Share

Chapter 6

Mas Raihan terlihat sangat gelisah, aku yakin dia tengah menunggu kedatangan orang tua kita seperti yang tadi aku bilang, rasanya ingin tertawa melihat tingkahnya, berani berbohong, berani berdusta tapi tak berani bertanggungjawab. 



"Kamu gak ke kantor, Mas?" tanyaku. 



"Bukankah orang tua kita akan datang," ucapnya. 



"Ternyata kamu takut juga kan? Makanya jangan coba-coba bermain apa kalau kamu gak mau terbakar, Mas."



"Sayang, aku tidak sedang bermain api. Aku hanya…."



"Sudah Mas, aku sudah bilang apapun yang keluar dari mulut kamu sudah tak bisa aku percaya. Pergilah, mereka tak jadi datang. Lagi pula aku masih bisa berpikir bijak, harusnya kamu yang datang meminta maaf pada orang tua kita telah berkhianat. Nanti siang aku izin keluar, untuk berkonsultasi soal masalah kita ini."



Mas Raihan terlihat lebih terkejut dengan ucapanku ini, dia menghampiriku. 



"Sayang, aku rasa tak perlu seperti itu. Aku minta maaf dan kamu maafkan aku, maka semua selesai. Aku janji tak akan mendoakan dia lagi," ucapnya memohon. 



"Janji kamu itu menyakitkan aku, Mas."



"Sayang, tolong beri aku kesempatan sekali lagi." 



Mas Raihan melipat dua tangannya dan menyimpannya di depan wajahnya, menatap serius kedua bola mataku, aku dapat melihat penyesalan di dalamnya tapi aku tak mau percaya kembali dengan begitu mudahnya. Aku memalingkan wajah dari pandangannya, mencoba tidak terpengaruh dengan permohonannya itu sampai aku bisa membuktikan tak ada hal lain selain kebohongan itu yang sedang direncanakan Mas Raihan. 



"Pergilah," ucapku. 



Mas Raihan tak mengejarku saat aku meninggalkannya mungkin dia mematung, sedangkan aku kembali merenung di dalam kamar. Mas Raihan memang sudah berbohong dan menyakitiku, tapi bukan berarti begitu mudah aku menyerah, aku harus berusaha mencari tahu seberapa dalam doa menyimpan nama itu. Jika memang pada akhirnya aku yang harus mengalah akan aku lakukan. 



Kuraih ponsel di atas nakas, lalu mengirim pesan pada Hanifa. 



[Dek, boleh minta nomor pemilik butik yang kemarin launching?]



[Untuk apa kak? Aku harus izin dia dulu]



Aku menghela napas berat, balasan dari Hanifa membuat aku sedikit kecil harapan. Hanifa pasti tak akan memberikannya, dia tahu soal hubungan kakaknya dengan perempuan itu. Ya, tentu saja pasti tahu itu sebabnya dia marah saat aku memegang ponselnya kemarin pagi. 



Pukul sepuluh, aku sudah bersiap untuk menemui perempuan itu. Mas Raihan sudah berangkat. 



Aku mohon jangan melakukan tindakan gegabah. Aku pergi dulu, karena barusan menerima telepon dari kantor. Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin.



Aku tersenyum kecut, apa-apaan dia nulis kalimat itu di secarik kertas jadul sekali. Kuremas kertas itu lalu bergegas melakukan apa yang ingin aku lakukan. 



Mobil online yang kupesan telah berhenti tepat di depan mall besar itu, aku memasang kacamata hitam lalu turun dan berjalan menuju lantai tiga. Perlahan berjalan, semua rangkaian bunga sudah tak terlihat, mall ini sudah bersih kembali begitupun di depan pintu masuk hanya satu yang masih betah diam disana. Buket bunga dengan balon di atasnya itu yang dikirim oleh inisial MR. MRA masih anteng disana. 



Ada rasa nyeri kembali menyerang, entahlah aku merasa bunga itu dari Mas Raihan. Karena nama Mas Raihan adalah Muhammad Raihan Abdullah, nama yang bagus tapi sayang menyimpan kebohongan besar. 



"Selamat datang, Mbak."



Ucapan dari para pelayan dengan kompak itu membuatku sedikit terkejut. 



"Assalamualaikum, Mbak. Ada yang bisa kamu bantu," sapa seorang perempuan yang kutaksir dia pramuniaga butik ini. 



"Aku mau bertemu dengan pemilik butik ini, ada?"



"Kebetulan ibu Zahra sedang keluar, Mbak. Boleh tahu dengan ibu siapa nanti saya coba kabarkan."



"Oh, tidak perlu. Aku akan menunggunya saja." 



"Baik, silakan mbak sambil melihat koleksi butik kami. Promo diskon lima belas persen masih berlaku atau Mbak nya berminat melihat koleksi desain spesial limited edition di butik ini tinggal tersisa tiga model lagi."



Dengan ramah dan detail pramuniaga itu menjelaskan semuanya, aku sedikit penasaran dengan hasil desain perempuan itu. Di ikuti pramuniaga itu aku berjalan menuju tempat koleksi spesial hasil rancangan perempuan yang namanya disebut dalam doa suamiku. 



Satu per satu aku melihat setiap model baju itu, memang sungguh memukau dan menarik hati. Rasanya aku ingin membawa pulang satu dari di antara tiga model ini, tapi tunggu jika aku melakukan itu bukan tak mungkin Mas Raihan akan mengenali hasil perempuan itu. Karena aku tak percaya jika mereka lost kontak selama perempuan itu di luar negeri. 



"Assalamualaikum, Bu."



Serentak para pramuniaga itu mengucap salam dan aku segera menoleh ke pintu masuk, seorang perempuan dengan hijab mengulur panjang, gamis yang nyaris menyapu lantai datang dengan senyum menyenangkan dan menenangkan. Dia menyapa semua pegawainya dengan ramah. 



"Bu, ada tamu ingin bertemu ibu."



"Siapa?" tanya perempuan itu. 



Ah, ternyata dia pemilik butik ini. Zahra Khaura perempuan masa lalu suamiku dan yang disebut dalam doanya, kini dia nyata ada di depanku. Betapa tak ada apa-apanya aku dibanding dia yang masih terlihat muda, cantik, pintar berbisnis seperti ini. 



"Itu Bu," ucap pramuniaga itu mengarahkan telunjuknya kepadaku. 



Senyum yang sejak tadi mengembang mendadak memudar perlahan saat dia menatap ke arahku, tunggu apakah dia mengenalku? Tampak di wajahnya seperti penuh luka saat menatapku. Berjalan perlahan menemuiku, lalu seulas senyum hadir di bibirnya manakala telah sampai di depanku. 



"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya. 



"Bisa kita bicara berdua."



"Silakan, Mbak."



Tanpa ragu perempuan itu mempersilakan aku berjalan untuk mengikutinya, mungkin dia mengajakku ke ruangannya. 



"Kalau ada yang mencari saya lagi, di tahan dulu ya."



Entahlah, dia sedang menyindir atau apa dengan kalimat itu. Aku tak peduli dan terus mengikutinya, benar saja dia membawaku ke ruangannya. 



"Silakan duduk, mbak."



Perempuan itu lalu ikut duduk setelah aku lebih dulu duduk di sofa yang ada di ruangan itu. 



"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya lagi. 



Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mencoba mengatur diri agar lebih rileks dan tenang. Kali ini aku sedang berada di kandang rival ku ah bukan di tempat perempuan yang kisahnya disembunyikan dariku. Perempuan yang pernah sangat membuat suamiku jatuh cinta, bisa kalian bayangkan rasanya seperti apa? 



"Apakah kamu masih mencintai suami saya?"



"Maksud Mbak?" tanyanya heran. 



"Muhammad Raihan Abdullah. Apakah kamu masih mencintai lelaki itu?"



Perempuan itu terlihat sedikit terkejut lalu menghela napas, aku tak sedikit pun lengah dari tatapannya agar aku tahu sejauh mana dia akan berdusta. Hingga tatapan kami saling bertemu, hening sejenak dia seolah masih mencari jawaban atas pertanyaanku itu.

***

Suka gaya Naura, gercep...

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Aisah Zakia
suka banget Thor ini seharusnya yang kita lakukan sebelum terlalu jauhhh
goodnovel comment avatar
Annisa Rizky
Bagus jga novel ny
goodnovel comment avatar
Isnanik Nik
suka, jadi bacanya gak bertele tele.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status