Share

Bab 9. Papa Amelia Terkapar

Bab 9. Papa  Amelia Terkapar

“Kenapa, Pak?” tanyaku tak kalah  kalah kaget.

Pak Anwar  menunjukku  dengan tangan gemetar.  Kenapa dia? Kertas yang bertuliskan Kartu Keluarga  ada  di tangannya. Kertas  yang ditunjukkan oleh Bagas  putra sulungku. Kartu Keluarga?  Astaga! Jadi, kertas yang disodorkan bagas tadi adalah kartu keluarga kami? 

“Ja – di, Dar – fan,  su -  a – mi, ka – mu?  Ka … li … an, pe … ni … pu!” ucap Anwar  terbata-bata.  Lelaki  paruh baya itu jatuh tiba-tiba terkapar.

“Pak!  Pak Anwar!”  Spontan  aku menghampirinya.  “Bapak kenapa, Pak?” tanyaku seraya mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi pria itu tetap diam, tak ada respon sama sekali. Sepertinya dia mati. Eh, pingsan barangkali.

“Pak Anwar! Bangun, dong! Biar aku jelasin, ya! Ini hanya kertas! Kenapa Bapak pinsan hanya karena selembar kertas.  Oh iya, ini Kartu  Keluarga, eh, anu, Pak!  Ini memang betul Kartu Keluarga kami.  Saya memang istri sah Mas Darfan, tapi Bapak jangan mati dulu, dong!  Pak Anwar! Sadar, Pak! Bapak enggak usah kaget! Jangan mati, dong, Pak!  Meskipun itu lebih baik, sih? Tapi, jangan sekarang, dong, Pak! Bagaimana ini?” cerocosku kebingungan.

Tubuh laki-laki itu tetap diam. Apa yang harus aku lakukan sekarang, ya? Oh, menyelamatkan Kartu Keluaraga ini dulu. Urusan  nyawa  laki-laki ini, itu nanti.  Urusan ke sejuta. Biar aja dia mati sekalian. Kalau dia mati, makin gampang menguasai di Kribo. Setelah ayahnya, baru giliran si Kribo yang akan aku depak, hehehehe …. Ternyata begitu gampang menguasai harta mereka.

Pelan aku menarik kertas  itu dari  genggamannya.  “Maaf, ya, Pak!  Kartu Keluarga ini saya simpan, dulu! khawatir ditemukan  oleh si Kribo anak gadis Bapak,” ucapku  lalu  menyimpan kertas itu kembali ke dalam  tas  map plastik, lalu menyembunyikanya  di antara  tumpukan baju.  Setelah beres, baru aku merogoh ponsel di saku daster lusuhku, lalu mulai mencari bantuan.

**

POV 3

[Mohon maaf   buat  reader  semua, selanjutnya  cerita ini menggunakan POV 3, ya. Agar  cerita ini lebih ngalir  dan  tidak susah berganti-ganti POV .  Semoga  tetap suka.  Selamat membaca.]

Mobil yang dikemudikan Darfan baru saja memasuki hamalan sebuah salon paling terkenal di  kota  ini.  Amel buru-buru turun dan  berjalan memasuki gedung berlantai tiga. Sementara  Darfan masih sibuk  memarkirkan  mobil di posisi paling  tepat.  Saat itulah ponselnya   tiba-tiba berdering.

“Ya, Sayang?  Baru aja sampai ini, ada apa?  Bagas gak nangis lagi, kan?” tanyanya  setelah  menekan panel  hijau bergambar  telepon.

“Gawat, Mas! Gawat!”  lapor  Yati   dengan nada panik.

“Apanya yang gawat?”  Darfan  ikut panik.

“Papanya si kribo mati!”  jawab Yati  dengan suara  bergetar.

“Apa?  Mati? Maksudnya?”  Darfan kebingungan.

“Cepat balik,  Mas!  Aku bingung!  Papanya si kribo di  sini, dia membaca  Kartu Keluarga kita yang sempat  dimainkan oleh anak-anak. Terus, dia jatuh, mungkin mati!”

“Papanya  Amel  datang ke situ?  Dia baca Kartu Keluarga kita?  Dia mati?  Dia udah tahu, dong, kalau kita suami istri?”  cecar  Darfan   semakin bingung.

“Iya, makanya  dia kaget mungkin, cepat datang, Mas!  Aku gak mau dituduh bunuh dia, Mas!”  Yati semakin panik.

“Iya, iya. Kamu tenang, ya!  Jangan panik! Aku panggil Amel dulu, kami segera datang!”

Darfan menutup telepon.  Pria itu melongo sesaat.  “Gawat, rahasia kami sudah terbongkar.  Untung dia  langsung semaput. Semoga mati beneran!  Kalau tidak, bisa gawat!  Semua rencana kami terancam gagal!  Bisa-bisa  aku  malah dipidanakan oleh orang kaya itu  karena telah menipunya!”  batin Darfan berkecamuk.   

Gontai dia  berjalan menyusul Amel  ke dalam salon.  Wanita yang baru dinikahinya itu sedang berbicara dengan pegawai salon.  Amel mengorder  paket lengkap. Mulai dari perawatan rambut, wajah dan tubuh. Yang paling utama dia ingin menghilangkan gelar  kribo yang disematkan oleh keluarga suaminya terhadap dirinya. Rambut  ikal tebalnya harus diluruskan, itu tujuan utamanya.

“Sayang,  rencana  smootingnya ditunda dulu, ya!” bisik Darfan di dekat  telinganya.

“Kenapa?”  Amel menoleh  tidak senang.

“Papa kamu, Sayang! Dia datang ke rumah kita, lalu jatuh terkapar, barusan Yati telpon!”

“Apa? Papa?”  teriak  Amel  kaget. Sekita lemas seluruh tubuhnya. Hampir saja dia ambruk ke lantai. Darfan langsung menyangga tubuh  wanita itu.

“Kita pulang, saja,  ya!  Kita liat kondisi Papa kamu! Tapi kamu harus tetap tenang!  Harus kuat meskipun Papa kamu misalnya meninggal!”  bujuk Darfan.

“Meninggal?   Kamu doakan Papaku meninggal?”  Tiba-tiba Amel bangkit. Kalimat  Darfan  barusan   seperti cambuk yang  memecut  kesadarannya.   Bukankah suami dan seluruh keluarga   licik itu akan sangat senang bila papanya meninggal?  

Segera   dikeluarkannya ponsel dari dalam tas sandang. Dr. Frans Kelvin, dia hubungi nomor Dokter pribadi  papanya   itu.

“Papa jatuh, Dok!  Kirim mobil  ambulan ke rumah yang di Medan Tuntungan, segera, ya, dok!”  pintanya yang langsung ditindak lanjuti oleh sang Dokter.

“Kamu telpon siapa, Sayang?”  Darfan mengelus pundak Amelia. Segera  ditepis halus oleh wanita itu. Menscrol nomor di daftar kontak, Amel lalu  mencari nomor  Wak Dadang, supir pribadi papanya.

“Ya, Non?  Saya masih di bengkel, Bapak di rumah  Tuntungan, nunggu Non Amel!  Non pulang, engge!”  sambut Dadang dari  seberang sana.

“Wawak  di  bengkel mana ini?”

“Deket, kok, Non!  Kira-kira  dua ratus meter  dari rumah Non amel!”

“Cepat  ke rumah!  Papa jatuh!  Bentar lagi   mobil ambulan datang!  Saya langsung ke rumah sakit!”  perintah Amel.

“Apa?  Bapak jatuh?”

“Cepat, Wak! Bantuin Papa! Bawa ke rumah sakit terdekat! Amel nyusul!”

“Iya, Non!  Wawak segera pulang!”

Amel buru-buru  menuju mobilnya. Darfan mengikuti dengan langkah sama panjangnya. Sekilas  sebuah lengkungan terbentuk di bibirnya.  Darfan tersenyum samar.

“Gleneagles, Mas!  Balap, ya!” perintah  Amel  begitu pintu mobil  dia tutup  kencang.

“Gleneagles?  Kenapa ke sana? Jauh banget, dong,  dari Tuntungan?”  protes  Darfan sengaja  mengulur waktu.

“Itu rumah sakit langganan Papa, Mas!  Gak usah nawar, deh!  Dokter Frans udah nunggu di sana!”  teriak Amel mulai kesal.

“Sabar, dong, Sayang!  Jangan panik, gitu!  Ihklasin, kalaupun Papa kamu meninggal. Biar dimudahkan Allah jalannya!”

“Mas!  Berhenti  mengatakan Papaku meninggal! Minggir!  Aku aja yang nyetir!”  Amel  berteriak.

“Iya, Sayang!  Tenang! Kita berangkat, ya!” Mobil itu mulai melaju.

**

Amel langsung berlari  menuju ruang UGD, begitu mereka tiba  di  rumah sakit. Darfan memarkirkan mobil terlebih dahulu.  Dadang  menyambut Amel, dengan wajah tegang. Rasa  bersalah  menghantui pikirannya. Andai saja aku  tak ceroboh meninggalkan majikanku   di rumah itu.  Mungkin Bapak tidak akan jatuh.  Begitu sesalnya. Dan saat  Amel  menanyakan keadaan Papanya,  Dadang tak bisa berkata apa-apa selain  minta  maaf.

Amelia menghenyakkan tubuh di bangku panjang, yang tersedia di  depan ruang UGD itu.   Air mata  mulai meleleh, takut kehilangan mulai mengaduk perasaan.   Bagaimana dia akan menghadapi  keluarga suaminya  sendirian.   Amel tak punya siapa-siapa untuk  bersandar.  “Jangan meninggal, ya,  Pa!  Jangan tinggalin Amel, Pa!”   rintihnya dalam bisikan.

*****

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ismii Eyta
Huhuuuu... Tegang deh slot nii
goodnovel comment avatar
Haidah Zuraidah Lamit
seru banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status