Bab 7. Kujadikan Maduku Sebagai Babu
=======
“Pagi Papa! Papa sehat?” sapaku melalui ponsel. Kutelepon Papa pagi ini.
Pembalasanku kepada suami durjanaku harus segera dimulai. Sengaja aku menelepon Papa di hadapan seluruh keluarga Mas Dar. Kuaktifkan pengeras suara ponsel, agar mereka bisa mendengar.
“Sehat, Sayang! Gimana keadaan kamu di situ? Kamu senang, kan? Keluarga suami kamu memperlakukan kamu dengan baik, kan?” tanya Papa.
“Senang, Pa. Amel bahagia banget di sini. Tapi, anu ….” Sengaja kujeda ucapanku. Itu membuat perhatian mereka sontak tertuju padaku. Sorot gelisah terpancar dari wajah-wajah para calon benalu itu.
“Anu apa, Mel?” Terdengar nada suara Papa berubah panik.
“Amel boleh pindah, gak, Pa? Izinin Amel sama Mas Dar nempatin salah satu rumah kita, ya, Pa?” pintaku, membuat wajah-wajah tegang itu berangsur terang. Senyum langsung mekar di wajah-wajah licik itu.
“Lho, kenapa, Sayang? kamu bilang senang tinggal di situ?” tanya Papa masih dengan suara panik.
“Di sini rame banget. Kamar mandi hanya satu dipakai gantian oleh belasan orang. Amel, risih, Pa.” rengekku.
“Udah izin belum sama mertua kamu? Papa khawatir, nanti dia tersinggung. Baru sehari, kok menantunya minta pindah, gak enak, kan, Nak?”
“Bilang udah! Bilang Mama setuju aja, ayo, bilang!” Mama mertuaku berucap tanpa bersuara. Hanya mulutnya yang komat-kamit dengan semangat, diiringi gerakan tangan.
“Iya, bilang kek gitu!” Ipar-iparku ikut menyemangati.
“Udah, Pa. Mama setuju, kok. Bahkan nanti kemungkinan Mama juga akan ikut tinggal bareng Amel di sana,” jawabku mengikuti arahan mereka.
Mamamertua sontak tersenyum bahagia. Sepertinya dia begitu berharap aku mengajaknya serta.
“Mama mertua kamu juga ikut pindah?” tanya Papa dengan nada kaget.
“Iya, dong, Pa. Tapi, gak sekarang! Amel, kan masih pengantin baru. Segan ngapa-ngapain kalau ada dia,” jawabku sengaja mematahkan harapan wanita paruh baya itu. Dia mendelik, aku balas dengan senyum.
“Ya, udah. Papa setuju saja. Yang penting kamu bahagia, Nak!”
“Makasih, Pa! Rumah kita yang di Medan Tuntungan, kosong, kan, Pa? Amel situ aja! Biar dekat ke ternak juga! Peternakan yang di Kutalimbaru, Papa bilang Amel yang pegang, kan? Jadi Amel tinggal di Medan Tuntungan aja, biar lebih dekat ke lokasi peternakan itu. Boleh, ya, Pa!” rengekku lagi.
“Gimana baiknya saja, kalau suamimu mau, Papa setuju saja. Nanti Papa suruh Bik Jum ikut kamu di sana, ya!”
“Gak usah, Pa! Amel udah ada ART baru, namanya Mbak Yati! Dia rajin dan pekerja keras. Pasti dia sanggup mengerjakan seluruh pekerjaan rumah di sana.”
Kulirik istri pertama suamiku itu. Wajahnya langsung semringah. Baguslah, dia tak tahu apa rencanaku yang sesugguhnya.
“Ya, udah kalau gitu! Bahagia selalu, ya, Sayang!”
“Papa juga, ya! Dadaaaah, Papa!” Kuakhiri percakapan dengan Papa.
“Kita pindah sekarang, Sayang?” Mas Dar menatapku dengan sorot mata berbinar.
Wow! Dia memanggilku ‘Sayang’. Kulirik istrinya. Perempuan itu tersenyum lebar. “Iya, Mas!” sahutku menahan gejolak murka di dada. Kuulas senyum mengimbangi sandiwaranya.
“Terus, peternakan yang di daerah Kutalimbaru itu, diserahin Papa ke kamu, ya, Sayang?”
“Iya, Mas! sementara, itu dulu. Kelak semua peternakan milik Papa akan diserahkan padaku, kok. Eh, maksudku pada kita,” pancingku.
“Syukurlah! Terima kasih, Sayang! Aku sangat bangga menikah sama kamu.” Laki-laki penipu ini meraih tanganku, lalu menggenggam di depan mata Yati.
“Aku juga bahagia … banget jadi istri kamu, Mas,” sahutku membalas dengan meletakkan tanganku yang satunya di atas kedua tangan kami.
“Terus, kita udah bisa berangkat sekarang, dong?” usulnya begitu bersemangat.
“Entar, Mas! Aku gak mau mobil aku kotor saat kita pindahan nanti. Malu dilihat tetangga.”
“Lalu, gimana, dong! Apa perlu aku bawa ke doorsmeer, dulu?”
“Gak usah. Ada Mbak Yati, kok!” tolakku mengagetkan mereka.
“Maksudnya?” Mas Dar mengernyitkan kening.
“Mbak Yati!” panggilku seraya menatap perempuan itu dengan tajam.
“Ya, Buk?” sahutnya salah tingkah.
“Tolong kamu cuci dulu mobil aku, ya! Yang bersih dan mengkilat!” perintahku.
“Aku?” tanyanya menatap bingung ke arah Mas Dar.
“Iya, kamu! Kenapa? Gak jadi kamu ikut kami? Kamu bilang butuh pekerjaan?” tantangku.
“Ya, jadi. Tapi, nyuci mobil, itu terlalu berat,” dalihnya. Wajah yang tadi semringah berubah kusut.
“Kalau jadi, mulai sekarang kamu harus ikuti perintahku, dong! Sangggup enggak, nyuci mobil?” cecarku.
“Sanggup, pasti sanggup. Bilang kamu sanggup!” Mbak Dina mencubit lengan Mbak Yati.
“Iya, bilang sanggup, nyuci mobil aja, kok! Apa susahnya! Daripada hidup sengsara di sini, hayo!” Mbak Dinda ikut menyemangati.
Wanita itu menghela napas berat masih menatap Mas Dar. Si laki-laki salah tingkah dan memalingkan muka. Kapok, kan? Belum apa-apa , sudah bingung. Ini belum apa-apa, lho!
“Bantui saya, ya, Pak Dar? Ajarin saya cara nyuci mobil!” pintanya pada lelaki itu.
“Gak bisa, dong! Mas Dar ini majikan kamu! Masa iya, dia bantuin kamu! Gak etis, dong!” senggakku. “Oh, iya. Sebenarnya aku punya Asisten setia di rumah Papa. Namanya Bik Jum. Tapi, karena aku kasihan sama kamu yang janda beranak dua, aku izinin kamu ikut aku. Tapi, ya, itu. Kamu harus bisa kerja! Termasuk nyuci mobil, gimana?”
“Ya, udah, Buk. Saya mau.” Perempuan itu akhirnya pasrah.
“Kenapa gak bawa ke doorsmeer, aja, sih, Sayang?” Mas Dar sepertinya tidak tega, dia berusaha melindungi istrinya.
“Gak usah, Mas! Aku sengaja menguji kemampuan kerja Mbak Yati. Beneran bisa kerja keras, enggak. Kalau gak bisa, dia gak usah ikut kita!” ancamku.
“Ya, udah, gak apa-apa, biar saya cuci mobilnya!” sela Mbak Yati semakin pasrah.
“Ya udah, sana, cepat kamu cuci, biar kita cepat pindahannya! Ayo, Mas, kita ke kamar aja nungguin Mbak Yati nyuci mobil!” titahku seraya bangkit dan menarik tangan Mas Dar. Mbak Yati langsung mendongak, menatap tajam suaminya.
“Ngapain di kamar nuggunya, Sayang?” tanya Mas Dar gelisah.
“Tolong pijitin kaki aku. Masih pegal banget karena berdiri aja saat resepsi pernikahan melelahkan kemarin!” jawabku pura-pura merengek manja, lalu berjalan meninggalkan meja makan itu. Mas Dar terpaksa mengikutiku.
“Cepat, ya, Mbak Yati! Yang bersih dan mengkilat, lho!” perintahku menoleh ke meja itu sekali lagi. Ingin kunikmati wajah-wajah kebingungan keluarga licik itu.
**
“Ini rumah Bu Amel? Besar banget?” Mbak Yati terperangah saat kami sudah masuk ke dalam rumah. “Rumah sebesar ini, berapa jam baru selesai mengepelnya?” tanyanya lagi.
“Nah, pas banget pertanyaan kamu. Berhubung karena rumah ini udah lama gak ditempati, kamu bersihkan dulu semua, ya! Pel semua sampai bersih! Kamu hitung aja sendiri berapa jam baru kelar! Aku dan suamiku mau pergi keluar dulu!” perintahku mengagetkan sepasang suami istri penipu itu.
*****
Bab 8. Papa Amelia Mulai Mengontrol“Sayang, kita baru aja pindahan. Kok, si Yati langsung disuruh kerja berat, gitu? Mana anak-anaknya masih kecil-kecil lagi! Kan, repot, Sayang! Kalau di rumah Mama, Mama bisa jagain anak-anaknya. Kalau di sini, gimana? Kasihan, lho!” protes Mas Dar tampak sangat tidak suka.“Lah, bukannya Mbak Yati itu pembantu kita? Tugasnya bersih-bersih, dong! Lagian, dia aku izinin, kok, kerja sambil momong anak!” sergahku. “Ayo, dong, Mas! Antarin aku!” perintahku tak peduli akan ketidak senangannya.“Sebenarnya kita mau ke mana? Masih capek, kan, Sayang? Kalau mau ngontrol peternakan, besok aja, ya! Uang penjualan gak mungkin diselewengkan oleh kasir kamu, kan?”
Bab 9. Papa Amelia Terkapar“Kenapa, Pak?” tanyaku tak kalah kalah kaget.Pak Anwar menunjukku dengan tangan gemetar. Kenapa dia? Kertas yang bertuliskan Kartu Keluarga ada di tangannya. Kertas yang ditunjukkan oleh Bagas putra sulungku. Kartu Keluarga? Astaga! Jadi, kertas yang disodorkan bagas tadi adalah kartu keluarga kami?“Ja – di, Dar – fan, su - a – mi, ka – mu? Ka … li … an, pe … ni … pu!” ucap Anwar terbata-bata. Lelaki paruh baya itu jatuh tiba-tiba terkapar.“Pak! Pak Anwar!” Spontan aku menghampirinya. “Bapak kenapa, Pak?” tanyaku seraya mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi pria itu tetap diam, t
Bab 10. Keluarga Parasit Mulai Mendekat “Sabar, ya, Sayang!” Darfan yang sudah datang, duduk di sisinya. “ Tenang, ya!” hiburnya lagi seraya mengelus bahu Amelia. Kali ini tak ada lagi kalimat meninggal dari mulutnya. Khawatir karena Amel telah mengancamnya. Amelia segera menepis kasar elusan tangan pria licik itu. Hampir dua jam mereka menunggu, Dr Frans akhirnya keluar dari ruangan. Amel segera memburunya. “Gimana Papa, Dok? Papa gak meninggal, kan, Dok?” tanya Amelia masih diiringi isak ketakutan. Darfan ikut berdebar. Pria itu berusaha melongokkan kepala ke dalam ruangan untuk mengintip situasi di dalam. Dia tak sabar mengetahui kondisi papa mertua yang diharapkannya 
Bab 11. Gagal Menguasai Kartu ATM Amelia “Kenapa, Pa? Papa mau bilang apa?” tanya Amel mendekati ranjang pasien. “Ough! Eeeeegh!” Kembali sang papa bergumam tak jelas. Lidahnya yang kaku membuat pria itu kesulitan untuk berkata-kata. “Amel gak ngerti, Pa! Papa tenang, ya! Kita pulang setelah Mas Dar urus administrasinya,” bujuk Amelia lembut. “Uuuuuugh!” Anwar malah semakin gelisah. “Mas, sepertinya Papa mau bilang sesuatu, aku gak ngerti. Tolong, deh, Mas yang tanyain! Duduk sini, Mas! Biar aku aja yang turun!” Gadis itu mendorong tubuh Darfan dan mendudukkannya di kursi samping ranjang. “Papa ngomong sama Mas Dar, ya, Pa!
Bab 12. Malam Pertama Yang Tertunda Sejatinya, semua mahkluk yang bernama wanita itu cantik sempurna. Namun, banyak pria yang tak mampu melihat kecantikan yang sesungguhnya. Mereka tertipu dengan netra. Padahal, penglihatan kadang bisa berubah menjadi iblis yang memperdaya. ***** Pukul sepuluh malam, mereka tiba di rumah. Amel langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Darfan menunggu dengan sabar. Pria itu tengah menyiapkan suatu rencana. Dia harus melakukan sesuatu untuk memudahkan mencapai tujuannya. Sejauh ini, belum ada hasil apa-apa. Mobil sang mertua yang dia incar gagal dia dapat. Kartu ATM, Kartu Kredit dan lainnya, sama sekali tak bisa dia kuasa
Bab 13. Perangkap Keluarga Benalu “Maaf, Mas! Aku khilap. Ini yang pertama kali bagiku, jadinya aku gugup banget. Maafkan aku ya, Mas! Aku belum siap, maaf!” lirih Amelia. Gadis itu berusaha tetap berucap dengan nada lembut, seolah tak ada amarah yang tengah melanda di dadanya. Amelia yakin, bukan dengan amarah untuk melampiaskan rasa sakit ini. Bukan murka yang digunakan untuk membalas rasa terhina ini. Ada cara lain, cara yang sempat tertunda, cara yang akan membuat Darfan menangis darah karena penyesalan. “Maaf, Mas!” ucapnya lagi, seraya memungut dan mengenakan kembali pakaian yang berserakan di lantai. Pakaian yang sudah sempat dilepas satu persatu oleh pria licik itu. &nb
Bab 14. Andre Sang Dewa Penolong ======= “Bu Amel kenapa?” Yati menghampiri Amelia. Senyum tersungging samar di bibirnya. Sementara Ratni, Dina dan Dinda mengintip kejadian itu dari balik kain tirai pembatas ruangan. “Gak tahu, nih, Mbak. Aku gak ngerti, kenapa kepalaku berat banget tiba-tiba. Mataku juga pengen pejam, gak bisa dibuka.” Gadis itu memijit pelipisnya. “Ibu masih ngantuk, kali? Kan, udah semingggu ini, Ibu kurang tidur jagain Bapak di rumah sakit.” Amelia menjatuhkan kepalanya di atas meja. “Bisa jadi begitu, aku aku --“ Kalimatnya menggantung. “Bu Amel! Buk! Mel! Amel! Kribo! Hey, Kribo!”
Bab 15. Keluarga Benalu Gagal Lagi “Masalahnya saat ini dia dalam bahaya! Saya bingung bagaimana menjelaskannya.” “Maksudnya?” “Eh, maaf, saya bilang apa tadi? Lupakan! Anggap saja Bapak tidak mendengar apa-apa, saya mohon!” Leo menyesal telah keceplosan berbicara. “Tidak, ini tak bisa saya pura-pura tak dengar! Pak Anwar itu calon client saya, Bang! Putrinya dalam bahaya Abang bilang! Abang pikir saya bisa diam?” cecar Andre melotot tajam. Leo salah tingkah. Sekarang dia berada dalam dilemma parah. Antara berterus terang atau merahasiakan. Jika dia bercerita pada Andre, maka aib keluarga istrinya akan terbongkar. Namun, jika dia tetap rahasiakan, hati kecinya bertolak bela