“Menurut percakapan petugas medis yang kudengar tadi, Mbak memang sedang kontraksi dan sudah mengalami pembukaan rahim. Itu artinya Mbak Alana memang akan segera melahirkan,” jawabku lembut.Kulihat wanita itu meneteskan air matanya.“Sabar ya, Mbak Al. Banyak-banyak istighfar agar prosesnya dipermudah oleh Allah. Aku yakin Mbak pasti bisa.”“Terima kasih sudah menolongku tadi, aku nggak tau kalau kamu nggak datang tadi. Aku sudah menghubungi sahabatku tapi ternyata ia sedang berada di luar kota.”Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Wanita itu terlihat sangat cantik meskipun wajahnya pucat menahan rasa sakitnya. Pantas saja Mas Darwin begitu menggilai wanita ini, bahkan Jessy pun dari kemarin sudah berkali-kali merengek padaku untuk bertemu dengan Mama Alana-nya.“Nge ... tadi kenapa laki-laki itu ada di sana? Kenapa ia bisa ada di rumahku?”“Kebetulan aku bertemu dengannya saat ia menanyakan alamat rumah Mbak Alana di pos jaga, maka aku segera meminta tolong padanya untuk mengantar
Alana.Sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiranku jika aku akan melalui salah satu momen paling bersejarah dalam hidupku tanpa didampingi orang-orang terdekatku. Air mataku menetes ketika seorang perawat meletakkan bayiku di dadaku. Bayi laki-laki yang baru saja kulahirkan dengan perjuangan hidup dan mati seorang diri, tanpa didampingi suami ataupun orangtua dan keluargaku. Hanya ada Inge, wanita yang merupakan mantan istri dari suamiku yang begitu sabar menemaniku dan memberiku kekuatan disaat aku merasakan kesakitan luar biasa.Kuciumi pucuk kepala bayiku sambil terus meneteskan air mata, air mata haru sekaligus air mata kesedihan. Impian untuk melalui proses persalinan dengan didampingi Darwin, ayah dari bayiku, ternyata tak bisa terwujud. Bahkan hingga saat ini Darwin masih belum bisa dihubungi, ia belum tau sama sekali bahwa bayinya telah lahir.“Dia mirip Mas Darwin, Mbak Al,” bisik Inge padaku.Wanita itu pun terlihat begitu terharu, entah bagaimana aku harus berterimakas
Mas Sofyan dan Teh Niar segera berdiri di samping ranjangku. Teh Niar dengan cekatan segera mencuci tangannya kemudian menggendong bayi yang masih berada di atas tubuhku. Sedangkan Mas Sofyan menatap tajam padaku, seolah memastikan bahwa aku baik-baik saja.“Bayinya belum diazani, Mas,” ucapku.Air mata haru kembali menetes di pipiku ketika Mas Sofyan dengan khidmat melantunkan azan di dekat kuping bayiku. Bayi di dalam gendongan Teh Niar itu pun menggeliat ketika mendengar lantunan azan dari pamannya.Perawat kemudian membawa bayi yang belum kuberi nama itu kembali ke ruang bayi. Kelahirannya yang maju dari tanggal perkiraan membuat bayiku masih harus ditempatkan di dalam inkubator untuk mematangkan beberapa organ-organ pentingnya. Inge sendiri sudah berpamitan padaku dan juga pada Mas Sofyan dan Teh Niar setelah berbincang sebentar dengan mereka, Mas Sofyan benar-benar mengucapkan terima kasih pada wanita itu karena telah menemaniku melewati proses persalinan dk saat orang-orang te
Darwin.Pukul 20:00 waktu Jepang saat aku dan tim baru selesai dengan seluruh rangkaian kesibukan luar biasa kami hari ini. Aku terkejut bukan main ketika menyalakan ponselku dan menerima deretan pesan dari nomor Alana dan juga Mas Sofyan. Tingginya kedisiplinan di Jepang membuatku memilih sengaja men-nonaktif-kan ponselku seharian ini agar tak mengganggu aktivitas padatku. Semua isi pesan yang berderet di ponselku memberiku satu kesimpulan, Alana telah melahirkan bayiku hari ini!Apa yang terjadi pada Alana-ku? Mengapa ia melahirkan sekarang? Jauh dari prediksi yang diberikan oleh dokter kandungannya. Siapa yang menemaninya di sana saat ia harus menahan sakit? Bagaimana kondisinya dan juga bayi kami? Padahal aku sudah berjanji akan pulang ke Jakarta untuk menemaninya melalui proses persalinannya. Memikirkan semua itu membuat kepalaku hampir meledak. Dengan tangan gemetar dan perasaan tak menentu aku melakukan panggilan video pada nomor Alana.Tak berapa lama kemudian layar ponselku
Aku menarik nafas panjang, semoga saja semua berjalan lancar sesuai dengan apa yang dikatakan Mas Sofyan tadi. Apalagi yang kudengar dari Mas Sofyan, pria itu yang mengantar Alana ke rumah sakit tadi, namun Mas Sofyan justru tak menyebut nama Inge. Mengapa pria itu bisa ada di sekitar rumahku? Apa ia selama ini memata-matai Alana? Aku harus menanyakan ini pada Inge!Lalu kemudian aku kembali melakukan panggilan video. Kali ini pada Inge. Aku tak menyangka jika Inge dan Jessy sedang berada di rumah kami. Hatiku menghangat ketika Jessy dengan riangnya bercerita padaku tentang rencananya untuk menjenguk adik bayinya dari Mama Alana esok hari. Dari Inge pun aku mendengar semua yang terjadi di rumahku tadi saat Alana mengerang kesakitan seorang diri karena kontraksi hingga kedatangan Wildan secara kebetulan yang akhirnya menolong membawa Alana ke rumah sakit.“Terima kasih sudah mendampingi Alana, Nge.”“Aku senang masih bisa bermanfaat untuk orang lain, Mas.”“Kamu wanita hebat, Nge,” uca
Alana.Hingga satu bulan usia Baby Gandhi ternyata pekerjaan Darwin di Jepang belum juga rampung. Meskipun komunikasi kami tetap lancar setiap hari meski hanya saling mengirim pesan atau pun melalui telepon dan panggilan video. Darwin sendiri setiap hari minta dikirimkan foto Baby Gandhi, apalagi jika ia tak sempat melakukan panggilan video. Seminggu setelah kelahiran Baby Gandhi waktu itu, dokter anak yang menanganinya menyatakan bahwa Baby Gandhi sudah sehat normal dan boleh keluar dari inkubator untuk dibawa pulang.Aku sendiri memilih untuk tetap di jakarta dan pulang ke rumah kami meskipun Mas Sofyan dan Darwin menyarankan agar aku pulang ke Bandung untuk sementara waktu. Dengan dalih aku sudah baik-baik saja dan ada Rita yang menemaniku, Mas Sofyan pun mengalah dan tak jadi terbang ke Jakarta untuk menjemputku dan mengantarkanku ke Bandung. Ia justru mengirim orang suruhannya untuk menjemput kedua orangtuaku untuk datang mengunjungiku ke Jakarta. Aku benar-benar beruntung memili
Usia Baby Gandhi sudah hampir 2 bulan, aku pun sudah mulai kembali bisa menyetir mobilku sendiri setelah melewati masa nifasku. Sesekali aku berkunjung dan memantau Kafe Jingga karena sekarang justru Nafisa yang tengah hamil tak diperbolehkan oleh suaminya untuk sering-sering mengunjungi Kafe dengan alasan menjaga kehamilannya.Hari ini, aku memilih mengunjungi Kafe Jingga sendirian, tanpa mengajak Baby Gandhi. Aku memang sesekali meninggalkannya bersama Rita karena stok ASIP ku selalu siap untuk diminum Baby Gandhi jika aku sedang tak bersamanya. Setelah mengerjakan beberapa pekerjaanku di Jingga, aku pun melajukan mobilku menuju sebual Mall. Rencananya aku akan sekalian berbelanja keperluan bulanan di rumah kami. Namun sebelum masuk ke swalayan di Mall tersebut aku memilih melangkah ke food court dahulu. Rupanya karena sibuk memeriksa beberapa berkas arus kas kafe tadi, aku sampai lupa memesan makanan pada Handi. Maka aku memilih masuk ke food court di Mall besar ini untuk mengisi
Alana.Kucoba kembali menghubungi nomor Darwin setelah sampai di rumah, tak kupedulikan lagi kondisi perutku yang masih keroncongan minta diisi.[Abang sibuk? Kok beberapa hari nggak ada videocall? Nggak kangen sama kami?]Centang dua abu-abu, tandanya pesanku terkirim namun ia belum membacanya. Kutunggu selama hampir 30 menit, pesanku belum juga terbaca olehnya. Ada rasa kesal dan marah menguasai hatiku. Aku yakin Darwin tak tau jika aku sudah mengetahui tentang kepulangannya dari Jepang. Tadi aku sempat mewanti-wanti Harry dan teman-temannya agar tak bercerita apapun pada Darwin tentang pertemuan tak sengajaku dengan mereka di Mall tadi. Suara tangisan Baby Gandhi membuat lamunanku buyar, aku segera meraih tubuh mungil bayiku itu dan menyusuinya.Hingga sore hari, Darwin belum jua membalas pesanku. Hingga akhirnya aku memberanikan diri menelponnya. Ia mengangkat teleponnya setelah dua kali aku mengulanginya.[Iya, Sayang .... Ada apa?] tanyanya seolah sedang terburu-buru.[Abang ngg