Kamar tidur itu sudah di tutup rapat dan di kunci oleh Utama agar tidak ada satu orang pun yang masuk ke dalam. Lira juga sudah membersihkan semua pring yang pecah ke lantai.
Di dalam kamar hanya ada Jesica dan Utama saja. Mereka berada di atas tempat tidur sambil berpelukan. Utama mulai menjelaskan semua yang terjadi sampai ia menikahi gadis bernama Nayla. "Jadi, Kakek kamu itu sedang sakit dan lagi berobat di luar negeri? Kenapa kamu gak bilang kalau alasannya itu, Tama? Mungkin aku mau menerima kamu saat itu," ucap Jesica kecewa dan kesal bercampur menjadi satu di dalam hatinya. "Betul sekali, Sayang," jawab Tama lembut sambil membelai rambut Jesica yang panjang. Jesica semakin nyaman berada dalam pelukan Tama. Ia malah semakin menelusupkan kepalanya di dadaa Tama yang bidang. Tama sudah melepas kemejanya tadi. Hawa di kamar terasa panas setelah kedatangan Jesica. Mereka sudah lama pacaran tetapi tak sekali pun mereka melakukan hubungan yang di luar batas, maksudnya sampai mereka berhubungan intim. Hasrat Tama tiba -tiba saja memuncak. Tama menjadi bergairah karena rangsangan Jesica yang mengusap pelan dada Tama hingga bulu -bulu halus itu terlihat merinding berdiri. Jari -jari Jesica terus meraba dan menggelitik dada serta area perut. Tentu saja, lelaki normal seperti Tama akan mudah goyah imannay jika diperlakukan manis seperti ini oleh kekasihnya. Belum lagi ia menciuma aroma wangi dari tubuh Jesica yang mampu membangkitkan nafsu terpendamnya selama ini. Bukan berarti Tama sok alim dengan sikapnya yang tak mau menyentuh Jesica. Tapi, ia menghargai Jesica dan profesi Jesica yang selama ini sedang digelutinya. Tama tidak mau merusak Jesica dan masa depan cerahnya melalui karir yang sedang dicapainya. Jesica seperti sedang memancing gairah Tama. Ia mengendus dan mencium leher Tama yang bersig dan berjakun itu. Siapa yang tidak ikut dalam alur berhasrat ini. Semua orang yang merasakan ini tentu tidak akan menepis lagi. Situasi dan kondisinya juga sudah mendukung sekali. Utama memegang pipi Jesica dan mereka saling berciuman dengan sangat menggairahkan sekali. Decitan ciuman bibir itu terdengar sangat menikmati sekali satu sama lain. "Eunghh ... Tama ..." bisik Jesica di sela -sela ciumannya. "Ya ..." jawab Tama dengan suara parau. Ia harus menghentikan ciuman berhasratnya hanya untuk menatap Jesica dengan lekat. Apa yang ingin dikatakan oleh kekasihya itu. "Kita sudah lama pacaran, Tama ..." bisik Jesica semakin mendekap Tama. "Hu um ... Lalu?" tanya Tama pada Jesica. "Kamu ingin menikahiku? Aku siap, Tama," bisik Jesica terlihat galau. "Hmm ... Jes ... Kamu akan tetap menjadi istriku yang paling aku cintai. Tetapi tidak sekarang. Bukankah kamu yang menolak lamaranku saat itu? Aku sudah mengeluarkan uang banyak untuk gadis itu, Jes," jelas Tama sesederhana itu. Jesica tertawa kecil lalu mengusap pipi Tama yang begitu tampan. Ia memang sering berciuman dengan Tama dan bahkan serulang kali sedekat ini. Tetapi, kali ini hasratnya beda. Jesica ingin Tama menyentuhnya bukan hanya sekedar mencium saja. Tubuh Jesica yang hanya terbalut tank top pun sudah membuat Tama tak fokus sejak tadi. Belahan dada Jesica terlihat sangat menantang. Ingin rasanya ia menempel disana dan merasakaan apa yang sleam aini ia lihat di sebuah situs dewasa. Kalau secara teori, Tama sudah katam sekali. Kalau secara praktek, ia sama sekali tidak memiliki ilmu apapun. "Sejak kapan kamu hitung -hitungan soal uang, Tama?" ucap Jesica mengecup bibir Tama seolah sedang menggoda Tama. Tama menatap Jesica dengan lekat. Bukan sekali ini saja, Jesica nampak liar dan sangat bergairah. Sejak lama, Jesica selalu mencari celah agar tubuhnya di sentuh oleh Tama. Tetapi Tama selalu mundur dan tetap tidak mau menyentuh Jesica. Tapi, pagi ini sungguh berbeda. Ada hal aneh yang membuat Tama berani menyentuh Jesica. Rasa cinta Tama pada Jesica, kekasihnya itu begitu besar. Ia bakal melakukan hal apapun demi Jesica. "Bukan aku ingin hitung -hitungan, Sayang. Aku hanya tidak ingin Kakek bertanya soal ini lagi. Aku sudah memberikan nama istriku pada Kakek, bahkan buku nikah juga sudah aku kirimkan pada Kakek. Cobalah mengerti posisiku, Jes. Sama seperti aku mengerti posisi kamu," jelas Tama lirih. "Oke. Sebagai tanda kamu tidak berkhianat pada cinta kita. Tolong sentuh aku sekarang, Tama. Biar kamu selalu ingat padaku!" pinta Jesica pada Tama. "Sayang? Kamu yakin dengan ucapan kamu? Aku akan menikahi kamu satu tahun lagi, setelah aku menceraikan Nayla," jelas Tama lagi. "Lalu kenapa? Satu tahun bukan waktu yang lama, Tama. Toh, Kalau aku hamil, kamu mau tanggung jawab kan?" tanya Jesica semakin menantang Tama. "Kalau memang benihku kenapa aku harus takut mengakuinya?" ucap Tama lantang. "Lakukan padaku. Siapa tahu, aku hamil, dan kamu bsia bercerai secepatnya dengan gadis kampung itu dan menikah denganku," jelas Jesica nampak sangat ingin sekali. Tidak seperti biasanya, Tama juga merasa aneh dengan keinginan Jesica yang begitu kuat itu. "Jes ..." ucap Tama lirih sambil mengerutkan keningnya sendiri. "Kenapa? Ayolah Tama ... Memang kamu tidak bernafsu melihat aku?" tanya Jesica yang kini sudah setengah menindih Tama. Bobanya sudah tumpah ruah terlihat dari atas tank topnya yang sengaja dipampangkan pada Tama. "Apa kamu tidak mau melakukan ini di saat malam pertama kita, Jes?" tanya Tama lembut. "Enggak. Biar kamu tahu, kalau aku cinta mati sma akamu, Tam," jelas Jesica masih berushaa meyakinkan Tama. "Aku tahu kok. Kamu memang mencintai aku. Kalau tidak, hubungan kita tidak akan berjalan lama, Jes." Tatapan Tama begitu lekat. Tangannya membelai rambut panjang setengah pirang itu yang tergerai berantakan. Tama menyelipkan anak rambut yang mengganggu pandangan pada wajah cantik Jesica. Jesica bangkit dari posisi dan duduk bersila lalu melepas tank topnya lalu beha. Boba itu betul -betul terlihat sangat indah sekali. Dengan pucuk boba yang sebesar biji kelengkeng berwarna pink. Jesica kemudian berdiri dan menurunkan resleting roknya dan menurunkan rok pendek itu di atas kasur. Perlahan ia menurunkan celana dalamnya hingga rumput hitam yang tercukur rapi jelas terlihat dari bawah. Sungguh pemandangan yang begitu indah sekali. Tama menelan air liurnya. Ia tak bisa menahan lagi. Rangsanagn itu begitu kuat mengalir di tubuh Tama. "Kamu tidak mau menyentuhnya, Tama? Lima tahun kita pacaran. Menurut aku itu terlalu lurus. Sesekali kita mencoba hal yang lebih ekstrim. Biaar hubungan kita semakin tak bisa dilepaskan," bisik Jesica yang duduk di atas tubuh Tama.Jantung Nayla berdetak tak beraturan. Ia berdiri di ambang pintu, tangannya masih di gagang pintu yang baru saja ia buka. Pandangannya langsung tertuju pada sosok di dalam ruangan.Di sana, Utama terlihat duduk di sofa dengan posisi setengah berbaring, kepala bersandar pada sandaran sofa. Napasnya teratur, jelas sekali bahwa ia tertidur. Kemejanya sedikit berantakan, dan dasinya sudah terlepas.Namun, yang membuat dada Nayla sedikit mengencang adalah sosok wanita di ruangan itu.Seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih elegan, duduk di sofa berseberangan dengan Utama. Di hadapannya, ada tumpukan dokumen yang masih terbuka.Nayla menghela napas panjang, mencoba mengusir pikiran negatif yang mulai merayapi benaknya. Ia melangkah masuk dengan perlahan, matanya tetap tertuju pada wanita itu.Seolah menyadari kehadirannya, wanita itu mengangkat kepala dan tersenyum tipis."Oh, kamu pasti Nayla," katanya dengan suara lembut dan aksen yang sedikit asing.Nayla mengernyit. "Siap
Nayla datang ke Hotel milik Utama. Ini bukan pertama kalinya ia mampir ke tempat itu. Nayla sudah beberapa kali iseng main ke Hotel itu dan mengikuti beberapa acara yang di adakan di Hotel. Itu pun ajakan Utama bukan keinginannya sendiri.Semua karyawan sudah mengenal Nayla. Nayla mengangguk dan menyapa ramah semua karyawan yang ia temui di lobi sambil meletakkan satu plastik donat untuk cemilan mereka."Makasih Mbak Nayla," ucap salah satu staf di bagian pelayanan dan satpam yang kebetulan sedang berada di sana."Sama -sama. Mas Tama ada?" tanya Nayla sopan."Ada Mbak. Baru saja selesai meeting dengan klien dari luar," ucap staf itu memberitahu."Meeting? Sama klien luar?" tanya Nayla mengulang."Iya Mbak. Klien dari Turki, seorang wanita keturunan arab. Ia mau menjalin kerja sama dengan hotel ini," jelas staf itu lagi dengan jujur."Oh begitu. Ya sudah, ini bagi -bagi ya. Aku mau naik ke atas," jelas Nayla lagi."Saya antar Mbak?" tawar satpam itu. Ia sellau ingat kata -kata Utama,
Beberapa bulan kemudian ...Kandungan Nayla semakin besar, perutnya mulai terlihat membuncit. Selama ini, Nayla tidak melakukan apa -apa dan hanya bertugas untuk melayani suami saja.Utama tidak mau, Nayla kelelahan karena aktivitas yang padat.Nayla masih kuliah, semester depan Nayla baru akan mengambil thesis dan kemungkinan lulus lalu wisuda di tahun depan.Sekarang ini, sikap Utama juga sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Lelaki dingin dan berwibawa itu sangatlah manja dan seperti anak kecil bila bersama Nayla.Seperti pagi ini, Utama masih saja memeluk Nayla dengan erat dan tidak mau beranjak dari tempat tidurnya. tangannya masih saja mengusap perut bunci istrinya sambil menunggu tendangan pagi yang sangat membuat Utama bersemangat menjalani aktivitas seharian ini."Mas ... Aku mau bangun dan buat sarapan ya?" bisik Nayla yang masih berada dalam dekapan Utama."Nanti. Sesekali gak usah buat sarapan. Kita beli aja," ucap Utama dengan enteng."Kok beli sih? Itu namanya pem
Malam di Bali terasa lebih hangat dari biasanya. Angin pantai yang semilir masuk melalui jendela vila, membawa aroma laut yang bercampur dengan wangi lilin aromaterapi yang Utama nyalakan di sudut ruangan.Nayla berdiri di depan cermin, masih mengenakan dress tipis berwarna pastel yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya tergerai panjang, matanya menatap pantulan dirinya sendiri wajahnya sedikit bersemu, bibirnya sedikit mengering karena terlalu sering digigitnya sendiri sejak tadi.Karena Utama…Pria itu duduk di tepi ranjang, hanya mengenakan celana panjang kasual dengan kancing terbuka di bagian atas. Tatapannya tak pernah lepas dari Nayla, mengikuti setiap gerakan kecil yang dilakukan istrinya dengan penuh hasrat."Kamu nggak mau mendekat?" suara Utama terdengar rendah, sedikit serak, seperti seseorang yang menahan diri terlalu lama.Nayla menelan ludah. "Kenapa aku yang harus mendekat?"Utama tersenyum miring, lalu bangkit dari tempatnya, mendekati Nayla dengan langkah p
Matahari pagi menyapa lembut di atas langit Bali. Angin laut yang segar berembus pelan, membawa aroma asin khas pantai yang menenangkan. Dari balkon vila mewah mereka, Nayla berdiri dengan balutan gaun putih tipis yang melambai terkena angin. Rambut panjangnya terurai, dan wajahnya tampak damai untuk pertama kalinya setelah semua yang terjadi.Di belakangnya, Utama mendekat, lalu melingkarkan lengannya di pinggang istrinya. Ia menyandarkan dagunya di bahu Nayla, menghirup aroma tubuhnya yang khas.“Apa yang sedang kau pikirkan?” bisiknya lembut di telinga Nayla.Nayla tersenyum tipis, menoleh sedikit ke arahnya. “Aku masih merasa ini seperti mimpi. Setelah semua yang kita lewati… kita akhirnya bisa merasakan ketenangan seperti ini.”Utama tersenyum kecil. Ia menarik tubuh Nayla lebih dekat, membuat gadis itu menempel erat di dadanya. “Ini bukan mimpi, Sayang. Ini kenyataan. Dan aku akan memastikan kita terus bahagia seperti ini.”Nayla menatap suaminya dalam-dalam. Mata lelaki itu pen
Jakarta menyambut mereka dengan hangat. Langit biru, lalu lintas yang sibuk, dan gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti biasa. Namun, bagi Nayla, kota ini terasa berbeda setelah semua yang terjadi.Di dalam mobil, ia melirik Utama yang sedang mengemudi dengan fokus. Di kursi belakang, Raymond sedang berbicara dengan seseorang di telepon, sementara Lira hanya diam, sesekali melirik Nayla dengan raut cemas.“Nayla, kalau kamu capek, tiduran saja,” suara lembut Utama membuyarkan lamunannya.Nayla tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja.”Utama menggenggam tangannya sebentar, sebelum kembali fokus ke jalan.Mereka langsung menuju apartemen, dan begitu tiba, Raymond serta Lira segera pamit. Ya, untuk sementara waktu, Utama memilih apartemen yang kecil agar ia bisa berduaan dengan Nayla lebih leluasa.“Kalau butuh sesuatu, kabari aku, Tam,” kata Raymond sebelum pergi.Utama mengangguk. “Terima kasih, Ray.”Saat pintu tertutup, apartemen terasa begitu sunyi. Nayla berdiri di ruang tamu, me