Share

02. Black Riddin

Bel masuk kelas sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Semua siswa masuk ke kelasnya masing–masing. Tidak ada siswa yang berhamburan di luar kelas, kecuali tukang kebun sekolah yang sedang menyapu koridor sekolah atau membersihkan kamar mandi.

Begitu juga pelajaran matematika Bu Eka yang sudah dimulai sejak 15 menit lalu di kelas XI IPA 1. Bu Eka termasuk guru yang disiplin. Beliau bukan guru matematika yang sering ditakuti oleh banyak siswa karena kegarangannya. Bu Eka berbeda di pandangan siswa SMA Nusantara, terlebih kelas XI. Beliau termasuk dalam jajaran guru favorit. Banyak siswa yang menganggap matematika itu adalah hal yang menakutkan, tapi yakinlah setiap kelas ditampu oleh Bu Eka pasti nilai matematika mereka berkembang pesat. Entah ilmu apa yang dimiliki Bu Eka.

Tok tok tok

“Permisi bu,” ucap Tasya sopan dan memasuki kelasnya. Semua teman sekelasnya memandang kearah Tasya, tetapi setelah itu kembali mengerjakan soal fungsi turunan yang diberikan oleh Bu Eka.

Teman sekelasnya tidak heran jika Tasya sering terlambat masuk kelas. Bahkan kadang bangku Tasya kosong dari jam pertama hingga terakhir. Tasya termasuk siswi aktif di sekolahnya, tetapi dibalik keaktifannya itu dia juga tidak lupa berprestasi dibidang akademik. Yang paling menonjol adalah mata pelajaran matematika.

“Maaf bu saya terlambat, tadi ada kumpul sebentar,” ucap Tasya sambil menunduk. Bu Eka tersenyum. Beliau mengerti tugas tambahan Tasya di sekolah.

“Silahkan duduk Tasya dan kerjakan soal halaman 70-72 seperti yang lainnya,” ucapnya dan kembali mengerjakan tugasnya mengoreksi ulangan matematika kelas XI IPA 1 yang diadakan lusa yang lalu.

Tasya berjalan kearah bangkunya, dekat dengan Salsa. Posisi bangku mereka berada ditengah baris keempat. Sedangkan didepannya terdapat Della yang duduk sendiri, karena jumlah siswa di kelas mereka berjumlah ganjil.

“Tasya dari mana? Kok lama banget?” tanya Salsa sedikit berbisik.

“Tadi ada kumpul OSIS dadakan Sal,” balas Tasya sambil membuka bukunya dan mengerjakan soal yang diberikan Bu Eka.

Terlihat Salsa mengambil buku sedikit tebal berjudul Rindu karya Tere Liye dari laci mejanya dan menyodorkan pada Tasya. “Nih. Tadi ketinggalan dikantin.”

Segera Tasya mengambil buku tersebut tanpa memandang Salsa dan memasukannya kedalam laci mejanya.

Hening. Kata itulah yang tepat untuk mendeskripsikan kelas XI IPA 1.

Tok…tok…tok

Terdengar kembali ketokan pintu. Kali ini bukan siswa yang datang memberikan dispen untuk Tasya karena ada rapat OSIS atau dispen untuk Salsa karena akan mempersiapkan debat Bahasa inggris. Tetapi kali ini Pak Pardi yang datang. Semua siswa dikelas terperanjat kaget. Bagaimana tidak? Pak Pardi adalah guru Bimbingan Konseling yang mengampu kelas XI. Beliau terkenal dengan kekejamannya.

Pak Pardi menuju ke meja Bu Eka. Entah apa yang dibicarakan kedua guru itu. Yang pastinya hal tersebut membuat para siswa tegang dan tak berhenti memandang kedua guru itu.

“Ndi, jangan-jangan tu singa mau ngajak lo ke ruang angker itu,” bisik Aldi pada Andi teman sebangkunya.

“Atas tuduhan apa dia ngajak gue kesana? Gue gak punya salah kok,” bela Andi pada dirinya.

“Hei! Siapa yang kemarin beli gorengan 5 tapi bilang 2?” ucap Aldi sedikit berteriak membuat Andi terperanjat kaget.

“Terus, kemarinnya lo bilang sama Pak Warno yang jual cilok dikantin, cuma beli cilok 1 porsi. Padahal lo beli 2 porsi cilok sama 2 gelas es teh,” sambung Aldi kembali dengan nada yang lebih keras.

“Terus, lo juga godain Mbak Juwita yang jualan soto. Gak cuma itu, ada juga lo …,“ Andi segera membekap mulut Aldi dengan tangannya. Agar semua rahasia yang dia simpan dengan rapi tidak terbuka sia-sia disini. Beberapa siswa yang mendengar itu tertawa tanpa mengeluarkan suara.

“Ooo, jadi gak cuma janda dikomplek rumah gue yang lo godain. Ternyata ibu – ibu kantin sekolah juga lo godain,” ucap Ilham yang duduk didepannya sambil menggelengkan kepalanya. “Pantes Ndi!” Ardhan yang berada disamping Ilham membuka suara.

Andi yang tak mengerti menanutkan kedua alisnya. “Maksud lo?” tanya Andi dan melepaskan tangannya dari mulut Aldi.

“Pantes Della putusin lo!!” ucap mereka kompak dan diimbangi tawa Aldi yang terbahak-bahak.

Della yang merasa terganggu segera memandang mereka dan memberikan tatapan membunuh pada mereka. Seketika tawa mereka terhenti dan membuat Salsa dan Tasya yang bergantian tertawa.

Terlihat Pak Pardi dan Bu Eka sudah selesai dengan pembicaraan mereka. “Ayo nak, silahkan masuk,” ucap Pak Pardi.

Masuklah seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dari yang digunakan siswa SMA Nusantara. Langkahnya berhenti disamping Pak Pardi.

“Ini ada teman baru untuk kalian.” Bukannya menyapa teman barunya, laki-laki itu lebih memilih menampakkan muka datarnya. Biasanya, apabila ada siswa baru pasti akan disambut hangat oleh siswa lainnya. Namun kali ini berbeda, semua siswa terkejut dan enggan menyapa ketika mengetahui siapa siswa baru tersebut.

“Kok bisa sih dia pindah kesini?” tanya siswi berambut sedikit bergelombang pada teman sebangkunya dengan berbisik.

“Mana masuk kelas kita lagi,” balasnya dengan tatapan tidak suka pada Jevo.

Beberapa siswa di sana juga mulai berbisik membicarakan hal yang sama. Walaupun berbisik, tetap saja apa yang mereka bicarakan bisa didengar oleh laki-laki itu.

Pak Pardi berdehem. “Perkenalkan nama kamu,” pintanya.

Laki-laki itu mengangguk. “Gue Jevo Rajendra,” ucapnya dengan nada malas.

“Jevo silahkan duduk di dekat Della,” kata Bu Eka pada Jevo. Namun segera gadis bernama Della itu mengangkat tangannya.

“Bu maaf, kalo dia duduk sama Tasya aja gimana?” Tasya langsung membelalakkan kedua matanya mendengar perkataan Della. “Biar Salsa duduk sama saya. Boleh ya bu,” Della memohon.

Bu Eka menggangguk. “Bagaimana Tasya?” tanyanya meminta persetujuan Tasya.

Della langsung berbalik memandang Tasya dengan tangan yang disatukan, memohon pada sahabatnya itu. Akhirnya Tasya menyetujui karena merasa kasihan pada Della.

“Jevo jadi kamu duduk dengan Tasya ya.” Melihat siapa yang menjadi teman sebangkunya, Jevo menampakkan senyuman tipis lalu segera menuju ke bangku sebelah Tasya. Pak Pardi berpamitan pada Bu Eka dan siswa di sana karena tugasnnya sudah selesai.

“Hai, kita ketemu lagi,” sapanya dan dibalas anggukan pelan oleh Tasya. “Jadi nama lo Tasya. Gue Jevo.” Tangannya terangkat, ingin berjabat tangan dengan gadis itu.

“Iya gue tau. Tadi lo udah bilang,” balas Tasya yang tak membalas jabatan tangan Jevo dan memilih fokus dengan soal matematika di depannya.

Jevo tertegun dengan respon Tasya. Laki-laki itu memandang wajah Tasya dari samping. “Lo boleh juga,” ucapnya dalam hati.

* * *

“Gue takut banget tadi,” ucap Della lemas sambil meletakkan kepalanya di atas meja.

“Emang kenapa sih?” tanya Tasya penasaran sambil meminum segelas orange juice yang ia pesan.

“Itu Sya, Jevo,” sahut Salsa datang dengan membawa nampan berisi 3 burger.

"Jevo kenapa?” tanya Tasya yang masih penasaran.

Della langsung menggebrak meja di depannya. “Serius lo gak tau?” Tasya menggeleng pelan. Della meminta kedua sahabatnya itu untuk mendekat. “Kalian tau geng motor Black Riddin?” Mereka menggangguk.

“Jevo ketuanya.”

“Emang kenapa kalo dia ketuanya?” Della dan Salsa menghembuskan napasnya bersamaan.

“Please deh Sya. Dia terkenal kejam. Mana julukannya Raja Kematian. Gue pernah denger dia sama gengnya berantem terus dia pukulin musuhnya sampai hampir mau meninggal.” Salsa bergidik ngeri.

“Wah bad track record,” balas Della sambil menggelengkan kepalanya.

Bukannya takut, Tasya justru tertawa setelah mendengar cerita teman-temannya itu. “Raja kematian? Hahaha. Dikata dia Tuhan?” katanya.

“Ngomongin gue ya?” ucap seorang laki-laki dengan suara beratnya.

Della dan Salsa terkejut melihat Jevo berada di belakang Tasya. Lantas mereka segera pergi dari sana meninggalkan Tasya yang masih tertawa terbahak-bahak. Jevo menarik kursi yang berada di samping kanan gadis itu dan duduk di sana. Kedua netranya fokus memandang Tasya masih tertawa.

“Lo gak takut sama gue?” tanya Jevo membuat Tasya terdiam. Namun kembali tertawa setelahnya.

“Gue takut sama lo?” Jevo menggangguk. Terlihat Tasya mengatur napasnya setelah tertawa cukup lama. “Jangan lo pikir karena lo ketua geng motor yang punya julukan Raja Kematian, gue bakal takut sama lo. Jawabannya gak. Gue gak takut sama lo,” jelas gadis itu membuat Jevo menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya.

Sudut mata Tasya melirik seragam Jevo yang keluar. “Belum sehari lo jadi siswa di sekolah ini, lo udah ngelanggar peraturan lagi.” Jevo yang mengerti maksud Tasya segera memasukan seragamnya ke dalam celana supaya rapi.

“Yuk ke kelas, udah bel,” ajak Tasya yang beranjak dari kursinya dan melangkah terlebih dahulu meninggalkan Jevo yang masih sibuk dengan seragamnya.

“Biasanya orang-orang pada takut sama gue. Tapi kenapa lo gak?” gumamnya sambil memandang Tasya yang sudah berjalan cukup meninggalkan Jevo.

(to be continue)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status