Mila kembali merapikan pakaian dan juga riasannya di toilet uumum. Ia baru saja mengeluarkan semua ASI yang seharusny diberikan pada putrinya. Namun bagaimana lagi, keadaan saat ini tidak memungkinkan baginya merawat bayi.Mila kembali melihat ke arah cermin dan berkata pada dirinya sendiri kalau ia harus kuat. Mila tidak boleh lemah dan menyerah dengan pilihan yang telah ia buat. Semua yang dilakukannya saat ini untuk kepentingan putri cantiknya semata. Agar bayinya bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan memiliki masa depan.“Aku pasti bisa!” gumam Mila kemudian berbalik dan melangkah menuju kantor SPBU dan mengikuti wawancara untuk mendapatkan pekerjaan.Begitu dipersilakan masuk, Mila pun duduk sambil menunggu giliran. Di sana sudah ada dua orang laki-laki seumurannya yang tengah menunggu giliran. Sesekali kedua pemuda itu mencuri pandang ke arahnya dan membuatnya risih.Salah satu dari mereka pun mulai mendekat pada Mila dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri, “Aku Ri
"Suster Alin ... Suster Alin!" seru Heni, perawat dari ruang NICU pada atasannya."Ada apa Suster, kenapa terlihat begitu panik?"Perempuan berseragam putih itu memperbaiki rambutnya yang menjuntai ke depan. Mengatur sirkulasi napas sebelum menatap wanita dewasa di hadapannya."Maaf suster, saya sedikit panik, tapi bayi Ibu Mila Ariani kehabisan stok air susu milik Ibunya. Sementara Bu Mila sendiri sudah dua hari ini tidak berkunjung kemari," lapor Suster Heni."Bayi Ibu Mila Ariani?" tanya Suster Allin sambil memicingkan mata seoalah teringat akan sesuatu."Bukankah seharusnya bayi itu sudah boleh pulang kemarin?" Suster Alin bertanya lagi."Itu juga Suster," jawab Suster Heny."Sudah coba hubungi nomer Bu Mila?" tanya Suster Alin dengan tenang sambil memperhatikan catatan medis para bayi di ruang NICU.Menjadi perawat memang seharusnya bersikap tenang dan tidak mudah panik. Jika panik, dikhawatirkan pekerjaan akan kacau dan bisa berpengaruh pada kondisi pasien. Suster Alin yang suda
Sampai kini, Novia tak kunjung mengerti bayi siapa yang ada dalam gendongannya. Ditambah lagi perangai bos nya yang selalu terlihat gusar. Sungguh hal yang tak biasa ia lihat."Pak," tegur Novia sedikit mengganggu konsentrasi Radit yang tengah mengemudi, dan mencoba mencari keberadaan wanita yang pernah ia tabrak."Eh, iya Nov," jawab Radit tanpa menoleh ke arah asistennya."Maaf Pak, kalau boleh tahu, bayi siapa ini sebenarnya?" tanya Novia sambil mengayun-ayunkan bayi dalam dekapannya dengan begitu luwes.Huft! Radit menghembuskan napas panjang. Sambil memegang kemudi, ia mulai menceritakan perihal peristiwa tabrakan yang melibatkan dirinya. Termasuk tentang bayi yang ada dalam gendongan Novia saat ini.Radit menceritakan pelan-pelan tapi cukup singkat. Meskipun begitu, apa yang diceritakan oleh Radit mampu membuat Novia terkejut."Jadi, Ibu bayi ini sengaja meninggalkan bayinya di Rumah Sakit, Pak. Jangan-jangan hamilnya karena kecelakaan," Novia mulai menduga-duga."Entahlah, tapi
Naura memperhatikan tas belanja yang ada di atas ranjangnya. Wanita muda ini baru saja pulang dari berbelanja aneka produk fashion branded."Baik banget Fajar," gumamnya sambil menempelkan gaun pada tubuh rampingnya, berputar-putar menghadap cermin.Sebenarnya berbelanja pakaian bagus sudah bukan hal asing lagi bagi Naura. Saat masih menikah dengan Radit, ia juga sering dibelikan macam-macam, bukan hanya pakaian, tapi juga perangkat elektronik. Namun, apa yang diberikan Fajar terasa berbeda oleh Naura, seperti ada kesan tersendiri.Barang branded untuk Naura tak pernah dirasa memberatkan bagi seorang Radit. Setidaknya pada tiga tahun terakhir ini, saat kesuksesan telah menghampiri dirinya. Apa saja yang diminta oleh Naura, tentu mudah dikabulkan oleh Radit, kecuali satu hal, seorang bayi.Radit membebaskan Naura untuk membeli apapun yang ia suka. Tanpa membuat perempuan itu memikirkan biaya lain-lain. Untuk bayar ini itu seperti listrik, air, pajak bahkan belanja bulanan sudah diurus
Fajar melempar kunci mobil begitu tiba di dalam apartemennya. Dia baru saja menemani si cantik berbelanja.Wanita cantik itulah yang selalu menemani hari-harinya belakangan ini. Wanita yang senantiasa ia manja kapapun, dan dimanapun. Si cantik yang telah membuatnya melakukan hal-hal di luar nalar.Wanita itu adalah Naura, yang statusnya belum bercerai secara resmi dengan sang suami. Wanita yang ditemui di minimarket kantornya secara tak sengaja. Saat pemilik paras ayu itu sedang bingung membayar belanjaannya, lantaran kasir yang tak memuluki uang kembalian.Saat itu ia tengah mengantre tepat di belakangnya. Fajar yang sedikit tegesa-gesa karena harus memeriksa kembali materi presentasi merasa tak sabar, dan bermaksud membayar belanjaan wanita itu saja agar cepat."Jadikan satu dengan belanjaan saya saja Mbak," katanya saat itu sambil menunjukkan selembar uang berwarna biru.Wanita di depannya pun menoleh dan saat itulah Fajar merasa ada yang bergetar dalam dirinya. Kecantikannya cukup
Bayi Kinanthi seolah enggan untuk lepas dari gendongan Radit. Setiap kali bayi mungil itu diletakkan di atas pembaringan pasti akan menangis, namun saat tangan Radit menyentuhnya tangis itu pun sirna. Radit berpikir mungkin ini yang dinamakan sudah bau tangan, sebuah istilah yang sering didengar jika di rumah ada seorang bayi.Pria yang usianya mulai mendekati empat puluh ini pun akhirnya menemani Kinanthi sampai tertidur, baru kemudian berangkat ke tempat kerja. Tanpa ia sadari, Ibu Wuri diam-diam memperhatikan sambil membatin andai saja bayi mungil itu benar-benar bisa dimiliki.Tak dapat dipungkiri, wanita berusia senja ini mendambakan kehadiran seorang cucu. Kehadiran Kinanthi telah memberikan warna tersendiri bagi hari-harinya.Keinginan itu segera ditepiskan olehnya. Sebagai seorang Ibu, seharusnya dirinya berempati, bisa merasakan perasaan Ibu kandungnya yang jauh dari putrinya. Juga merasakan ketidak sempurnaan Radit yang belum bisa memiliki keturunan."Bu, Radit titip Kinan y
SUV putih itu sudah meninggalkannya dengan menyisakan karbon monoksida. Melanjutkan perjalanan, tapi bukan tujuan semula, mencari tempat untuk melancarkan rencana yang datang tiba-tiba. Sementara perempuan operator SPBU itu melanjutkan tugasnya.Pengendara SUV itu memilih memarkir mobilnya pada warung di samping SPBU. Menunggu sang operator SPBU selesai jam kerjanya.Agar tak curiga, ia membeli sebotol minuman kemasan dan gorengan untuk dinikmati di sana. Sesekali melirik ke arah SPBU."Huh sudah jam dua, tapi dia belum keluar juga. Mungkin sekarang dia lagi ganti baju atau ngobrol bareng teman-temannya kali," pikirnya sambil menikmati gorengan."Lagi nunggu Mas?" tanya pemilik warung."Iya Pak, nunggu teman saya yang kerja di situ," Ia menunjuk ke SPBU.Pria penjaga warung hanya mengangguk kemudian mengangkat bahu. Seolah apa yang ia katakan adalah dusta.Mungkin bagi penjaga warung, akan tampak aneh jika orang sepertinya memiliki kawan yang bekerja di SPBU. Namun, bisa jadi kawannya
Sejujurnya Mila senang dengan pertemuannya dengan Radit. Dalam hati ia sangat yakin kalau pria yang menemuinya memperlakukan putrinya dengan baik. Bahkan memberikan nama yang cantik untuknya. Namun sebagai Ibu, ia tak bisa menyembunyikan rasa rindu akan putrinya. Radit melirik Mila yang berdiri di sampingnya saat memesan makanan. Mila yang ada di sana hanya cemberut dan memandangnya tak bersabat.Seharusnya memang tak ada alasan untuk Mila merasa kesal dengan Radit. Pria itu telah bertanggung jawab setelah mencelakainya.Mungkin ia hanya ingin melindungi diri dan memberi kesan kalau ia bukan perempuan gampangan."Kamu boleh kesal dengan saya, tapi tolong ini makanannya dibayar dulu. Dompet saya kan masih dalam tas kamu," kata Radit lirih sambil mendekat ke arah Mila.Saat itulah perempuan muda ini tersenyum malu dan mengeluarkan dompet milik Radit. "Ini Pak," katanya sambil menunduk malu. Mila kembali menerima dompet milik Radit setelah pria itu selesai membay