Baik Utama dan Jesica sangat terkejut dengan kedatangan Nayla yang sudah berdiri di ambang pintu kamar.
Jesica menatap Nayla dengan lekat. Gadis behijab dan bercadar itu tak pernah ia lihat sebelumnya berada di rumah ini. Jelas bukan asisten Utama, Kekasihnya. Pandangan mata Jesica berpindah pada Utama. Jesica menatap Utama dengan sangat lekatdan begitu tajam seolah menembus hatinya. "Di -dia siapa, Tama? Beraninya masuk ke kamar ini? Bukankah ini kamar kamu dan hanya aku yang boleh masuk?!" ucap Jesica meyakinkan dirinya snediri kalau Utama tidak berbuat macam -macam di belakangnya. Utama melirik sekilas ke arah Nayla dengan sinis lalu menatap Jesica. Ia memegang wajah Jesica yang masih duduk di atas tubuhnya. "Sayang ... Kamu yakin kan? Kalau hatiku ini hanya untuk kamu, cintaku juga utuh untuk kamu," jelas Utama meyakinkan Jesica. "Iya yakin. Lalu? Dia siapa? Ini pertanyaanku, Tama! Tolong jelaskan!" ucap jesica mulai marah. Utama menarik napas dalam lalu ia keluarkan perlahan dari mulut dan hidungnya. "Dia istriku," ucap Utama jujur. Untuk apa disembunyikan lagi pada jesica. Ini juga salah Jesica, bukan? Utama sudah melamar Jesica dan mengajak kekasihnya untuk menikah. Tapi apa? Kekasihnya selalu beralasan belum siap. Entah ampai kapan siapnya? Nayla menggelengkan kepalanya pelan. Baru pertama menikah saja. Hidupnya terasa hancur. Ia memang hanya istri kontrak. Tidak memiliki hak apapun atas Utama. Tapi setidaknya hargai pernikahan ini dengan baik karena ijab kabul yang diucapkan Utama itu sakral. Bukan malah berzona di depan mata Nayla. Nayla memilih diam dan pergi dari kamar itu lalu turn ke bawah menuju taman bunga yang ada di depan. Taman bungan yang sangat indah waktu ia lihat kemarin datang ke rumah ini. Mungkin taman bunga itu bisa membuat dirinya lebih bahagia. "Nayla! Kenapa kamu harus sakit hati? Kenapa kau harus kecewa? Toh, dia hanya suami kontrakmu. Kamu itu di beri uang banyak hanya untuk dijadikan isti kontrak yang alasannya belum pernah Nayla dengar dari bibir Utama." Nayla terus berjalan menuju ke depan melalui pintu samping menuju taman bunga yang ada di rumah besar Utama. Nayla sudah berdiri ditengah -tengahnya dan menatap satu per satu bunga itu dengan sneyum bahagia. Ia harus bisa menjalani drama rumah tangga ini selama satu tahun. Selama itu, Nayla harus bisa mengontrol hati, perasaan dan emosinya. Utama bukanlah lelaki yang akan menjadi pendampingnya kelak. Utama bukan jodohnya. Dia hanya butuh jasa Nayla. Kebetulan sekali, Raymond ada disana juga. Ia sedang menikmati pagi hari yang mulai cerah ini bersama kopi dan roti sebagi teman sarapannya. Tentu saja tidak lupa ponsel dan koran sebagai media informasi yang sangat dibutuhkan Raymond sebagai asisten pribadi Utama. Raymond menatap Nayla yang jaraknya sebenarnya tidak jauh tetapi Nayla tidak akan tahu kalau Raymond juga ada di sana. Nayla beputar sambil merentangkan kedua tangannya lalu berputar. Dalam hatinya berkata, Ia harus bahagia. Raymond menikmati pemandangan indah itu. Walaupun Nayla sekarang memakai cadar, ia pernah melihat Nayla yang cantik tanpa memakai cadar saat sebelum menikah. "Kamu cantik sekali, Nay," ucap Raymond lirih. Tepat pada saat itu ada Lira yang datang membawa sepiring nasi goreng. Lira melihat tatapan Raymond yang berbinar menatap nyonya barunya di rumah ini. "Itu kan Nyona Nayla? Kenapa menatap Nyonya Nay seperti itu?" tanya Lira meletakkan sepiring nasi goreng buatannya sendiri khusus untuk Raymond. Sudah sejak lama, Lira mengagumi Raymond. Lebih tepatnay Lira menyukai Raymond. Lira tidak pernah tahu, kalau sesuangguhnya, Raymonddan Utama itu adalah sahabat makanya mereka sangat dekat. raymond juga memiliki sedikit saham di Hotel milik Kakek Utama. Tetapi ia memilih menjadi asisten Utama. Ia tidak mau pusing dengan pekerjaan di Hotel yang sudah membuatnya pusing dan mual. Raymond terkejut mendengar suara Lira yang begitu dekat dengan telinganya. Raymond menoleh ke arah samping dan menatap Lira dengan lekat. "Lira? Ngapain kamu ada disini?" tanya Raymond begitu kaget melihat Lira. "Kenapa? Kaget Kak?" ucap Lira kecewa pada Raymond. Perasaan Lira begitu tulus pada Raymond. Mendadak pagi ini, ia harus merasakan cemburu dan sakit hati padahal keduanya tak memiliki hubungan apa -apa dengan Raymond. Sungguh aneh yang namanya perasaan itu. "Enggak. Ngapain mesti kaget?" tanya Raymond yang sesungguhnya memang sangat terkejut sekali dengan kehadiran Lira yang tiba -tiba itu. Untung saja, Raymond dulu masuk dalam anggota teater, jadi ia bisa terlihat tetang di situasi yang sebenarnya sedang terpojok. "Oh ya? Cantik ya, Nyonya Nayla?" ucap Lira sengaja menggoda Raymond. "Enggak Biasa aja. Istri orang," jawab Raymond melipat koran yang sudah ia baca dan menyeruput kopi yang sudah mulai dingin sambil menikmati roti bakar. Raymond melihat sepiring nasi goreng di atas meja lalu melirik Lira yang juga sedang menatap dirinya tanpa berkedip. "Ini nasi goreng?" tanya Raymond memastikan. "Bukan nasi goreng tapi nasi bagus yang di masak dengan cara diberi bumbu dan digoreng," jelas Lira kesal. "Ahh ... Maksud aku itu, Lira. Ini buat siapa? Buat Nay ... Eum maksudku, buat Nyonya Nayla," tanya Raymond lagi untuk memastikan. "Buat Lira," jawab Lira kesal. Lira ikut duduk di kursi taman sambil memegang piring nasi goreng itu dan melahap dengan rakus. Nasi goreng yang ia buat dengan penuh cinta sama sekali tidak dilirik oleh Raymond. Menyebalkan sekali lelaki yang ada di sampingnya ini. Pandai sekali membuat hati perempuan meronta -ronta seperti ini. Raymond melihat Lira yang terlihat bengis. ia makan seperti orang kesurupuan padahal biasanya Lira itu pandai menjaga sikap. Kenapa dia? *** "Apa katamu, Tama! Istri kamu?! Kamu selingkuh dari aku, Tama!" teriak Jesica dengan suara sangat keras. Jesica memukul dada bidang Utama denagn sanagt keras. Moodnya untuk bermesraan dengan Utama menghilang seketika. Sungguh pernyataan yang jujur tapi membuat Jesica sakit hati. "Sayang ... Dengarkan aku dulu,. Jangan marah -marah begini. Lihat, Nayla juga tak masalah kan, kamu ada di sini? Dia cuma kaget aja, bukan berarti dia marah dan akan mengusir kamu, walaupun kamu kekasihku dan dia istriku, Jes. Aku mohon kamu bisa mengerti keadaan ini," jelas Utama mengiba. "Hah! Apa? Mengerti keadaan kamu? Aku pacar kamu, Tama! Sudah bertahun -tahun aku pacaran sama kamu, dan kamu malah menikah dengan wanita kampung secara diam -diam! Kamu hamilin dia?!" teriak Jesica menuduh. "Bu -bukan begitu Jes. Makanya denagrkan aku dulu. Tolong kamu tenang dulu. Aku akan jelaskan smeuanya. Ini ada hubungannya dengan waktu itu saataku melamar kamu dan mengajak kamu menikah, Jes," ucap Utama dengan tenang dan sabar menghadapi Jesica. Utama merasa dirinya sangat bersalah seolah telah mengkhianati Jesica. "Jelaskan padaku sekarang juga!" sentak Jesica pada Utama.Jantung Nayla berdetak tak beraturan. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya masih di gagang pintu yang baru saja ia buka. Pandangannya langsung tertuju pada sosok di dalam ruangan.Di sana, Utama terlihat duduk di sofa dengan posisi setengah berbaring, kepala bersandar pada sandaran sofa. Napasnya teratur, jelas sekali bahwa ia tertidur. Kemejanya sedikit berantakan, dan dasinya sudah terlepas.Namun, yang membuat dada Nayla sedikit mengencang adalah sosok wanita di ruangan itu.Seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih elegan, duduk di sofa berseberangan dengan Utama. Di hadapannya, ada tumpukan dokumen yang masih terbuka.Nayla menghela napas panjang, mencoba mengusir pikiran negatif yang mulai merayapi benaknya. Ia melangkah masuk dengan perlahan, matanya tetap tertuju pada wanita itu.Seolah menyadari kehadirannya, wanita itu mengangkat kepala dan tersenyum tipis."Oh, kamu pasti Nayla," katanya dengan suara lembut dan aksen yang sedikit asing.Nayla mengernyit. "Siap
Nayla datang ke Hotel milik Utama. Ini bukan pertama kalinya ia mampir ke tempat itu. Nayla sudah beberapa kali iseng main ke Hotel itu dan mengikuti beberapa acara yang di adakan di Hotel. Itu pun ajakan Utama bukan keinginannya sendiri.Semua karyawan sudah mengenal Nayla. Nayla mengangguk dan menyapa ramah semua karyawan yang ia temui di lobi sambil meletakkan satu plastik donat untuk cemilan mereka."Makasih Mbak Nayla," ucap salah satu staf di bagian pelayanan dan satpam yang kebetulan sedang berada di sana."Sama -sama. Mas Tama ada?" tanya Nayla sopan."Ada Mbak. Baru saja selesai meeting dengan klien dari luar," ucap staf itu memberitahu."Meeting? Sama klien luar?" tanya Nayla mengulang."Iya Mbak. Klien dari Turki, seorang wanita keturunan arab. Ia mau menjalin kerja sama dengan hotel ini," jelas staf itu lagi dengan jujur."Oh begitu. Ya sudah, ini bagi -bagi ya. Aku mau naik ke atas," jelas Nayla lagi."Saya antar Mbak?" tawar satpam itu. Ia sellau ingat kata -kata Utama,
Beberapa bulan kemudian ...Kandungan Nayla semakin besar, perutnya mulai terlihat membuncit. Selama ini, Nayla tidak melakukan apa -apa dan hanya bertugas untuk melayani suami saja.Utama tidak mau, Nayla kelelahan karena aktivitas yang padat.Nayla masih kuliah, semester depan Nayla baru akan mengambil thesis dan kemungkinan lulus lalu wisuda di tahun depan.Sekarang ini, sikap Utama juga sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Lelaki dingin dan berwibawa itu sangatlah manja dan seperti anak kecil bila bersama Nayla.Seperti pagi ini, Utama masih saja memeluk Nayla dengan erat dan tidak mau beranjak dari tempat tidurnya. tangannya masih saja mengusap perut bunci istrinya sambil menunggu tendangan pagi yang sangat membuat Utama bersemangat menjalani aktivitas seharian ini."Mas ... Aku mau bangun dan buat sarapan ya?" bisik Nayla yang masih berada dalam dekapan Utama."Nanti. Sesekali gak usah buat sarapan. Kita beli aja," ucap Utama dengan enteng."Kok beli sih? Itu namanya pem
Malam di Bali terasa lebih hangat dari biasanya. Angin pantai yang semilir masuk melalui jendela vila, membawa aroma laut yang bercampur dengan wangi lilin aromaterapi yang Utama nyalakan di sudut ruangan.Nayla berdiri di depan cermin, masih mengenakan dress tipis berwarna pastel yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya tergerai panjang, matanya menatap pantulan dirinya sendiri wajahnya sedikit bersemu, bibirnya sedikit mengering karena terlalu sering digigitnya sendiri sejak tadi.Karena Utama…Pria itu duduk di tepi ranjang, hanya mengenakan celana panjang kasual dengan kancing terbuka di bagian atas. Tatapannya tak pernah lepas dari Nayla, mengikuti setiap gerakan kecil yang dilakukan istrinya dengan penuh hasrat."Kamu nggak mau mendekat?" suara Utama terdengar rendah, sedikit serak, seperti seseorang yang menahan diri terlalu lama.Nayla menelan ludah. "Kenapa aku yang harus mendekat?"Utama tersenyum miring, lalu bangkit dari tempatnya, mendekati Nayla dengan langkah p
Matahari pagi menyapa lembut di atas langit Bali. Angin laut yang segar berembus pelan, membawa aroma asin khas pantai yang menenangkan. Dari balkon vila mewah mereka, Nayla berdiri dengan balutan gaun putih tipis yang melambai terkena angin. Rambut panjangnya terurai, dan wajahnya tampak damai untuk pertama kalinya setelah semua yang terjadi.Di belakangnya, Utama mendekat, lalu melingkarkan lengannya di pinggang istrinya. Ia menyandarkan dagunya di bahu Nayla, menghirup aroma tubuhnya yang khas.“Apa yang sedang kau pikirkan?” bisiknya lembut di telinga Nayla.Nayla tersenyum tipis, menoleh sedikit ke arahnya. “Aku masih merasa ini seperti mimpi. Setelah semua yang kita lewati… kita akhirnya bisa merasakan ketenangan seperti ini.”Utama tersenyum kecil. Ia menarik tubuh Nayla lebih dekat, membuat gadis itu menempel erat di dadanya. “Ini bukan mimpi, Sayang. Ini kenyataan. Dan aku akan memastikan kita terus bahagia seperti ini.”Nayla menatap suaminya dalam-dalam. Mata lelaki itu pen
Jakarta menyambut mereka dengan hangat. Langit biru, lalu lintas yang sibuk, dan gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti biasa. Namun, bagi Nayla, kota ini terasa berbeda setelah semua yang terjadi.Di dalam mobil, ia melirik Utama yang sedang mengemudi dengan fokus. Di kursi belakang, Raymond sedang berbicara dengan seseorang di telepon, sementara Lira hanya diam, sesekali melirik Nayla dengan raut cemas.“Nayla, kalau kamu capek, tiduran saja,” suara lembut Utama membuyarkan lamunannya.Nayla tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja.”Utama menggenggam tangannya sebentar, sebelum kembali fokus ke jalan.Mereka langsung menuju apartemen, dan begitu tiba, Raymond serta Lira segera pamit. Ya, untuk sementara waktu, Utama memilih apartemen yang kecil agar ia bisa berduaan dengan Nayla lebih leluasa.“Kalau butuh sesuatu, kabari aku, Tam,” kata Raymond sebelum pergi.Utama mengangguk. “Terima kasih, Ray.”Saat pintu tertutup, apartemen terasa begitu sunyi. Nayla berdiri di ruang tamu, me