Share

Chapter 5

Penulis: Nisa Noor
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-27 06:30:12

"Aku mohon buka pintunya, kita bisa bicarakan baik-baik sayang. Semua tak seperti apa yang kamu pikirkan, buka sayang."

Aku menutup telinga mendengar ucapan itu, tak ingin sama sekali mendengar lagi kalimat yang keluar dari mulut lelaki pembohong. Tak kusangka lelaki yang selama ini aku coba cintai sepenuh hati hingga akhirnya berhasil menempatkannya di tempat yang seharusnya justru berbohong bahkan diam-diam mengkhianati pernikahan ini. 

"Sayang, aku mohon. Jangan kamu libatkan emosi dalam hal ini, semua kita lewati dengan kepala dingin, aku mohon."

Mas Raihan terus berkoar dari luar, aku kian rapat menutup telinga. Setiap ucapannya bak air garam yang membuat luka kian terasa perih. Sudah tak ada lagi air mata yang mengalir, sudah kuhabiskan tadi siang saat mengetahui semua kisah perjalanan perempuan itu. 

Menjadi orang yang tak pernah peduli akan berita-berita viral itu mungkin bagus tapi ternyata semua itu bisa jadi hal baik untuk kita, andai dulu aku tahu ada kisah seorang gadis yang ditinggalkan menikah tepat saat dia akan dilamar oleh lelaki yang menjanjikannya masa depan mungkin aku tak akan menerima perjodohan itu, mungkin aku tak akan berlelah-lelah berusaha mencintai Mas Raihan. Kenapa semua ini baru aku ketahui setelah lima tahun aku membangun kehidupan keluarga dengan Mas Raihan? 

Suara Mas Raihan sudah lenyap entah kemana, aku bangkit dan berjalan perlahan menuju tepi ranjang. Pikiran melanglang buana, menempatkan diri menjadi perempuan itu sungguh sangat menyakitkan tapi nasibku tak kalah menyakitkan, hidup seatap dengan lelaki yang diam-diam masih menyimpan masa lalu bahkan selalu disebut dalam doanya, apa dia tak sadar apa yang dilakukannya adalah sebuah dosa dan termasuk dalam sebuah pengkhianatan. 

Samar-samar ku dengar suara adzan berkumandang, perlahan kubuka mata. Entah sejak kapan aku tertidur, seingatku semalam setelah membersihkan diri lalu merebahkan tubuh mungkin saat itu perlahan aku terlelap karena merasa sangat lelah. Tak ada Mas Raihan di sampingku, aku mengusap wajah dan menuju kamar mandi untuk melaksanakan perintahku sebagai umat. 

Kembali aku memikirkan segalanya, mencurahkan apa yang ada di dalam hati ini meski sebetulnya tak perlu aku lakukan karena kutahu Dia pasti sudah mengetahuinya. Aku pasrahkan semua ini pada Dia sang pemilik kehidupan, apapun yang terjadi nanti aku akan terima. 

Pintu kamar terbuka, semalam aku memang tak menguncinya. Lelaki itu masuk perlahan, aku tetap duduk di atas sejadah dan berusaha untuk tetap bertahan disana. 

Aku tahu ada tatapan yang tak henti menatapku, dari sudut mata dapat kulihat lelaki itu terus menatapku.

"Maafkan aku sayang, aku tahu aku salah. Tapi sungguh semua tak seperti yang kamu pikirkan."

Lagi, dia terus melakukan pembelaan. Aku menyudahi doaku, lalu menoleh ke arahnya. 

"Lalu bagaimana yang sebetulnya terjadi, Mas?" tanyaku. 

"Aku merasa bersalah dan belum meminta maaf, jadi saat bertemu dengannya aku merasa diberi kesempatan untuk melakukan hal itu dan aku…."

"Dan kamu menyebut namanya dalam doa kamu, dengan khusyu' kamu mendoakannya pancaran doa tulus yang keluar dari mulut kamu, lalu kamu pagi-pagi sekali sudah pergi dengan pakaian warna yang seharusnya digunakan untuk mengunjungi butik perempuan itu bahkan kamu datang dengan seorang perempuan ke sana, apa itu perempuan bernama Zahra, iya Mas?"

"Sayang, kamu…."

"Kenapa Mas? Mas pikir aku tidak mendengar saat tengah malam Mas bermunajat, aku kira kamu sedang mendoakan aku ternyata ada perempuan lain yang kamu sebut dan kamu bilang itu tak seperti yang aku pikirkan, lalu apa? Apa Mas?"

Emosiku sudah tak bisa tertahan lagi, akhirnya magma itu meluap. Mas Raihan terdiam seolah kehilangan kata, satu per satu aku lucuti semua kebohongannya, tak kubiarkan dia bicara menyangkal atau apapun. Aku ingin mengeluarkan semua beban yang menghimpit hati ini. 

"Apa yang akan kamu sangkal dari semua ini, hah?"

"Aku tak pernah menyangka kamu setega ini sama aku, Mas. Kamu khianati janji agung yang kamu ucapkan di depan waliku dan saksi bahkan saat itu para malaikat turun menyaksikannya lalu apa yang kamu lakukan? Kamu mengkhianatiku."

"Aku tak mengkhianatimu, aku masih menjaga kamu tetap di hati ini, kamu tetap menjadi perempuan satu-satunya Naura, aku tak mengkhianatimu."

Aku mendesis, membalas tatapannya dengan tatapan sinis. Lalu membelakanginya, menatap ke jendela yang masih tertutup tirai. 

"Kamu pikir mendoakan perempuan yang bukan mahram kamu bahkan pernah terlibat masa lalu dengan kamu bukan sebuah bentuk pengkhianatan?"

"Adakah yang salah dengan doaku? Aku mendoakan kebaikan untuk orang lain, bukankah itu hal yang baik?"

Aku kian geram mendengar Mas Raihan yang pintar mencari alasan, membalikan badan dan menatapnya penuh amarah lagi.

"Lalu soal kebohongan? Kebohongan yang kamu bilang itu untuk kebaikanku, kebohongan macam apa itu."

"Sudah kubilang, itu semua demi kebaikan kita, aku hanya tak mau membuat kamu terluka."

"Nyatanya kamu berhasil membuat luka di hati aku, Mas."

Bergegas pergi meninggalkan Mas Raihan seorang diri, rasanya aku malas melihat wajahnya yang sok sedih dan menyesal. 

Semenjak hal itu terungkap, hubunganku dengan Mas Raihan terasa mulai hambar, aku yang tak peduli dengan perhatian-perhatian kecil yang dilakukan Mas Raihan, rasanya belum sanggup aku memaafkan Mas Raihan atas kebohongannya, atas apa yang dilakukannya padaku. Tapi sebagai seorang istri aku tetap melayaninya, menyiapkan sarapan pagi ini tapi aku tak membantunya lagi memakaikan baju seperti biasa karena masih belum sanggup jika harus berhadapan dengannya. 

Di meja makan tak ada suara yang keluar dari mulutku, rasanya butuh waktu lama untuk menerima kenyataan lelaki yang menikahiku adalah lelaki pembohong dan pandai berdusta. 

"Perempuan yang kamu lihat berjalan denganku, dia adalah klienku. Kebetulan kami makan siang disana, sebetulnya kita tidak berdua ada dua orang asistennya yang kebetulan menunggu di resto. Beliau memintaku untuk berjalan-jalan mencari sesuatu di mall itu."

Aku diam, tak begitu menanggapi alasannya. Karena itu pasti hanya sebuah kebohongan lagi.

"Soal Zahra, aku tak menemuinya saat launching. Aku bahkan tahu dia buka butik dari status Hanifa karena mungkin dia mendapat info dari grup alumni sekolah mereka. Aku emang bertemu dengannya, tapi dia bersikap dingin bahkan menjauhiku. Makanya aku mendoakan kebaikan untuknya, karena merasa pernah sangat bersalah padanya."

Lagi dia menyebut nama perempuan itu di depanku tanpa peduli sesakit apa yang aku rasakan. Aku mendorong kursi membuat Mas Raihan sedikit terperanjat. 

"Aku mohon dengarkan dulu."

"Aku akan mendengarkannya di depan orang tua kita. Mungkin sebentar lagi mereka tiba," ucapku seraya berdiri. 

"Maksud kamu?" tanya Mas Raihan turut berdiri. 

"Aku sudah menghubungi mereka meminta mereka datang, aku mau kamu menjelaskannya secara langsung di depan mereka agar mereka tahu kamu sedang berbohong atau tidak."

"Sayang."

Aku mengangkat tangan membuat Mas Raihan menghentikan ucapannya. 

"Cukup Mas, jangan bicara apapun lagi. Karena apa yang keluar dari mulutmu saat ini tak bisa kuterima sebagai sebuah kejujuran. Permisi," ucapku seraya meninggalkannya seorang diri.

Aku berjalan dan bergeming meski Mas Raihan terus mengikuti dari belakang dan memohon untuk tidak melakukan hal itu. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 115 (The End)

    Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan menepi di depan sebuah vila sederhana di pinggir hutan pinus. Aroma tanah basah bercampur dengan udara dingin pegunungan menyergap mereka begitu turun dari mobil. Clarissa merapatkan mantel, memeluk perutnya yang kini membesar tujuh bulan. Raihan buru-buru menutup jarak, memayunginya meski hujan tinggal rintik kecil.“Pelan-pelan sayang, tangganya licin,” ucap Raihan sambil menggenggam tangannya.Clarissa tersenyum lembut. “Aku hamil, bukan rapuh, Han.”Raihan mengerling. “Buatku dua-duanya sama pentingnya.”Vila itu sederhana. Kayu cokelat tua, jendela besar, dan aroma pinus yang menenangkan. Setelah semua badai yang mereka lalui—pengintaian misterius, masa lalu yang terungkap, ancaman yang nyaris merenggut Clarissa—tempat ini terasa seperti jeda yang Tuhan kirim khusus untuk mereka.Raihan membuka pintu. Hangat. Tenang. Sunyi.Untuk pertama kalinya s

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 114

    Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan memasuki halaman rumah. Langit sore masih menggantung kelabu, aroma tanah basah memenuhi udara. Clarissa turun dengan perlahan, satu tangannya memegangi perut yang mulai membesar. Raihan langsung sigap memayungi, memastikan istrinya tidak menapaki ubin yang licin.“Pelan, Sayang,” ucapnya lembut.Clarissa mengangguk, meski wajahnya masih memendam kekhawatiran sejak insiden di kantor. Motor hitam itu… bayangan pengendaranya… tatapan diam yang terasa terlalu sengaja. Semua itu masih bergema seperti gema samar di belakang kepala.Begitu pintu rumah tertutup, Raihan langsung menurunkan semua tirai. Clarissa hanya memperhatikan gerak suaminya—lebih gelisah daripada tadi. Lebih protektif daripada biasanya.“Kamu mau cerita?” tanya Clarissa akhirnya, duduk di sofa sambil melepaskan high heels.Raihan menghentikan gerakannya. Bahunya menegang.“Bukan sekar

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 113

    Raihan tak pernah mengira dirinya akan kembali merasakan sesuatu yang dulu hanya muncul saat ia masih jadi petugas lapangan: insting bahaya.Dan sore itu, ketika motor hitam itu mengamati mereka tanpa suara, insting itu kembali menempel di tengkuknya—dingin, tajam, dan mengancam.Di perjalanan pulang, Clarissa memperhatikan ekspresi suaminya yang tidak seperti biasanya. Raihan tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik kaca spion seolah mencari sesuatu di balik mobil-mobil yang berlalu.“Han…” Clarissa memecah keheningan dengan suara pelan.Raihan hanya menjawab, “Nanti di rumah kita bicara.”Zahra langsung menyambut mereka dengan pelukan kecil di kaki Clarissa.“Mama—Papa pulang! Lihat gambar Zahraaa!”Clarissa tersenyum, mengelus rambut putrinya. Tapi Raihan hanya menatap sekilas, kemudian memeriksa pintu, jendela, dan balkon seperti sedang memastikan sesuatu.Clarissa mempe

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 112

    Rafael.Saudara kembar.Sosok yang wajahnya hampir sama dengan Raihan—hanya saja dengan sorot mata yang berbeda. Sorot mata yang gelap, tajam, dan penuh kemarahan yang tak lagi bisa ditutupi.Clarrisa menatap pria itu tanpa berkedip, jantungnya memukul-mukul tulang rusuk dengan keras. Ia menelan ludah perlahan, mencoba memahami apa yang ada di depan matanya.Jika bukan karena luka kecil di alis dan garis keras di rahang Rafael, ia mungkin tak bisa membedakannya dari Raihan.Raihan mengangkat sebelah tangan, berdiri sedikit lebih maju melindungi Clarrisa.“Rafael,” katanya dengan suara kaku. “Kau tak seharusnya ada di sini.”Rafael menatapnya, helai rambut hitamnya jatuh sedikit ke dahi.“Oh… aku harus ada di sini, Raihan. Kau yang membuatku kembali. Kau yang memaksa aku muncul lagi. Karena kau… mengambil sesuatu yang bukan milikmu.”Clarrisa meng

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 111

    Angin sore menyapu perlahan halaman depan rumah itu, membawa aroma tanah basah setelah hujan turun sejak siang. Langit mulai memucat keabu-abuan, seakan mengikuti suasana yang sedang berkecamuk di dalam dada Clarrisa. Ia berdiri di dekat jendela ruang tamu, kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin menahan gemetar yang sedari tadi tak mau berhenti.Raihan belum pulang.Padahal ia jelas mengatakan akan pulang lebih cepat hari ini. Ada sesuatu—sesuatu yang sejak pagi terasa aneh, ganjil, menggelitik bagian terdalam intuisi Clarrisa.Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Namun bayangan percakapan semalam kembali menyergapnya.Kalimat Raihan yang terpotong.Tatapan gelisah.Ponsel yang terus bergetar tapi ia sembunyikan.Dan kata terakhir yang hampir lolos dari bibirnya.“Klar… ada hal yang sebenarnya harus aku j—”Lalu percakapan itu terputus ketika alarm

  • NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA   Chapter 110

    Motor itu masih mengikuti mereka—tanpa menyalip, tanpa mundur, tanpa mempercepat kecepatan. Selalu dalam jarak yang sama. Seolah pengendara itu ingin memastikan satu hal: bahwa mereka tahu ia ada di sana.Raihan mempercepat mobil sedikit, tapi tidak sampai menimbulkan kecurigaan. Clarissa menggenggam seatbelt erat, napasnya tak stabil.“Mas… dia masih di belakang,” bisiknya.“Biarin. Kita tetap pulang dulu,” jawab Raihan tenang, meski rahangnya mengeras jelas.Tapi tenangnya itu palsu. Clarissa mengenalnya terlalu dalam untuk percaya begitu saja. Hanya kehadirannya yang membuat pria itu berusaha setenang mungkin. Untuknya. Untuk bayinya.Lima belas menit kemudian, mereka memasuki area perumahan. Motor itu masih membuntuti. Saat mobil berhenti di depan rumah, motor itu berhenti dua rumah dari mereka. Diam. Tidak mematikan mesin. Hanya menunggu.Clarissa menelan ludah. &ldq

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status