"Aku mohon buka pintunya, kita bisa bicarakan baik-baik sayang. Semua tak seperti apa yang kamu pikirkan, buka sayang."
Aku menutup telinga mendengar ucapan itu, tak ingin sama sekali mendengar lagi kalimat yang keluar dari mulut lelaki pembohong. Tak kusangka lelaki yang selama ini aku coba cintai sepenuh hati hingga akhirnya berhasil menempatkannya di tempat yang seharusnya justru berbohong bahkan diam-diam mengkhianati pernikahan ini.
"Sayang, aku mohon. Jangan kamu libatkan emosi dalam hal ini, semua kita lewati dengan kepala dingin, aku mohon."
Mas Raihan terus berkoar dari luar, aku kian rapat menutup telinga. Setiap ucapannya bak air garam yang membuat luka kian terasa perih. Sudah tak ada lagi air mata yang mengalir, sudah kuhabiskan tadi siang saat mengetahui semua kisah perjalanan perempuan itu.
Menjadi orang yang tak pernah peduli akan berita-berita viral itu mungkin bagus tapi ternyata semua itu bisa jadi hal baik untuk kita, andai dulu aku tahu ada kisah seorang gadis yang ditinggalkan menikah tepat saat dia akan dilamar oleh lelaki yang menjanjikannya masa depan mungkin aku tak akan menerima perjodohan itu, mungkin aku tak akan berlelah-lelah berusaha mencintai Mas Raihan. Kenapa semua ini baru aku ketahui setelah lima tahun aku membangun kehidupan keluarga dengan Mas Raihan?
Suara Mas Raihan sudah lenyap entah kemana, aku bangkit dan berjalan perlahan menuju tepi ranjang. Pikiran melanglang buana, menempatkan diri menjadi perempuan itu sungguh sangat menyakitkan tapi nasibku tak kalah menyakitkan, hidup seatap dengan lelaki yang diam-diam masih menyimpan masa lalu bahkan selalu disebut dalam doanya, apa dia tak sadar apa yang dilakukannya adalah sebuah dosa dan termasuk dalam sebuah pengkhianatan.
Samar-samar ku dengar suara adzan berkumandang, perlahan kubuka mata. Entah sejak kapan aku tertidur, seingatku semalam setelah membersihkan diri lalu merebahkan tubuh mungkin saat itu perlahan aku terlelap karena merasa sangat lelah. Tak ada Mas Raihan di sampingku, aku mengusap wajah dan menuju kamar mandi untuk melaksanakan perintahku sebagai umat.
Kembali aku memikirkan segalanya, mencurahkan apa yang ada di dalam hati ini meski sebetulnya tak perlu aku lakukan karena kutahu Dia pasti sudah mengetahuinya. Aku pasrahkan semua ini pada Dia sang pemilik kehidupan, apapun yang terjadi nanti aku akan terima.
Pintu kamar terbuka, semalam aku memang tak menguncinya. Lelaki itu masuk perlahan, aku tetap duduk di atas sejadah dan berusaha untuk tetap bertahan disana.
Aku tahu ada tatapan yang tak henti menatapku, dari sudut mata dapat kulihat lelaki itu terus menatapku.
"Maafkan aku sayang, aku tahu aku salah. Tapi sungguh semua tak seperti yang kamu pikirkan."
Lagi, dia terus melakukan pembelaan. Aku menyudahi doaku, lalu menoleh ke arahnya.
"Lalu bagaimana yang sebetulnya terjadi, Mas?" tanyaku.
"Aku merasa bersalah dan belum meminta maaf, jadi saat bertemu dengannya aku merasa diberi kesempatan untuk melakukan hal itu dan aku…."
"Dan kamu menyebut namanya dalam doa kamu, dengan khusyu' kamu mendoakannya pancaran doa tulus yang keluar dari mulut kamu, lalu kamu pagi-pagi sekali sudah pergi dengan pakaian warna yang seharusnya digunakan untuk mengunjungi butik perempuan itu bahkan kamu datang dengan seorang perempuan ke sana, apa itu perempuan bernama Zahra, iya Mas?"
"Sayang, kamu…."
"Kenapa Mas? Mas pikir aku tidak mendengar saat tengah malam Mas bermunajat, aku kira kamu sedang mendoakan aku ternyata ada perempuan lain yang kamu sebut dan kamu bilang itu tak seperti yang aku pikirkan, lalu apa? Apa Mas?"
Emosiku sudah tak bisa tertahan lagi, akhirnya magma itu meluap. Mas Raihan terdiam seolah kehilangan kata, satu per satu aku lucuti semua kebohongannya, tak kubiarkan dia bicara menyangkal atau apapun. Aku ingin mengeluarkan semua beban yang menghimpit hati ini.
"Apa yang akan kamu sangkal dari semua ini, hah?"
"Aku tak pernah menyangka kamu setega ini sama aku, Mas. Kamu khianati janji agung yang kamu ucapkan di depan waliku dan saksi bahkan saat itu para malaikat turun menyaksikannya lalu apa yang kamu lakukan? Kamu mengkhianatiku."
"Aku tak mengkhianatimu, aku masih menjaga kamu tetap di hati ini, kamu tetap menjadi perempuan satu-satunya Naura, aku tak mengkhianatimu."
Aku mendesis, membalas tatapannya dengan tatapan sinis. Lalu membelakanginya, menatap ke jendela yang masih tertutup tirai.
"Kamu pikir mendoakan perempuan yang bukan mahram kamu bahkan pernah terlibat masa lalu dengan kamu bukan sebuah bentuk pengkhianatan?"
"Adakah yang salah dengan doaku? Aku mendoakan kebaikan untuk orang lain, bukankah itu hal yang baik?"
Aku kian geram mendengar Mas Raihan yang pintar mencari alasan, membalikan badan dan menatapnya penuh amarah lagi.
"Lalu soal kebohongan? Kebohongan yang kamu bilang itu untuk kebaikanku, kebohongan macam apa itu."
"Sudah kubilang, itu semua demi kebaikan kita, aku hanya tak mau membuat kamu terluka."
"Nyatanya kamu berhasil membuat luka di hati aku, Mas."
Bergegas pergi meninggalkan Mas Raihan seorang diri, rasanya aku malas melihat wajahnya yang sok sedih dan menyesal.
Semenjak hal itu terungkap, hubunganku dengan Mas Raihan terasa mulai hambar, aku yang tak peduli dengan perhatian-perhatian kecil yang dilakukan Mas Raihan, rasanya belum sanggup aku memaafkan Mas Raihan atas kebohongannya, atas apa yang dilakukannya padaku. Tapi sebagai seorang istri aku tetap melayaninya, menyiapkan sarapan pagi ini tapi aku tak membantunya lagi memakaikan baju seperti biasa karena masih belum sanggup jika harus berhadapan dengannya.
Di meja makan tak ada suara yang keluar dari mulutku, rasanya butuh waktu lama untuk menerima kenyataan lelaki yang menikahiku adalah lelaki pembohong dan pandai berdusta.
"Perempuan yang kamu lihat berjalan denganku, dia adalah klienku. Kebetulan kami makan siang disana, sebetulnya kita tidak berdua ada dua orang asistennya yang kebetulan menunggu di resto. Beliau memintaku untuk berjalan-jalan mencari sesuatu di mall itu."
Aku diam, tak begitu menanggapi alasannya. Karena itu pasti hanya sebuah kebohongan lagi.
"Soal Zahra, aku tak menemuinya saat launching. Aku bahkan tahu dia buka butik dari status Hanifa karena mungkin dia mendapat info dari grup alumni sekolah mereka. Aku emang bertemu dengannya, tapi dia bersikap dingin bahkan menjauhiku. Makanya aku mendoakan kebaikan untuknya, karena merasa pernah sangat bersalah padanya."
Lagi dia menyebut nama perempuan itu di depanku tanpa peduli sesakit apa yang aku rasakan. Aku mendorong kursi membuat Mas Raihan sedikit terperanjat.
"Aku mohon dengarkan dulu."
"Aku akan mendengarkannya di depan orang tua kita. Mungkin sebentar lagi mereka tiba," ucapku seraya berdiri.
"Maksud kamu?" tanya Mas Raihan turut berdiri.
"Aku sudah menghubungi mereka meminta mereka datang, aku mau kamu menjelaskannya secara langsung di depan mereka agar mereka tahu kamu sedang berbohong atau tidak."
"Sayang."
Aku mengangkat tangan membuat Mas Raihan menghentikan ucapannya.
"Cukup Mas, jangan bicara apapun lagi. Karena apa yang keluar dari mulutmu saat ini tak bisa kuterima sebagai sebuah kejujuran. Permisi," ucapku seraya meninggalkannya seorang diri.
Aku berjalan dan bergeming meski Mas Raihan terus mengikuti dari belakang dan memohon untuk tidak melakukan hal itu.
Mas Raihan terlihat sangat gelisah, aku yakin dia tengah menunggu kedatangan orang tua kita seperti yang tadi aku bilang, rasanya ingin tertawa melihat tingkahnya, berani berbohong, berani berdusta tapi tak berani bertanggungjawab. "Kamu gak ke kantor, Mas?" tanyaku. "Bukankah orang tua kita akan datang," ucapnya. "Ternyata kamu takut juga kan? Makanya jangan coba-coba bermain apa kalau kamu gak mau terbakar, Mas.""Sayang, aku tidak sedang bermain api. Aku hanya….""Sudah Mas, aku sudah bilang apapun yang keluar dari mulut kamu sudah tak bisa aku percaya. Pergilah, mereka tak jadi datang. Lagi pula aku masih bisa berpikir bijak, harusnya kamu yang datang meminta maaf pada orang tua kita telah berkhianat. Nanti siang aku izin keluar, untuk berkonsultasi soal masalah kita ini."Mas Raihan terlihat lebih terkejut dengan ucapanku ini, dia menghampiriku. "Sayang, aku rasa tak perlu seperti itu. Aku minta maaf dan kamu maafkan aku, maka semua selesai. Aku janji tak akan mendoakan dia l
Mataku nanar menatap lelaki yang baru saja memanggilku, lelaki yang membuatku kuat melawan apapun yang terjadi dalam hidup ini, lelaki yang membuatku tak punya waktu untuk memikirkan kehidupan lain selain mimpi-mimpi indahku untuk menjadi seorang desainer profesional. Mas Raihan, kenapa Allah harus mempertemukan kami kembali? Aku kembali ke negeri ini karena merasa inilah rumahku, tempat aku harus memiliki manfaat setelah berjuang bertahun-tahun di luar negeri. Berusaha tetap bersikap tenang dan tegas menghadapi lelaki itu, hingga aku berhasil pergi menjauh darinya. Baru sebulan menginjakan kaki di sini sudah bertemu dengan dia lagi, mungkin memang seharusnya aku tak memilih kota ini untuk membangun bisnis ini tapi hanya disini tempat yang paling menantang untuk mengaplikasikan apa yang sudah aku dapatkan. Pertemuan singkat tapi mampu membangkitkan kembali ingatanku ke masa lalu yang begitu menguras emosi jiwa dan raga, peristiwa yang membuatku tak bisa melupakannya begitu saja. Ra
"Halo, Mas.""Assalamualaikum, sayang.""Waalaikumsalam, Mas. Ada apa?" "Kamu dimana?" tanya Mas Raihan di ujung sana.Seketika aku baru sadar kalau aku belum memutuskan jadi pergi atau tidak."Aku di jalan, Mas. Kenapa?" tanyaku. "Aku sudah di rumah, mau aku jemput?" tanyanya. Aku terdiam, sebetulnya jarak ke rumah tinggal sebentar lagi ingin rasanya melihat mereka bertemu. Ya, melihat Mas Raihan dan Zahra bertemu, aku penasaran dengan reaksi mereka apalagi reaksi Mas Raihan. "Boleh, Mas. Aku nanti kirim lokasinya." Mas Raihan pun menutup panggilan setelah mengucapkan kalimat pamit ciri khasnya, bagaimana mungkin Mas Raihan masih bisa setenang itu setelah semalaman kita berdebar soal perempuan itu. Aku meminta supir taksi online itu kembali ke mall, mengatur sedemikian rupa rencana pertemuan mereka. Sepanjang jalan aku terbayang kembali obrolan aku dengan Zahra, di ruang kerjanya tadi. "Apakah anda masih bisa mencintai lelaki yang telah menancapkan luka hebat di hati anda?" ta
"Hey, ada apa sih?"Sikutan Shofa membuatku terkejut dan segera mencoba menenangkan diri, sejak tadi pikiranku memang melayang entah kemana, rasanya begitu rumit tapi sebetulnya akan sangat gampang jika aku berani mengambil sikap. "Lagi ada masalah?" tanya lagi.Aku menunduk, enggan berbagi tapi aku perlu teman untuk bisa mendapat solusi dari masalah ini. Lima tahun berumah tangga, ini adalah masalah terberat dan penuh misteri untukku. Jika selama ini Shofa melihat rumah tanggaku baik-baik saja, mungkin sekarang saatnya dia tahu bahwa semua tak seperti yang dilihatnya selama ini. "Hey, ayolah. Kita sudah duduk di meja ini hampir satu jam bahkan aku sudah menghabiskan semua pesananku sedangkan kamu masih ngelamunin mie semangkok di depan kamu. Come on, ladies, talk about your problem to me."Aku tersenyum tipis, rasanya geli mendengar dia pakai bahasa asing yang katanya baru dia pelajari karena lagi dekat sama lelaki asal Brunei. Ah, dasar Shofa aneh. "Nah, udah mulai senyum kan? Ay
"Maksud kamu apa ngajak mama kesana, hah?"Aku menanggapi santai kemarahan mama, semua kini sudah mulai terbuka. Allah seakan memudahkan langkahku untuk mencari tahu semua yang disembunyikan oleh Mas Raihan dan keluarganya. "Iya, mbak. Mbak tega banget melakukan ini, mbak sengaja ya mau bikin mama malu."Hanifa ikut-ikutan menyalahkan ku, bagaimana tidak hari ini Mama seakan menerima balasan atas apa yang dilakukannya beberapa tahun lalu pada perempuan itu. Entah kenapa kini aku berbalik simpati padanya saat dia dengan elegan membalas semua sikap Mama. Memang sejak dulu Mama Raihan itu terkenal dengan keangkuhan dan kesombongan padahal tanpa kedua orang tuaku mereka bukan siapa-siapa. Aku hanya terdiam, menikmati bayangan peristiwa tadi di dalam butik itu. Setelah sampai di mall siang itu dan bertemu mama juga Hanifa, kami berjalan menuju butik itu. "Mbak, kenapa harus ke butik ini?" tanya Hanifa dengan sikap yang membuatku bisa menebak dia salah tingkah. "Ini butik baru, Mama be
"Dek."Aku terperanjat mendengar suara Mas Raihan, belum lagi lingkar tangan di pinggang membuat aku terpaksa mengulas senyum tipis. "Habis terima telpon atau pesan dari siapa?" tanyanya. "Biasa Shofa, Mas.""Oh, dia masih betah single."Aku melepaskan pelukan Mas Raihan, berbalik dan tersenyum padanya. Senyum penuh arti yang lemparkan pada lelaki yang ternyata menyimpan banyak rahasia yang tak aku ketahui. Berjalan menuju ranjang, Mas Raihan mengikuti dari belakang. Lalu kami sama-sama duduk di atas ranjang, pikiranku masih penasaran dengan jawaban Mas Raihan soal perempuan yang disebut dalam doanya itu. "Belum bertemu jodoh yang pas mungkin Mas, lagi pula aku baru sadar suatu hal.""Apa?" tanya Mas Raihan penasaran. Aku menatap dua bola hitam legam itu, sungguh dia tampan, baik dan selalu membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung memilikinya. Tapi nyatanya di balik semua itu, aku adalah perempuan yang paling malang. "Saat kita sudah menemukan jodoh kita pun bisa saja
"Apa yang kamu temukan?" tanyaku tak sabar pada Shofa. "Tunggu, aku mau tahu dulu sudah sejauh mana dengan strategi kamu?" tanyanya. Aku menghela napas, sahabatku ini memang paling jago bikin penasaran. Dua hari ini dia terus mengirim kabar yang membuatku terkejut soal masa lalu Mas Raihan yang tak pernah aku usik dari Mas Raihan karena merasa dia jujur sudah menceritakan semuanya nyatanya banyak hal yang disembunyikan oleh lelaki yang pandai berubah sikap itu. Tanpa menunggu lama aku menceritakan semuanya, peristiwa yang terjadi kemarin. Saat aku mengajak Mama Raihan ke butik perempuan itu dan bagaimana sikapku sekarang pada Mas Raihan yang mulai sedikit acuh, aku masih melayaninya tapi saat Mas Raihan mulai merayu, berkata manis atau bahkan seakan mengajakku bercumbu aku selalu menolak. Karena rasanya perih saat aku dengar ternyata tak hanya aku di dalam hatinya terlebih saat kemarin malam Shofa mengirimkan pesan suara itu. "Fix, suami kamu itu punya kelainan karakter.""Maksud
Aku mematung melihat dia kembali datang ke tempat kerjaku, kali ini wajahnya tampak sedih dan menyiratkan luka berbeda dengan kedatangannya beberapa waktu lalu. Tak ada amarah seperti kemarin, tatapannya sayu, kelopak matanya menggambarkan kesedihan mendalam. Aku menghampirinya, mencoba menghilangkan perasaan tak suka dengan kedatangannya lagi. Kubiarkan dia tenang dulu, setelah membantunya berjalan dan duduk di sofa, memberikannya minum tak lama dia terisak, aku sungguh bingung dengan sikapnya. "Ada apa?" tanyaku. "Aku… aku…."Ucapannya terhenti hanya air mata yang kembali mengaliri pipinya yang putih, aku menghela napas mungkinkah dia telah mengetahui kelakuan suaminya. Aku merangkul tubuhnya, membawa perempuan yang dulu sempat aku benci itu dalam pelukan, membuang semua kesakitan masa lalu. "Jika kamu bersedia berceritalah," ucapku lagi. Perempuan itu akhirnya melepaskan pelukanku, mengusap air matanya dan berusaha seolah semua baik-baik saja padahal ku tahu luka itu masih san