Dengan langkah gontai Radit menuju sofa di depan kamar tidurnya setelah merekam adegan Naura selama tiga puluh detik. Sejenak memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam.
"Tidak! Aku tak boleh menunjukkan kalau aku terluka. Aku tak boleh marah, aku harus tahu apa keinginan Naura yang sebenarnya." Radit kemudian mengacak-acak rambutnya, wajahnya mulai panas karena pemandangan yang tadi ia lihat.
Kado yang rencananya akan diberikan pada istri diletakkan di samping. Mengambil ponsel pintarnya dan mencoba untuk fokus di sana. Walau sebenarnya telinga masih terasa sakit mendengar suara desahan dan kikikan manja dari Naura, yang biasanya selalu dilewatkan bersama dirinya.
Batin Radit terasa sakit saat mendengar Naura menjerit, dan menyebut nama seorang laki-laki dan bukan namanya. Radit mengepalkan tangan dan meremas kuat-kuat, melangkah ke pantry untuk mengambil air dingin dan mendinginkan pikiran.
"Sungguh tak disangka," sesal Radit sambil melirik ke arah pintu kamarnya yang belum juga terbuka lebar. Ia kembali meminum air dingin dan menghabiskannya dengan cepat lalu memejamkan mata dan menghembuskan napas secara perlahan-lahan.
Dengan lebih tenang, Radit mulai melangkah menuju sofa tempat ia duduk tadi. Ia masih ingin memberi kejutan bagi Naura. Namun sekarang, ia yang mendapatkan kejutan itu.
***
Naura telah merapikan penampilannya setelah bergumul dengan laki-laki yang bersamanya. Rambut panjangnya kembali digulung rapi.
Wanita di awal tiga puluh itu terlihat begitu bahagia. Wajahnya terlihat lebih cerah dibanding pagi tadi.
Di belakangnya, tampak seorang pria tengah merapikan dasi. Pria itu pun tak kalah rapi dengan Naura, walau rambutnya masih sedikit basah karena tidak menggunakan hair dryer.
"Kamu pinter banget deh sayang," puji Naura mendaratkan bibir merekahnya pada pipi laki-laki itu. Lelaki itu adalah Fajar yang bekerja di gedung yang sama dengan Naura.
"Apa sih yang nggak buat kamu, Sayangku," balas Fajar kemudian mengecup punggung tangan Naura.
"Kita balik kantor yuk!" ajak wanita berkulit putih itu menggandeng tangan Fajar.
Dengan manja, Naura melangkah berdempetan dengan sang kekasih. Bersikap seperti layaknya pasangan pengantin baru yang tak ingin berjauhan satu sama lain.
Perlahan, Fajar membuka pintu kamar Naura, dan saat itulah sebuah suara mengejutkan mereka berdua,— "Kalian sudah selesai?"
Deg! Naura seolah tertembak. Tak mampu berkata atau berbuat apa-apa begitu melihat sosok yang menegur mereka. Ia pun memilih untuk mengalihkan muka dan menyembuyikan rasa malu akibat tertangkap basah.
Naura melepaskan gandengan Fajar dan berganti meremas-remas tangannya sendiri dengan gugup. Fajar pun berusaha untuk memandang ke arah pria yang menegurnya, tapi tetap tak bisa menutupi kegugupannya. Walau wajahnya terangkat, tapi beberapa kali bola matanya mengarah ke bawah.
Kekesalan dan kegelisahan Radit sendiri sudah pergi. Ia sudah lebih tenang dan siap menghadapi segala kemungkinan yang akan datang.
"Eh, Mas Radit, sudah lama Mas?" tanya Naura dengan suara yang terdengar dipaksakan.
Saat ini Naura berharap kalau suaminya tidak tahu apa yang dilakukan bersama Fajar di kamar. Namun sepertinya itu harapan yang konyol. Radit sudah melihatnya keluar kamar bersama laki-laki lain. Hal yang tak lazim dilakukan oleh tamu yang datang ke rumah.
"Kenapa kalian berdua terlihat gugup begitu, duduklah sini!" Radit menepuk sofa dan mengundang mereka untuk duduk di hadapannya. Sikap Radit yang tenang ini jelas membuat pasangan selingkuh ini salah tingkah.
"Naura, tolong buatkan minum untuk kita bertiga!" perintah Radit.
Cepat-cepat Naura melakukan apa yang diminta oleh suaminya, tanpa bertanya untuk apa. Ia pun memilih es sirup untuk disajikan di siang yang panas ini. Membuatnya dengan tangan yang bergetar.
Takut-takut, Fajar mulai mendekat ke arah Radit dan duduk di hadapannya.
"Silakan duduk! Siapa namamu?" tanya Radit tenang sekan tak terjadi apa-apa.
"Saya Fajar, Pak."
Diam-diam Radit mengamati sosok Fajar dari atas ke bawah. Ukuran dan bentuk tubuhnya tak jauh beda darinya. Hanya sepertinya Fajar terlihat lebih muda.
"Kerja dimana?" tanya Radit lagi.
Fajar justru terlihat bingung dengan sikap Radit yang menanyainya seperti seorang Ayah pada pria yang akan mengajak kencan putrinya. Tak ada nada kemarahan atau makian yang keluar dari mulut pria di hadapannya.
"Saya bekerja di PT. Gilang Persada, Pak."
"Apa jabatanmu?"
"Saya pimpinan cabang kantor Wahidin," jawabnya berusaha tenang dan masih memikirkan apa yang akan dilakukan oleh suami Naura padanya.
Radit mengernyitkan dahi mendengar jawaban dari Fajar. Mengingat Jl.Dr. Wahidin adalah area tempat Naura bekerja. Mungkinkah hubungan mereka sudah lama?
"Sudah lama kenal Naura?"
"Lumayan, kebetulan kami satu gedung."
"Hmm," jawab Radit misterius lalu mengangguk-angguk.
"Apa kamu sudah menikah?" tanya Radit lagi sambil diam-diam memperhatikan jemari Fajar, mencari-cari apakah ada cincin yang melingkar di sana.
Fajar diam sejenak, kemudian menggeleng. Berharap agar pembicaraannya dengan suami Naura yang misterius ini berakhir.
Naura pun tiba-tiba datang sambil membawa tiga buah gelas es sirup dan duduk di samping Radit dengan kepala menunduk. Ia tak berani menatap suami serta selingkuhannya.
"Silakan diminum, tenang saja yang buat Naura bukan saya, jadi tak akan ada racun atau obat tidur di situ," kata Radit dengan penuh satir.
Masih dengan penuh tanda tanya, Fajar pun mengambil dan meminum es sirup buatan Naura perlahan. Radit sendiri menegaknya dengan cepat. Berusaha mendinginkan pikirannya lagi, takut kalau-kalau ia emosi saat mengajukan pertanyaan berikutnya.
"Fajar, apa kamu mencintai Naura?" tanya Radit lagi sambil memandang ke arah Fajar dan Naura bergantian.
Kini Naura pun ikut bingung dengan sikap suaminya. Wanita itu menunduk dan memperhatikan rok nya yang tersingkap lalu menutupnya dengan bantal sofa.
Radit tersenyum sinis, dalam hati ia ingin tertawa. Untuk apa menutupi paha sekarang, bukankah ia dan Fajar sudah pernah melihat Naura tanpa busana dan merasakan tubuhnya.
Kembali Radit mendekatkan wajahnya pada Fajar. Lalu mengulang pertanyaan yang sama.
"Maaf," balas Fajar.
"Saya tidak meminta Anda untuk meminta maaf, saya hanya ingin tahu apakah Anda mencintai Naura atau tidak," kata Radit dengan tenang namun membuat Fajar dan Naura merasa bersalah.
"Ya, saya mencintainya,” jawab Fajar.
Radit meletakkan jari pada dagunya dan mengangguk. Merasa cukup dengan informasi yang dibutuhkannya.
"Baiklah kalau begitu, saya rasa Anda bisa tinggalkan kami dulu. Biar saya selesaikan masalah saya dengan Naura, yang saat ini masih sah menjadi istri saya," usir Radit dengan halus sambil menekankan kata masih sah menjadi istri saya pada Fajar.
"Keputusannya nanti akan disampaikan oleh Naura," tambah Radit.
Kini hanya Naura yang tampak berkaca-kaca dan bimbang memperhatikan Fajar yang sekarang membelakanginya menuju pintu keluar. Radit yang melihat ini pun berkata pada Naura, “Silakan, kalau kamu mau mengantar tamumu!”
Naura masih menunduk saat kembali ke ruang tamu setelah mengantar Fajar ke depan rumah dan menutup pagar. Radit suaminya masih duduk di sofa dan menoleh ke arahnya. “Duduk di sini Naura, Mas mau bicara!”Naura mematung, tak langsung menuruti permintaan Radit, sampai suaminya harus mengulang dua kali. “Naura!” panggil Radit dengan suara yang masih lembut.Naura langsung mengambil tempat di samping suaminya sambil melihat ke arah lantai. "Naura, sekarang Mas minta kamu jujur sama Mas!" tegur Radit lembut sambil memegang kedua bahu istrinya."Maafkan saya Mas.""Naura kecewa dengan Mas? Naura cinta dengan Fajar?"Naura hanya tertunduk dan terisak. Ia tak bisa menjawab pertanyaan suaminya. Semua terasa berat, ia tahu ia bersalah namun ia sadar kalau saat ini perasaannya untuk Radit telah pudar seiring kedekatannya dengan Fajar."Maaf, Mas. Seharusnya saya nggak tergoda.""Naura bahagia?" tanya Radit santai dan malah terkesan membingungkan."Eh, mmm,—" Naura tampak tak bisa melanjutkan kal
Wanita paruh baya itu mengangkat dagunya dengan bangga setelah menyatakan argumennya barusan. Namun Naura merasa risih dan seperti tertampar dengan sikap ibunya itu dan memprotes,"Ma, tapi kan,—""Naura benar Ma," jawab Pak Rustam tegas."Pokoknya Mama nggak mau tahu, rumah itu ada hak nya Naura!" Bu Fatma bersikeras.Bu Fatma memang keras kepala. Jika sudah berkeinginan maka harus terlaksana. Tentu ini membuat suaminya, Pak Rustam dan putri semata wayangnya Naura merasa malu."Naura, ingat nggak waktu suamimu yang nggak berguna ini jadi pengangguran? Siapa yang bayar listrik, air belum kalau ada genteng bocor, itu pakai uang kamu kan, berarti ada hak kamu donk di sana!" seru wanita paruh baya ini bersikeras."Tapi, Ma,—""Nggak ada tapi-tapian, kamu nurut saja sama Mama. Dari dulu kamu sudah Mama suruh untuk ninggalin laki-laki nggak berguna ini, tapi apa, kamu keukeuh kan? Sekarang kamu sendiri yang tahu akibatnya, menikah delapan tahun nggak punya anak juga karena suamimu mandul."
Mobil SUV itu segera berhenti di depan UGD Rumah Sakit. Dengan sigap petugas paramedis pun membawa wanita yang tertabrak itu. Kondisinya cukup parah, darah pun mulai menetes pada bagian pangkal paha wanita korban kecelakaan itu.Sambil mengacak-acak rambutnya yang biasanya klimis, Radit bersandar dan terlihat sangat cemas. Telapak tangannya terasa dingin, menunggu hasil penanganan tim medis."Maaf, Pak," tegur seorang perawat tiba-tiba mendatanginya."Ya, ada apa suster?" jawabnya."Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan, sementara bayinya harus berada di incubator. Bapak bisa menyelesaikan administrasinya.""Incubator?""Benar Bapak, karena berat badan lahir rendah dan belum cukup umur. ""Oh, ya baik-baik suster. Saya akan segera mengurus administrasinya."Radit pun segera ke kasir dan mengurus administrasi pasien atas nama Mila Ariani. Memberikan fasilitas kamar kelas satu dan melunasi semua biaya perawatannya."Maaf Mbak, apa hanya ini biaya yang harus saya lunas
“Raditya Prayoga?” gumam Mila sendirian disaat suster telah meninggalkan ruangannya. Yang lebih mengejutkan untuknya, kenapa suster mengatakan kalau laki-laki itu adalah suaminya.Nama Raditya Prayoga memang terdengar asing baginya. Ia mencoba berpikir dimana ia pernah mendengar nama itu.Mila pun memijat-mijat pelipisnya yang terasa pusing sambil mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya ingat saat itu tengah berjalan mencari tempat berteduh dan tiba-tiba semua berubah gelap.Kembali ia memperhatikan salinan tagihan Rumah Sakit yang jumlahnya tak sedikit. Biaya kamarnya saja mendekati dua juta per malamnya. Kemudian memperhatikan surat dan kartu nama Raditya Prayoga yang ia terima.Tadi ia hanya membaca suratnya sekilas, dan kini ia tahu kalau dia adalah korban kecelakaan dari pria bernama Raditya Prayoga. Mila merasa lega sekarang, karena pria yang menabraknya bertanggung jawab. Ia bersyukur dirinya tak mendapat luka serius dan bayinya selamat."Hmm sepertinya Raditya
Radit berjongkok di depan lemari, dan mengambil dokumen yang diperlukan untuk melayangkan gugatan pada Naura. Saat itulah ia menemukan album bersampul beludru merah hati.Itu album foto pernikahannya dengan Naura. Mendadak Radit lupa akan tujuannya membuka lemari. Justru memperhatikan album foto di sana dan membuka lembar demi lembar. Gambar Naura dengan riasan paes ageng dan alis tanduk kijang benar-benar mengganggu pikirannya. Sedih, tentu saja, sampai-sampai berhasil membuat matanya memerah."Kecantikan ini tak lagi bisa kupuja," gumamnya.Bohong jika Radit tak lagi mencintai Naura. Sampai hari ini hanya Naura yang mampu mengisi ruang di hatinya. Meskipun ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja.Sungguh berat hari-harinya untuk terus berpura-pura. Namun apa mau dikata Naura sudah tak menginginkan pernikahan ini lagi.Dengan kekuatan yang dipaksakan, Radit menutup album foto pernikahan mereka. Kemudian ia menyimpan dalam sebuah kotak dan menutupnya rapat-rapat."Selamat ti
Pernyataan Radit yang tiba-tiba memang memberikan kejutan bagi Ibunya. Beliau tak mengira, hubungan putranya yang sudah berjalan selama delapan tahun dan terlihat baik-baik saja akhirnya kandas.Apa yang bisa dilakukan oleh wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih ini hanyalah mendengarkan keluh kesah. Bersikap seperti layaknya seorang Ibu pada umumnya dan memberi ketenangan.Perlahan ia mengangkat wajah Radit yang berada dalam pangkuan. Menatap lekat-lekat wajah sang putra.Radit menatap wajah teduh di hadapannya. Wajah yang selalu memberi kedamaian untuknya dan juga saudara-saudaranya. Sosok panutan bagi mereka."Tidak bisa membimbing bagaimana Le?" tanya Ibu Wuri pada sang putra."Pernikahan Radit dengan Naura sebentar lagi berakhir Bu. Radit baru saja melayangkan gugatan cerai."Kembali wanita lanjut usia itu mengusap rambut putranya dengan lembut. Seperti yang selalu dilakukan saat anak-anaknya masih kecil dulu."Apa permasalahan rumah tanggamu tidak bisa lagi diselesai
Setelah berjalan tanpa arah yang jelas, akhirnya perempuan berambut panjang itu berhenti pada sebuah rumah berlantai dua. Rumah bercat putih yang tak terlalu mewah dan bertuliskan 'Menerima Kost'."Mungkin aku harus berada di sini sambil mencari pekerjaan. Semoga saja di sekitar sini masih ada lowongan kerja untukku," gumamnya kemudian mendorong pagar. Perempuan itu Mila, yang terpaksa meninggalkan bayi mungilnya di Rumah Sakit. Sambil menghela napas panjang dan menghitung sampai tiga dalam hati, ia memberanikan diri mengetuk pintu. "Permisi, Assalamualaikum!" serunya saat mengetuk pintu berwarna cokelat terang. Terdengar seorang berteriak 'sebentar' dari dalam dan langkah kaki menuju tempatnya berdiri. Kriet! Pintu cokelat terang itu pun terbuka. Seorang wanita paruh baya, yang mungkin seumuran dengan Ibunya muncul dengan daster putih bermotif bunga biru. Wajah wanita itu tampak teduh dan penuh kasih, sangat berbeda dengan ibu kosnya yang lama."Waalaikumsalam," jawabnya sambil
Pria bertubuh tinggi ini berjalan dengan tergesa menuju ruang mediasi. Sosok wanita berdagu belah tengah duduk di kursi yang ada di depan ruangan itu. Ia tak sendiri, ada wanita lain dan seorang pria berdasi yang sepertinya seorang pengacara.Seketika itu Radit merasa sangat tidak nyaman melihat mereka. Sebenarnya bukan pria berdasi dan wanita berdagu belah itu yang membuatnya terganggu. Namun wanita paruh baya yang turut serta. Siapa lagi kalau bukan Bu Fatma. Wanta yang telah melahirkan perempuan cantik berdagu belah, Naura. Radit hanya menghembuskan napas panjang, berharap segalanya berjalan lancar. Atas nama adab dan kesopanan Radit tetap menyalami mantan mertuanya. Namun sayang, wanita itu justru menepiskan tangannya. Naura sendiri memandangnya dan tersenyum malu karena merasa tidak enak akan sikap Ibunya. "Kamu ini nggak berubah ya Radit, tetap menggampangkan masalah. Sidang pertama, malah datang terlambat," cecar Bu Fatma padanya. Pria berkulit cokelat itu menyipitkan kedu