Kuhempaskan tubuhku di sofa tamu begitu aku tiba di rumah. Siang ini aku langsung pulang setelah jam kunjungan pasien. "Astaghfirullahaladhim. Pergi, pergi, pergi, hush, hush." Kutepis segala sesuatu tentang Anyelir, namun wajah Anyelir tak henti-hentinya mengganggu dan berkeliaran di benakku."Megan, sudah pulang?" Aku terperanjat saat mendengar suara Mama yang tiba-tiba datang dari arah dapur."Mama? Kapan datang, masuk dari mana?" tanyaku bingung, kami adalah orang Bali dan aku tinggal seorang diri di Jakarta sejak memutuskan untuk mengambil kuliah kedokteran di Jakarta."Lupa kamu? Ini rumah Mama, Sayang," ucapnya mengejek. Aku tahu Mama ke sini untuk memperingatkan tentang kepulanganku ke Bali lagi.Aku berdecak setiap Mama mengatakan ini rumahnya, perasaanku merasa dia meremehkan, seolah aku tidak bisa cari rumah sendiri. "Ya, ya, apa aku perlu cari kontrakan supaya Mama tidak terus menghina?" "Cukup pulang saja ke Bali, nggak perlu ngontrak segala," tegasnya. Aku menelan lud
POV Anyelir.Ibu menyambut begitu aku turun dari taksi. Aku pulang tanpa Mbak Mayang karena Mbak Mayang langsung masuk kerja tadi, tapi Mbak Mayang terlebih dahulu memesan taksi untukku."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam, Nye. Gimana hasilnya, apa kata dokter?" tanya Ibu begitu aku sampai di depan pintu."Sehat kok, bayinya sehat," jawabku."Lalu kamu sendiri? Sudah turun tensinya, Nye?" "Sudah, kok, Bu. Ibu jangan khawatir." Tak mungkin membuat Ibu khawatir dengan mengatakan tensiku belum turun. Ibu sudah lelah mengurus toko yang semakin hari semakin banyak pesanan bahkan dari sekolah hingga perkantoran banyak yang memesan kue dari toko Ibu. Alhamdulillah, setelah kami banyak kehilangan, nyatanya Tuhan masih sayang dengan mempermudah usaha kue basah Ibu."Alhamdulillah, Ibu seneng dengernya. Makan dulu, setelah itu istirahat," perintah Ibu. "Iya, Bu," jawabku menuju kamar untuk segera mengganti baju dengan daster karena badanku sudah terasa engap dengan gamis ini."Nye." Kemb
Usai kulipat mukena dan sajadah, ponsel yang aku letakkan di atas nakas pun kembali berpendar dan bersuara. Sebuah pesan dan video masuk di group WA baruku.[Selamat siang para calon ibu. Sudah makan dan minum obat? Harus sudah, ya. Jadi saya mau menyampaikan, olahraga sangat baik untuk membantu proses persalinan nanti. Video ini adalah contoh dari olahraga yang baik. Mohon dipraktekkan setiap hari, tak perlu lama cukup beberapa menit saja.]Begitulah pesan dari Dokter Megantara di group WA kami, dokter baru yang menurutku sedikit berbeda ini membuatku seperti masa sekolah, ada tugas segala.[Untuk Anyelir, kenapa tidak menjawab sendiri? Anda ada di sana bukan?]Pesan kembali masuk. Dokter Megan menyebut namaku. Orang ini tidak sabaran sekali. Keempat anggota memang sudah mengirim balasan, ada yang membalas: Siap, Dok. ya, Dok, siap laksanakan dokter tampan, baik, Dokter. Dan aku memang belum membalas, karena aku pikir itu tidak begitu penting, yang penting pesan sudah terbaca dan akan
POV MegantaraApa aku sedang memuji diriku sendiri dengan menyebut dokter tampan? Narsisisme kah aku? Ah, sudah lah, setidaknya Anyelir tahu kalau aku memang tampan. Tapi untuk apa coba?"Megan, ini ponsel kok ada 3, kamu dagang online?" tanya Mama keluar dari kamar. Memeriksa ponsel yang aku gunakan untuk membuat group abal-abal. Ya, mana mungkin dokter buat group seperti ini. Aku hanya ingin memastikan kondisi Anyelir. Aku tahu kondisinya tidak baik. Yang aku harapkan adalah Anyelir dan bayinya selamat. Entah apa yang mengisi otakku, aku masih saja tidak bisa mengabaikannya meski sekarang keadaannya tidak lagi sama. "Ini ponsel untuk kerjaan aja, Ma, satu untuk rumah sakit. Satu untuk kampus.""Kampus?""Iya, Ma.""Maksudnya?""Iya, gitu.""Jangan bilang kamu ngajar?""Emang boleh?" "Nggak.""Ya udah, berarti enggak." "Megan! jangan bikin mama bingung, deh." "Enggak ... Mama dandan cantik mau kemana?" ucapku mengalihkan pembicaraan. "Eh, mama mau beli kue, besok mama mau pulang
"Oh, maksud saya ini, lo. Kue klepon. Ya, ini." Kutunjuk satu kue yang ada pada contoh gambar."Oh, iya, berapa, Dok?""Dua box besar. Ya kan, Ma?"Mama menghembuskan napas kasar. "Kamu lupa, Papa nggak suka gula jawa?" "Hah?""Jadi, Mbak, anak saya pesen klepon dua box. Saya pesen kue lemper sama talam, masing-masing dua box sedang saja, tolong ditotal sekalian," kata Mama mengambil alih, Anyelir dengan sigap mencatat. Kemudian mengambil kalkulator yang ada di meja kasir."Megan, jangan bikin malu Mama, kamu salah tingkah. Katanya mau move on!" "Maaf." "Jadi semua total 500 ribu. Bisa dibayar waktu pengambilan atau DP dulu juga nggak papa." Anyelir kembali dengan tagihan ditangannya, aku pun mengambilnya dengan cepat. Lalu kuberikan 5 lembar uang kertas seratus ribuan."Saya bayar saja, besok saya ambil jam 9, bisa? Karena pesawat Mama saya pagi," ujarku menentukan waktu."Pagi sekali, sebentar saya tanya ....""Anye, Via menghubungi." Seorang wanita paruh baya datang dari pintu b
Pagi ini sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku terlebih dahulu mengambil pesanan kue di tempat Anyelir. Sedang Mama sudah mulai siap-siap."Ma, Megan ambil kue," pamitku mengetuk pintu kamar Mama."Ya, langsung pulang, jangan godain istri orang," teriak Mama dari dalam kamar tanpa membuka pintu memberi peringatan. Aku berdecak, seperti itukah aku di mata Mama? Aku masih waras. Tak mungkin merusak rumah tangga orang, meski hatiku benar-benar ingin bersamanya. Sekitar pukul setengah 9 aku sudah sampai di toko kue Lestari. Pembeli terlihat sudah memadati toko tersebut. Benar, toko ini memang sangat ramai, bahkan sudah antri sepagi ini. Sampai aku pun harus mengantri di barisan para pembeli. Kuedarkan pandangan, tak kulihat Anyelir ada di barisan karyawan atau meja kasir. Hanya ada beberapa karyawan yang melayani pembeli dan satu orang kasir. Ibunya pun tak terlihat.Beberapa orang ada yang langsung saja masuk ke belakang dan pulang membawa kotak kue. Aku semakin bingung."Mas, mas yang
POV ANYELIRVia menghubungi, mengatakan bahwa Papa masuk rumah sakit lahi akibat gula darah dan tensinya kembali tinggi. Aku sudah mengatakan tidak bisa datang, aku sudah menutup segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka. Tapi Via terus memaksa karena Papa terus menanyakan aku. Via bingung harus menjawab apa. Via berharap dengan kedatanganku akan membuat Papa lebih cepat membaik dan pulih. Sekuat tenaga aku menolak, akhirnya aku harus mengalah karena Mama memohon, menangis tersedu di seberang sana. Mana aku tega, akhirnya aku dengan ditemani Mbak Mei harus datang. Ya, mereka membawa ke rumah sakit tempat Mbak Mei bekerja. Dengan membawa Papa ke rumah sakit yang lebih besar mereka berharap Papa akan lebih cepat sembuh. Aku tegaskan pada hatiku, aku melakukan ini hanya karena rasa sosial dan tak ada hubungannya dengan Mas Bian.Mbak Mayang aku suruh pulang saja setelah mengantar karena besok dia shift pagi. Kalau menginap di sini pasti tak bisa istirahat, sama halnya denganku. Pa
Perlahan aku membuka mata, ruangan serba putih terlihat begitu aku tersadar. Samar-samar aku juga melihat seorang pria berbaju putih pula sedang memeriksa infus. Setelah mataku terbuka sempurna, ternyata yang aku lihat adalah Dokter Megan dan dia sedang berdiri di sampingku memegang pengatur tetesan infus sambil sesekali melihat pada jam tangan yang ia kenakan."Saya kenapa?" tanyaku lirih, kepalaku berat begitu aku tersadar bahwa infus yang diperiksa itu ada pada tanganku."Sudah bangun? Jangan banyak gerak dulu, Mbak Anye tadi pingsan di belakang sana. Untung ada yang lewat, jadi bawa ke sini," jelas Dokter Megan padaku. Rupanya aku sudah tumbang hanya karena melihat Luna datang bukan hanya sebagai wanita yang dicintai suamiku saja melainkan sebagai istri sah suamiku."Tadinya saya mau ngasih tau keluarga Mbak Anye, tapi belum sempet," sambungnya. Mendengarnya, seketika aku tersadar dan teringat akan Ibu."Dokter tidak menghubungi ibu saya, kan?" tanyaku khawatir."Belum.""Belum?"