LOGINPagi datang dengan cahaya redup yang menembus tirai kamar. Clarissa membuka mata perlahan, menatap langit-langit yang seolah lebih sunyi dari biasanya. Di sisi tempat tidur, ruang kosong yang biasanya ditempati Raihan terasa dingin. Ia menatap bantal yang tak tersentuh, lalu menghela napas panjang.
Malam tadi, Raihan tidak masuk kamar. Clarissa tahu, bukan karena marah besar, tapi karena hatinya sedang bingung. Dan kebingungan itu — jauh lebih menyakitkan daripada kemarahan.
Ia duduk di tepi ranjang, membenarkan rambutnya, lalu memandangi ponsel di meja samping. Notifikasi dari semalam masih ada di layar:
“Kau tidak seharusnya diam saja, Clar. Waktumu hampir habis.”
Pesan itu tanpa nama. Tanpa nomor. Tapi Clarissa tahu betul siapa yang cukup gila untuk menulis seperti itu.
Revan.
Nama itu kembali bergema di kepalanya, seperti gema lama yang tak mau padam.
Ia berdiri, menatap w
Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan menepi di depan sebuah vila sederhana di pinggir hutan pinus. Aroma tanah basah bercampur dengan udara dingin pegunungan menyergap mereka begitu turun dari mobil. Clarissa merapatkan mantel, memeluk perutnya yang kini membesar tujuh bulan. Raihan buru-buru menutup jarak, memayunginya meski hujan tinggal rintik kecil.“Pelan-pelan sayang, tangganya licin,” ucap Raihan sambil menggenggam tangannya.Clarissa tersenyum lembut. “Aku hamil, bukan rapuh, Han.”Raihan mengerling. “Buatku dua-duanya sama pentingnya.”Vila itu sederhana. Kayu cokelat tua, jendela besar, dan aroma pinus yang menenangkan. Setelah semua badai yang mereka lalui—pengintaian misterius, masa lalu yang terungkap, ancaman yang nyaris merenggut Clarissa—tempat ini terasa seperti jeda yang Tuhan kirim khusus untuk mereka.Raihan membuka pintu. Hangat. Tenang. Sunyi.Untuk pertama kalinya s
Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan memasuki halaman rumah. Langit sore masih menggantung kelabu, aroma tanah basah memenuhi udara. Clarissa turun dengan perlahan, satu tangannya memegangi perut yang mulai membesar. Raihan langsung sigap memayungi, memastikan istrinya tidak menapaki ubin yang licin.“Pelan, Sayang,” ucapnya lembut.Clarissa mengangguk, meski wajahnya masih memendam kekhawatiran sejak insiden di kantor. Motor hitam itu… bayangan pengendaranya… tatapan diam yang terasa terlalu sengaja. Semua itu masih bergema seperti gema samar di belakang kepala.Begitu pintu rumah tertutup, Raihan langsung menurunkan semua tirai. Clarissa hanya memperhatikan gerak suaminya—lebih gelisah daripada tadi. Lebih protektif daripada biasanya.“Kamu mau cerita?” tanya Clarissa akhirnya, duduk di sofa sambil melepaskan high heels.Raihan menghentikan gerakannya. Bahunya menegang.“Bukan sekar
Raihan tak pernah mengira dirinya akan kembali merasakan sesuatu yang dulu hanya muncul saat ia masih jadi petugas lapangan: insting bahaya.Dan sore itu, ketika motor hitam itu mengamati mereka tanpa suara, insting itu kembali menempel di tengkuknya—dingin, tajam, dan mengancam.Di perjalanan pulang, Clarissa memperhatikan ekspresi suaminya yang tidak seperti biasanya. Raihan tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik kaca spion seolah mencari sesuatu di balik mobil-mobil yang berlalu.“Han…” Clarissa memecah keheningan dengan suara pelan.Raihan hanya menjawab, “Nanti di rumah kita bicara.”Zahra langsung menyambut mereka dengan pelukan kecil di kaki Clarissa.“Mama—Papa pulang! Lihat gambar Zahraaa!”Clarissa tersenyum, mengelus rambut putrinya. Tapi Raihan hanya menatap sekilas, kemudian memeriksa pintu, jendela, dan balkon seperti sedang memastikan sesuatu.Clarissa mempe
Rafael.Saudara kembar.Sosok yang wajahnya hampir sama dengan Raihan—hanya saja dengan sorot mata yang berbeda. Sorot mata yang gelap, tajam, dan penuh kemarahan yang tak lagi bisa ditutupi.Clarrisa menatap pria itu tanpa berkedip, jantungnya memukul-mukul tulang rusuk dengan keras. Ia menelan ludah perlahan, mencoba memahami apa yang ada di depan matanya.Jika bukan karena luka kecil di alis dan garis keras di rahang Rafael, ia mungkin tak bisa membedakannya dari Raihan.Raihan mengangkat sebelah tangan, berdiri sedikit lebih maju melindungi Clarrisa.“Rafael,” katanya dengan suara kaku. “Kau tak seharusnya ada di sini.”Rafael menatapnya, helai rambut hitamnya jatuh sedikit ke dahi.“Oh… aku harus ada di sini, Raihan. Kau yang membuatku kembali. Kau yang memaksa aku muncul lagi. Karena kau… mengambil sesuatu yang bukan milikmu.”Clarrisa meng
Angin sore menyapu perlahan halaman depan rumah itu, membawa aroma tanah basah setelah hujan turun sejak siang. Langit mulai memucat keabu-abuan, seakan mengikuti suasana yang sedang berkecamuk di dalam dada Clarrisa. Ia berdiri di dekat jendela ruang tamu, kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin menahan gemetar yang sedari tadi tak mau berhenti.Raihan belum pulang.Padahal ia jelas mengatakan akan pulang lebih cepat hari ini. Ada sesuatu—sesuatu yang sejak pagi terasa aneh, ganjil, menggelitik bagian terdalam intuisi Clarrisa.Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Namun bayangan percakapan semalam kembali menyergapnya.Kalimat Raihan yang terpotong.Tatapan gelisah.Ponsel yang terus bergetar tapi ia sembunyikan.Dan kata terakhir yang hampir lolos dari bibirnya.“Klar… ada hal yang sebenarnya harus aku j—”Lalu percakapan itu terputus ketika alarm
Motor itu masih mengikuti mereka—tanpa menyalip, tanpa mundur, tanpa mempercepat kecepatan. Selalu dalam jarak yang sama. Seolah pengendara itu ingin memastikan satu hal: bahwa mereka tahu ia ada di sana.Raihan mempercepat mobil sedikit, tapi tidak sampai menimbulkan kecurigaan. Clarissa menggenggam seatbelt erat, napasnya tak stabil.“Mas… dia masih di belakang,” bisiknya.“Biarin. Kita tetap pulang dulu,” jawab Raihan tenang, meski rahangnya mengeras jelas.Tapi tenangnya itu palsu. Clarissa mengenalnya terlalu dalam untuk percaya begitu saja. Hanya kehadirannya yang membuat pria itu berusaha setenang mungkin. Untuknya. Untuk bayinya.Lima belas menit kemudian, mereka memasuki area perumahan. Motor itu masih membuntuti. Saat mobil berhenti di depan rumah, motor itu berhenti dua rumah dari mereka. Diam. Tidak mematikan mesin. Hanya menunggu.Clarissa menelan ludah. &ldq







