Suasana di minimarket tempat Nadia bekerja tampak tenang malam itu. Hanya beberapa pelanggan yang sedang memilih barang. Sementara Nadia duduk di balik kasir, sibuk dengan ponselnya.
Tiba-tiba, pintu minimarket berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Nadia mendongak dan terkejut melihat siapa yang datang.
"Loh, Mas. Kamu di sini?"
Hendra tersenyum tipis. Dia tampak sedikit gugup, seperti ada sesuatu yang membebani pikirannya.
"Iya, Nad. Kebetulan lewat, jadi mampir sebentar."
Nadia mengangguk, mencoba tetap tenang. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka berbicara dengan santai.
Meski mereka sudah bercerai, hubungan mereka tidak sepenuhnya buruk. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada Hendra. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya.
Saat mereka berbicara, pintu minimarket kembali berbunyi. Kali ini, masuklah Surya. Lelaki itu melangkah mendekati Nadia dengan senyum lebar dan tampak akrab.
"Hey, Nad. Sudah istirahat? Aku bawain makanan dari kafe. Siapa tahu kamu lapar."
Nadia tersenyum lembut, menerima bungkusan yang diberikan oleh Surya.
"Makasih, Surya. Aku bentar lagi break."
Mereka tertawa kecil bersama. Surya tampak begitu santai di sekitar Nadia.
Hendra yang menyaksikan interaksi itu, mulai merasa tidak nyaman. Ada rasa asing yang mengganjal di hatinya.
"Siapa?" tanya Hendra penasaran. Dia memberi kode kepada Nadia untuk menjawab pertanyaannya.
"Ini Surya, Mas," jelas Nadia.
Surya menoleh dan tersenyum ramah kepada Hendra. Lelaki itu tak tahu jika itu adakah mantan suami Nadia.
"Mas siapa?"
Surya bertanya kebingungan. Melihat gelagat Nadia yang sepertinya kenal dengan lelaki itu, dia menjadi curiga.
Hendra tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Nadia dan cara Surya memperlakukan mantan istrinya.
Ada keakraban yang membuat Hendra tidak bisa menahan perasaan tak sukanya lebih lama.
"Kamu sering ke sini, Surya?"
Surya tampak sedikit bingung dengan nada suara Hendra yang tiba-tiba menjadi ketus. Tapi dia tetap menjaga senyumnya.
"Iya, cukup sering. Kafe saya dekat sini. Jadi biasanya mampir sekalian beli barang yang dibutuhkan. Kadang ya ngelihat Nadia juga."
Jawaban itu membuat Hendra semakin terganggu. Dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan di antara mereka. Dan itu membuat darahnya mendidih.
"Ngeliat Nadia? Kamu tahu gak kalau Nadia ini mantan istri saya?"
Surya tertegun lalu tersenyum tipis. Dia masih berusaha bersikap tenang. Meski merasakan ketegangan yang mulai muncul.
"Oh maaf saya gak tau. Saya cuma teman yang peduli sama dia."
Nadia yang merasakan perubahan suasana, segera mencoba melerai. Hendra adalah tipikal orang yang gampang tersulut emosi. Hal itu dia rasakan selama mereka menikah dulu.
"Nggak usah dibesar-besarkan, Mas. Surya memang sering mampir. Aku juga senang kalau ada yang perhatian. Nggak ada yang salah."
Sayangnya kata-kata Nadia tadi hanya membuat Hendra semakin tersinggung. Lelaki itu tidak suka jika mantan istrinya didekati orang lain, meski dia sendiri sudah menikah lagi.
"Aku nggak suka cara kamu bicara soal dia, Nadia. Seolah-olah dia bisa menggantikan aku dalam hidup kamu."
Nadia terdiam sejenak, terkejut dengan reaksi Hendra yang berlebihan.
Surya yang melihat situasi ini, mencoba tetap tenang tapi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Mas Hendra, dengan segala hormat, saya nggak pernah berniat menggantikan posisi siapa pun. Saya cuma orang yang peduli sama Nadia. Itu aja."
Hendra berdiri lebih tegak, matanya menatap tajam ke arah Surya.
"Kalau kamu benar-benar peduli, kamu harus tahu batas. Nadia bukan seseorang yang bisa kamu dekati begitu saja. Dia punya masa lalu. Dan masa lalu itu termasuk saya."
"Astagfirullah."
Nadia akhirnya angkat bicara, merasa perlu untuk menghentikan ini sebelum semakin buruk.
"Udah. Mas. Ini di tempat umum. Malu dilihatin yang lain."
Nadia menarik lengan Hendra dan menyuruh Surya untuk keluar. Lebih baik masalah ini segera diselesaikan agar tak mengganggu pembeli lain.
Nadia juga meminta tolong seorang teman untuk menggantikan posisinya sebentar. Untung saja bos mereka sedang keluar. Namun, kejadian bisa terlihat di CCTV toko. Dan dia harus mempertanggung jawabkannya nanti.
"Tolong jangan berantem di sini. Aku lagi kerja."
"Aku memang sudah nikah lagi. Tapi bukan berarti aku nggak peduli sama kamu. Aku nggak bisa diam saja ngelihat kamu terlalu dekat sama cowok gak jelas."
Surya mengucap istigfar dalam hati saat dirinya disebut tak jelas oleh Hendra. Padahal tadi dia sudah memperkenalkan diri.
Sementara itu, Nadia menghela napas panjang. Merasa lelah dengan sikap posesif Hendra yang tiba-tiba muncul.
"Ini bukan urusan kamu lagi, Mas. Kamu sudah memilih jalan hidup dengan Cintia. Biarkan aku juga menjalani hidupku."
Surya yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya membuka suara lagi. Kali ini dia lebih tegas.
"Mas Hendra, saya rasa kita semua harus sadar posisi masing-masing. Nadia sudah bukan tanggung jawab Anda lagi."
Hendra menatap Surya dengan tajam. Dia merasa tertantang.
"Kamu bisa bilang begitu sekarang. Tapi aku bisa lihat dari cara kamu bersikap, kamu punya maksud lain."
"Kalaupun ada maksud lain memangnya kenapa?" balas Surya.
Rahang Hendra mengeras. Lelaki itu bahkan siap beradu otot jika Surya menantang.
"Ya Allah, cukup!"
Nadia benar-benar frustrasi melihat kelakuan dua lelaki ini. Dia mencoba mengakhiri perdebatan yang semakin panas.
"Diam kamu Nadia. Cowok gak sopan kayak dia harus dikasih pengertian," ucap Hendra geram.
"Udah, Mas. Aku nggak mau kamu bicara kayak itu ke Surya. Dia nggak ngelakuin apa-apa yang salah. Kamu harus berhenti mengatur hidupku. Kita sudah berakhir."
Hendra terdiam, tersentak oleh kata-kata Nadia.
"Nadia, aku-"
Surya yang menyaksikan ketegangan ini, merasa perlu untuk menengahi.
"Mas Hendra, mari kita tenangkan diri. Saya menghormati masa lalu Anda dengan Nadia. Tetapi saya rasa penting bagi kita untuk saling menghargai keadaan yang sekarang."
Hendra menatap Surya, merasakan ketidaknyamanan yang semakin dalam. Ia tidak bisa memungkiri, ada kebenaran dalam kata-kata itu. Sayangnya rasa cemburu mengalahkan logika.
"Aku cuma mau melindungi Nadia. Aku gak bisa ngeliat dia dekat sembarangan orang, terutama sama kamu!"
"Aku bukan siapa-siapa kamu, Mas."
Hendra merasa terpojok. Dia tahu kata-katanya mungkin terdengar egois, tetapi rasa peduli kepada Nadia sulit dipisahkan dari perasaannya.
"Kita semua ingin yang terbaik untuk Nadia. Tapi kalau Mas terus-menerus hadir di hidupnya dengan cara seperti ini, itu justru akan menyakiti dia," ucap Surya bijak.
Hendra mengalihkan pandangannya ke Nadia, berharap melihat sedikit pengertian di wajah mantan istrinya. Namun, yang dia lihat justru ketegasan.
"Nadia, aku minta kamu untuk hati-hati. Aku tahu aku gak bisa ngatur hidup kamu lagi. Tapi aku peduli. Jangan terlalu dekat dengan orang ini."
"Surya cuma mau bersahabat denganku. Dan aku berhak memiliki teman."
Hendra mengerutkan kening, bingung antara mempertahankan posisi atau menerima kenyataan.
"Jadi kamu lebih memilih dia dibandingkan aku? Ingat Nadia, aku masih menafkahimu setiap bulan."
"Jadi Mas gak ikhlas?"
"Aku cuma mengingatkan," jawab Hendra tegas.
Nadia merasakan sakit di hatinya mendengar itu. Di saat seperti ini Hendra malah mengungkit pemberiannya.
"Baiknya Mas pulang sekarang juga."
Hendra menatap Nadia dengan tajam karena merasa diusir. Lelaki itu menarik napas dan mencoba menenangkan diri.
"Mas Hendra, saya menghargai perasaan Anda. Tapi baiknya Mas bisa memahami bahwa hubungan Nadia dan saya adalah pilihan kami berdua."
Hendra merasa dikhianati. Ia tidak ingin merasa seperti ini, tetapi tidak bisa mengontrol perasaannya.
"Mas sudah menikah. Jangan terus mengingat masa lalu kita. Itu gak adil untuk Cintia."
Saat nama istrinya disebut, seketika Hendra terdiam. Lelaki itu menyadari bahwa semua ini hanya perasaannya yang egois. Dia tidak ingin mengacaukan hidup Nadia lebih jauh.
"Kalau Mas peduli sama Nadia, berikan dia kebebasan. Biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri."
Surya mengatakan itu dengan sungguh-sungguh. Memberikan pengertian kepada lelaki berhati keras seperti Hendra ternyata cukup sulit.
"Pulang, Mas. Jangan bikin keributan di sini," pinta Nadia memohon. Dia bahkan memegang lengan Hendra untuk membujuk lelaki itu.
"Oke Mas pulang. Tapi kalau ada apa-apa cepat kabari. Mas pasti bantu kamu."
Nadia mengangguk, merasakan campuran lega dan kesedihan.
Hendra berbalik dan pergi. Saat ia meninggalkan tempat itu, ada perasaan kehilangan yang mendalam. Dia masih tak rela jika mantan istrinya didekati lelaki lain.
"Ah, syukurlah."
Setelah Hendra pergi, Nadia merasa begitu lega. Dia langsung duduk di kursi dan mengusap wajah berulang kali.
"Sorry, Nad. Aku emosi, soalnya dia mulai duluan," ucap Surya kesal.
"Gak apa-apa. Untung kamu gak kepancing tadi."
"Aneh, dia yang ceraikan kamu. Tapi dia juga cemburu ngeliat kamu sama aku."
Nadia mengulum senyum mendengar Surya menggerutu. Baru kali ini dia melihat wajah tampan itu kesal. Biasanya selalu tersenyum dan penuh kesabaran.
"Udah jangan dibahas lagi. Aku mau lanjut kerja. Kalau kamu mau belanja, ayo aja."
Surya mengangguk lalu menggandeng tangan Nadia masuk ke toko. Kali ini dia lebih berani karena mendapat lampu hijau dari kejadian tadi.
Rasa sakit yang tak tertahankan mulai menyelimuti tubuh Nadia. Napasnya tersengal dengan keringat dingin yang membanjiri pelipis.Nadia menggenggam erat lengan Surya yang duduk di samping ranjang rumah sakit. Wanita itu mencoba menarik napas dalam-dalam. Namun setiap tarikan terasa seperti menggores paru-parunya.Kontraksi datang semakin sering dan wajah Nadia memucat.“Sayang, kamu kuat, ya? Sebentar lagi ketemu bayi kita."Surya mencoba menenangkan Nadia. Meski raut cemas tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Lelaki itu berusaha menyeka keringat yang terus membasahi wajah istrinya.“Aku mau lahiran normal, please."Nadia berkata dengan suara lemah. Wanita itu terisak menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut di perutnya."Tapi kamu gak kuat, Sayang. Jangan dipaksakan," bujuk Surya."Baiknya jangan
Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba kembali di Indonesia. Program bayi tabung di luar negeri yang selama ini mereka jalani membawa hasil yang tak ternilai harganya. Ketika pesawat mendarat, Surya meraih tangan Nadia dan menggenggamnya erat.“Sudah sampai, sayang,” bisiknya lembut. “Akhirnya kita pulang.”Nadia tersenyum samar. Namun di balik senyum itu jelas tampak kelelahan yang mendalam. Sejak kehamilannya memasuki minggu keenam, kondisinya semakin melemah.Rasa mual yang datang sepanjang hari, bukan hanya di pagi hari seperti yang sering ia baca di buku-buku kehamilan. Setiap kali mencoba makan, perutnya langsung menolak. Surya terus mengamati wajah istrinya yang tampak semakin pucat.“Apa kamu mau istirahat begitu sampai rumah?” tanya Surya, menatap wajah Nadia dengan cemas.“Ya… mungkin. Aku cuma ma
Nadia dan Surya duduk bersebelahan di ruang tunggu bandara Changi. Mereka menanti penerbangan ke Singapura untuk menjalani program bayi tabung yang telah lama di diskusikan.Suasana hening menyelimuti mereka berdua. Hanya suara pengumuman penerbangan dan derap langkah orang-orang yang terdengar di sekitar.Nadia menatap ke depan, matanya menerawang jauh. Surya merasakan kegelisahan istrinya dan menggenggam tangannya lembut.“Kamu tegang?” Surya membuka percakapan dengan nada lembut.Nadia tersenyum samar. “Nggak juga, cuma... ya, mungkin agak cemas. Kita beneran mau program, ya?”Nadia menoleh menatap suaminya, mencoba mencari kepastian.“Iya, Sayang. Tapi kita lakukan ini karena sama-sama mau, bukan karena tekanan atau paksaan,” Surya menenangkan.“Kita sudah sepakat, apa pun hasilnya nanti, kita tetap akan bersama.”Nadia terdiam, lalu mengangguk.&ldquo
Setelah resepsi pernikahan yang berlangsung sederhana dan penuh kehangatan, Surya dan Nadia memasuki suite hotel mereka."Ini kamar kita," ucap Surya di depan pintu."Aku udah gak sabar lihat isi dalamnya," bisik Nadia."Mau aku gendong?" goda Surya."Gak usahlah. Memangnya di film-film."Gelak tawa keduanya menghema di lorong hotel. Surya mengambil kunci yang diberikan oleh resepsionis di saku celananya.Keduanya sudah berganti pakaian. Surya bahkan memakai kaus longgar dan celana jeans. Nadia bahkan sudah menghapus make up. Wanita itu memakai gaun selutut dengan penghiasan lengkap di leher dan jarinya.Mereka berjalan berdampingan, diiringi tatapan penuh cinta dan sedikit rasa canggung."Silakan masuk, Tuan Putri."Ketika pintu suite mereka tertutup dengan lembut di belak
Langit cerah membentang di atas taman yang dipenuhi dengan hamparan bunga-bunga cantik. Pohon-pohon besar menaungi tempat itu dengan teduh. Suara aliran air dari kolam kecil di sudut taman menambah suasana tenang yang romantis.Pernikahan Surya dan Nadia diadakan dengan sederhana tetapi penuh kehangatan. Hanya keluarga dan sahabat dekat yang hadir, membuat suasana lebih intim dan bermakna.Nadia dan Surya duduk di kursi yang dihias bunga mawar putih dan eucalyptus. Wanita itu mengenakan gaun putih sederhana tanpa banyak aksen tetapi tetap elegan.Rambut Nadia disanggul rapi. Senyum hangatnya memancarkan kebahagiaan yang nyata. Surya terlihat gagah dengan setelan jas hitam yang pas di tubuh. Wajah lelaki itu cerah. Matanya berbinar-binar menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya."Ananda Muhammad Surya Perdana, saya nikahkan engaku dengan Nadia Nur Azizah binti almarhum
Nadia menghembuskan napas panjang sebelum menekan tombol hijau di layar ponsel. Nama Surya tertera jelas.Kali ini Nadia merasa perlu membicarakan sesuatu yang sudah lama mengganjal di pikirannya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara hangat Surya terdengar dari seberang.“Halo, Sayang?” Surya menyapa dengan ceria seperti biasanya. Lelaki itu sedang berada di ruangannya di kafe. Namun, dia mengerjakan proyek render gambar sebuah bangunan.“Halo, Sur,” balas Nadia dengan nada lembut. Ada sedikit kegugupan yang terselip di suaranya.“Kenapa? Suara kamu kayaknya aneh," tanya Surya lembut."Nggak apa-apa," lirih Nadia serak."Kamu habis nangis?" tanya Surya lagi."Enggak. Aku cuma lagi kangen aja.""Ada yang mau kamu bicarain?” tanya Surya seperti bisa merasakan ada yang berbe