Share

Bab 8. Papa Amelia Mulai Mengontrol

Bab 8. Papa Amelia Mulai Mengontrol

“Sayang,  kita baru aja pindahan.  Kok, si Yati langsung disuruh kerja berat, gitu?  Mana anak-anaknya masih kecil-kecil lagi!  Kan, repot, Sayang!  Kalau di rumah Mama, Mama bisa jagain  anak-anaknya.  Kalau di sini, gimana?  Kasihan, lho!” protes Mas  Dar tampak sangat tidak suka.

“Lah, bukannya Mbak Yati itu  pembantu kita?   Tugasnya bersih-bersih, dong!  Lagian, dia aku izinin, kok, kerja sambil momong anak!” sergahku.  “Ayo, dong,  Mas!  Antarin aku!”  perintahku  tak peduli akan ketidak senangannya.

“Sebenarnya kita mau ke mana?  Masih capek, kan, Sayang?  Kalau mau ngontrol peternakan, besok aja, ya!  Uang penjualan gak mungkin diselewengkan oleh  kasir kamu, kan?”

“Bukan mau ke peternakan,  tapi  aku  mau ke salon,”  sergahku.

“Apa, salon?”  serempak keduanya ternganga.

“Ya, aku mau smoothing sekalian perawatan, pedicure, menicure dan semuanya   di  salon termahal di kota ini. Ayo, berangkat!”

**

POV  Yati

Dadaku rasa terbakar saat melihat Si kribo  menggamit tangan  kanan Mas Dar, dengan setengah memaksa dia tarik ke luar  menuju mobil.

Aku tidak percaya dengan perubahan drastis sikap perempuan itu.  Dia yang semalam begitu lemah lembut, penurut dan tidak banyak nuntut, pagi ini tiba-tiba berubah ketus, jutek dan memaksa.  Tadi pagi dia paksa aku nyuci mobil,  sekarang dia memerintahkan aku   membersihkan  rumah sebesar ini sendirian. Rumah  yang  sudah lama tak ditempati, bagaimana caraku membersihkan semua debu  yang menempel  di perabotan dan lantai  itu sendirian, coba?

“Bentar, ya!”  kata   Mas Dar  dengan isyarat mulut, tangan kirinya melambai ke arahku dan anak anak.  Bagas  berlari mengejar, ketika mereka mulai masuk  ke dalam mobil.

“Papa  mau  ke mana? Ikut, Pa!”  Tiba-tiba anakku berteriak.

Gawat!  Bagas  memanggil Mas Dar  dengan sebutan Papa.  Bagaimana ini?  Kenapa Bagas lupa agar tak memanggil Papanya  jika ada  si kribo  di dekat Mas Dar?  Tuh, kan, si kribo gak jadi masuk mobil. Dia malah berjongkok kini menyamakan tinggi tubuhnya dengan anak sulungku  itu.   Gegas aku menghampiri mereka.

“Papa?  Kamu  bilang apa tadi, Sayang?” tanya perempuan  berambut ikal tebal itu seraya   membelai pucuk kepala Bagas.  Aku berdebar hebat. Terbongkar sudah  rahasia ini. Keluarga Mas Dar pasti menyalahkan aku karena tidak bisa menjaga  anak.

“Sayang, Yati dan anak-anaknya ikut  keluarga kami sejak Bagas masih kecil. Adiknya  juga  masih  berusia  beberapa bulan waktu itu.   Karena kehilanagn sosok ayahnya, Bagas terbiasa  memanggilku Papa. Kamu gak keberatan, kan, Sayang, walaupun dia memanggilku Papa?”   Mas Dar mengarang alasan.  Semoga si kribo percaya.

“Hem,  aku  keberatan, Mas!  Sangat keberatan,” jawab si Kribo tegas.

Spontan aku dan Mas Dar saling tatap.  Amel  berdiri, lalu menoleh ke arahku.

“Tolong ajari anak kamu, ya!  Mulai sekarang jangan panggil suamiku dengan sebutan Papa  lagi! Aku tidak suka!”  tegasnya, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. “Berangkat Mas!” perintahnya pada  Mas  Dar.  Aku melongo.

“Papa!  Bagas mau ikut Papa!”  jerit Bagas saat  mobil itu mulai  melaju ke luar halaman, lalu hilang di kelokan jalan.    Arini, putri keduaku ikut  menangis mendengar  tangis   abangnya.  Kutenangkan  keduanya, kubawa kembali masuk ke dalam rumah.

Sungguh tak  habis pikir. Kok bisa Amelia  bersikap  sedingin itu.  Ada apa, sih?  Kenapa dia bisa berubah. Bukankah kemarin dia  adalah  perempuan paling bodoh   dan super   oon yang pernah kukenal?   Aku tidak bisa melanjutkan rencana ini kalau begitu. Aku gak mau jadi babu beneran di  rumah ini. Sementara dia enak – enak sama suamiku, aku  kerja banting tulang mengerjakan pekerjaan babu. 

Ponselku tiba-tiba berdering.  Mbak Dina menelepon, kebetulan sekali. Aku akan laporkan hal ini.

“Halo, Yat!  Ini Mama.  Gimana rumahnya? Benaran besar, enggak?  Sebesar apa? Ada AC-nya, kan?  TV nya berapa inci?  Eh, itu, perabot-perabotnya pasti   mewah-mewah, kan?”

Aku tak bisa menjawab. Mama mertuaku nyerocos tanpa memberi aku kesempatan untuk menjawab.

“Ini Mbak Dina mau bicara, penting katanya!” kata Mama lagi, padahal belum sempat kujawab  satupun  pertanyaannya.

“Eh, jangan lupa, begitu dapat duit dari si Amel, kalian langsung bayar  hutang ke  Mbak!  Dua belas juta!  Gak usah  pakai bunga  gak apa-apa!  Yang penting  kalian bayar tu utang, paham!” 

Belum sempat aku menyapa, Mbak Dina sudah meyerangku dengan kalimat itu.  Dua belas juta adalah uang yang dipinjam Mas Dar pada suami Mbak Dina  buat modal usaha  dulunya. Entah duitnya ke mana sekarang. Kata Mas Dar usahanya bangkrut. Tetapi untuk bayarnya, aku ikut dikejar-kejar.  Dasar kakak ipar  payah!

“Kamu dengar tidak?  Eh,   Yati!  Kamu lagi tidur, ya. Terlen adengan kemewahan rumah itu!”  teriaknya membuat gendang telingaku serasa  mau pecah.

“Aku dengar, Mbak!  Tapi, aku ragu!”

“Ragu kenapa?”

“Si kribo udah berubah. Dia gak sebodoh dan senaif kemarin lagi.”

“Maksudnya?”

“Aku  yang pura-pura  jadi ART, malah beneran dijadiin  babu di sini. Padahak janji kita,  aku berperan sebagai ART  bohongan. Aku gak sanggup kalau begini, Mbak!  Aku nyerah aja, deh!”

“Eh, kamu!  Jangan sampai  Dina dengar ucapan  kamu ini, ya!  Kamu pasti dilabrak!  Kalau kau mundur, gimana cara kamu bayar  utang makan  selama   bertahun-tahun sama dia, hah? Mikir pakai otak!  Suamimu itu gak becus kerja apa-apa!  Sekarang dia udah jadi  Bos, kok kamu malah mau mundur!  Mikir, dong!”

“Tapi, Mbak!  Aku gak mau jadi babu beneran!”

“Pakai, dong otak kamu, Yati! Gak mungkin si oon Amelia bisa ngalahin kamu!   Pikirkan gimana cara menaklukkan si kribo itu! Kami juga pasti bantu,  tenang aja!  Yang penting kau jalani dulu gimana pun  kedaan di situ! Paham!”

“Ya,udah, deh, Mbak!  Aku coba. Udah, ya, Mbak, ada  mobil  masuk itu, sepertinya ada tamu.”

“Ada tamu?  Hati-hati kamu, ya!  Jangan samapi terbongkar  rahasia kita!”

“Iya, Mbak.”

Segera  kuakhiri  percakapan itu, lalu bergegas  ke teras. Seorang laki-laki yang sudah berusia lanjut dan memakai tongkat  turun dari dalam mobil  Fortuner  berwarna silver.  Itu Pak Anwar, papanya  si kribo.  

“Bapak?” sambutku  mengangguk hormat.

“Kamu siapa, Amelia dan Darfan  mana, kok mobilnya tidak ada?”  tanyanya mengedarkan pandangan ke seluruh teras rumah dan juga garasi.

“Saya Yati, Pak, ART-nya Bu Amel. Bu Amel dan Pak Dar sedang keluar. Maaf, kalau ada pesan nanti saya  akan sampaikan,” jawabku sopan.

“Oh, jadi kamu   ART yang diceritakan Amel  tadi pagi?”

“Iya, Pak, benar.”

“Dang! Biar saya nunggu Amel saja, kamu mau ke bengkel  kamu bilang, kan!  Ya, udah!  Kalau udah kelar langsung jemput saya lagi di sini, ya!” titahnya  kepada  supir  pribadinya.

“Baik, Pak!” 

Pak Anwar  lalu berjalan masuk ke rumah. Aku mengikutinya.

“Lho, itu anak-anak siapa?” Pak Anwar  menunjuk Bagas  dan Arini yang sedang bermain di ruang keluarga. 

“Mereka anak-anak saya, Pak. Kata Bu Amel, boleh kok, saya kerja sambil bawa  anak,”  jawabku sedikit  gelisah.

“Mama!  Simpan ini,   mau   dirobek Adek!” Tiba-tiba Bagas menghampiri kami  dengan selembar  kertas  di tanganya.  

“Kertas apa ini?” Pak Anwar spontan meraih benda itu. “Ini  Kartu Keluarga? Jadi kamu  istrinya  Darfan?!”  teriaknya kaget. Tiba-tiba matanya melotot sambil memegangi dada.

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nur Hidayati
Rasain tuuu, ayah dan ibu benalu berniat licik... permainan yg indah amel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status