumah tertutup, Raihan langsung menurunkan semua tirai. Clarissa hanya memperhatikan gerak suaminya—lebih gelisah daripada tadi. Lebih protektif daripada biasanya.“Kamu mau cerita?” tanya Clarissa akhirnya, duduk di sofa sambil melepaskan high heels.Raihan menghentikan gerakannya. Bahunya menegang.“Bukan sekar

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 113

    Raihan tak pernah mengira dirinya akan kembali merasakan sesuatu yang dulu hanya muncul saat ia masih jadi petugas lapangan: insting bahaya.Dan sore itu, ketika motor hitam itu mengamati mereka tanpa suara, insting itu kembali menempel di tengkuknya—dingin, tajam, dan mengancam.Di perjalanan pulang, Clarissa memperhatikan ekspresi suaminya yang tidak seperti biasanya. Raihan tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik kaca spion seolah mencari sesuatu di balik mobil-mobil yang berlalu.“Han…” Clarissa memecah keheningan dengan suara pelan.Raihan hanya menjawab, “Nanti di rumah kita bicara.”Zahra langsung menyambut mereka dengan pelukan kecil di kaki Clarissa.“Mama—Papa pulang! Lihat gambar Zahraaa!”Clarissa tersenyum, mengelus rambut putrinya. Tapi Raihan hanya menatap sekilas, kemudian memeriksa pintu, jendela, dan balkon seperti sedang memastikan sesuatu.Clarissa mempe

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 112

    Rafael.Saudara kembar.Sosok yang wajahnya hampir sama dengan Raihan—hanya saja dengan sorot mata yang berbeda. Sorot mata yang gelap, tajam, dan penuh kemarahan yang tak lagi bisa ditutupi.Clarrisa menatap pria itu tanpa berkedip, jantungnya memukul-mukul tulang rusuk dengan keras. Ia menelan ludah perlahan, mencoba memahami apa yang ada di depan matanya.Jika bukan karena luka kecil di alis dan garis keras di rahang Rafael, ia mungkin tak bisa membedakannya dari Raihan.Raihan mengangkat sebelah tangan, berdiri sedikit lebih maju melindungi Clarrisa.“Rafael,” katanya dengan suara kaku. “Kau tak seharusnya ada di sini.”Rafael menatapnya, helai rambut hitamnya jatuh sedikit ke dahi.“Oh… aku harus ada di sini, Raihan. Kau yang membuatku kembali. Kau yang memaksa aku muncul lagi. Karena kau… mengambil sesuatu yang bukan milikmu.”Clarrisa meng

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 111

    Angin sore menyapu perlahan halaman depan rumah itu, membawa aroma tanah basah setelah hujan turun sejak siang. Langit mulai memucat keabu-abuan, seakan mengikuti suasana yang sedang berkecamuk di dalam dada Clarrisa. Ia berdiri di dekat jendela ruang tamu, kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin menahan gemetar yang sedari tadi tak mau berhenti.Raihan belum pulang.Padahal ia jelas mengatakan akan pulang lebih cepat hari ini. Ada sesuatu—sesuatu yang sejak pagi terasa aneh, ganjil, menggelitik bagian terdalam intuisi Clarrisa.Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Namun bayangan percakapan semalam kembali menyergapnya.Kalimat Raihan yang terpotong.Tatapan gelisah.Ponsel yang terus bergetar tapi ia sembunyikan.Dan kata terakhir yang hampir lolos dari bibirnya.“Klar… ada hal yang sebenarnya harus aku j—”Lalu percakapan itu terputus ketika alarm

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 110

    Motor itu masih mengikuti mereka—tanpa menyalip, tanpa mundur, tanpa mempercepat kecepatan. Selalu dalam jarak yang sama. Seolah pengendara itu ingin memastikan satu hal: bahwa mereka tahu ia ada di sana.Raihan mempercepat mobil sedikit, tapi tidak sampai menimbulkan kecurigaan. Clarissa menggenggam seatbelt erat, napasnya tak stabil.“Mas… dia masih di belakang,” bisiknya.“Biarin. Kita tetap pulang dulu,” jawab Raihan tenang, meski rahangnya mengeras jelas.Tapi tenangnya itu palsu. Clarissa mengenalnya terlalu dalam untuk percaya begitu saja. Hanya kehadirannya yang membuat pria itu berusaha setenang mungkin. Untuknya. Untuk bayinya.Lima belas menit kemudian, mereka memasuki area perumahan. Motor itu masih membuntuti. Saat mobil berhenti di depan rumah, motor itu berhenti dua rumah dari mereka. Diam. Tidak mematikan mesin. Hanya menunggu.Clarissa menelan ludah. &ldq

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status