Malam itu, Nayla tidur di atas sofa panjang yang jsama empuknya seperti di kasur yang sempat ia pakai untuk rebahan. Walaupun agak sempit, masih tetap nyaman di pakai untuk tidur dan beristirahat.
Keduanya terlelap di tempat tidur yang berbeda. Nayla yang masih belum terbiasa dan asing dengan kamar barunya ini juga belum begitu bisa tidur nyenyak. Ia sering kali terbangun dan melihat ke arah jam. Jangan sampai ia bangun kesiangan karena nyaman ini. Suara adzan shubuh sudah berkumandang. Tepat pukul empat pagi, Nayla sudah terbangun lagi. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk mandi dan melaksanakan ibadah pagi. Nayla membangunkan Utama, suaminya untuk melaksanakan sholat shubuh bersama di awal pernikahannya. Walaupun pernikahan ini hanya sebatas pernikahan kontrak, Nayla harus menebarkan kebaikan agar keluara kecilnay di berkahi. Bukankah ijab kabul itu nyata dan dilakukan secara benar. Kontrak itu hanya sebatas antara Nayla dan Utama. "Mas ... Mas Utama ..." panggil Nayla dengan suara lembut sambil memegang lengan Utama dan digoyang -goyangkan dengan pelan. Utama sama sekali tidak terganggu tidurnya. Menggumam saja tidak apalagi untuk bangun. Ini hal yang mustahil bagi pria yang sering begadang hingga larut malam dan harus bangun pagi. Dunia bisa kiamat mendadak. Utama tetap lelap dan nyenyak tertidur. Wajah Utama terlihat lucu, menggemaskan dan sangat tampan. Nyla pikir, suaminya itu tua dan berkumis, memiliki brewok. Ternyata ia salah besar. Tapi kenapa? Kenapa harus Nayla yang ia pilih untuk dijadikan istri kontraknya? Padahal Utama itu tidak akan sulit mencari jodoh. "Mas? Bangun sudah pagi. Kita sholat bareng yuk?" pinta Nayla dengan suara lembut. Lama -lama rengekan Nayla membuat tidur lelap Utama terganggu. Utama membalikkan tubuhnya dan membuka matanya dengan lebar. Ia menatap Nayla dengan tatapan tajam penuh kebencian. "Ngapain sih? Ganggu orang tidur aja! Kalau kamu mau sholat, ya sholat aja! Gak usah ajak -ajak orang! Nyebelin banget sih!" sentak Utama pada Nayla yang begitu kaget dengan ucapan lantang itu. Nayla belum pernah di bentak dan rasanya ternyata sangat menyakitkkan sekali. Nayla menelan air liurnya dengan dalam. Ia mengangguk paham dengan ucapan Utama. "Maaf." Nayla segera mundur dan melanjutkan aktivitas paginya seperti biasa. Nayla ingin menangis. Ini baru hari pertama. Pasti akan ada hari -hari lain yang membuat Nayla bersedih dan menangis lagi. Nayla mengusap dadanya pelan sambil berdiri di atas sajadah. Mungkin ini perlu waktu dan kesabaran yang tak terbatas. "Nayla pasti bisa. Pasti bisa." Nayla menenangkan dirinya sendiri dengan menarik napas dalam dan diembuskan perlahan melalu hidung dan mulutnya. Nayla pun melanjutkan ibadah paginya sendiri seperti hari -harinya selama ini. Walaupun status hidupnya sudah berubah. *** Pagi itu Jesica datang ke rumah Utama. Memang bukan pertama kalinya Jesica main ke rumah Utama. Ia langsung naik ke atas dan membuka pintu kamar Utama. "Sayang ..." panggil Jesica yang langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Utama yang masih terlelap di ranjang kesayangannya. Jesica menciumi seluruh wajah Utama dan terakhir mengecup bibir Utama lalu di basahi sedikit dengan lidahnya agar kekasihnya terbangun. Utama mengerjapkan kedua matanya dan tersenyum saat melihat Jesica sudah ada di atas tubuhnya. Tubuh Jesica yang langsing tak seberapa berat jika berlama -lama di atas tubuh Utama. "Jes?" ucap Utama lirih. Utama menatap Jesica yang sedang memainkan dada Utama yang dipenuhi bulu -bulu halus. Jesica selalu gemas dengan bulu -bulu itu. "Hem ... Kenapa? Boleh kan?" tanya Jesica nakal sambil mengecup dada Utama secara liar. "Jes ..." ucap Utama menahan Jesica dengan menangkup kedua wajah Jesica. Jesica malah tersenyum pada Utama. Jesica pikir, Utama menginginkan hal yang lain dulu sebagai pemanasan. Jesica pun mencium bibir Utama dan melumatnya penuh gairah. Tentu saja, Utama tak bisa menampik semua yang diberikan Jesica pada Utama. "Aku rindu padamu, Tama ..." bisik Jesica lirih di sela -sela ciumannya. Ia pun memejamkan kedua matanya dan keduanya larut dalam ciuman yang penuh hasrat dan nafsu itu. Decitan ciuman itu terdengar sangat menggairahkan. Keduanya pun menginginkan lebih dari sekedar sebuh ciuman. Lima tahun pacaran mereka lebih banyak berjauhan karena pekerjaan. Tetapi, mereka sering bermesraan setiap bertemu. Walaupun Utama sellau menjaga Jesica untuk tetap tersegel hingga pernikahan mereka nanti. Selama ini, merea masih bisa menjaga. Tapi tidak dengan Jesicayang sering memberikan kode keras pada Utama agar Utama mau menyentuhnya. Pagi itu hawa dingin itu mendadak menjadi panas. Pintu kamar Utama hanya di tutup tanpa di kunci. Sealma ini, aman -aman saja, tidak ada yang berani masuk ke dalam kamar itu. Jesica mulai liar di atas tubuh Utama. Ia mencium bibir Utama dan tangannya menelusup ke dalam celana Utama. Telapak tangannya berhasil meraih sebuat batang yang sudah mengeras dengan lendir di atasnya. "Jangan bilang kamu tidak bergairah melihatku, Tama," bisik Jesica nakal. Utama hanya tersenyum. Kekasihnya itu memnag selalu pintar membuatnya bahagia. Raut wajah Utama terlihat berbeda. Ia merasakan nikmat karena usapan pelan tangan Jesica pada batangnya. Dengan cepat, Jesica membuka resleting celana Utama. Batang yang keras tadi di keluarkan dari celana dalam Utama. "Kamu mau apa, Jes?" tanya Utama bingung. "Mau minta maaf soal semalam?" cicit Jesica memelas. Utama terdiam menatap Jesica. Ia hampir melupakan kekecewaanya pada Jesica tadi malam karena sentuhan liar yang penuh gairah ini. Kenapa Utama mendadak jadi bodoh sekali. "Turun dari atas tubuhku, Jes," titah Utama pada Jesica. "Enggak!" jawab Jesica menggila. Jesica tetap berada di atas tubuh Utama. Dengan berani ia melepas cardigan yang ia pakai dan hanya mengenakan bra berenda berwarna merah tua. Dua gunungnya yang besar dan montok terlihat sedang menggoda Utama. "Jesica ... Aku sedang tidak mau berdebat dengan kamu," jelas Utama pada Jesica. "Makanya percaya sama aku!" ucap Jesica meyakinkan. "Dari sisi sebelah mana aku harus mempercayai kamu? Hah!" ucap Utama munai bernada tinggi. Tatapan Utama begitu lekat pada Jesica yang masih duduk di atas perutnya. Jesica hanya mengenakan rok pendek. "Aku ada acara mendadak semalam, Tama. Kmau tahu kan? Aku itu foto model. Banyak brand yang memanggilku," jelas Jesica lagi. "Iya tahu. Lalu?" tanya Tama dengan wajah serius. "Aku siap kamu nikahi, Tama," jelas Jesica dengan wajah semakin memleas. "Telat Jes." "Telat? Apa maksud kamu?" "Awas Jes. Aku mau bangun." "Gak mau!" Nayla baru saja selesia masak dan naik ke atas sambil membawa kopi dan sarapan pagi untuk Utama. Saat membuka pintu kamar, Nayla begitu terkejut melihat suaminya sedang bermain kuda -kudaan dengan seorang perempuan. "Mas Uta?" ucap Nayla lirih dan seketika nampan yang ia bawa terjatuh ke lantai hinggaa semua yang Nayla bawa pecah berhamburan.Jantung Nayla berdetak tak beraturan. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya masih di gagang pintu yang baru saja ia buka. Pandangannya langsung tertuju pada sosok di dalam ruangan.Di sana, Utama terlihat duduk di sofa dengan posisi setengah berbaring, kepala bersandar pada sandaran sofa. Napasnya teratur, jelas sekali bahwa ia tertidur. Kemejanya sedikit berantakan, dan dasinya sudah terlepas.Namun, yang membuat dada Nayla sedikit mengencang adalah sosok wanita di ruangan itu.Seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih elegan, duduk di sofa berseberangan dengan Utama. Di hadapannya, ada tumpukan dokumen yang masih terbuka.Nayla menghela napas panjang, mencoba mengusir pikiran negatif yang mulai merayapi benaknya. Ia melangkah masuk dengan perlahan, matanya tetap tertuju pada wanita itu.Seolah menyadari kehadirannya, wanita itu mengangkat kepala dan tersenyum tipis."Oh, kamu pasti Nayla," katanya dengan suara lembut dan aksen yang sedikit asing.Nayla mengernyit. "Siap
Nayla datang ke Hotel milik Utama. Ini bukan pertama kalinya ia mampir ke tempat itu. Nayla sudah beberapa kali iseng main ke Hotel itu dan mengikuti beberapa acara yang di adakan di Hotel. Itu pun ajakan Utama bukan keinginannya sendiri.Semua karyawan sudah mengenal Nayla. Nayla mengangguk dan menyapa ramah semua karyawan yang ia temui di lobi sambil meletakkan satu plastik donat untuk cemilan mereka."Makasih Mbak Nayla," ucap salah satu staf di bagian pelayanan dan satpam yang kebetulan sedang berada di sana."Sama -sama. Mas Tama ada?" tanya Nayla sopan."Ada Mbak. Baru saja selesai meeting dengan klien dari luar," ucap staf itu memberitahu."Meeting? Sama klien luar?" tanya Nayla mengulang."Iya Mbak. Klien dari Turki, seorang wanita keturunan arab. Ia mau menjalin kerja sama dengan hotel ini," jelas staf itu lagi dengan jujur."Oh begitu. Ya sudah, ini bagi -bagi ya. Aku mau naik ke atas," jelas Nayla lagi."Saya antar Mbak?" tawar satpam itu. Ia sellau ingat kata -kata Utama,
Beberapa bulan kemudian ...Kandungan Nayla semakin besar, perutnya mulai terlihat membuncit. Selama ini, Nayla tidak melakukan apa -apa dan hanya bertugas untuk melayani suami saja.Utama tidak mau, Nayla kelelahan karena aktivitas yang padat.Nayla masih kuliah, semester depan Nayla baru akan mengambil thesis dan kemungkinan lulus lalu wisuda di tahun depan.Sekarang ini, sikap Utama juga sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Lelaki dingin dan berwibawa itu sangatlah manja dan seperti anak kecil bila bersama Nayla.Seperti pagi ini, Utama masih saja memeluk Nayla dengan erat dan tidak mau beranjak dari tempat tidurnya. tangannya masih saja mengusap perut bunci istrinya sambil menunggu tendangan pagi yang sangat membuat Utama bersemangat menjalani aktivitas seharian ini."Mas ... Aku mau bangun dan buat sarapan ya?" bisik Nayla yang masih berada dalam dekapan Utama."Nanti. Sesekali gak usah buat sarapan. Kita beli aja," ucap Utama dengan enteng."Kok beli sih? Itu namanya pem
Malam di Bali terasa lebih hangat dari biasanya. Angin pantai yang semilir masuk melalui jendela vila, membawa aroma laut yang bercampur dengan wangi lilin aromaterapi yang Utama nyalakan di sudut ruangan.Nayla berdiri di depan cermin, masih mengenakan dress tipis berwarna pastel yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya tergerai panjang, matanya menatap pantulan dirinya sendiri wajahnya sedikit bersemu, bibirnya sedikit mengering karena terlalu sering digigitnya sendiri sejak tadi.Karena Utama…Pria itu duduk di tepi ranjang, hanya mengenakan celana panjang kasual dengan kancing terbuka di bagian atas. Tatapannya tak pernah lepas dari Nayla, mengikuti setiap gerakan kecil yang dilakukan istrinya dengan penuh hasrat."Kamu nggak mau mendekat?" suara Utama terdengar rendah, sedikit serak, seperti seseorang yang menahan diri terlalu lama.Nayla menelan ludah. "Kenapa aku yang harus mendekat?"Utama tersenyum miring, lalu bangkit dari tempatnya, mendekati Nayla dengan langkah p
Matahari pagi menyapa lembut di atas langit Bali. Angin laut yang segar berembus pelan, membawa aroma asin khas pantai yang menenangkan. Dari balkon vila mewah mereka, Nayla berdiri dengan balutan gaun putih tipis yang melambai terkena angin. Rambut panjangnya terurai, dan wajahnya tampak damai untuk pertama kalinya setelah semua yang terjadi.Di belakangnya, Utama mendekat, lalu melingkarkan lengannya di pinggang istrinya. Ia menyandarkan dagunya di bahu Nayla, menghirup aroma tubuhnya yang khas.“Apa yang sedang kau pikirkan?” bisiknya lembut di telinga Nayla.Nayla tersenyum tipis, menoleh sedikit ke arahnya. “Aku masih merasa ini seperti mimpi. Setelah semua yang kita lewati… kita akhirnya bisa merasakan ketenangan seperti ini.”Utama tersenyum kecil. Ia menarik tubuh Nayla lebih dekat, membuat gadis itu menempel erat di dadanya. “Ini bukan mimpi, Sayang. Ini kenyataan. Dan aku akan memastikan kita terus bahagia seperti ini.”Nayla menatap suaminya dalam-dalam. Mata lelaki itu pen
Jakarta menyambut mereka dengan hangat. Langit biru, lalu lintas yang sibuk, dan gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti biasa. Namun, bagi Nayla, kota ini terasa berbeda setelah semua yang terjadi.Di dalam mobil, ia melirik Utama yang sedang mengemudi dengan fokus. Di kursi belakang, Raymond sedang berbicara dengan seseorang di telepon, sementara Lira hanya diam, sesekali melirik Nayla dengan raut cemas.“Nayla, kalau kamu capek, tiduran saja,” suara lembut Utama membuyarkan lamunannya.Nayla tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja.”Utama menggenggam tangannya sebentar, sebelum kembali fokus ke jalan.Mereka langsung menuju apartemen, dan begitu tiba, Raymond serta Lira segera pamit. Ya, untuk sementara waktu, Utama memilih apartemen yang kecil agar ia bisa berduaan dengan Nayla lebih leluasa.“Kalau butuh sesuatu, kabari aku, Tam,” kata Raymond sebelum pergi.Utama mengangguk. “Terima kasih, Ray.”Saat pintu tertutup, apartemen terasa begitu sunyi. Nayla berdiri di ruang tamu, me