"Apa maksudmu, Nye?""Mas, kalau kamu ingin aku dan anak ini selamat. Pergilah!" ancamku, sudah cukup aku gila melihat kegilaan mereka. Sudah waktunya aku tegas pada diri sendiri. Aku harus kuat dan aku harus tetap tegar demi Ibu juga demi anak ini."Biantara!" Teriakan Mas Arya memekakkan telinga, ia datang dari rumah yang tidak jauh dari rumahku bersama Mbak Mayang. Terlihat jelas dadanya naik turun dengan mata membulat sempurna dan rahang mengeras. "Mana janjimu, apa yang kamu lakukan setelah apa yang kamu dapatkan, Bian?!" Mas Arya mencengkeram kerah baju Mas Bian, mendorong mundur Mas Bian hingga tubuhnya membentur mobil."Ya, maaf, aku tau aku salah.""Aku memberikan adikku padamu, untuk kau bahagiakan bukan kau campakkan. Kalau seperti ini akan lebih baik jika Anyelir tidak usah menikah!" Bugh! Pukulan tajam pun mendarat di pipi Mas Bian hingga ujung bibirnya terluka dan mengeluarkan sedikit darah. Sontak aku dan Mbak Mayang pun berteriak. "Mas Arya, cukup. Sudah, Mas, sud
Sudah satu bulan lebih sejak kepergian Mas Bian bersama Lun a pagi itu, sejak itu juga aku mengganti nomor ponsel. Aku memantapkan hati untuk menutup diri dari Mas Bian. Kadang Mas Bian masih menghubungi lewat ponsel Ibu. Namun, aku meminta Ibu untuk bicara saja, asal jangan denganku.Mas Bian belum kesini setelah kepergiannya. Mungkin wanita itu sudah menguasainya sekarang. Aku juga tau dari sosial media bahwa Luna sudah menyiapkan pernikahannya dengan Mas Bian sedemikian rupa, bahkan persidangan pun baru berjalan meski aku tidak datang, tapi Luna sudah kegirangan."Selamat pagi, Cantik," sapa Mbak Mayang yang sudah siap dengan seragam serba putihnya. Ya, Mbak Mayang adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit terbesar di daerah kami. Senang melihatnya. Hebat, sedang aku? Lulus saja tidak."Pagi anaknya Bude Menik.""Nye, ikut Mbak, yuk.""Kemana?" "Ke tempat kerja, Mbak. Ada dokter kandungan baru. Masih muda, gantengnya ... Subhanallah. Dijamin betah kalau konsultasi." Aku terseny
"Halah, kebetulan aja. Dokter anak tunggal, nggak mungkin kayak di sinetron yang ternyata saudara dari Biantara. Mereka jauh lah, setia sama peselingkuh mah kelasnya beda." Mbak Mayang memang suka ceplas ceplos kalau bicara, terutama kalau sudah menyangkut Mas Bian. Kebenciannya sudah sampai ke ubun-ubun. Mungkin dia tidak enak karena bagaimanapun juga yang membawa dan memperkenalkan Mas Bian adalah Mas Arya, suaminya. Meski aku dan Ibu tidak mempermasalahkan, tapi Mbak Mayang dan Mas Arya masih saja tidak enak dan kerap meminta maaf pada kami."Anyelir Prabandari Nugroho." Namaku dipanggil oleh petugas setelah belum lama aku mendudukkan diri di kursi tunggu."Lah, Mbak, Mbak main belakang ya? Kasihan lo yang lain," protesku pada Mbak Mayang."Nggak, Nye, Mbak ambil nomor, Mbak minta tolong temen Mbak. Ayo buruan. Mbak sudah nggak sabar ingin tahu keadaanmu yang sudah telat kontrol."Mbak Mayang dengan tak sabarnya masuk ke dalam ruangan seolah dia lah yang hamil."Pagi, Dok," sapa M
"Loh, nggak bisa gitu dong, Dok. Kita maunya sama dokter," protes Mbak Mayang tak terima."Oke, tunggu. Saya segera kembali." Dokter Megan terlihat sangat tergesa keluar dari ruangan, mungkin sudah tak tahan lagi menahan, pantas saja dari tadi berkeringat. "Kenapa coba Dokter Megan? Aneh, nggak biasanya seperti itu?" tanya Mbak Mayang."Kebelet kali, Mbak, udah tunggu aja," jawabku, Mbak Mayang pun mencebikkan bibirnya bingung.Lama kami menunggu, akhirnya Dokter Megan kembali dan mengulangi USG dari awal. Kali ini dia terlihat lebih tenang dan lembut."Bisa dilihat ya, jadi posisinya sudah mau masuk ke panggul, bayinya sehat, tinggal kondisi Ibunya saja yang menjadi PR. Kemungkinan besar anaknya laki-laki.""Apa ada yang mau ditanyakan?" "Kapan kira-kira saya melahirkan?""Sesuai USG tanggal 25 bulan Maret, 6 minggu dari sekarang. Namun, kelahiran bisa maju atau mundur dari tanggal prediksi, tidak pasti sama, ya, Mbak," terangnya.Usai USG, Dokter Megan menuliskan resep yang haru
POV MegantaraDadaku berdebar saat kudengar nama itu, nama yang dipanggil oleh Suster Yeni, asistenku, adalah nama gadis yang sama. Anyelir Prabandari Nugroho, anak dari salah seorang kepala sekolah sebuah sekolah menengah atas dan pemilik Lembaga Bimbingan Belajar Nugraha Course yang sedang happening saat itu, namun sekarang dikabarkan sudah pindah tangan.Gadis yang kulihat pertama kali di halte bis tujuh tahun lalu itu, aku menyukainya, hatiku selalu berdebar kala melihatnya. Gadis dengan seragam putih abu-abu dan ciri khas headset warna pink yang selalu dikalungkan pada leher tiap kali menunggu bis saat hendak ke sekolah itu benar-benar cantik rupawan. Saat itu juga aku merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama.Aku melihatnya setiap pagi. Setiap kali hendak berangkat ke kampus, aku melewati halte itu. Aku pun menyempatkan diri menghentikan mobil di bahu jalan untuk sekedar melihat wajahnya sebagai penentram jiwa yang selalu merasa gundah jika sehari saja tidak melihat wajah
Kuhempaskan tubuhku di sofa tamu begitu aku tiba di rumah. Siang ini aku langsung pulang setelah jam kunjungan pasien. "Astaghfirullahaladhim. Pergi, pergi, pergi, hush, hush." Kutepis segala sesuatu tentang Anyelir, namun wajah Anyelir tak henti-hentinya mengganggu dan berkeliaran di benakku."Megan, sudah pulang?" Aku terperanjat saat mendengar suara Mama yang tiba-tiba datang dari arah dapur."Mama? Kapan datang, masuk dari mana?" tanyaku bingung, kami adalah orang Bali dan aku tinggal seorang diri di Jakarta sejak memutuskan untuk mengambil kuliah kedokteran di Jakarta."Lupa kamu? Ini rumah Mama, Sayang," ucapnya mengejek. Aku tahu Mama ke sini untuk memperingatkan tentang kepulanganku ke Bali lagi.Aku berdecak setiap Mama mengatakan ini rumahnya, perasaanku merasa dia meremehkan, seolah aku tidak bisa cari rumah sendiri. "Ya, ya, apa aku perlu cari kontrakan supaya Mama tidak terus menghina?" "Cukup pulang saja ke Bali, nggak perlu ngontrak segala," tegasnya. Aku menelan lud
POV Anyelir.Ibu menyambut begitu aku turun dari taksi. Aku pulang tanpa Mbak Mayang karena Mbak Mayang langsung masuk kerja tadi, tapi Mbak Mayang terlebih dahulu memesan taksi untukku."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam, Nye. Gimana hasilnya, apa kata dokter?" tanya Ibu begitu aku sampai di depan pintu."Sehat kok, bayinya sehat," jawabku."Lalu kamu sendiri? Sudah turun tensinya, Nye?" "Sudah, kok, Bu. Ibu jangan khawatir." Tak mungkin membuat Ibu khawatir dengan mengatakan tensiku belum turun. Ibu sudah lelah mengurus toko yang semakin hari semakin banyak pesanan bahkan dari sekolah hingga perkantoran banyak yang memesan kue dari toko Ibu. Alhamdulillah, setelah kami banyak kehilangan, nyatanya Tuhan masih sayang dengan mempermudah usaha kue basah Ibu."Alhamdulillah, Ibu seneng dengernya. Makan dulu, setelah itu istirahat," perintah Ibu. "Iya, Bu," jawabku menuju kamar untuk segera mengganti baju dengan daster karena badanku sudah terasa engap dengan gamis ini."Nye." Kemb
Usai kulipat mukena dan sajadah, ponsel yang aku letakkan di atas nakas pun kembali berpendar dan bersuara. Sebuah pesan dan video masuk di group WA baruku.[Selamat siang para calon ibu. Sudah makan dan minum obat? Harus sudah, ya. Jadi saya mau menyampaikan, olahraga sangat baik untuk membantu proses persalinan nanti. Video ini adalah contoh dari olahraga yang baik. Mohon dipraktekkan setiap hari, tak perlu lama cukup beberapa menit saja.]Begitulah pesan dari Dokter Megantara di group WA kami, dokter baru yang menurutku sedikit berbeda ini membuatku seperti masa sekolah, ada tugas segala.[Untuk Anyelir, kenapa tidak menjawab sendiri? Anda ada di sana bukan?]Pesan kembali masuk. Dokter Megan menyebut namaku. Orang ini tidak sabaran sekali. Keempat anggota memang sudah mengirim balasan, ada yang membalas: Siap, Dok. ya, Dok, siap laksanakan dokter tampan, baik, Dokter. Dan aku memang belum membalas, karena aku pikir itu tidak begitu penting, yang penting pesan sudah terbaca dan akan