Share

Chapter 5

"Aku mohon buka pintunya, kita bisa bicarakan baik-baik sayang. Semua tak seperti apa yang kamu pikirkan, buka sayang."

Aku menutup telinga mendengar ucapan itu, tak ingin sama sekali mendengar lagi kalimat yang keluar dari mulut lelaki pembohong. Tak kusangka lelaki yang selama ini aku coba cintai sepenuh hati hingga akhirnya berhasil menempatkannya di tempat yang seharusnya justru berbohong bahkan diam-diam mengkhianati pernikahan ini. 

"Sayang, aku mohon. Jangan kamu libatkan emosi dalam hal ini, semua kita lewati dengan kepala dingin, aku mohon."

Mas Raihan terus berkoar dari luar, aku kian rapat menutup telinga. Setiap ucapannya bak air garam yang membuat luka kian terasa perih. Sudah tak ada lagi air mata yang mengalir, sudah kuhabiskan tadi siang saat mengetahui semua kisah perjalanan perempuan itu. 

Menjadi orang yang tak pernah peduli akan berita-berita viral itu mungkin bagus tapi ternyata semua itu bisa jadi hal baik untuk kita, andai dulu aku tahu ada kisah seorang gadis yang ditinggalkan menikah tepat saat dia akan dilamar oleh lelaki yang menjanjikannya masa depan mungkin aku tak akan menerima perjodohan itu, mungkin aku tak akan berlelah-lelah berusaha mencintai Mas Raihan. Kenapa semua ini baru aku ketahui setelah lima tahun aku membangun kehidupan keluarga dengan Mas Raihan? 

Suara Mas Raihan sudah lenyap entah kemana, aku bangkit dan berjalan perlahan menuju tepi ranjang. Pikiran melanglang buana, menempatkan diri menjadi perempuan itu sungguh sangat menyakitkan tapi nasibku tak kalah menyakitkan, hidup seatap dengan lelaki yang diam-diam masih menyimpan masa lalu bahkan selalu disebut dalam doanya, apa dia tak sadar apa yang dilakukannya adalah sebuah dosa dan termasuk dalam sebuah pengkhianatan. 

Samar-samar ku dengar suara adzan berkumandang, perlahan kubuka mata. Entah sejak kapan aku tertidur, seingatku semalam setelah membersihkan diri lalu merebahkan tubuh mungkin saat itu perlahan aku terlelap karena merasa sangat lelah. Tak ada Mas Raihan di sampingku, aku mengusap wajah dan menuju kamar mandi untuk melaksanakan perintahku sebagai umat. 

Kembali aku memikirkan segalanya, mencurahkan apa yang ada di dalam hati ini meski sebetulnya tak perlu aku lakukan karena kutahu Dia pasti sudah mengetahuinya. Aku pasrahkan semua ini pada Dia sang pemilik kehidupan, apapun yang terjadi nanti aku akan terima. 

Pintu kamar terbuka, semalam aku memang tak menguncinya. Lelaki itu masuk perlahan, aku tetap duduk di atas sejadah dan berusaha untuk tetap bertahan disana. 

Aku tahu ada tatapan yang tak henti menatapku, dari sudut mata dapat kulihat lelaki itu terus menatapku.

"Maafkan aku sayang, aku tahu aku salah. Tapi sungguh semua tak seperti yang kamu pikirkan."

Lagi, dia terus melakukan pembelaan. Aku menyudahi doaku, lalu menoleh ke arahnya. 

"Lalu bagaimana yang sebetulnya terjadi, Mas?" tanyaku. 

"Aku merasa bersalah dan belum meminta maaf, jadi saat bertemu dengannya aku merasa diberi kesempatan untuk melakukan hal itu dan aku…."

"Dan kamu menyebut namanya dalam doa kamu, dengan khusyu' kamu mendoakannya pancaran doa tulus yang keluar dari mulut kamu, lalu kamu pagi-pagi sekali sudah pergi dengan pakaian warna yang seharusnya digunakan untuk mengunjungi butik perempuan itu bahkan kamu datang dengan seorang perempuan ke sana, apa itu perempuan bernama Zahra, iya Mas?"

"Sayang, kamu…."

"Kenapa Mas? Mas pikir aku tidak mendengar saat tengah malam Mas bermunajat, aku kira kamu sedang mendoakan aku ternyata ada perempuan lain yang kamu sebut dan kamu bilang itu tak seperti yang aku pikirkan, lalu apa? Apa Mas?"

Emosiku sudah tak bisa tertahan lagi, akhirnya magma itu meluap. Mas Raihan terdiam seolah kehilangan kata, satu per satu aku lucuti semua kebohongannya, tak kubiarkan dia bicara menyangkal atau apapun. Aku ingin mengeluarkan semua beban yang menghimpit hati ini. 

"Apa yang akan kamu sangkal dari semua ini, hah?"

"Aku tak pernah menyangka kamu setega ini sama aku, Mas. Kamu khianati janji agung yang kamu ucapkan di depan waliku dan saksi bahkan saat itu para malaikat turun menyaksikannya lalu apa yang kamu lakukan? Kamu mengkhianatiku."

"Aku tak mengkhianatimu, aku masih menjaga kamu tetap di hati ini, kamu tetap menjadi perempuan satu-satunya Naura, aku tak mengkhianatimu."

Aku mendesis, membalas tatapannya dengan tatapan sinis. Lalu membelakanginya, menatap ke jendela yang masih tertutup tirai. 

"Kamu pikir mendoakan perempuan yang bukan mahram kamu bahkan pernah terlibat masa lalu dengan kamu bukan sebuah bentuk pengkhianatan?"

"Adakah yang salah dengan doaku? Aku mendoakan kebaikan untuk orang lain, bukankah itu hal yang baik?"

Aku kian geram mendengar Mas Raihan yang pintar mencari alasan, membalikan badan dan menatapnya penuh amarah lagi.

"Lalu soal kebohongan? Kebohongan yang kamu bilang itu untuk kebaikanku, kebohongan macam apa itu."

"Sudah kubilang, itu semua demi kebaikan kita, aku hanya tak mau membuat kamu terluka."

"Nyatanya kamu berhasil membuat luka di hati aku, Mas."

Bergegas pergi meninggalkan Mas Raihan seorang diri, rasanya aku malas melihat wajahnya yang sok sedih dan menyesal. 

Semenjak hal itu terungkap, hubunganku dengan Mas Raihan terasa mulai hambar, aku yang tak peduli dengan perhatian-perhatian kecil yang dilakukan Mas Raihan, rasanya belum sanggup aku memaafkan Mas Raihan atas kebohongannya, atas apa yang dilakukannya padaku. Tapi sebagai seorang istri aku tetap melayaninya, menyiapkan sarapan pagi ini tapi aku tak membantunya lagi memakaikan baju seperti biasa karena masih belum sanggup jika harus berhadapan dengannya. 

Di meja makan tak ada suara yang keluar dari mulutku, rasanya butuh waktu lama untuk menerima kenyataan lelaki yang menikahiku adalah lelaki pembohong dan pandai berdusta. 

"Perempuan yang kamu lihat berjalan denganku, dia adalah klienku. Kebetulan kami makan siang disana, sebetulnya kita tidak berdua ada dua orang asistennya yang kebetulan menunggu di resto. Beliau memintaku untuk berjalan-jalan mencari sesuatu di mall itu."

Aku diam, tak begitu menanggapi alasannya. Karena itu pasti hanya sebuah kebohongan lagi.

"Soal Zahra, aku tak menemuinya saat launching. Aku bahkan tahu dia buka butik dari status Hanifa karena mungkin dia mendapat info dari grup alumni sekolah mereka. Aku emang bertemu dengannya, tapi dia bersikap dingin bahkan menjauhiku. Makanya aku mendoakan kebaikan untuknya, karena merasa pernah sangat bersalah padanya."

Lagi dia menyebut nama perempuan itu di depanku tanpa peduli sesakit apa yang aku rasakan. Aku mendorong kursi membuat Mas Raihan sedikit terperanjat. 

"Aku mohon dengarkan dulu."

"Aku akan mendengarkannya di depan orang tua kita. Mungkin sebentar lagi mereka tiba," ucapku seraya berdiri. 

"Maksud kamu?" tanya Mas Raihan turut berdiri. 

"Aku sudah menghubungi mereka meminta mereka datang, aku mau kamu menjelaskannya secara langsung di depan mereka agar mereka tahu kamu sedang berbohong atau tidak."

"Sayang."

Aku mengangkat tangan membuat Mas Raihan menghentikan ucapannya. 

"Cukup Mas, jangan bicara apapun lagi. Karena apa yang keluar dari mulutmu saat ini tak bisa kuterima sebagai sebuah kejujuran. Permisi," ucapku seraya meninggalkannya seorang diri.

Aku berjalan dan bergeming meski Mas Raihan terus mengikuti dari belakang dan memohon untuk tidak melakukan hal itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status