Share

Chapter 7: Terungkapnya sebuah kebenaran

Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang.

"Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.

Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.

Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!

Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.

Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.

Pandangan mulai memudar, gelap.

Perlahan membaik dan,

"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.

Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.

Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.

Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.

Tetapi, berbeda dengan mimpi yang sekarang.

Mataku mencoba menelisik dan mencari tahu dimana aku berada!

Saat melihat kearah kanan, disampingku ada anak perempuan, cantik.

Dia tersenyum padaku.

Usianya sekitar 5 tahun. pipi gembil, kulit putih bersih, mata yang indah bak mutiara. Senyumnya juga manis.

Sebagian rambutnya di sanggul, dan sebagian dibiarkan teruai memanjang sampai pinggang.

Dia mengenakan kebaya berwarna merah, serta selendang merah yang terikat diantara pinggang.

Dia juga mengenakan kalung emas, dengan batu liontin yang berwarna merah menyala.

Dia langsung membuang pandangan, menatap lurus kearah depan tanpa menunjukan ekpresi wajah yang sebelumnya.

Dia menatap kedepan dengan tatapan datar, lalu mengangkat tangan kanan sambil menunjuk.

Aku mengikuti arah tangan yang dia tunjuk.

Aneh dan kaget bercampur jadi satu.

Aku melihat diriku yang tengah berpapasan dengan bu Ijah.

Lebih tepatnya, seperti melihat masa laluku.

Tetapi disini begitu berbeda!

Kalau yang waktu itu aku lihat bu Ijah. Tetapi sekarang lebih mirip seperti sosok Sundel bolong.

Sempat bingung dengan wujud asli dari sosok yang menjadi bu Ijah.

Karena apa yang aku lihat berbeda-beda.

Namun tuk kali ini aku yakin, kalau inilah sosok yang sebenarnya.

Keanehan kembali terjadi!

Setelah bertatapan wajah, aku langsung pingsan.

Sedangkan hari itu, aku merasa kita berpapasan dan sempat ada tanya jawab.

Bu Ijah menghilang, menghampiri dengan wujud menakutkan dan mengejarku.

Tetapi yang aku lihat, justru sebaliknya.

Selepas aku pingsang, terdengar riuh ramai suara tertawa.

Perlahan, terlihat beberapa sosok menyeramkan menertawakanku.

Rumah warga dan seisinya seakan tak ada!

Semua berubah!

Lingkungan, lapangan, pos ronda, bahkan musalah saja tidak ada!

Semua terlihat seperti hutan dan sosok-sosok menyeramkan itu berada di pohon-pohon sambil menertawakan aku yang tergolek lemas di jalan itu.

"Apa yang terjadi?" tanyaku dalam hati.

Seketika pandangan berubah menjadi gelap gulita.

Tetapi terlihat sebuah pusaran, seakan pintu tuk menuju dimensi berbeda.

Perlahan, pandangan mata kian membaik dan aku berada di tempat berbeda.

Yang tadinya aku hanya melihat diriku yang pingsan, tetapi sekarang melihat diriku yang dikejar sundel bolong.

Yang tadinya tak ada perumahan warga, sekarang ada. Tetapi sosok-sosok lain masih ada. Mereka melihat dan tertawa, seolah aku saat itu menjadi tontonan yang menghibur mereka.

Tiba di saat aku berdoa dan mulai pasrah.

Nampak cahaya putih datang menyilaukan mata.

Aku yang dimimpi mulai pingsan dan yang tadinya cahaya, berubah menjadi seorang lelaki menggunakan pakaian serba putih dan sorban yang menempel di pundaknya.

Rupanya, ustaz Amir.

Dia memukulkan tasbihnya ke wajah sundel bolong.

Mahluk itu langsung menjerit. Teriak, "Panas ... Panas ...!" dan terbang, menjauh ....

Riuh ramai suara tertawa, berubah menjadi hening.

Satu persatu mahluk tersebut menghilang.

Ustaz amir mendekati tubuhku yang tergeletak di tanah.

Dia mengangkat tubuhku dan pandanganku pun beralih, ke jalan waktu aku pingsan.

Ya, aku masih melihat tubuhku yang terbaring di jalan itu.

Tapi ada diriku lain, yang masih di gendong sama ustaz Amir.

Ustaz mulai menurunkan tubuhku dengan perlahan, dia meletakkan tubuhku diatas tubuhku yang tergeletak dijalan.

Aneh! Tubuh yang dia letakkan diatas tubuh yang tergeletak, menyatu.

Tubuh yang dia gendong dan pegang, masuk kedalam tubuh yang tergeletak di jalan setapak itu.

"Apakah itu tubuhku? Apa yang tadinya dia gendong arwah atau ruhku? Terus aku yang sekarang ini apa?" tanyaku dalam hati.

Aku terbangun dan orang pertama yang ku lihat adalah, Suci.

Dia tersenyum, seolah mengatakan kalau temannya sudah menunjukan apa yang telah terjadi padaku.

"La! Wis turu pirang dina?" (La! Sudah tidur berapa hari?) tanyaku pada Jamilah yang duduk di kursi sebelah sambil memperhatikan.

"Sewulan, mas!" (Sebulan, mas!) jawabnya, "Tapi ...." lanjutnya.

"Tapi apa?" tanyaku penasaran.

"Tapi bo'ong ...!" jawabnya sambil tertawa, "Turu limang menit bae laka kok, mas!" (Tidur lima menit juga tidak ada kok, mas!) timpanya mulai serius.

"Mila kih! Ditakoni serius malah guyonan," (Mila nih! Ditanya serius malah bercanda,) keluhku sambil sesekali melihat Suci dan dia pergi meninggalkan aku dan Jamilah yang masih di ruang tamu.

"Mas! Wis bisa ngomong ya?" (Mas! Sudah bisa ngomong ya?) tanya Jamilah tersenyum, "Telung dina mendi bae?" (Tiga hari kemana saja?) timpanya, mulai berdiri dari tepat duduk sambil melotot dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.

"Aduh ...! Semua berubah setelah negara api menyerang!" gumamku dalam hati.

"Ora mendi-mendi, keturuan ning dalan," (Tidak kemana-mana, tiduran di jalan,) jawabku bingung, karena tak mungkin memberitahu kejadian yang sebenarnya.

"Ora mungkin!" Paling gah, due wadon maning!" (Tidak mungkin! Pasti punya cewek simpanan!) ketusnya memicingkan mata.

"Ora lah bos! Sumpah, inyong ra bo'ong! Iya ora, Son?" (Tidaklah bos! Sumpah, aku tah bohong! Iya gak, Son?) jawabku mencari Suci, namun dia tak ada dan mungkin tahu akan terjadi hal seperti ini, jadi dia menghindar dan mungkin sedang nguping didalam kamar.

"Alesan apa kuen kuh? Wis, ngaku bae!" (Alasan apa itu? Sudah, mengaku saja!) teriaknya sambil mengambil sapu dan memukulkan kearah kursi.

"Mila sayang! Ayah ini bukan buaya! Ayah setia kok sama kamu! Bukannya kamu tahu? Bahwa aku berjanji akan setia. Bahkan bulan dan bintang, yang menjadi saksinya ...!" tuturku dengan gaya bahasa lembut dan mencoba duduk, sambil memegang kedua tamgannya.

"Iya, mas! Mila percaya!" jawab Jamilah tersenyum, "Tapi ...." timpanya terpotong.

"Tapi apa?" tanyaku penasaran.

"Tapi ko bengi turu ning jaba! Aja ning kamer!" (Tapi ntar malam tidur diluar! Jangan di kamar!) ketus Jamilah sambil melepaskan pegangan tanganku dan bangkit berdiri meninggalkan aku.

"Lah, La! Ora percaya?" (Lah, La! Tidak percaya?) tanyaku, sambil terus melihat kearahnya.

"Percaya!" jawabnya.

"Ngomonge percaya, tapi kok mengkonon?" (Bilangnya percaya, tapi kok bilang gitu?) tanyaku.

"Iya! Mase turu ning jaba dikit! Ko baka Suci ye turu, dau manjing! Biasa kah mas, bengi-benggian!" (Iya! Masnya tidur diluar dulu! Nanti kalau Suci tidur, mas masuk! Biasa mas, agak malaman!) jawab Jamilah tersipu, lanjut berjalan pergi kearah dapur untuk masak.

Beberapa tahun pun berlalu ....

Tiba lagi, di masa susah! Masa di mana aku hanya bisa makan dan tidur di rumah.

Aku menganggur dan stok makanan di dapur, sudah kian menipis.

Malam ini, kita hanya makan seadanya.

Tetapi yang membuatku sedih, kedua orang yang ku sayang tak pernah mengeluh dengan semua keadaan ini.

Aku takut, kalau besok sudah tak ada yang bisa di makan.

Sehabis makan, aku beranikan diri ke rumah kak Warkam, tuk meminjam uang.

Sampai di rumahnya, pintu ku ketuk beberapa kali sambil mengucap salam, "Assalamualaikum ...!"

Aku terus mengetuk sambil mengucap salam.

Namun, tak ada yang menjawab.

Ku coba memegang daun pintu dan ya, pintu bisa ku buka.

Pintunya tidak di kunci.

Karena merasa ada yang aneh dan takut ada maling masuk, aku pun masuk ke rumah dengan mengendap-endap.

Aku terus mengendap, sampai terlihat kamar yang terbuka, tak sengaja di tutup.

Kamar Pendi, anak kedua kak Warkam yang tengah tertidur pulas seorang diri.

Aku teruskan mengendap, sampai di kamar almarhum Prapto.

Aku langsung teringat, kalau mbak Raeni pernah bilang, kak Prapto melarangnya masuk ke kamar tersebut.

Jiwa penasaranku bergejolak!

Sambil melihat kanan dan kiri, di rasa tak ada orang, aku mencoba mengintip kedalam kamar, melalui lubang kunci.

"DEG"

Jantung berdegup kencang, tak percaya dengan apa yang ku lihat.

Ku lihat mbak Raeni ada didalam sedang menjaga lilin yang menyala.

Diantara lilin, ada bunga dan beberapa sesaji.

"Hey!" teriak mbak Raeni dari dalam kamar.

Aku bingung dan berusaha kabur.

Namun, dengan sigap mbak Raeni membuka pintu.

"Oh, sira Run! Wis weruh apa sing terjadi?" (Oh, kamu Run! Sudah tahu apa yang telah terjadi?) tanya mbak Raeni menghentikan langkah kakiku.

Aku mematung dan masih membelakangi mbak Raeni.

Belum sempat aku menjawab, dia lanjut berucap,

"Mbak sing ngongkong kakangira ngepet! Masa urip pan melarat bae? Mbak gah pengen sugih! Gobloge kakangira, gelem tak kongkon mengkonon! Hahahaha, " (Mbak yang menyuruh kakakmu ngepet! Masa hidup mau miskin terus? Mbak juga mau kaya! Bodohnya kakakmu, mau disuruh begitu! Hahahaha,) jelasnya sambil tertawa.

Ucapannya mbak petir menggelegar.

Hatiku langsung sakit, setelah mendengar ucapannya itu.

Bersambung ... .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status