"Halo, kamu siapa kok tengah malam menelepon suami orang dan ingin disamperin segala?" tanyaku langsung sambil menahan emosi.
Sunyi sejenak, mungkin si Agus ini sedang berpikir bagaimana merespon ucapanku. "Halo, Mbak, jangan diam saja! Mbak masih punya ha rga diri atau tidak? Jangan ganggu suami orang dong!" ujarku menahan rasa kesal. "Eh Mbak, maaf ya, saya tidak bermaksud untuk menganggu suami kamu. Kami tadi janjian untuk ketemu karena saya mau memba yar ci cilan. Tapi rupanya mas Dedi nggak bisa datang, jadi saya belum bisa ba yar ci cilannya mbak," ujar suara seberang. Aku mengerutkan dahi. "Tapi apa nggak bisa kalau ba yar ci cilan ditra n sfer saja? Kan nggak harus ketemu kalau cuma untuk bay ar, lebih simpel lagi," ujarku. Hening sejenak. Mungkin si Agus sedang bingung lagi harus merespon ku. "Duh, mbak, maaf mbak, anak saya terbangun. Saya tutup dulu, assalamu'alaikum." Tuttt! Ttuttt! Tttuttt! "Waalaikumsalam," ujarku menatap ke arah ponsel yang mulai menggelap. 'Kenapa dima tikan segala? Duh, rupanya mental pelakor nya masih peng ecut,' umpatku dalam hati. Aku lalu membuka layar ponsel dan suamiku kembali. Bermaksud untuk mengirim screenshot percakapan antara Agus dan suami ku kemarin. 'Loh, sudah dihapus obrolan kemarin? Duh, seharusnya kemarin aku screenshot dulu lalu kukirimkan ke ponselku baru akhirnya kubaca,' gumamku penuh rasa penyesalan. Akhirnya aku meletakkan kembali ponsel suamiku. 'Sepertinya mas Dedi sudah tahu tentang rencana ku. Aku tidak boleh gegabah untuk menangkap basah rencananya,' batinku lalu merebahkan badan di samping mas Dedi. Teringat malam- malam saat aku selalu memeluk nya saat tidur, tapi kali ini tidak. Aku tidak bisa berbagi suami dengan perempuan lain. Akhirnya aku pun membalikkan badan dan tidur memunggungi mas Dedi. *** Pagi itu aku baru saja selesai menyiapkan sarapan dan duduk di hadapan mas Dedi saat mas Dedi dengan wajah serius nya menatap ke arah layar ponsel, tampak kegusaran tergambar di wajahnya. Mungkin kah si Agus mengadu soal semalam pada mas Dedi? Atau justru Agus menjadi takut dan kabur tidak membayar cicilan pada suami ku dengan uang maupun dengan ngamar? Aku sibuk menduga - duga. Aku berdehem lalu mengambil kan nasi dan lauk ke atas piringnya walaupun sebenarnya aku ingin melemparkan piring itu ke wajah mas Dedi. "Makasih, Ratna," ujar mas Dedi sambil menerima piring dari ku tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel nya. Aku menahan tawa saat melihat mas Dedi menyendok lengkuas yang memang sengaja kuambil dari tumis pakis pedas ke piringnya yang berdampingan dengan tempe goreng. Dan seketika mas Dedi terbatuk - batuk saat lengkuas itu tergigit di mulutnya. 'Hahaha, ka pok! Rasain! Emang enak?!' batinku. "Duh, tolong minum, Rat," pinta mas Dedi. Dia mengernyit, mungkin merasakan getirnya rasa lengkuas. "Makanya Mas, kalau makan jangan sambil main Hp," sahutku sambil menuang kan air minum ke dalam gelasnya. "Terimakasih, Rat," ujar mas Dedi sambil meminum air di dalam gelas yang kusodorkan. Dia tampak tidak menghiraukan peringatan ku soal bermain ponsel. "Semalam ada telepon masuk ke nomor HP kamu. Karena aku tidak bisa tidur dan walaupun ponsel kamu dalam mode hening, kebetulan aku melihat layar HP mu yang kedip - kedip, akhirnya aku menerima telepon dari ... Agus, tapi suaranya cewek," ucapku dengan suara keras. Uhukkk! Uhukkk! Mas Dedi terbatuk untuk kedua kalinya. "Astaghfirullah, Mas. Kamu apaan sih pagi ini? Kenapa kayak batuk - batuk terus? Apa tidak lebih baik jika kamu tidak usah nagih - nagih cicilan lagi kalau nggak enak badan," saranku. "Hm, si Agus itu teman aku. Mungkin yang menelepon itu istrinya. Agusnya sungkan kalau mau telepon karena belum bisa membayar cicilannya padaku, Rat," jawab mas Dedi tanpa diminta. "Hm, gitu. Tapi anehnya istrinya malah telepon kamu tengah malam dan bilang kalau anaknya dititipkan ke rumah neneknya. Apa urusan nya coba dengan cicilan ke kamu?" pancing ku. Telanjur basah, mandi sekalian sajalah. Coba kulihat dulu mas Dedi mau mengakui perbuatannya atau tidak. Terlihat wajah mas Dedi yang kelabakan sesaat. "Hm, ah masa sih? Kamu salah dengar kali? Lain kali kalau ada telepon dari nasabahku jangan diangkat ya? Kamu cuekin saja atau beri tahu aku saja," ujar mas Dedi menatapku serius. "Loh, memangnya kenapa, Mas? Apa kamu selingkuh sehingga takut jika aku mengetahui perselingkuhan kamu dengan menerima telepon dari para na s a bah kamu? Atau ... jangan - jangan ada na sa bah kamu yang nggak bisa bayar ci ci lan terus ngajak kamu en a- en a, Mas?" tanyaku berusaha untuk bersikap tenang meskipun jan tung ku berdebar keras menunggu jawaban dari mas Dedi. Next?"Boleh, aku akan memberikan infus padamu yang berisi seluruh rasa di hatiku, sehingga kamu tidak akan mengalami dehidrasi cinta dan kasih sayang seumur hidup dan kupastikan jika semua perasaan ku yang ku berikan padamu steril tanpa kuman pihak ketiga atau CLBK," ujar Susi, membuat semua teman - temannya melongo."Astaga, kalian berdua so sweet banget! Bagaimana para saksi? SAH?" tanya salah seorang teman Agung dan Susi. "Sah!""Sah!""Alhamdulillah!" Ruang perawat kelas satu pun sejenak riuh dengan gurauan tenakesnya. Susi dan Agung bertatapan, tanpa saling berbicara, mereka tahu bahwa mereka saling mencintai satu sama lain. Dedi pulang dari kantor polisi dengan wajah gusar. "Ck, nggak ada bukti dan aku diminta tenang dulu sampai ada bukti kuat baru bisa melapor ke polisi? Ck, apa - apaan ini? Bagaimana kalau aku keburu mati? Tampaknya suami tante itu berbahaya," gerutu Dedi. Dia lalu melajukan motor nya menuju ke arah hotel bintang tiga yang mempunyai satpam yang sedang berjaga
Dedi terkejut dengan kata - kata penelepon nya. "Hutang mata dibalas mata, hutang istri dibalas istri. Sekarang selamat menikmati rasanya kehilangan istri," ujar laki - laki yang menelepon Dedi. Dedi terhenyak. 'Astaga! Jadi tante sudah meninggal bunuh diri karena terkena HIV? Dan lelaki yang mengaku suaminya tante sudah membunuh Agustina?' batin Dedi. 'Wah, jangan - jangan sebentar lagi, dia juga akan menuntut pertanggungjawaban ku! Padahal aku tidak tahu siapa yang menulari siapa.'"Heh, enak saja kamu menuduhku! Aku tidak kenal siapa kamu dan siapa istrimu! Jangan sembarangan memfitnah ya! Bisa jadi istri kamu ada main dengan orang lain, bukan dengan aku! Jangan asal tuduh!!" ujar Dedi memberanikan diri. Lelaki di seberangnya menggeram. "Jangan mengelak! Hari ini kamu dan istrimu harus mati, Dedi!" ujar suara seberang dengan nada marah. Tubuh Dedi gemetaran. Lelaki itu segera mengakhiri panggilan teleponnya. "Aku harus kabur kemana ini? Apa aku harus lapor polisi atas ancaman
Agung terdiam sejenak. "Kok sepi, Mama mana?" tanya Agung. "Mama tidur. Tadi seharian mama mengajakku nonton telenovela marathon kesukaan nya saat masih muda dulu dari Hp. Setelah itu mama ketiduran, padahal masih belum tamat filmnya," sahut Susi. "Apa perlu kubangunkan?" sambung Susi lagi. Agung buru- buru menggeleng. "Jangan! Kasihan mama kamu! Biar mama kamu tidur saja," sahut Agung cepat. Susi manggut- manggut. "Oke, tunggu di sini. Aku tadi bikin martabak manis tevlon. Semoga bisa dimakan," ujar Susi sambil berlalu meninggalkan ruang tamu, dan tak lama kemudian kembali dengan membawa sepiring martabak manis yang beraroma wangi. Susi meletakkan martabak manis itu di hadapan Agung. "Hm, kayaknya enak nih!" celetuk Agung tersenyum. "Enak! Ayo kita coba sama-sama! Kamu jangan ragu dengan masakan aku ya!" ujar Susi. Agung tertawa. "Asalkan tidak beracun dan tidak mentah saja, aku bisa nelen makanan, Yang," ujar Agung seraya mencomot martabak di hadapan nya. "Hm, enak kok, S
"Alhamdulillah, lancar ya acara lamaran mbak Ratna," ujar Agung sambil mengambil makanan di meja prasmanan. Di sebelah Agung, Ratna mengambil es buah dan tersenyum. "Iya, alhamdulillah, Gung. Semoga kamu cepet nyusul ya?!" sahut Ratna. Agung tersenyum dan mengangguk. "Aamiin, Mbak, makasih doanya. Semoga mbak Ratna juga dilancarkan sampai pernikahan," ujar Agung yang langsung diamini oleh Ratna. Ratna celingukan ke sekeliling taman tengah rumahnya. "Lho, Susi tidak kamu ajak kesini?" tanya Ratna."Hm, sudah. Tapi dia nggak bisa. Dia bilang mau nganter mamanya kontrol saja," sahut Agung, lalu menuju tempat duduk yang telah disediakan oleh pihak EO yang disewa oleh keluarga nya. Ratna mengerut kan kening nya. "Kok kamu biarkan Susi mengantarkan ibunya kontrol sendiri ke rumah sakit sih? Kenapa kamu nggak mengantarkan Susi dan ibunya, Gung?" tanya Ratna. "Kata Susi, ada saudara nya yang akan mengantarkan mereka kontrol. Jadi aku tidak diperlukan dulu," ujar Agung tertawa. "Hahaha,
"Kita akan melihat hal itu nanti, Bu. Jadi bapak dan ibu harus saya ke kantor polisi dulu untuk dimintai keterangan," ujar polisi itu tegas. Agustina melirik ke arah Dedi yang juga terlihat gamang. "Pak, saya tidak mungkin membunuh ibu saya sendiri, meskipun ibu saya selingkuh dengan suami saya. Saya hanya mengusir nya keluar dari rumah karena saya sangat sakit hati," ujar Agustina mencari aman dengan mengatakan permasalahan nya. Dedi mendelik mendengar ucapan Agustina. Sementara itu polisi semakin antusias melihat ke arah Agustina dan Dedi secara bergantian. "Kalau begitu kalian berdua segera ikut kami untuk penyelidikan lebih lanjut! Silakan ikut kami ke kantor polisi!" ujar polisi itu tegas. ***Agustina yang sudah selesai diinterogasi di kantor polisi, memutuskan untuk pulang ke rumahnya dulu. "Ck, sialan! Ini semua gara- gara mas Dedi! Mending aku jadi janda lagi aja deh. Aku nggak peduli dengan balas dendam mas Dedi pada Ratna, aku nggak mau lagi pura - pura kaya dan bahag
"Selamat malam, kami dari kepolisian, ibu anda tertabrak mobil dan meninggal seketika di jalan pahlawan. Dimohon anda segera kemari," sahut polisi itu membuat Agustina gemetaran seketika. "Hah, apa? Tidak mungkin, Pak!" desis Agustina tidak percaya. 'Jangan - jangan ibuk bun*h diri. Atau ibu sudah ada firasat kematian, jadi ibu menelepon ku dari tadi pagi untuk berpamitan,' batin Agustina dengan perasaan menyesal. "Kami dari kepolisian satlantas telah mengevakuasi korban dengan membawa korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat. Kami juga melakukan olah tkp dan penyelidikan terhadap identitas korban. Hasilnya, kami menemukan KTP dan ponsel korban. Kontak paling atas di panggilan keluar yang dihubungi oleh korban, adalah nomor ibu. Jadi bisa kah ibu datang ke rumah sakit Sumber Sehat sekarang untuk memastikan tentang identitas korban kecelakaan?" tanya Polisi itu lagi. "Baiklah saya akan datang di Rumah Sakit Sumber Sehat. Bagaimana dengan orang yang menabrak ibu saya? Apakah orang
Suasana hening sejenak. Tina menunduk dan berjongkok membereskan cangkir yang dilemparkan sang anak. "Pergi dari sini, Bu!" usir Agustina dengan suara dingin. Dedi dan Tina menatap ke arah Agustina dengan terkejut. "Nak, tapi...""Pergi dari sini atau kuadukan pada warga bahwa kalian telah melakukan hal yang paling memalukan!" seru Agustina lagi. Dia menatap ke arah ibunya dengan mata berkaca. Tina menoleh ke arah Dedi. Berharap sang menantu membelanya. Namun sayang sekali, bukannya membela Tina, Dedi justru menatap ke arah pintu ruang tamunya, seolah mengisyaratkan dan menyetujui sang mertua untuk pergi dari rumah itu. Tina berdiri perlahan dan meletakan pecahan kaca di meja tamu, lalu menatap ke arah sang anak. "Baiklah, ibu akan pergi dari sini agar kamu memaafkan ibu, meskipun ibu tidak tahu akan pergi kemana," ujar Tina dengan nada putus asa sambil masuk ke dalam kamarnya dan membereskan semua pakaiannya kedalam tas nya. Dedi mendekati Agustina dan berusaha merayunya, tapi
"Astaga! Apa- apaan ini, Mas Dedi?! Ibuk!? Jadi begini kelakuan kalian saat aku tidak ada di rumah? B@jing*n kalian!" seru Agustina sambil menutup mata anaknya yang berdiri kebingungan di samping ibunya yang tengah mengumpat. Dedi segera menurunkan Tina dan melangkah mendekat sang istri. "Yang, aku bisa jelasin. Kamu bawa masuk dulu anak kamu ke kamar, dan aku akan menjelaskan nya," ujar Dedi meremas pelan bahu sang istri. Agustina mencebik. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Semua sudah jelas. Kamu menjijikkan, Mas. Masa mertua sendiri pun diembat!" omel Agustina. Dia lalu menoleh pada ibunya. "Ibu juga malu - maluin! Bisa - bisanya tertarik dengan mantu sendiri. Ck, kayak enggak ada orang lain saja!" seru Agustina. "Agustina, maafkan ibu. Ibu khilaf, Nak!" ujar Tina sambil mendekat ke arah sang anak. Perempuan itu merentang kan tangannya dan bermaksud memeluk Agustina, tapi anaknya lebih dulu menepis tangan ibunya. "Aku nggak bakal maafin ibu! Ibu sudah mengkhianati dan m
"Hm, sepertinya buah saja. Buah dalam bentuk parcel yang mewah dan cantik."Paman Dedi menghela napas dan menjeda kalimat nya sejenak. "Oh ya, apa kamu tidak merasakan cemburu dan marah saat adik kamu akan menikah dengan mantan istri kamu? Om sendiri juga tidak menyangka bahwa Randi memilih mantan istri kamu sebagai istri nya. Padahal gadis dan lajang banyak," ujar paman Dedi. Dedi tertawa. "Enggak. Biarlah saja, Paman. Lagi pula saya sudah menikah dengan istri saya yang sekarang," ujar Dedi dengan mata menerawang. Sebenarnya perasaan nya campur aduk.'Seandainya saja aku tidak selingkuh, seandainya saja aku setia dan tidak bekerja sebagai debt collector, mungkin aku masih mempunyai keluarga, bahkan aku masih mempunyai anak. Dan... aku tidak perlu mengidap penyakit sialan ini!' batin Dedi menyesal. Dedi berjalan memasuki rumahnya dengan gontai. Di dalam pikiran nya masih tersisa berjuta tanda tanya, siapa yang menulari nya. Dedi masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu dengan