Beranda / Rumah Tangga / Nafkah Dari Mantan Suami / 3. Feeling Seorang Istri

Share

3. Feeling Seorang Istri

Penulis: Queeny
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-21 11:09:19

Malam itu suasana di rumah tampak tenang. Hendra duduk di ruang tamu dengan laptop di pangkuan dan menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor. 

Cintia, yang biasanya sibuk sendiri, malam itu tampak gelisah. Dia duduk di samping Hendra dan memandangi layar ponsel. Namun, pikirannya melayang. Akhirnya wanita itu tak bisa menahan diri lagi.

"Mas, aku mau tanya sesuatu. Tapi aku harap kamu jujur ya."

Hendra menoleh dari laptopnya, sedikit bingung dengan nada serius istrinya.

"Tanya apa, Sayang? Kok tiba-tiba serius gini?"

Cintia mengambil napas panjang, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. Selama beberapa waktu terakhir, dia merasa ada yang tidak beres. 

Hendra masih menjaga hubungan baik dengan mantan istrinya, Nadia. Meskipun Cintia awalnya mencoba memahami, lama-lama hal itu membuatnya tidak nyaman.

"Aku tahu kamu masih sering bantuin Nadia. Aku nggak pernah masalah dengan itu. Tapi aku merasa akhir-akhir ini kamu lebih sering kirim uang ke dia. Dan aku nggak ngerti kenapa."

Hendra terdiam sesaat, lalu meletakkan laptop di meja. Dia menghela napas, tahu bahwa percakapan ini pasti akan datang suatu hari.

"Aku memang masih kirim uang ke Nadia. Itu cuma bantuan buat dia. Apalagi waktu itu ibunya sakit."

Hendra menjelaskan dengan perlahan. Agar istrinya tidak salah paham. 

"Tapi Mas, ini bukan cuma sekali dua kali. Aku nggak buta. Aku lihat sendiri di mutasi rekening kamu. Hampir tiap bulan ada transfer buat Nadia. Aku cuma pengen tahu, apa alasan sebenarnya?"

Nada suara Cintia masih lembut, tetapi ada ketegangan yang mulai muncul. Hendra menyadari bahwa dia harus menjelaskan dengan jujur.  Namun, dia juga tahu bahwa ini topik cukup sensitif.

"Nadia sekarang hidupnya susah, Cin. Setelah kami cerai, dia nggak ada yang bantu. Aku nggak bisa ninggalin dia gitu aja. Aku kasihan sama dia."

Cintia menatap Hendra dengan tajam, mencoba menahan perasaan cemburu yang mulai tumbuh di hatinya.

"Aku ngerti kamu kasihan sama dia, Mas. Tapi dia cuma mantan. Aku yang sekarang istri kamu."

Hendra menghela napas mendengar ucapan istrinya. Dia seperti terdakwa yang sedang di sidang. Lelaki itu tak bisa menyangkal apa pun. Bahkan jujurpun salah. 

"Aku ngerasa nggak nyaman kamu masih kirim uang ke dia tanpa tau alasannya. Aku merasa ada sesuatu yang Mas sembunyikan."

Hendra menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lelaki itu tak habis pikir dengan pikiran negatif istrinya. 

"Nggak ada yang aku sembunyikan, Cin. Aku cuma nggak mau bikin kamu khawatir soal hal-hal kecil kayak gini."

"Tapi aku gak percaya, Mas."

"Uang yang aku kirim itu nggak seberapa. Cuma buat bantu kebutuhan sehari-hari atau kalau ada kondisi darurat."

Cintia merasa perasaan kesalnya semakin sulit ditahan. Baginya, ini bukan soal uang, tapi soal prinsip dan kepercayaan dalam hubungan mereka.

"Ini bukan soal jumlah uangnya, Mas. Ini soal kamu masih berhubungan sama mantan istri kamu. Aku nggak tahu apakah aku terlalu sensitif. Aku merasa nggak dihargai kalau kamu masih terus begini."

Hendra menundukkan kepala, menyadari bahwa perasaan Cintia benar adanya. Dia paham bahwa situasinya rumit. Namun lelaki itu merasa terjebak antara rasa tanggung jawab pada masa lalunya.

"Aku minta maaf kalau aku bikin kamu merasa begitu. Tapi kamu harus tahu, hubungan aku sama Nadia udah selesai."

Cintia membuang pandangan karena kesal. Dia bahkan meragukan ucapan Hendra. Lelaki bisa saja berbohong untuk menutupi aibnya. 

"Aku nggak ada perasaan apa-apa lagi sama dia. Aku cuma merasa bertanggung jawab karena pernah jadi bagian dari hidupnya."

Cintia terdiam sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca. Ini bukan hanya soal rasa cemburu, tapi juga soal ketakutannya kehilangan Hendra.

"Kalau hubungan kalian udah selesai, kenapa kamu masih merasa tanggung jawab sama dia, Mas? Dia udah bukan istri kamu lagi. Harusnya aku yang jadi prioritas."

Hendra meraih tangan Cintia, mencoba menenangkan istrinya. Wanita kalau sudah mengamuk ternyata benar-benar berbahaya. 

"Kamu memang prioritas aku, Cintia. Kamu selalu jadi yang paling penting buat aku. Aku nggak pernah ada niat bikin kamu merasa diabaikan."

Sayangnya bagi Cintia, kata-kata itu tidak cukup. Rasa cemburu telah tumbuh lebih besar dari yang ia sadari. Wanita itu menarik tangan dari genggaman Hendra dan berdiri, lalu berjalan mondar-mandir. 

"Aku cuma nggak ngerti kenapa kamu nggak bisa lepas dari dia. Apa kamu masih punya perasaan sama dia, Mas?"

"Astagfirullah."

Hendra terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak pernah berpikir bahwa Cintia akan meragukan perasaannya. Lelaki itu segera bangkit berdiri, mendekati istrinya dengan ekspresi serius.

"Cintia, dengar. Aku nggak ada perasaan apa-apa lagi sama Nadia. Itu semua udah berlalu. Yang aku rasain sekarang cuma rasa tanggung jawab. Tapi itu bukan berarti aku masih cinta sama dia."

Cintia berhenti sejenak, menatap Hendra dengan air mata yang mulai mengalir.

"Tapi aku yang sekarang ada di samping kamu, Mas. Aku yang harusnya kamu perhatikan, bukan dia. Aku istri kamu. Kenapa aku yang merasa nggak aman dalam hubungan ini?"

"Ya Allah."

Hendra terdiam karena merasa bersalah. Meskipun niat hanya ingin membantu Nadia, dia mungkin telah melupakan perasaan Cintia. 

Dalam keinginan untuk tetap menjadi lelaki yang bertanggung jawab, Hendra mungkin telah mengabaikan perasaan istri barunya.

"Kamu benar, Cin. Aku yang salah. Aku harusnya lebih peka sama perasaan kamu. Mulai sekarang, aku nggak akan kirim uang ke Nadia lagi tanpa kamu tahu. Semua akan transparan. Kamu punya hak buat tahu segalanya."

Cintia menatap Hendra dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia lega mendengar janji itu. Namun di sisi lain, rasa curiga dan cemburu masih ada. 

Cintia hanya ingin merasa aman dan yakin bahwa dia adalah satu-satunya yang penting bagi Hendra.

"Aku cuma mau kamu benar-benar lepas dari masa lalu. Bahwa kamu benar-benar sepenuhnya milik aku sekarang."

Hendra mengangguk pelan, meraih tangan Cintia kembali.

"Aku milik kamu. Aku janji akan lebih fokus ke hubungan kita. Aku nggak akan biarin masa lalu merusak apa yang kita punya sekarang."

Cintia menatap Hendra, mencoba mencari kebenaran dalam mata suaminya. Setelah beberapa detik, wanita itu akhirnya mengangguk pelan. Meskipun hatinya masih sedikit tersisa rasa cemburu.

"Aku harap kamu menepati janji kamu, Mas. Karena kalau sampai ini terulang lagi, aku nggak tahu apa yang akan terjadi sama kita."

Hendra menarik Cintia ke dalam pelukannya, berharap bisa menenangkan perasaan istrinya yang terluka.

"Aku janji, Sayang. Aku nggak akan biarin itu terjadi lagi."

Dalam pelukan itu, Cintia merasa sedikit lebih tenang, meskipun perasaan was-was masih ada di hatinya. Namun, untuk malam ini, dia memutuskan untuk percaya pada Hendra.

Cintia berharap bahwa suaminya benar-benar bisa melepaskan masa lalunya dan sepenuhnya hadir untuk dirinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nafkah Dari Mantan Suami   34. Segala Puji Bagi-Mu

    Rasa sakit yang tak tertahankan mulai menyelimuti tubuh Nadia. Napasnya tersengal dengan keringat dingin yang membanjiri pelipis.Nadia menggenggam erat lengan Surya yang duduk di samping ranjang rumah sakit. Wanita itu mencoba menarik napas dalam-dalam. Namun setiap tarikan terasa seperti menggores paru-parunya.Kontraksi datang semakin sering dan wajah Nadia memucat.“Sayang, kamu kuat, ya? Sebentar lagi ketemu bayi kita."Surya mencoba menenangkan Nadia. Meski raut cemas tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Lelaki itu berusaha menyeka keringat yang terus membasahi wajah istrinya.“Aku mau lahiran normal, please."Nadia berkata dengan suara lemah. Wanita itu terisak menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut di perutnya."Tapi kamu gak kuat, Sayang. Jangan dipaksakan," bujuk Surya."Baiknya jangan

  • Nafkah Dari Mantan Suami   33. Ikhtiar Dan Doa

    Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba kembali di Indonesia. Program bayi tabung di luar negeri yang selama ini mereka jalani membawa hasil yang tak ternilai harganya. Ketika pesawat mendarat, Surya meraih tangan Nadia dan menggenggamnya erat.“Sudah sampai, sayang,” bisiknya lembut. “Akhirnya kita pulang.”Nadia tersenyum samar. Namun di balik senyum itu jelas tampak kelelahan yang mendalam. Sejak kehamilannya memasuki minggu keenam, kondisinya semakin melemah.Rasa mual yang datang sepanjang hari, bukan hanya di pagi hari seperti yang sering ia baca di buku-buku kehamilan. Setiap kali mencoba makan, perutnya langsung menolak. Surya terus mengamati wajah istrinya yang tampak semakin pucat.“Apa kamu mau istirahat begitu sampai rumah?” tanya Surya, menatap wajah Nadia dengan cemas.“Ya… mungkin. Aku cuma ma

  • Nafkah Dari Mantan Suami   32. Meniti Harapan

    Nadia dan Surya duduk bersebelahan di ruang tunggu bandara Changi. Mereka menanti penerbangan ke Singapura untuk menjalani program bayi tabung yang telah lama di diskusikan.Suasana hening menyelimuti mereka berdua. Hanya suara pengumuman penerbangan dan derap langkah orang-orang yang terdengar di sekitar.Nadia menatap ke depan, matanya menerawang jauh. Surya merasakan kegelisahan istrinya dan menggenggam tangannya lembut.“Kamu tegang?” Surya membuka percakapan dengan nada lembut.Nadia tersenyum samar. “Nggak juga, cuma... ya, mungkin agak cemas. Kita beneran mau program, ya?”Nadia menoleh menatap suaminya, mencoba mencari kepastian.“Iya, Sayang. Tapi kita lakukan ini karena sama-sama mau, bukan karena tekanan atau paksaan,” Surya menenangkan.“Kita sudah sepakat, apa pun hasilnya nanti, kita tetap akan bersama.”Nadia terdiam, lalu mengangguk.&ldquo

  • Nafkah Dari Mantan Suami   31. Malam Indah

    Setelah resepsi pernikahan yang berlangsung sederhana dan penuh kehangatan, Surya dan Nadia memasuki suite hotel mereka."Ini kamar kita," ucap Surya di depan pintu."Aku udah gak sabar lihat isi dalamnya," bisik Nadia."Mau aku gendong?" goda Surya."Gak usahlah. Memangnya di film-film."Gelak tawa keduanya menghema di lorong hotel. Surya mengambil kunci yang diberikan oleh resepsionis di saku celananya.Keduanya sudah berganti pakaian. Surya bahkan memakai kaus longgar dan celana jeans. Nadia bahkan sudah menghapus make up. Wanita itu memakai gaun selutut dengan penghiasan lengkap di leher dan jarinya.Mereka berjalan berdampingan, diiringi tatapan penuh cinta dan sedikit rasa canggung."Silakan masuk, Tuan Putri."Ketika pintu suite mereka tertutup dengan lembut di belak

  • Nafkah Dari Mantan Suami   30. Suatu Hari Di Taman Bunga

    Langit cerah membentang di atas taman yang dipenuhi dengan hamparan bunga-bunga cantik. Pohon-pohon besar menaungi tempat itu dengan teduh. Suara aliran air dari kolam kecil di sudut taman menambah suasana tenang yang romantis.Pernikahan Surya dan Nadia diadakan dengan sederhana tetapi penuh kehangatan. Hanya keluarga dan sahabat dekat yang hadir, membuat suasana lebih intim dan bermakna.Nadia dan Surya duduk di kursi yang dihias bunga mawar putih dan eucalyptus. Wanita itu mengenakan gaun putih sederhana tanpa banyak aksen tetapi tetap elegan.Rambut Nadia disanggul rapi. Senyum hangatnya memancarkan kebahagiaan yang nyata. Surya terlihat gagah dengan setelan jas hitam yang pas di tubuh. Wajah lelaki itu cerah. Matanya berbinar-binar menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya."Ananda Muhammad Surya Perdana, saya nikahkan engaku dengan Nadia Nur Azizah binti almarhum

  • Nafkah Dari Mantan Suami   29. Diskusi dan Ketulusan

    Nadia menghembuskan napas panjang sebelum menekan tombol hijau di layar ponsel. Nama Surya tertera jelas.Kali ini Nadia merasa perlu membicarakan sesuatu yang sudah lama mengganjal di pikirannya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara hangat Surya terdengar dari seberang.“Halo, Sayang?” Surya menyapa dengan ceria seperti biasanya. Lelaki itu sedang berada di ruangannya di kafe. Namun, dia mengerjakan proyek render gambar sebuah bangunan.“Halo, Sur,” balas Nadia dengan nada lembut. Ada sedikit kegugupan yang terselip di suaranya.“Kenapa? Suara kamu kayaknya aneh," tanya Surya lembut."Nggak apa-apa," lirih Nadia serak."Kamu habis nangis?" tanya Surya lagi."Enggak. Aku cuma lagi kangen aja.""Ada yang mau kamu bicarain?” tanya Surya seperti bisa merasakan ada yang berbe

  • Nafkah Dari Mantan Suami   28. Ungkapan Rasa

    Sepuluh hari Raya dirawat dan selama itulah Nadia setiap hari datang menjenguk. Sehingga dia dan sukma menjadi akrab.Nadia tak canggung bersenda gurau bersama mereka layaknya keluarga. Namun, sikapnya menjadi canggung jika ada Hendra.Tatapan dan perhatian Hendra yang berbeda memabuat Nadia risih. Wanita itu merasa semua orang telah bersekongkol untuk mendekatkan mereka, termasuk ibunya sendiri."Kamu mau ikut ke rumah?" tanya Hendra ketika mereka bersiap-siap hendak pulang.Raya sudah sehat dan pulih seperti sedia kala. Sehingga hari ini anak itu sudah boleh pulang."Tapi sebentar aja ya, Mas. Aku kan harus jaga toko.""Toko terus yang ada dipikiran kamu. Anak-anak juga, Nad.""Anak-anak kamu, Mas.""Yaaa kan anakmu juga, Nad."Nadia membuang pandangan mendengar itu. Sementara Hendra

  • Nafkah Dari Mantan Suami   27. Terikat Akan Rasa

    Hari kedua Nadia datang ke rumah sakit terasa lebih tenang. Pagi itu, setelah memastikan tokonya berjalan dengan baik, wanita itu memutuskan untuk mampir melihat kondisi Raya.Nadia mengenakan blus sederhana dan celana panjang yang nyaman. Dia menenteng paper bag berisi camilan kesukaan Hana dan boneka kelinci mungil untuk Raya.Saat memasuki ruang rawat, Nadia melihat Sukma, mantan mertuanya, sedang duduk di sisi tempat tidur Raya yang masih terbaring.Wajah Sukma berubah cerah begitu melihat kehadiran Nadia di pintu. Tanpa ragu, Sukma berdiri dan menyambut Nadia dengan senyum lebar."Assalamualaikum, Ma," sapa Nadia lembut."Waalaikumsalam."Sukma menyambut Nadia yang mencium tangannya. Walaupun pernah menyakiti, dia tetap berlaku santun.Tidak ada dendam di hati Nadia karena dia sudah berdamai dengan masa lalu. Apalagi saat

  • Nafkah Dari Mantan Suami   26. Cepat Pulih, Sayang

    Hari itu terasa panjang bagi Nadia. Sejak pagi, semua berjalan lancar di tokonya. Namun, pesan singkat dari Hendra yang tiba-tiba masuk ke ponselnya membuat dunia Nadia seolah berhenti seketika."Nadia, maaf ganggu. Raya dirawat di rumah sakit. Dokter bilang dia kena demam berdarah. Tolong doakan dia, ya."Nadia merasa dadanya sesak saat membaca pesan itu. Jari-jarinya gemetar dan ponsel hampir terlepas dari genggaman.Raya yang manis, begitu lincah dan ceria, kini terbaring lemah di rumah sakit? Nadia langsung merasakan kekhawatiran yang luar biasa.Dengan cepat, Nadia memberi tahu karyawan untuk menutup toko lebih awal. Beberapa pelanggan yang baru saja datang memandangnya dengan heran.Nadia hanya tersenyum minta maaf dan memberikan penjelasan singkat bahwa ada keadaan darurat keluarga. Begitu selesai, wanita itu segera menjemput ibunya yang sedang berada di rumah.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status