Udara dingin menusuk tubuh Aini yang masih tergolek dalam dekapan tangan kokoh suaminya.Seketika paras Aini memerah saat merasakan kalau tubuh polosnya beradu dengan dada bidang dokter Fadhil yang sedikit berkeringat.Aini merasa begitu malu dan bersiap meraih gaunnya agar segera bisa bangkit untuk membersihkan diri.Matanya sekilas menatap jam yang sudah beranjak sepertiga malam. Aini sudah terbiasa bangun dan melaksanakan solat lail.Tapi masalahnya malam ini tidak sesederhana biasanya, ada tangan kokoh yang dengan erat memeluk tubuhnya.Ada wajah yang begitu tenang yang nyaris menempel dengan wajahnya. Wajah tampan yang semalam menciuminya penuh cinta. Duh."Sayang, sudah bangun?" Dokter Fadhil tiba-tiba membuka mata, mungkin gerakan tubuh Aini yang bersiap bangkit membangunkannya "Mas juga sudah bangun?"Dokter Fadhil mengangguk."Mas, terbiasa bangun jam segini. Rasanya ada yang hilang saat tidak melaksanakan solat lail."Mata Aini membulat tak percaya, jika suaminya memiliki
Fadhil menyendokan nasi goreng pertama buatan Aini ke mulut. Hari ini, hari pertama mereka resmi menjadi suami istri. Setelah membereskan tempat tidur dan memberikan dokter Fadhil sebuah kecupan lembut yang membuat pria muda itu tersipu dan sibuk menenangkan hasratnya yang kembali, Dengan cekatan Aini pergi ke dapur dan menyiapkan segala kebutuhan suaminya di pagi hari.Sementara Bi Darsih sibuk berbenah di dalam rumah, dan Mang Enggkus tampak tengah asik memotong rumput dan dan merapikan taman di luar rumah. Ada yang sedikit berbeda dari suasana Seminggu sebelumnya. Rumah sedikit lebih sepi. Tak ada celoteh dan tangis menggemaskan Bella. Seminggu lalu Miranti membawanya pulang ke rumah mereka.Tampak Aini cukup berat berpisah dengan bayi cantik Bella, tapi apa yang dilakukan Miranti benar.Bella harus pulang, dia punya ibu yang berkewajiban merawat dan mencintainya.Mirna harus memaksakan diri merawat Bella. Apalagi Aini sekarang punya suami. Tentu ada yang lebih wajib untuk dilay
Tak terasa dua bulan sudah semenjak Aini dan dokter Fadhil menikah, waktu begitu saja berlalu menyisakan sejuta kisah pahit dan manis silih berganti. Ada tawa, ada air mata, ada suka adapula luka datang dan pergi silih berganti.Itulah kehidupan ibarat panggung sandiwara semua peran berganti dengan sempurna. Adakalanya kita mendapat peran yang manis dan Penuh tawa ada pula peran yang pahit penuh air mata dan kecewa. Kita diciptakan beraneka warna oleh sang pencipta, agar kita sebagai makhluk bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah menjadi goresan takdir dalam hidup.Saat Allah ciptakan luka dan air mata, di sanalah Allah mengajarkan kita arti kesabaran, dan saat Allah menciptakan rasa bahagia dan canda tawa, di sanalah Allah tengah mengajarkan bagaimana rasa bersyukur dan berbagi.Afwan tepekur menatap sederet angka di layar ATM. Lama berdiri di depan mesin canggih itu, tidak juga merubah apapun. Saldonya tetap tidak berubah.Angka yang jauh dari cukup untuk biaya hidup sebul
POV MirnaAku meraba pipi yang terasa panas dan sedikit perih. Tak menduga kalau Afwan, pria bucin yang selama ini puas kupermainkan hati dan perasaannya sanggup menamparku. Pria yang rela membohongi wanita sekaya Aini dan memilih hidup bersamaku, kini menatapku dengan pandangan penuh kebencian. Sialan.Afwan menamparku demi membela Miranti? Perempuan jelek yang enggak ada manis-manisnya itu? Apa otak dia sudah sepaneng atau Oneng? Ibaratnya aku boneka Berbie dan Miranti boneka orang-orangan di sawah? Kalau sampai Afwan membela Miranti, pasti ada yang korsleting dengan otaknya. Aku mendengus dengan sisa rasa percaya diriku yang sempat hancur gara-gara tamparan Afwan.Tunggu. Kata Si Bibi yang membukakan gerbang rumah Miranti mereka sudah menikah seminggu yang lalu. Apa betul pria setampan Afwan bisa jatuh cinta pada kakakku?Aku sangsi kalau Afwan benar mencintai perempuan songong itu dengan tulus. Kalau gak ada maunya pasti diguna-guna. Awas kamu Miranti, desis ku dalam hati penuh
Adakalanya ujian Allah hadirkan, agar seseorang mengerti caranya berjuang dan bersyukur, cinta dan keikhlasan.***Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Udara di luar yang menerobos lobang angin di kamar yang ditempati Aini, terasa lembab. Hujan yang turun di sore hari menguarkan bau tanah dan semerbak bunga yang banyak tumbuh di halaman rumah.Wajah Aini memerah sendu saat matanya kembali menyapu ruangan kamarnya yang sepi.Ruangan kamar yang di dominasi warna putih dan krem itu kini menyisakan lengang. Ruangan besar dan luas itu rasanya sepi tanpa tangis dan celoteh bayi mungil yang akan membuat suasana semarak dan hangat.Sejak Bella diambil kembali oleh Miranti rasanya hati Aini begitu sepi. Apalagi setahun pernikahan dengan dokter Fadhil seperti belum ada tanda-tanda dirinya hamil. Padahal kata dokter yang sempat Aini kunjungi untuk melakukan konsultasi, dirinya dan suami baik-baik saja. Hanya belum saatnya dan harus sedikit bersabar.Aini tahu, dia harus sabar menunggu
Aini hanya tersenyum getir. Menyadari ucapan Sinta betul adanya. Mungkin dirinya adalah perempuan terbodoh yang merelakan suaminya mendua cinta."Aku mungkin bodoh, Sinta. Tapi aku tidak mampu melihat seorang perempuan seperti Afifah terluka dan terhina." Mata Aini menerawang menembus langit."Aku tahu bagaimana rasanya dicampakkan dan dihina, aku bisa merasakan bagaimana seorang Afifah yang terluka, trauma dan putus asa."Sinta mengerjap, tak menduga kalau ketulusan Aini begitu dalam."Aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati, tapi aku yakin lebih sakit menjadi seorang perempuan ternoda karena sebuah tindak kejahatan. Aku bahkan tidak membayangkan kalau itu terjadi padaku." Aini tersenyum menatap bola mata Sinta yang tidak berkedip."Kamu pikir, mudah menerima Fadhilmu berbagi hati, Aini?" Sinta yang terlihat sedikit gemukan kembali bertanya.Sinta memang perempuan tegar. Saat dia mendapati Heru suaminya berselingkuh dengan Mirna, dia mantap memilih hidup sendiri dan menggugat cerai. B
Prosesi ijab kabul terhenti. Semua memandang ke arah Faiz yang baru tiba. Dengan wajah yang penuh rasa penyesalan faiz segera bersimpuh disisi kakaknya dokter Fadil. "Maaf sedikit terlambat." Faiz tersenyum kikuk. Sadar dia telah membuat acara yang begitu sakral terhenti tiba-tiba.Elsa pacarnya yang terus meracau karena mengamuk dan mencakarnya di Bandara serta merusak ponselnya membuat Faiz kewalahan. Elsa tidak terima Faiz akan menikahi Afifah. Pun, ketika Faiz berusaha menjelaskan dan memberi pilihan untuk berbagi. Elsa murka. Tak terima dengan alasan Faiz meski dirinya seharusnya sadar, hadir di hari-hari Faiz setelah Afifah.Mata Faiz terasa basah saat menyapu semua hadirin di ruangan yang disulap indah meski sederhana. Sungguh dia, tidak menduga, kalau Fadhil kakaknya bersedia menikahi Afifah. Dia pikir percakapannya beberapa waktu lalu di malam hari itu tidak berbuntut Aini mengalah dan meminta suaminya Fadhil menikahi Afifah.Faiz juga tidak menduga trauma Afifah begitu dal
Hari sudah agak larut malam saat dokter Fadhil memasuklan mobilnya ke halaman rumah Aini yang luas. Bintang dan bulan tampak bertabur indah di cakrawala yang terlihat pekat. Tanpa banyak bicara,Aini bergegas beranjak turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan suaminya yang bersiap masukkan mobilnya ke dalam garasi dibantu mang Engkus.Sementara Bi Darsih mengikuti Aini masuk ke dalam rumah. Terlihat wajah Bi Darsih yang ikut membawa beberapa bungkusan buah tangan dari keluarga Afifah terlihat heran, Aini terlihat sedikit murung. Tapi perempuan paruh baya itu tidak berani bertanya dan segera menyimpan barang bawaan Aini ke dapur.Aini berjalan lurus menuju kamarnya, wajahnya semakin diam saat melintas di ruangan luas yang menyimpan banyak kenangan, dia langsung menghenyakkan tubuh nya yang terasa penat di kasur. Wajahnya masih terlihat sedikit gundah.Sepertinya candaan suaminya selama perjalan pulang dari pernikahan Faiz dan Afifah masih membuatnya kepikiran."Ke