Share

4. Huaaa, Aku Pasti Akan Malu Banget

Author: Fitri Soh
last update Last Updated: 2023-07-27 11:15:27

"Ha ha ha, haa." Om Angga tiba-tiba tertawa. Pundaknya terus bergetar-getar oleh tawa padahal menurutku gak ada yang lucu tapi dia terus saja terpingkal-pingkal. Apaan sih, dia. Aneh tiba-tiba saja tertawa begitu.

"Kenapa, sih? Aneh banget tertawa-tawa enggak jelas. Aku kan mau pinjam uang bukannya minta, Om," kataku jengkel. Aku sedikit mencebik padanya.

"Oh jadi Adik Dinda mau pinjam uang, ya? Tidak malu? Ha, ha." Dia tertawa lagi. "Tadi marah-marah, sekarang mau pinjam uang," katanya dengan sorot geli.

"Iya mau pinjam uang! Dengar, kan? Kenapa aku jarus malu? Kan aku mau pinjam uang bukannya minta, jadi kenapa musti malu? Nanti sampai rumah aku ganti!" Balasku yang lagi-lagi menatapnya jengkel.

Aku itu bukannya gak punya uang. Aku punya, kok. Mahar dari dia 50 juta cas seratusan ribu. Itu dari dia. Murni dari dia aku gak minta sama sekali mahar sejumlah itu. Saat waktu itu dia tanya mau mas kawin berapa, aku bilang seperangkat alat salat saja sudah cukup, yang penting kami menikah. Aku kan cinta mati padanya. Jadi hanya dengan menikah dengannya aku udah seneng banget dan gak mau tinggi-tinggi soal mahar. Jadi aku minta yang gak memberati. Tapi, Om Angga malah memberiku sejumlah itu juga seperangkat alat salat. Sayangnya, mahar darinya itu aku letakkan di kamarku. Setelah ijab kabul di rumahku, kami langsung ke sini dan aku gak kepikiran membawanya. Lupa saking bahagianya akan diboyong suamiku tercinta.

Oh ya memberitahu kalau-kalau ada ingin tahu. Pernikahanku dan Om Angga, berlangsung sederhana gak diramai-ramaikan. Hanya ijab kabul yang dihadiri para saksi saja. Begitu saja, tidak ada yang istimewa. Tapi tak masalah bagiku yang penting aku menikah dengan Om Angga. Papa mau menikahkanku pun aku sudah bersyukur sekali karena tadinya baik papa juga Mama menentang habis-habisan rencana pernikahan kami.

Ya aku bilang begini sih pada Papa. "Yaa kalau papa tetap gak mau nikahin aku sama Om Angga ya gak papa siiiih aku gak maksa. Aku bisa minta tolong Pak Yai sebagai wali, gak masalah nikah siri yang penting sah," kataku kala itu membuat Papa mengurut-urut dada. Papa juga memijit-mijit pelipis tampak stres sekali wajahnya. Mama yang duduk di samping Papa langsung mencoba menenangkan papaku itu.

"Jangan dipikirin, Pa, nanti darah tinggi Papa kambuh. Anakmu itu sedang keblinger." Sambil Mama memandangku dengan gemas.

"Dinda, Dinda, kamu itu buat malu papa dan Mama aja. Baru saja lulus sekolah eh sudah ngebet nikah. Kamu tau gak, tetangga-tetangga yang mama minta jadi saksi tanya ke Mama, apa kamu telat datang bulan? Kamu tahu, Mama ma-luuuu, sekali!" kata Mama dengan gemas sambil menoyor kepalaku. Aku yang ditoyor kepala hanya nyengir.

"Lalu, Mama bilang apa sama tetangga-tetangga kita, Ma?" tanyaku dengan antusias karena penasaran. Yaa masa aku dibilang telat bulan, maksudnya itu hamil ya, kan? Seolah aku anak nakal aja sampai telat bulan.

Walau aku itu cinta mati pada Om Angga, namun aku gak pernah ciuman dengan Om Angga. Aku gak pernah mencium dia duluan, Om Angga juga gak pernah berinisiatif menciumku lebih dulu. Padahal mah kalau dia menciumku aku gak mungkin nolak. He he.

"Ya Mama bilang kamu tidak hamil, lah. Tapi mama bilang kamu kena pelet!" Hu-uuh! Mama mengembuskan napas kuat saking kesalnya denganku, padahal aku tak merasa membuatnya kesal. Ganti Papa yang menenangkan Mama, menasehati Mama agar jangan terlalu dipikir nanti kena darah tinggi.

"Ya gak, lah, masa Om Angga pelet aku. Orang aku yang kejar-kejar dia kok, Ma, Pa. Dia itu, ganteng, baik, perhatian, bikin hati Dinda berwarna dan kelepek-kelepek. Ci-eeee!" kataku yang langsung ditoyor oleh Mama juga Papa.

"Mama sangat menyayangkan kamu bukannya kuliah malah nikah. Dinda, Dinda, hilang wajah Mama dan Papa pada para tetangga!" Hu-uuh. Mama mengembuskan napas keras. Lagi dan lagi begitu pun Papa.

"Tapi wajah Mama dan Papa masih ada, tuuh?" Aku memperhatikannya, langsung cengengesan karena Mama mendelik. Sementara Papa menyentak napas keras-keras, mungkin dengan begitu kekesalannya segera minggat.

"Pokoknya Mama tidak mau tahu ya, Dinda. Karena ini adalah pilihanmu sendiri, maka jangan sampai Mama dan Papamu mendapat kabar yang tidak-tidak pada pernikahanmu. Mama tidak mau terima kabar buruk semisal kamu cerai dengan Angga karena kamu tiba-tiba bosan sama Angga atau apalah. Pokoknya Mama tidak mau mendengar kabar buruk-buruk."

"Ha ha ha." Aku tertawa ngakak sejadi-jadinya. Tanganku mengibas cepat di udara dan aku lagi-lagi tertawa.

"Mama, Mama. Mana mungkinlah aku cerai dengan Om Angga? Ya enggak bakalan, lah. Secara kan kamu saling mencintai. Oke, siap, Ma! Gak mungkin aku sama Om Angga cerai. Kami akan sehidup semati. A-haay." Aku tersenyum. Mama mendengkus jengkel dan menoyorku.

Jadi, karena Mama dan Papa gak benar-benar merestuiku menikah dengan Om Angga, jadi keduanya tidak ingin ada pesta pernikahan yang pastinya dihadiri oleh banyak orang. Kata Mama, sudah cukup Mama malu pada tetangga karena kamu lulus SMA langsung nikah, mama tidak mau mencoreng wajah Mama juga papamu ke banyak orang lagi, kata Mama saat itu dengan tegas.

Aslinya sih aku ingin pernikahanku diramaikan karena pernikahan kan sekali seumur hidup, itu prinsipku. Aku ingin mengenakan gaun pengantin dan duduk di singgasana bagai ratu sehari bersama Om Angga, memperlihatkan ke orang-orang bahwa kami sangat-sangat bahagia. Namun karena Mama dan Papa gak merestui ya sudahlah. Yang penting nikah.

Sementara orang tua Om Angga beda, ia ingin pernikahanku dan Om Angga diramaikan dihadiri banyak orang bukannya asal sah seperti yang diinginkan Mama juga Papa. Kemarin siang setelah ikut mengantarku ke rumah Om Angga, Bunda, biasa aku menyebut Mama Om Angga, Bunda bilang bahwa dia sedang menyiapkan ini itunya untuk resepsi pernikahan kami yang akan digelar meriah besar-besaran seperti pernikahan-pernikahan Om Angga sebelumnya.

"Melamun?"

Tangan yang melambai-lambai di udara membuatku terlonjak mundur. Aku menepis tangan Om Angga yang terus melambai-lambai di udara lalu mendelik jengkel padanya.

"Iiiih apa an sih, Om! Ngeselin, deh. Om mau pinjami aku uang apa gak, niih?"

"Am Om, Am, Om, Om, Am! Katanya cinta, sudah nikah juga masih panggil Om. Dinda-Dinda." Dia menggelengkan kepala heran.

Aku mengembuskan napas. "Terserahlah. Suka-suka a-kuu. Toh Om kan nyuruh aku cari suami lain, yaudah aku mau cari suami lain. Jadi gak penting aku mau panggil Om apa Mas, terserah aku. Yaaa kecuali kalau Om berubah pikiran ba-ruu, deeeh, aku panggil Om, Mas."

Karena aku itu cinta dia, gak maulah cari lelaki lain. Dan juga kan sudah MP sama dia, masa mau udahan begitu saja. Malu juga lah pada Mama dan Papa. Selain itu, aku cinta banget sama dia tapi ya gak mau angkat rahim juga. Aku gak mau nanti nyesel dikemudian hari.

"Ha ha." Om Angga tiba-tiba tertawa membuat pundaknya bergetar pelan. "Ngarep, yaa?" tanyanya. Asli gak perasaan banget dia bicara begitu. Ya jelaslah aku ngarep, aku itu kan cinta dia. Aku meleletkan lidah dan mencebik.

"Gak ngarep, kok. GR. Sini, aku pinjam uang." Aku mengangkat tangan ke udara lalu menggerakkan jari-jariku ke arahnya. Aku sedikit merasa gengsi sebenarnya tapi kutahan. Ya daripada aku jalan kaki dari Metro ke Simpang Kampus, gila bener. Jauh, lah. Pasti sampai rumah Mama langsung tepar.

Dia mengulum senyum memandangku. "Pinjami tidak, yaa?" katanya diiringi senyuman.

"Ya pinjami dong, Om!" kataku jengkel.

"Ya ya ya." Dia mengangguk-angguk. "Tunggu sebentar kuambilkan uangnya. Tidak ingin duduk dulu?" Dia menuding kursi. Terlihat di piring, makananku yang wbaru berkurang sedikit saja. Enak banget itu ayam bakar rasanya.

Om Angga membalikkan badan lalu berjalan cepat menuju kamar. Sementara aku menuju kursi dan duduk. Ayam bakar di hadapanku terlihat begitu menggugah selera. Rasanya pun enak karena aku tadi sudah memakannya sedikit.

Aku celingak-celinguk lalu mencubit daging ayam bakar yang kecokelatan. Uuuh, memang enak sekali rasanya. Aku makan dengan menghayati lalu kembali mencubit daging ayam bakar, memakannya dengan cepat. Enak banget, sumpah, buat ingin makan lagi dan lagi. Om Angga jago sekali masak. Pasti diajari oleh bunda. Bunda punya 5 warung makan di sekitar Metro, juga ada yang di Simpang Kampus, juga ada yang di Pekalongan. Om Angga juga kedua Adik Om Angga juga punya warung makan, semua membuka usaha kuliner.

"Iya, habiskan dulu adik manis."

Suara Om Angga yang tiba-tiba membuatku tersedak-sedak. Rasa panas dan pedas pun merayapi tenggorokan juga hidungku sampai berair. Aku mengusapnya cepat dengan punggung tangan lalu sambil nyengir aku menoleh ke samping, suamiku berdiri tak jauh dariku tengah bersidekap. Bibirnya yang kemerahan menyungging senyum tipis, matanya yang jernih dengan bulu mata tebal mengelilinginya tampak geli. Aku rasanya seperti hilang muka seriusan. Aku kembali nyengir lalu menerima gelas yang diulurkannya. Segera menyeruputnya hingga habis setelah itu mencuci tangan di kobokan, mengelapnya dengan tisu dan berdiri. Lagi-lagi nyengir saat bertemu tatap dengannya.

"Sini uangnya." Aku mengulurkan tangan. Dia langsung meletakkan selembar warna merah di telapak tanganku.

"Ambil saja tidak usah dikembalikan," katanya, bibirnya mengulum senyum.

"Makasih," jawabku.

"Kalau berubah pikiran, tinggal pulang saja. Aku selalu siap menerimamu," katanya.

"Aku gak akan pernah berubah pikiran, Om! Aku gak mau angkat rahim sampai kapan pun! Mending aku cari lelaki lain seperti yang dikatakan Om daripada harus angkat rahim. Permisi!"

Buk bug! Aku mengentakkan kaki lalu membalikkan badan. Aku melangkah pelan menuju pintu. Panggil aku dong, Om. Pleaseee. Harapku dalam hati. Aku terus melangkah pelan-pelan seperti siput. Ya ampun gak dipanggil juga. Tega banget, deh. Please dong, Om, panggil aku pleaseeee.

Gemas sekaligus geram, aku menoleh ke belakang. Dia mengedikkan bahu, tatapannya seolah berkata, ada apa?

Aku kembali mengentakkan kaki. Apa yang harus kukatakan pada Mama saat ia melihatku pulang sendirian, coba? Hu-aaaaa .... aku ingin menangis saat teringat betapa ngeyelnya aku pada Mama juga Papa. Hu huuuu

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • NIKAH DENGAN DUDA TIGA KALI MALAM PERTAMA BIKIN KAGET    TAMAT

    "Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na

  • NIKAH DENGAN DUDA TIGA KALI MALAM PERTAMA BIKIN KAGET    108

    Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal

  • NIKAH DENGAN DUDA TIGA KALI MALAM PERTAMA BIKIN KAGET    107

    "Ada apa, Pak Rama? Aku tidak membuat kesalahan pada Bapak, kan?" Suara Yana melunak. Rama mengusap dadanya, menahan napas sebelum akhirnya berkata, "Tidak. Tapi ini soal ...." Rama ragu-ragu. "Kalau soal lamaran tadi siang, aku tidak mau pikir ulang. Aku tolak lamaran bapak." Tanpa basa-basi. Langsung pada inti. Rama benar-benar tidak percaya hal ini.Hening. Rama menelan ludah merasakan sakit di dadanya. Tapi ia sudah bertekad tidak akan begitu saja menyerah. Justru, ini akan jadi tantangan buatnya. Disaat gadis lain ingin dekat dengannya, Yana malah tanpa ragu menolaknya. Mentah-mentah menolak lamarannya."Besok, saya ingin bicara." "Maaf Pak, tidak bisa. Sudah dulu ya Pak, saya mengantuk ingin tidur. Sudah malam juga." Klik! Sambungan diputus sepihak. Rama membelalak tak percaya menatap layar HP-nya. Diminumnya kopi yang hampir dingin hingga tak bersisa kemudian dia mengetuk-ngetuk kepalanya. Bagaimana caranya agar bisa bicara dengan gadis jutek itu? Sangat jutek. Tapi anehn

  • NIKAH DENGAN DUDA TIGA KALI MALAM PERTAMA BIKIN KAGET    106

    Yana menatap ke arah pintu kamar yang mengayun membuka, menghela napas panjang saat melihat sang ayah melangkah masuk sambil tersenyum kecil. "Apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu, Yan?" Yana menatap ayahnya yang perlahan duduk di tepi ranjang. Dia yang tengah rebahan melihat-lihat FB langsung beranjak duduk. Ditatapnya ayah lekat. "Yakin. Aku nggak suka sama Pak Rama. Dan mana ada mahasiswi nikah sama dosennya sendiri? Apa kata teman-temanku nanti? Memalukan." Juga menakutkan. Lamaran Pak Rama membuatnya gemetaran tadi dia mencoba tenang. Tapi tetap saja dia gemetaran. Tidak bisa membayangkan saat bertemu tatap dengan Pak Rama di mata kuliahnya. Kira-kira dosennya itu akan menghukumnya tidak, ya? Semisal melempar pertanyaan macam-macam, begitu?Itu bisa jadi. Hii. Yana bergidik ngeri. Kok bisa-bisanya, ya, Pak Rama yang terlalu kaku melamarnya? Selalu membuat ia begitu tegang di semua mata pelajarannya. Mana mungkin dia menikah sama orang tegang, coba? Bukan berarti benci, hany

  • NIKAH DENGAN DUDA TIGA KALI MALAM PERTAMA BIKIN KAGET    105

    POV AuthorYana mendelik jengkel, sama sekali gak menyangka dosennya akan bersikap seperti itu. Dia menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya."Sangat kekanak-kanakan," gumam Rama. Tapi sekaligus sangat mengemaskan. Dia tersenyum sendiri.Lalu dia menghela balas panjang, menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat merasakan nyeri di hati. Tentu saja walau dia berusaha menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa ditolak akan terus mengejar Yana, tapi hatinya tetap saja sakit. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Penolakan Yana yang tanpa keraguan sedikit pun membuatnya jengkel. Lihat saja nanti, kamu pasti akan kudapatkan Dayana Saputri! Dia menekankan itu di dalam hatinya.Dia tidak habis pikir Yana akan menolak lamarannya. Dia pikir, Yana hanya tak mempercayainya ucapannya di mobil tadi pagi. Tapi ternyata benar-benar menolaknya. Apa yang kurang darinya? Bukan menyombongkan diri, tapi kebanyakan orang yang bertemu dengannya di jalan atau di manapun, sering memperhatikannya berl

  • NIKAH DENGAN DUDA TIGA KALI MALAM PERTAMA BIKIN KAGET    104

    "Apa?!" kataku sambil mendelik jengkel. Tapi aku tetap menyambut uluran tangannya yaitu hanya menempelkan telapak tanganku ke telapak tangannya saja lalu aku menarik tanganku.Andika menggeser kursi di sebelahku. Dia bertopang dagu memandangku."Apa kamu gak dianterin kakakku? Kak Rama bilang, dia mau bareng kamu. Katanya sekalian bareng dia karena motormu di rumahnya. Makanya aku tinggalin kamu.""Iya, aku bareng Pak Rama. Tapi kan harusnya kamu yang anterin aku pulang bukannya Kakak kamu itu!" sahutku dengan jengkel. Senyum terbit di bibir Andika."Ehemp, maunya dianterin aku, ya?" tanyanya sambil mengerling jail. "Jangan-jangan kamu suka, lagi, sama aku. Ya wajar, sih, aku kan populer sama kayak Kak Bayu. Aku juga ganteng, pula," katanya kepedean. "Ih, amit-amit aku suka sama kamu!" Dia sama Pak Rama gak ada bedanya, sama-sama menjengkelkan.***Begitu mata kuliah berakhir, aku dan teman-teman, Naya, Putri, Mei, Dini berjalan menuju kantin. Di sana, Nari sudhs menunggu. Gadis yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status