"Mbak Nay." Suara lain memanggilnya. Nay ingat gadis kecil itu pernah memintanya mencari kakak laki-lakinya. "Lusi," balas Nay tersenyum. Gadis kecil itu memeluk Nay. "Lusi bersama Kakak?" tanya Nay mengusap rambut ikal gadis delapan tahun itu. "Iya. Kakak di sana." Kakak Lusi tersenyum pada Nay. Dia memakai kemeja biru yang sama seperti saat mereka bertemu dulu. Lusi berlari kembali ke kakaknya. Begitu juga Amir dan Mira berjalan bergandengan mendekati Lusi. Nay bangkit berdiri. Dilihatnya sosok lain yang pernah ditolongnya. Satu-persatu mereka keluar dari lingkaran cahaya itu. Berdiri bersisian mengelilingi Nay. "Sekecil apa pun kebaikan yang pernah kau lakukan, dia tidak akan pernah meninggalkanmu. Semuanya akan kembali padamu, Nay." Suara lembut perempuan dari dalam cahaya menggetarkan hati Nay. "Ibu ...." Suara Nay tertahan. "Benarkah itu, Ibu?" Ia bertanya lagi untuk meyakinkan dirinya sendiri. Nay melangkah pelan mendekati portal cahaya. Dia masih mengingat seperti apa ru
"Keluar dari sana!" Tarangga memberikan perintah pada teman-temannya untuk segera menjauh dari kawah. Nay bangkit berdiri lalu membolak-balik kedua telapak tangan. Pendar cahaya putih menyelimuti seluruh tubuhnya. Energi yang ada padanya pun terasa berbeda. Nay meraba punggungnya. Sudah tidak ada lagi luka di sana. Keadaan dirinya pun sudah pulih sepenuhnya. Melihat Nay berdiri, Tarangga melontarkan sebuah serangan energi yang besar. Nay bergeming. Energi itu hanya seperti angin tipis mengenai tubuhnya. Tarangga terlihat tidak senang. Kembali serangan energi terlontar ke arah Nay. Kali ini Nay melesatkan tubuhnya ke udara. Mendekati Tarangga yang masih berdiri mengambang di atas batu Astramaya."Aku kembali, Tarangga. Kita sudahi saja atau kau ingin meneruskan ini?" tanya Nay tersenyum samar. "Aku belum kalah, Nayara!" Suaranya menggelegar. "Aku penguasa Astramaya, tidak mungkin begitu saja tunduk pada perempuan sepertimu!" Tarangga melesat naik lebih tinggi ke udara. Energi lain
"Kau tidak ingin menghabisiku, Nay?" "Untuk apa? Mendendam bukan sifatku. Orang yang membesarkanku tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Mendendam hanya akan membuat diri tidak tenang. Ibarat membawa sesuatu yang bau di dalam sakumu. Bukan hanya kau yang bisa mencium baunya tapi orang lain juga."Tarangga masih menatap nanar. Dia terdiam mendengar semua perkataan Nay. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. "Aku akan menemui raja Affandra. Menyelesaikan semua yang masih mengganjal di antara kalian. Aku tidak peduli intrik-intrik yang kalian buat untuk membawaku sampai pada titik ini. Kau tidak sepenuhnya jahat dan raja Affandra tidak sepenuhnya baik.""Apa kau percaya padaku, Nay?" tanya Tarangga seperti tidak percaya. "Aku mencoba." Nay menjawab lugas. "Bila ternyata ini hanya sebuah tipu daya, aku tidak akan memberimu kesempatan lagi!"Nay mengangkat tubuhnya ke udara. Mengambang di atas kawah Astramaya. Dia membuat gerakan tangan membentuk sebuah bulatan energi yang sangat bes
Lalika mengerakkan jemarinya. Tubuh raja Affandra terangkat. Dia memberontak, mencoba melepaskan ikatan energi Lalika. “Tolong jangan lakukan itu, Lalika! Tidak cukupkah ribuan kata maaf untukmu. Katakan aku harus apa agar kau bisa memaafkanku!” Raja Affandra memelas.“Tidak! Keputusanku kali ini tidak akan berubah!” Lalika membuka portal ke Anandara lalu melemparkan tubuh raja Affandra ke dalamnya. Jerit suara laki-laki itu tidak lagi bisa menyentuh hati Lalika. Dia langsung menutup portal dengan segel mantra. Lubang itupun tertutup hingga saat ini. Pantas saja Lalika tidak mau menceritakan tentang Affandra pada Nay lebih jauh. Ternyata mereka pernah terlibat asmara. Di saat raja Affandra naik takhta tidak ada permaisuri yang mendampinginya. Dia sangat menginginkan Lalika sekaligus berambisi menguasai dunia bawah, karena itulah Lalika tidak ingin bersamanya.Nay melihat sebuah pertemuan rahasia yang dihadiri orang-orang persekutuan dunia bawah dan raja Affandra. Pembicaraan mereka
“Pasti tentang laki-laki itu. Iya kan?” Sepertinya Lalika sudah tahu apa yang ingin dibicarakan Nay.“Ya. Apa yang kau sarankan untukku?” Nay mengempaskan tubuhnya ke sofa dekat jendela di mana Lalika berdiri di sana.“Menurutmu?” Lalika mengembalikan pertanyaan pada Nay. “Karena aku tidak bisa memikirkan apa pun soal itu, makanya aku bertanya padamu.” Nay mengeryitkan dahi. “Kau tahu siapa dia kan?”“Aku rasa aku tahu. Rasendriya. Benar kan?”“Betul. Dia meninggalkan dunia bawah untuk selama-lamanya. Tidak akan bisa kembali lagi ke sana. Dia benar-benar menyatu dengan tubuh inangnya. Semua ingatan yang ada pada Rey, masuk ke dalam ingatannya. Dia tahu setiap detail tindakan atau ucapan yang pernah dilakukan Rey. Dengan kata lain sekarang Rey adalah Rasendriya, dan Rasendriya adalah Rey."“Belum sama sekali.” Lalika tertawa renyah. “Mereka berdua sama-sama mencintaimu. Pengorbanan yang mereka lakukan juga sama besarnya.”“Pengorbanan apa yang dilakukan Rasendriya? Yang ada dia meng
“Awalnya dia tidak mau, tapi Tarangga meyakinkan dia bahwa semua akan baik-baik saja. Aku hanya mengikuti alur saja. Tarangga dan Affandra sama-sama ingin berkuasa di dunia bawah. Dia ingin lebih kuat dengan mengambil tanganmu yang berharga ini. Sedangkan Affandra menginginkan keris Naga Sasra. Segala fitnah dia gaungkan tentang kekejaman Tarangga dan sekutunya. Sejujurnya kami tidaklah sekejam itu.”“Kau kah yang kutemui di Sendang Awu waktu itu?”“Ya, maafkan untuk semua yang kukatakan tentang orang tuamu. Aku hanya mengucapkan apa yang ada di pikiran si Brojo tua bangka itu!” Nada suara Rawindra berubah. Ada emosi di getarannya.“Ada dendam apa kau dengan Ki Brojo sampai kau menyebutnya seperti itu?”“Dia yang membantu ayah Affandra membunuh ayahku. Rasendriya menyaksikannya sendiri. Dia melihat semua, bagaimana raja memaksa ayahku untuk menyerahkan keris itu.""Memaksa? Apa keris itu bukan untuk raja?" Nay mengerutkan dahi. "Naga Sasra bukan pesanan raja seperti berita yang berem
Sedikit ragu Nay menekan nama Rey di layar ponselnya. Dia menunggu Rey mengangkat teleponnya tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Tiga kali Nay mencoba tetap saja Rey tidak menjawab. “Mungkin dia lagi sibuk, Wira.” Nay meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. "Aku rasa tidak begitu. Mungkin dia sedang mencari momen yang pas untuk kalian bertemu dan bicara." Wira mencoba menenangkan. "Semoga saja memang seperti itu." Nay mendesah pelan. "Rasanya aku belum siap bertemu Rey. Ada rasa takut, khawatir, curiga dan marah. Entahlah, aku sendiri bingung dengan perasaanku sendiri.""Masalah harus dihadapi dan diselesaikan. Kalau terus menghindar kau akan terus gelisah dan bertanya-tanya dan akhirnya kau menebak sendiri jawabannya yang belum tentu kebenarannya.""Memang mudah kalau sekadar bicara. Melakukannya itu yang sulit," kata Nay seraya mengambil ponselnya yang sedang bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. [Buka pintu, Nay. Aku sudah di depan apartemenmu]Deg! Jantung Nay seak
Nay lebih banyak menghabiskan waktu di panti. Baik itu mengawasi pekerjaan pembangunan beberapa kamar tambahan maupun mengurus keperluan untuk anak-anak asuh di sana. Bukan tanpa alasan, ia ingin secepatnya semua hal yang menyangkut panti selesai dengan baik. Persiapan pernikahan juga harus dipikirkan dan direncanakan dengan matang. Ia memimpikan sebuah pernikahan yang sederhana dan khidmat. Sedangkan Rey menginginkan pesta yang megah mengingat ini adalah momen sekali seumur hidup. Ia juga memiliki keluarga besar dan kolega yang tidak sedikit. Jadi, berbagi kebahagiaan dengan mereka itu harus.Hal tersebut membuat Nay uring-uringan. Ia tidak menyangka Rey akan bertahan dengan keinginannya itu. Biasanya dia lebih banyak menyerahkan keputusan pada Nay. Namun, kali ini sangat berbeda. Sempat terpikirkan oleh Nay, mungkin ada hubungannya dengan sifat Rasendriya di masa sebelumnya. Diam-diam Nay berencana mencari tahu seperti apa sebenarnya jiwa Rasendriya yang ada di tubuh Rey. Ia tidak