Aku menghela napas kemudian membuka pintu kamar. Mbak Mayang dan Ibu menoleh ke arahku. "Ini sarapannya, Bu.""Mbakmu sudah bawa, Nye.""Ah, telat, tau gitu nggak perlu harus ketemu dokter Megan segala di kantin.""Kenapa emangnya?" tanya Mbak Mayang"Meresahkan.""Meresahkan gimana?""Lupakan."Setelah sarapan, sekitar pukul 10 perawat memberi tau untuk segera pindah ke kamar yang sudah aku pesan semalam.Kami pun segera membereskan barang. Ibu menggendong Nizam, aku mengekor membawa infusnya, sedangkan Mbak Mayang membawa barang. Untung dia datang, jadi tugas terasa lebih ringan.***Kamar VIP nomor 10 menjadi tempat kami menginap sekarang, Nizam sudah tidak begitu rewel semenjak Ibu datang. Tapi, masih ada yang mengganggu pikiran yaitu tentang ancaman dokter Megan. Jika dipikirkan masak-masak perkataannya memang ada benarnya, Ibu bisa kecapekan kalau terus ada di sini. Tapi kalau Ibu tak ada di sini? Aku takut Nizam akan rewel seperti semalam, apa aku bisa menenangkan? Ditemani
"Ada pasien darurat, maaf telat.""Memangnya saya tanya? Siapa yang menyuruh kesini pula?" ucapku tersenyum sinis. Percaya dirinya terlalu tinggi, menurutku. Dia pun mencebikkan bibir dan menganggukkan kepala, seolah tak peduli dengan jawabanku. Meremehkan. "Saya sendiri. Kan, saya sudah janji. Harus ditepati, dong. Ya kan, Nizam? Sudah nangis berapa kali sejak ditinggal Oma?" ucapnya pada Nizam namun, sindiran jelas padaku."Belum nangis, ni masih mau nangis karena ada monster di depan," sindirku balik. Ia mengulum bibirnya menahan senyum."Monster kok tampan. Super Hero, Mama salah sebut, ya?!" ucapnya pada Nizam lagi."Malam, mau ganti infus. Eh, ada Daddy," perawat datang dan terkejut melihat ada Dokter Megan di dalam. Daddy, sudah lama sekali tidak ke tempat ini, tapi mereka masih menggunakan nama itu."Om, Sus.""Oh, maaf. Sudah selesai. Saya permisi. Selamat malam, Dok," pamitnya menyapa dokter Megan."Ya."Entah, apa yang dipikirkan olehnya, setelah kepergian perawat itu mula
"Kenapa Nizamnya?" tanyanya begitu masuk."Mau tidur mungkin." "Sini, kasih ke saya," ucapnya mengulurkan kedua tangan."Nggak usah, saya sudah bisa," tolakku menjauhkan Nizam dari tangan Dokter Megan. Kadang, bukan hanya ketidak nyamanan saja yang membuat kita ingin pergi. Tapi kenyamanan pada orang yang salah mengharuskan kita untuk pergi, karena harus tahu diri. Dokter Megan. Aku tak ingin, baik Nizam ataupun aku merasakan nyaman dengannya karena itu kesalahan. Seperti kenyamanan pada Mas Bian yang berujung kecewa, aku tak mau terulang dan Nizam ikut merasakannya. Karena aku dan Nizam adalah sebuah noda, bisa mengotori apa saja yang kami pijaki. Sadar diri jauh lebih baik dari pada harga diri harus terpaksa dijatuhkan dan diinjak lagi jika semua tau siapa aku dan Nizam sesungguhnya. "Jangan keras kepala, kamu nggak bisa.""Saya Ibunya, bagaimana bisa dokter bilang saya nggak bisa mengurus anak sendiri?"Terlihat ia menarik napas panjang. "Keras kepala. oke. Silahkan." Akhirny
Goncangan pelan di pundak membuatku terbangun setelah hampir subuh baru bisa memejamkan mata. "Nye, bangun. Sudah pagi," katanya."Ibu?! Sudah datang?" lirihku begitu mataku terbuka sempurna. Melihat diri sendiri, bukankah aku semalam tidur di kursi, kenapa bangun di ranjang? Otakku kembali mengingat kejadian semalam karena kepala sungguh berat."Jam berapa kamu tengok? Turun, cuci muka sana, mandi," kata Ibu memberikan sebuah handuk padaku. Aku bergegas ke kamar mandi sembari mengedarkan pandangan mencari sosoknya, sosok yang menyatakan cinta tadi malam. "Bukan iba, tapi cinta saya terlalu besar. Saya cinta sama kamu, Anyelir. Hanya kamu. Sejak dulu, benar-benar sejak dulu," ucapnya semalam, sungguh-sungguh. Tak terlihat kaku atau main-main seperti biasa. Mata itu memancarkan harapan yang dalam, sangat dalam. Cinta, apa itu cinta? Dia menunjukkan sebuah galeri dalam ponsel semalam setelah aku sedikit lebih tenang, kamu duduk di sofa bersisian dan saling diam sebelum akhirnya dia
"Nye, apa salahnya mempertemukan Nizam dengan Bian, biar bagaimanapun, Bian ayahnya secara hukum." Ibu memang belum tau mengenai keinginan Luna yang tidak ingin Mas Bian menjadi Ayah Nizam secara hukum."Bu, Anye nggak mau menambah masalah saja, kok. Ibu tau, kan? Luna seperti apa?" "Ya sudah, terserah kamu saja lah, Nye." Ibu mengalah, kami turun dari taksi. Ibu menggendong Nizam dan aku membawa barang.Mas Bian duduk di kursi teras karena memang tidak ada orang di dalam. "Assalamualaikum," sapanya kemudian menoleh ke arah Nizam. Memandangnya lekat."Waalaikumsalam," jawab kami."Bu," panggilku memberi isyarat."Iya. Nak Bian, Ibu masuk dulu, ya.""Iya, Bu."Ibu masuk dan aku duduk di teras, mempersilahkan. "Ada apa lagi?" tanyaku setelah sekian detik. Setelah kedatangannya waktu Nizam baru lahir, sejak itu pula dia tak pernah lagi datang, lantas ada apa dia harus datang sekarang."Dia sudah besar, ya? Kenapa nggak bilang kalau Nizam sakit?""Karena dia bukan darah dagingmu.""
POV Megantara Anyelir susah sekali dihubungi. Ya, ada rasa lega setelah mengungkap segalanya pada Anyelir. Namun, ada juga rasa haru, pasalnya ayah Renata mengalami kecelakaan dan keadaannya kritis. Renata Amelia Hartawan, cantik, anggun, dan menarik. Di mata para pria di luar sana, maksudku. Kami dibesarkan bersama, orang tua kami bersahabat. Usianya tiga tahun di bawahku sekitar 26 tahun. Aku menganggapnya saudara, adik, tapi dia entah. Berulang kali menyatakan cinta berulang kali aku menolaknya. Namun, masih saja bersikap seolah kami ada hubungan lebih."Selama janur kuning belum melengkung di depan rumah Pak Reinendra, selama itu pula aku akan berjuang untuk mendapatkan hatimu," katanya setiap ia selesai menangis tersedu usai mengungkapkan perasaan dan berakhir dengan penolakan dariku. Gigih. Dia memang sangat gigih memperjuangkan cintanya padaku, tapi nyatanya aku tak bisa memberinya perasaan yang lebih karena di dalam sana hanya terpahat satu nama, Anyelir.Meski pembawaannya
"Sayang-nya Mama, sudah, dong. Ngambeknya," ucap Mama mengusap punggungku."Mama tau nggak, sih. Megan itu harus meninggalkan banyak pasien, mereka membutuhkan Megan!" sungutku, dan yang membuatku sangat kecewa adalah mereka melakukan ini di saat Anyelir dan Nizam membutuhkan aku. Tak enak sekali rasanya, Bu Lestari harus turun tangan menemani karena aku pergi. Keterlaluan! Pulang sekarang juga percuma. Mama dan Papa, mereka tidak akan mengijinkan. Kata dokter Vina, Nizam juga sudah bisa pulang Sabtu ini."Kami cuma mau kamu pulang sebentar, Kita harus bicara," pungkas Mama malam itu."Ya tapi nggak kayak gini, Ma caranya. Mama nggak tau di sana Megan meninggalkan hal penting atau tidak, 'kan? Jangan egois dong, Ma.""Megan, Papa yang menyuruh, bukan Mama atau Renata," seloroh Papa. "Kita harus bicara!" tutup Papa. Papa sangat jarang mengeluarkan suara kalau tidak ada yang sangat penting, aku pun menghela napas lalu diam. Kalau sudah seperti ini tandanya Papa sudah tak mau lagi diba
Beban berat seolah terangkat dari pundakku setelah akta pemberian Mas Bian ada di tangan. Bagaimanapun juga, sebuah akta itu sangat penting dan yang utama menurutku, semua nantinya akan membutuhkan akta, lalu bagaimana jika di sana tidak ada nama ayanya? Aku tak bisa membayangkan, harus menjawab apa jika Nizam besar dan bertanya kenapa tidak ada nama ayahnya di sana. Belum lagi pandangan orang saat ia harus sekolah dan datanya tidak ada nama ayahnya, tidak, aku sama sekali tidak bisa membayangkan. Anak hasil perzinahan saja berhak dan mendapat pengakuan di mata hukum, rasanya sungguh tidak adil saja jika Nizam tidak mendapatkan hak itu juga. Nizam sudah terlihat pulih. Aku kembali bergelut dengan revisi dan referensi. Pagi-pagi sekali aku sudah pergi bimbingan. Sebelum berangkat, Tita menghubungi, dia akan berkunjung untuk menengok Nizam hari ini. Ya, Tita sudah sampai di Jakarta satu Minggu lalu. Namun, kami belum sempat bertemu.Aku bergegas pulang setelah bimbingan berakhir r