Share

04. Ketoprak Pinggir Jalan

Sudah 30 menit yang lalu jam kegiatan belajar mengajar dibubarkan. Tetapi masih banyak juga siswa yang berada di sekolah untuk melakukan kegiatan ekstakulikuler, seperti Tasya dan Aldi. Mereka berada dalam ekstra yang sama, yaitu pencak silat. Tasya yang tentu menjabat sebagai ketua, dan Aldi sebagai wakilnya.  

Terlihat Tasya membuka loker yang bertuliskan nomor 145. Tangannya meraih satu setel baju berwarna hitam yang dia simpan rapi didalam lokernya. Entah apa yang membuat Tasya merasa malas untuk latihan hari ini dan ingin cepat–cepat pulang. Kata–kata David di perpustakan tadi masih jelas di pikirannya. Berulang kali Tasya menyibukkan diri untuk menghilangkannya, tetapi malah membuat Tasya pusing sendiri.

“Lo kenapa Sya?” tanya Aldi memegang pundak Tasya.

Tasya mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa.

“Lo gak usah latihan deh hari ini, lo istirahat aja,” sambung Aldi dibalas anggukan lemah oleh Tasya.

Tasya memang butuh istirahat hari ini. Kegiatan pensi yang sebentar lagi diadakan membuat dia pusing, terlebih ucapan David yang membuat Tasya lebih pusing.

“Biar gue aja,” ucap Aldi menghentikan tangan Tasya yang akan memasukkan bajunya kedalam loker kembali.

“Yaudah, gue duluan ya Al,” pamit Tasya.

“Hati-hati ya.” Tasya tersenyum dan mengacungkan jempolnya lalu berjalan meninggalkan Aldi.

Koridor sekolah terlihat sepi karena kebanyakan siswa melakukan kegiatannya di lapangan dan aula sekolah. Untung saja rumah Tasya dekat dengan sekolah, jika tidak mungkin Tasya lebih memilih untuk tidur seharian di klinik kesehatan.

Terlihat Jevo sedang menyandarkan punggungnya pada tembok dengan tangan kanan yang menghimpit rokok. Berulang kali laki-laki itu menghisap rokok tersebut dan menghembuskan asap dari mulutnya.

Tasya yang melihat hal tersebut masih tidak habis pikir. Baru sehari dia menjadi murid baru di sini, Jevo sudah melanggar peraturan lagi. Sebenarnya Tasya ingin mengingatkan laki-laki itu, namun ia merasa pusing jadi kali ini Tasya membiarkan Jevo melakukan apapun sesuka hatinya.

Jevo yang melihat Tasya berjalan melewatinya merasa aneh. Kenapa gadis itu tidak memarahinya? Padahal jelas ia sedang merokok di area sekolah. Jevo segera membuang sembarang rokok yang masih setengah itu lalu menginjaknya.

Langkahnya berjalan pelan mengikuti Tasya dari belakang dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celananya. Muncul perasaan khawatir di hati Jevo melihat Tasya yang terus memijat pelan pelipisnya. Merasa tidak sabar akhirnya Jevo berjalan mendekati Tasya.

“Lo kenapa?” tanyanya. Gadis itu tidak merespon dan terus berjalan. Jevo mencekal pergelangan tangan Tasya supaya berhenti. Kini mereka saling berhadapan. “Lo kenapa?” tanyanya sekali lagi.

“Pusing dikit,” ucap Tasya sambil menarik tangannya dari cekalan Jevo.

“Udah makan?” Tasya menggeleng.

Jevo menghela napasnya. Tangannya kembali mencekal pergelangan Tasya lalu menariknya menuju ke parkiran sepeda motor. Mereka menuju ke motor gede New Yamaha YZF-R25 warna biru yang terparkir di sana. Jevo mengambil helm putih yang tergantung di jok belakang lalu memberikannya pada Tasya. Namun gadis itu hanya memandang bingung laki-laki di depannya itu.

“Lo pakai sendiri? Atau gue?” ucap Jevo membuat Tasya mengambil helm tersebut dan memakainya.

Jevo mengeluarkan motornya dan meminta Tasya untuk naik. Walaupun awalnya sempat ragu, akhirnya gadis itu mengikuti perkataan Jevo. Gadis itu tidak tahu kemana Jevo membawanya. Mereka menyusuri kota Jakarta yang padat. Tasya baru sadar bahwa menaiki motor dan berkeliling kota sungguh menyenangkan, karena biasanya dia selalu naik mobil dan itu harus dijemput dengan sopir.

Setelah 15 menit perjalanan dan tanpa percakapan apapun, mereka sampai di warung ketoprak pinggir jalan.

“Ngapain ke sini?” tanya Tasya sambil melepas helmnya. Namun pertanyaan itu tidak diindahkan oleh Jevo. Laki-laki itu berjalan mendahului Tasya menuju penjual ketoprak yang sibuk menyiapkan pesanan.

“Pak,” sapa Jevo.

“Eh Den Jevo. Lama gak ke sini.” Jevo tersenyum mendengar perkataan Pak Gendut.

“Ketoprak sama es teh 2 ya pak,” pinta Jevo yang disambut jempol oleh Pak Gendut.

Sebenarnya postur tubuh Pak Gendut tidak sesuai dengan namanya. Tubuhnya ramping dan tinggi. Beliau selalu menggunakan peci dan handuk kecil yang tersampir di pundaknya sebagai ciri khas. Nama aslinya adalah Nur Hidayat. Namun para pengunjung dan orang sekitar sering memanggilnya dengan sebutan Pak Gendut karena selalu menyajikan ketoprak dengan porsi yang banyak, sehingga membuat perut gendut setelah menyantapnya.

Tasya yang sedari tadi di belakang Jevo mengikuti langkah laki-laki itu menuju meja yang berada di depan gerobak tersebut.

“Ngapain ke sini?” tanya Tasya lagi.

“Lo kan belum makan,” ucap Jevo dengan pandangan yang sibuk dengan ponselnya.

Gadis itu memincingkan kedua matanya. “Emang gue mau?”

“Gue yang perlu persetujuan lo.” Tasya menautkan kedua alisnya. “Karena lo pasti langsung setuju,” sambung Jevo membuat Tasya berdesis.

Tidak ada percakapan setelahnya. Jevo sibuk dengan ponselnya dan Tasya sibuk dengan bukunya. Pak Gendut datang dengan membawa 2 porsi ketoprak dan 2 gelas es teh sesuai pesanan Jevo.

“Ini pesanannya. Silakan dinikmati.”

Tasya menerima dengan wajah yang penuh kegembiraan. “Terimakasih Pak,” ucap Tasya.

Pak Gendut menyenggol pundak Jevo pelan membuat laki-laki itu memandangnya. “Den Jevo tumben bawa cewek kemari, biasanya gak pernah.” Tasya yang sedang mengaduk ketopraknya seketika melirik Jevo. “Pacarnya ya Den?” goda pria paruh baya tersebut. Jevo menggeleng dan meminta Pak Gendut untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Neng geulis, cewek pertama yang Den Jevo bawa kemari. Jangankan dibawa, ada cewek bonceng motornya aja Den Jevo gak pernah mau,” pungkasnya lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Laki-laki bernama Jevo itu terdiam seribu bahasa. Tidak tau harus merespon seperti apa. Sedangkan gadis yang di depannya tersenyum tipis sambil mengaduk makanannya. “Kenapa lo?” tanya Jevo.

“Masa Raja Kematian takut deketin cewek?” ucap Tasya lalu tertawa.

Jevo mendengus kesal. “Udah bisa ketawa lo? Perasaan tadi lemah, letih, lesu, lunglai,” ejek Jevo membuat Tasya mengepalkan tangannya ingin memukul laki-laki itu. “Gara-gara cowok tadi ya?”

Tasya terdiam. Dirinya memandang Jevo. “Lo…,”

“Dibilang nguping, gue gak nguping. Tapi pembicaraan kalian sangat jelas masuk ke kuping gue, sampai gue gak bisa tidur.” Laki-laki itu mendengus kesal.

Sorry.” Tasya menundukkan kepalanya.

“Gue sebenernya males ikut campur urusan orang lain, tapi gue punya firasat dia cowok gak baik,” jelasnya lalu menyantap makanannya. Tasya yang tadinya bersemangat ingin menyantap makananya seperti Jevo, tiba-tiba tidak berselera. Tangannya sibuk memutar-mutar bihun dengan garpu yang dipegangnya.

Tiba-tiba Jevo menarik piring Rena, namun gadis itu menariknya kembali dengan memicingkan kedua matanya. “Jangan mainan makanan. Nanti nangis. Kalo gak mau biar gue makan.”

“Dia mantan gue,” ucapnya tiba-tiba. Walaupun belum ada satu hari mereka saling mengenal, Tasya merasa ia harus bercerita pada laki-laki di depannya.

We are broke up because he’s cheating on me,” pungkasnya lalu memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Jevo terdiam. Ia tidak merespon apapun. Tiba-tiba laki-laki itu bersendawa membuat Tasya membelalakkan kedua matanya memandang Jevo. “Kenapa?” Tasya memasang wajah datar.

“Wajar kali. Kan habis makan.” Jevo membela dirinya.

Tangannya mengambil sebungkus rokok Malboro dari saku seragamnya. Tasya yang melihat itu langsung beranjak dari tempat duduknya. “Mau kemana lo?” tanya Jevo.

“Pindah. Lo mau ngerokok, kan?”

Jevo memasukkan kembali rokoknya ke dalam saku. “Gak jadi. Duduk,” pintanya.

Tidak ada percakapan setelahnya. Tasya sibuk memakan ketopraknya dan Jevo sibuk dengan ponselya.

Eyoooo, ada siapa ini?” seru seorang laki-laki dengan gerombolannya, berjalan mendekati Tasya dan Jevo.

Wajah Jevo tampak mengeras. Tangannya mengepal. Sorotan mata Jevo tajam melihat mereka.

(to be continue)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status