Share

Chapter 6: Teror bu Ijah

"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran.

"Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,

"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,

"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,

"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.

Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.

Semuanya sudah nampak begitu jelas.

Sekarang tergantung tindakan yang harus aku lakukan.

Membiarkannya? Atau mengakhirnya?!

Tak terasa sudah malam, lebih tepatnya waktu isya sudah terlewat.

Aku dan jamaah pun pergi menuju rumah pak Sarip, untuk menghadiri acara tahlilan.

Aku pikir, anak pak Sarip meninggal jadi tumbal kak Warkam?!

Karena pak Sariplah yang menerima tawaran mbak Raeni dan aku yakin akan hal itu, karena Siska waktu itu langsung berbisik langsung padaku!

Kalau dipikir, sudah tak ada lagi warga yang melihat seekor babi di Desa ini.

Karena kak Warkam selalu pergi di saat malam datang dengan mobil, untuk keluar Desa.

Warga pun mulai bertanya-tanya tentang pekerjaan kak Warkam.

Tetapi kalau ada yang bertanya padaku, aku suruh dia bertanya langsung sama istrinya, karena aku juga tak tahu.

Kemungkinan kak Warkam ngepet di tempat lain, atau di Desa maupun kota lain.

Aku pun tak tahu kenapa harus jauh? Apa karena takut warga curiga? Atau karena sedikitnya orang yang kaya di desaku?

Entahlah ...?!

Disaat acara tahlilan dimulai, ada hal ganjil yang terjadi.

Karena yang duduk diluar rumah, tiba-tiba merangseg masuk kedalam.

Tahlilan sampai sempat berhenti, karena kejadian tersebut.

Katanya si, ada yang mendengar suara anak kecil meminta tolong. Tetapi tak ada sesiapa pun.

Ada pula yang bilang, melihat sosok hitam tinggi besar menyeret anak kecil, lalu membawanya pergi.

Dan masih ada yang bilang lain lagi, kalau dia melihat dedaunan yang berserakan tiba-tiba tersapu, seolah ada yang lewat.

Apa yang dilihat dan didengar orang-orang yang ada diluar berbeda-beda.

Mungkin karena kesensitifan mereka akan mahluk halus yang berbeda pula.

"Wis aja wedi! Ko tak usir setanne! Kari di cepreti bae karo banyu kembang." (Sudah janga takut! Nanti hantunya aku usir! Tinggal di ciprati saja pakai air bunga.) ucap pak Kirun dengan nada bercanda, tuk meredam suasana.

Ketakutan yang mencekam, berubah menjadi riuh suara tertawa.

Dan tak lama, acara kembali dilanjutkan dan masih dipimpin oleh pak Kirun.

Pak Kirun memimpin acara tahlilan, karena katanya ustaz Amir keluar Desa sewaktu habis magrib.

Selesai tahlilan, aku pulang seorang diri.

Karena hanya aku warga dari Rt 07, yang ikut tahlil di rumah pak Sarip.

Aku memilih pulang lewat area pesawahan.

Dari jauh, nampak seorang perempuan tengah berjalan mendekat.

Semakin dekat dengan orang tersebut dan ternyata, beliau adalah bu Ijah.

"Bu Ijah! Pan mendi?" (Bu Ijah! Mau kemana?) sapaku.

"Ora mendi-mendi, mung pengen luruh angin," (Tidak kemana-mana, cuma nyari angin,) jawabnya.

"Luruh angin kok liwat mene? Ora liwat dalan arep bae?" (Cari angin kok lewat sini? Tidak lewat jalan utama saja?) tanyaku lagi.

"Liwat mene kuh enak! Adem! Akeh angin," (Lewat sini tuh enak! Sejuk! Banyak angin,) ucapnya.

"Ya wis, bu! Kirun permisi dikit, bokat dienteni wong ning umah!" (Ya sudah, bu! Kirun permisi dulu, takut ditungguin orang rumah!) jelasku.

"Ya wis! Ibu gah pengen lanjut luruh angin!" (Ya sudah! Ibu juga mau lanjut nyari angin!) ucapnya, lalu mulai kembali berjalan meninggalkanku.

Anehnya, aku masih melihat sosok tersebut itu bu Ijah!

Berbeda dengan kak Warkam yang bahkan tak bisa diajak berintraksi.

Mungkin karena aku masih saudara kak Warkam dan malah mengantarnya ke tempat itu?!

Sedangkan bu Ijah, aku tak tahu kalau dia juga begitu dan baru tahu sekarang!

***

Siapa bu Ijah?

Bu Ijah adalah Janda, Janda kaya yang hidup seorang diri.

Dulu dia mempunyai tiga orang anak dan kedua anaknya sudah meninggal.

Hanya tersisa satu anak perempuan bernama, Santi.

Santi tak ada di rumah, karena dia kuliah diluar kota.

Namun sesekali Santi pulang, untuk menjenguk ibunya.

***

Dirasa bu Ijah sudah jauh, aku melanjutkan melangkah.

Namun rasa penasaran seakan membuatku enggan tuk melangkah dan mencoba berbalik ke belakang tuk melihat bu Ijah.

Aneh!

Bu Ijah sudah tak terlihat!

Padahal jalan yang dilalui tak ada pohon atau bangunan yang bisa menutupi seseorang dari pandangan.

Kalau tak jauh dari rumah beda lagi, karena di sana ada pohon besar yang waktu itu aku melihat sosok pocong.

Dirasa tak melihat bu Ijah, aku kembali membalikan badan.

Kaget bercampur syok!

Karena bu Ijah tiba-tiba ada dihadapanku dengan mata melotot, seakan menyimpan kemarahan yang teramat dalam.

Wajahku dan wajah bu Ijah hanya berjarak satu jengkal.

Apalagi, melihat ekpresi wajahnya yang seperti itu.

"Ana apa, Kirun? Penasaran? Pengen weruh sapa bu Ijah?" (Ada apa, Kirun? Penasaran? Mau tahu siapa bu Ijah?) tanyanya dengan nada sedikit berteriak.

Seketika, seluruh anggota tubuh bu Ijah mengeluarkan asap yang hitam pekat.

Perlahan asap kian menghilang dan nampak sosok yang begitu menyeramkan.

Wajahnya hitam legam, seperti orang yang habis terbakar.

Mata bulat, yang hampir seakan mau keluar.

Mulut berliur nanah bercampur dengan darah.

Wajah dengan belatung menggeliat, yang seakan sedang menikmati bagian wajahnya.

Busuk! Baunya begitu busuk!

Belum sempat melihat ke seluruh anggota tubuhnya, aku langsung lari, karena begitu ketakutan!

Dengan nafas terengah, aku terus berlari.

Hingga sampai belakang rumah.

Pintu rumah aku ketuk dengan keras dan sesekali memanggil orang didalam rumah.

Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang menjawab panggilanku.

"Semoga ora nggedag ...! (Semoga tak mengejar ...!) ucapku dalam hati.

Ekor mata menangkap sesosok bayangan putih terbang dan perlahan mulai turun.

Aku pun semakin merasa takut dan kembali mengetuk pintu dengan lebih keras.

Akan tetapi, tetap saja. Tak ada jawaban dari dalam rumah.

"Hihihihi, Kirun ...! Kirun ...! Hihihihi." ucapnya membuatku semakin takut.

Tanpa menoleh kearah sosok tersebut, aku berlari mengitari rumah sambil teriak, "Tulung ... Tulung ...." (Tolong ... Tolong ....)

Anehnya, tak ada sesiapa pun yang keluar rumah.

Padahal kalau jam segini kan, biasanya masih ada saja orang yang bergadang.

Dan yang lebih anehnya lagi, semua rumah warga tak ada yang menyalakan lampu.

"Sepi temen ...! Ana uwong beli ...?" (Sepi sekali ...! Ada orang tidak ...?) teriakku, mencoba memanggil. Namun masih tak ada satu orang pun yang datang menghampiri.

"Hihihihi, Kirun ...!" suara itu kembali terdengar.

Aku terus lari dan hampir keluar desa.

Seakan tak ada kata menyerah, sosok itu selalu mengejar kemana pun kaki ini melangkah.

Saking begitu takutnya, aku pun lupa tuk berdoa.

Dan anehnya baru teringat, sekarang.

Aku mencoba berdoa dan membaca surat maupun ayat yang ku bisa.

Tetapi, sosok itu tak menghilang dan malah semakin dekat dan semakin dekat lagi.

Tak ada lagi kemampuan untukku berlari, aku pun pasrah dengan apa yang akan terjadi!

Sampai-sampai, sosok itu sudah berada tepat didepanku. Tepat, dihadapan wajahku ...!

Tiba-tiba, penglihantanku kian memudar.

Gelap ...!

Semakin lama, pandanganku kian membaik.

Alangkah terkejutnya ketika aku membuka mata.

Para warga sudah mengerumiku yang ternyata, tergeletak di jalan setapak.

Jalan yang aku lalui, ketika berpapasan dengan bu Ijah.

"Nang! Bisane turu ning kene?" (Nak! Bisanya tidur disini?) tanya seorang kakek membungkukan badan.

Aku masih kebingungan dan tak bisa menjawab pertanyaannya.

Karena sehabis kakek itu bertanya, warga lain pun menanyakan hal yang sama.

Tak menemukan jawaban dan aku hanya memilih diam.

Warga mengangkat tubuhku.

Karena entah mengapa, aku merasakan lemas dan tak kuat tuk bangkit.

Sambil diangkat menunju rumah, pak Sardi yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani pun angkat bicara dan menjelaskan ke para warga.

Dalam perjalanan menuju rumah, pak Sardi bilang, kalau aku sudah menghilang selama tiga hari dan tanpa sengaja, beliau menemukanku yang tergeletak dijalan itu.

Padahal jalan itu sering dilalui petani, kalau hendak pergi ke sawah.

Tetapi mengapa, tak ada satu orang pun yang melihat adanya aku disitu.

Seakan-akan pandangan mereka tertutup sesuatu dan entah mengapa, tiga hari kemudian tubuhku yang tergolek lemas bisa terlihat.

Sesampainya di rumah, badanku diletakkan di kursi kayu yang berada di ruang tamu.

Awal kedatanganku membuat jamilah syok dan sempat pingsan.

Si Suci menangis, sambil mendekap tubuhku.

"Pa-pak Sardi! Apa bener Kirun ngilang lawase telung dina?" (Pa-pak Sardi! Apa benar Kirun menghilang selama tiga hari?) tanyaku pada pak Sardi.

"Iya nang! Jare Mila, tes tahlilan sira ora balik! Bengi kuen langsung pada goleti, sampe teka ning dalan kuen. Tapi laka pa-pa. Toli gah, gal dina liwat mono, laka uwong laka uwing. Plos bae, anae dalan!"

(Iya dek! Kata Mila, habis tahlilan kamu tidak pulang! Malam itu kita langsung mencari, sampai ke jalan itu. Tapi tak ada apa pun. Lagian setiap hari lewat situ, tak ada orang sama sekali. Cuma adanya jalan, tak ada apapun!) jelas pak Sardi.

Aku diam, tubuhku masih lemas dan mulut pun sukar tuk berucap.

Pertanyaan demi pertanyaan para warga mulai di lontarkan,

" selaman ini kamu pergi kemana?"

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan kamu?"

Dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tetapi ku jawab dengan menggelengkan kepala, karena aku pun tak tahu apa yang terjadi.

Warga yang kecewa dengan jawaban itu, akhirnya mulai meninggalkan rumahku, satu persatu.

Bersambung ... .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status