Beranda / Romansa / NINE / 7. Kesalahan

Share

7. Kesalahan

Penulis: Mathima Zois
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-30 21:00:00

Seminggu sudah sejak kepergian Anthony. Meski awan duka masih membumbung di mata teman-temannya, mereka mencoba beraktivitas seperti biasa. Memendam kesedihan tak akan membuat ia yang kau tangisi bahagia, malahan itu membuatnya sedih. Semua kembali normal, terutama teman satu kelompok tugas biologi. 

Hey! Bukankah seharusnya mereka sudah berpisah? Tugas Biologi sudah usai, bukan? 

Sejak kepergian Anthony, persahabatan Rey, Nina dan Deary semakin dekat. Bermula dari tugas kelompok, sampai ikatan tak tertulis yang ada di hati. Tak dapat dipungkiri, merekalah yang menjadi saksi utama kepergian pemuda jangkung itu. 

Riri? Gadis mungil itu tetaplah menjadi teman dekat. Namun jika untuk predikat sahabat,  sepertinya belum cukup dekat. Ia sudah memiliki sahabat sendiri, toh di kelompok, hanya Deary yang sangat dekat padanya.

Pagi ini kegiatan belajar berjalan lancar, Pak guru ganas yang dijadwalkan masuk di jam terakhir menerima tugas dadakan dari kepala sekolah, jadilah Bu Angel -yang terkenal baik hati- menggantikannya. 

Seisi kelas bersorak saat wanita tinggi dengan rambut merah panjang tergerai melangkah masuk, pertanda mereka akan terbebas dari omelan panjang nan panas. Waktu pun berjalan cepat menuju bel tanda selesainya sekolah. Kebahagiaan memang selalu berjalan begitu singkat.

Rey mencari-cari Nina saat pulang, tadi beberapa murid mendatanginya, membuat anak itu tak dapat segera keluar dari kelas. Hal yang paling menyusahkan dengan menjadi populer.

"Nina!" Panggilnya pada gadis yang sedang berdiri di bawah gerbang sekolah. 

Nina menoleh, lalu melempar senyum. Angin bertiup lembut, menerbangkan beberapa helai rambut yang sengaja digeraikan. Momentum yang membuat jantung pemuda itu seakan berhenti berdetak, mengikuti bekunya waktu demi menatap pesona di depan mata,

Cantiknya. 

"Na, kamu ada acara siang ini? Bagaimana kalau jalan bersama?" Semenjak ungkapan gadis itu tempo hari, hubungan mereka membaik, bahkan mereka sempat jalan berdua hanya untuk berbincang-bincang. 

Tak seperti dulu saat mereka baru bertemu, kini Nina lebih terbuka pada teman sekelompoknya, terutama pada anak detektif itu. Ia tak lagi terlalu pendiam, senyum dan tawa kini lebih mudah muncul di bibirnya ketimbang dulu. 

"Maaf ya, Rey, aku harus siap-siap siang ini, mungkin lain kali." senyum dengan lesung pipit tersungging indah, tampak menawan dengan segala pesonanya. 

"Siap-siap? Ke mana?" 

"Kalau tidak ada halangan, malam ini aku dan paman ingin pergi ke luar kota, aku sudah izin pada Bu Cindy untuk absen 2 hari ke depan. Maaf ya." jelasnya tersenyum tipis.

"Oh , baiklah. Tak apa, jangan lupa untuk mengirim kabar pada kami di sini, ya.." 

"Iya." 

Keduanya kemudian berbincang-bincang sembari menunggu paman Nina, tak biasanya ia pulang dengan jemputan, lebih sering jalan bersama. Hari ini Deary absen, ayahnya kecelakaan dan membuat gadis baik hati itu tak mau beranjak dari sisi ranjang tempat beliau dirawat. 

Riri bergabung sesaat kemudian, keduanya berbincang simpang-siur mengenai kehidupan masing-masing. Seorang gadis hanya mendengarkan dalam diam, dan sesekali menyahut, tak berminat mengikuti arus percakapan terlalu jauh.

“Rey, ajari hal-hal tentang hal-hal detektif, psikologis, atau behavior, dong!” sahut gadis berambut pendek mencari topik, kebetulan sahabatnya tidak masuk hari ini. Anak detektif pasti memiliki banyak pengetahuan dalam hal semacam itu.

“Hmm, apa?”

“Apa saja boleh. Tapi lebih baik yang dasar dan sering terjadi.”

Sering terjadi … ya?

“Oke. Ri, jika kau bukan pengguna tangan kiri, saat menarik seseorang dari belakang, pundak mana yang mau sentuh?” pemuda itu bertanya santai, hal lumrah terjadi namun jarang disadari.

“Hmmm, yang kanan. Jelas-jelas aku pengguna tangan kanan.” Riri menjawab sebisa mungkin, mengutarakan hal paling logis.

Rey tersenyum, semua orang selalu mengaitkan kanan dengan kanan. Bahkan dalam hal apa pun. Tidakkah mereka sadar jika ada banyak hal yang lebih mudah dan malah sering terjadi secara bersilang? Contohnya ya satu ini.

“Kau yakin? Padahal mayoritas orang akan menggunakan tangan kanan untuk meraih pundak kiri. Coba saja, akan lebih mudah jika membalikkan badan temanmu dengan arah bersilang seperti itu. Dan memang jika spontan dilakukan, pasti kau akan meraih pundak kiri.”

“Benarkah?” tak percaya begitu saja, gadis itu mempraktikkannya pada Nina. “Wah benar juga! Meraih pundak kanan ternyata agak sedikit lebih sulit. Bagaimana kau tahu, Rey?”

“Survei. Dari sekian banyak yang kulihat dan kucoba pada beberapa orang, itulah yang terjadi. Kecuali dalam keadaan khusus seperti kebiasaan, maka hal yang pasti terjadi adalah menyilang. Kanan untuk kiri, dan kiri untuk kanan. Mengapa? Karena saat ingin bersanding di sisi kiri seseorang, maka manusia akan meraih pundak kiri dengan tangan kanan. Begitu pula sebaliknya.”

Tak lama kemudian sebuah mobil hitam berhenti di hadapan mereka, membawa Nina pulang. Ini pertama kalinya sejak kematian Anthony, Rey tidak dapat jalan bersama sang pujaan hati. 

-=9=-

"Rey! Bisa minta tolong sebentar!" suara wanita memanggil dari dapur, mengalihkan perhatiannya dari foto perempuan saat terakhir mereka jalan. 

Nanti lagi ya, Nina. Benaknya. 

"Iya Bu, ada apa?" sesampainya di dapur, wanita yang tak lain adalah ibu terlihat sedang memasak untuk makan malam. 

"Ayahmu akan pulang, larut malam ini ia sampai, tolong ambil uang di bank dan belikan Ibu bahan makanan, ini daftarnya." sang ibu menyerahkan secarik kertas berisi catatan dan sebuah buku tabungan. 

"Wah, ayah pulang! Kita pasti makan enak." 

"Memang kalau ayah tidak pulang masakan Ibu tak enak, begitu?" mereka tertawa bersama, sungguh keluarga yang harmonis dan penuh senda gurau. 

Rey meraih jaket abu-abu untuk mengarungi malam dengan berjalan kaki ke bank. Ada rasa bahagia lain yang muncul, kebahagiaan atas terkumpulnya keluarga kecil mereka. Sejenak hati kembali mengangkasa menemui wajah gadis yang akhir-akhir ini memberi gemintang di langit jiwa lelaki itu. 

'Akan kukenalkan kau pada ayah dan ibuku saat kau pulang nanti, semoga kau senang.' 

Sesampainya di Bank, belasan orang sedang mengantre. Melihat keramaian yang ada, ia memutuskan untuk menunggu. Awalnya Rey ingin pergi ke ‘Rest area’ supermarket sebelah sembari menikmati malam. Tapi setelah berpikir, sepertinya di Bank lebih baik. 

'Hey, siapa orang ini, mengapa ada pistol di pinggangnya, asli pula.' benak anak itu melihat seorang pria berdiri di hadapannya dengan Colt 38 di pinggang. Namun setelah mempertimbangkan banyak hal, ia memilih tak peduli. Banyak alasan terjadinya suatu hal, dan tak semua berhak diikut campuri tanpa alasan pasti.

Sebentar lagi Rey akan tahu kalau ia salah memilih tempat.

-=9=-

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • NINE   24. Epilog

    Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak

  • NINE   23. Self Injury

    Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  

  • NINE   22. Nine's End

    Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori

  • NINE   21. First Kiss

    Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n

  • NINE   20. Kejutan

    Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  

  • NINE   19. Special Target

    Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status