Share

Bab 5

last update Last Updated: 2021-08-07 11:34:35

Bab 5 

     Menjelang sore baru lah Bu Melia mengajak Arsyad pulang. sebenarnya dari tadi Arsyad mengisyaratkan kepada ibunya agar segera pulang tapi perempuan itu itu tidak menggubris.

      "Bagaimana sosok Naura menurutmu? Apa dia cukup cantik untukmu?"

     "Entahlah, Bu. Iya, aku akui dia cantik."

     "Lalu apakah kamu masih ragu untuk menikahinya?"

     "Sekarang belum saatnya berbicara begitu. Bahkan aku belum bicarakan ini sama Ika. Oh iya Ika, dia pasti sudah lama menunggu."

     Arsyad melirik jam tangannya menjelang pukul 16.00. hatinya mulai gelisah.

     "Tadi pagi kita bilang sama Ika pergi tidak akan lama. Tapi tahu-tahu pulangnya sudah sore begini. Pasti ia merasa dibohongi." Gumam Arsyad.

     "Ika lagi Ika lagi, bosan Ibu dengar kamu sebut-sebutin nama Ika terus. Seperti tidak ada perempuan lain saja. Istri mandul saja dibangga-banggakan."

     "Bu, saya rasa tidak ada salahnya aku sebagai suami mengkhawatirkan Ika. Bukan maksud membangga-banggakan."

    Bu Melia menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa kali beliau menghela nafas kasar.

     "Kamu masih tidak mengerti juga. Lama-lama ibu bisa kecewa sama kamu. Pokoknya malam nanti kamu harus membicarakan soal ini sama Ika. Kalau tidak, ibu yang akan membicarakannya."

     "Tidak, Bu. Biarkan aku saja."

     "Ingat waktumu cuma tersisa malam nanti. Ibu tahu ini terkesan terburu-buru. Tapi mau bagaimana lagi, ibu dan Bu Ema telah terlanjur menyusun dan menyiapkan semuanya, termasuk gedung yang akan menjadi tempat resepsi kalian juga telah di siapkan. Pernikahan kalian akan diselenggarakan dalam waktu yang tidak lama lagi.

     "Apa? Kalian sudah menyiapkan semuanya? Dan itu kalian lakukan tanpa sepengetahuanku?" Arsyad membulatkan kedua matanya.

     Bu Melia juga tidak mau kalah. Kedua mata Bu Melia  melotot melihat Arsyad.

     "Arsyad, seharusnya kamu bersyukur pernikahanmu dan Naura akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Dan kamu tidak susah-susah mempersiapkannya. Karena semuanya ibu dan Bu Ema yang menghandle. Kamu tidak perlu bersusah payah. Tapi kamu bukannya berterima kasih, malah seperti tidak senang."

     Arsyad geleng-geleng kepala semakin tidak mengerti dengan cara berpikir ibunya.

     "Makanya ibu menyuruh kamu untuk membicarakan masalah ini cepat sama Ika. Ibu tidak mau nanti apabila Ika terkejut dan marah, lalu merusak acara pernikahan kalian."

     Arsyad merasa kesulitan mencari alasan untuk mengelak dari permintaan ibunya. Ibunya dan ibu Ema sudah bertindak terlalu jauh. Rasa kesal dan marah tidak bisa Arsyad ungkapkan.

     "Baiklah Bu, sepertinya ibu memang sangat menginginkan aku menikah dengan Naura. Bahkan tanpa persetujuanku terlebih dahulu, kalian diam-diam mempersiapkan semuanya."

     "Sudah seharusnya kamu dengarkan ibu. Biar tidak jadi anak durhaka sebagai anak. Ibu sayang sama kamu, Arsyad. Kamu satu-satunya anak ibu. Ibu memikirkan masa depan kamu. Makanya ibu mau kasih kamu jodoh yang benar-benar bisa membawamu ke masa depan yang cerah dan bahagia."

    

     "Iya, iya. Aku mohon ibu tidak usah bicara lagi. Kepalaku pusing, Bu."

     Arsyad mempercepat laju kendaraan yang ia kendalikan. Bu Melia berdecih melihat gelagat anaknya.

     "Kepalamu pusing karena adanya Ika. Ika yang tidak bisa membahagiakanmu. Coba saja kalau dia bisa melahirkan seorang anak. tentu saja kalian akan menjadi keluarga yang bahagia, begitu juga dengan ibu, bisa menimang cucu. Tapi sayangnya perempuan itu tidak kunjung hamil."

     Arsyad semakin di buat kalut dengan kata-kata ibunya yang terus-menerus memojokkan sosok Ika.

     "Iya Bu, iya . Aku bilang berhenti dulu bicara. Aku akui Ika memang tidak sempurna."

     "Makanya kalau kamu sadar Ika tidak sempurna, sudah semestinya kamu harus menerima Naura sebagai istri barumu. Wanita yang lebih berbobot dan berpendidikan."

    Arsyad menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kasar. Sejenak Arsyad memperlambat laju mobil. Perlahan mulutnya berbicara dengan intonasi yang dipelankan.

     "Bu, sekali lagi Arsyad mohon, coba berhentilan memojok-mojokkan Ika. Ibu tenang saja, aku akan menikahi Naura sebagaimana yang ibu mau."

     Bu Melia tersenyum tipis.

     "Bagus...!"

  

***

     Dengan lesu Ika mempersiapkan pakaian suaminya yang baru saja selesai mandi. Tidak ada senyum di wajahnya, tidak ada senda gurau dan canda tawa seperti biasa. Wanita itu terlihat dingin.

     "Itu, Bi. Pakaian Abi. Sudah Abi taruh di atas ranjang. kalau tidak suka dengan pakaian yang Ami ambilkan, Abi boleh ambil pakaian lain di lemari." Ujar Ika tanpa menoleh.

     Arsyad yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi menatap heran kepada istrinya. Rasa khawatir menyeruak di hati.

     Dengan segera Arsyad memakai pakaian yang tadi sudah disiapkan Ika untuknya. Arsyad bertanya-tanya dengan perubahan istrinya yang tiba-tiba.

     Semula Arsyad mengira istrinya tersebut akan marah ketika sang suami pulang tatkala hari sudah menjelang sore. Namun diluar dugaannya, wanita itu cuma diam menyambut kepulangan Arsyad dan ibunya. Tidak ada kemarahan, tidak ada ujaran-ujaran kesal, tidak juga bertanya dari mana dan mengapa.

      Ini kali pertama selama lima tahun pernikahan, Arsyad menyaksikan sikap dingin dari istrinya. Padahal biasanya Arsyad pulang kerja kelamaan saja, istrinya itu sudah bertanya ke mana-mana. Bukan cerewet,  tapi Ika mengaku begitu mengkhawatirkan keadaan sang suami.  

     Biasanya meskipun belum dikaruniai anak, kehidupan mereka bahagia dengan keceriaan dan kehangatan Ika. Entah mengapa sore ini Arsyad merasakan perubahan besar dari istrinya.

     Terasa semakin bingung, Arsyad mulai memikirkan cara bagaimana mengawali pembicaraan penting yang akan ia sampaikan pada Ika nanti, wanita yang telah menemaninya selama lima tahun belakangan.

     Hari menjelang malam. Arsyad duduk di teras rumah.

     "Bi, ayo masuk, sudah waktunya makan malam...!" Ajakan dari Ika mengagetkan Arsyad.

     "Iya Mi, Abi masuk sebentar lagi."

     Selepas itu, Ika masuk ke dalam. Bahkan jawaban dari Arsyad belum sepenuhnya terucap.

     Arsyad membatin dalam hati, apa yang membuat istrinya bersikap kaku hari ini. padahal belum lagi ia ceritakan masalah permintaan ibunya untuk menikahi Naura.

     "Apakah ibu yang lancang membicarakan hal ini pada Naura mendahului aku? Huuuuh, masalah ini menjadi benar-benar rumit."

     Arsyad kembali mengacak-acak rambut. Namun untuk menghargai ajakan Ika barusan, Arsyad melangkah masuk menyusul langkah Ika. Meski saat itu ia sama sekali tidak memiliki nafsu makan.

     Dilihatnya Ika dan Bu Melia duduk menghadap ke meja makan. Arsyad ikut nimbrung. Ika dengan cepat mengambilkan nasi untuk Arsyad dan menaruh lauk-pauknya. Sementara tangannya sibuk bekerja, namun mulut itu tetap lah diam. Sesekali terlihat senyum tipis yang nampak terlalu dipaksakan terlukis disudut bibirnya.

     "Tidak usah terlalu banyak ya, Mi."

     "Iya, Bi." Jawabnya sambil mengurangi porsi nasi di piring.

     "Iya, tidak usah banyak-banyak, Ika. Tadi Arsyad sudah makan banyak di rumah Naura. Masakan Naura enak." Tiba-tiba saja Bu Melia menimpali pembicaraan mereka.

     Arsyad tergugu. Sedikit mendelik ke arah sang ibu yang malah tersenyum sinis.

     "Apa-apaan sih, Bu? aku tidak mau makan banyak-banyak karena memang selera makanku sedang kurang, bukan karena sudah makan di rumahnya Naura." Jawab Arsyad tidak senang.

     Melihat Arsyad sedikit meninggikan volume suara, Ika mendelikkan mata.

     "Abi, maaf, Abi tidak boleh berbicara seperti itu sama ibu kandung sendiri. Bicaralah yang sopan." Ika menyela.

     "Nah tuh Ika benar kamu tidak boleh melawan ibu. Setidaknya kamu harus menuruti kata-kata ibumu sendiri" ujar Bu Melia menanggapi ucapan Ika barusan.

      "Ya, Bu aku tahu."

       Setelah itu Ika tidak lagi mempedulikan ocehan ibu mertuanya, sesendok dua sendok makanan ia masukkan ke mulutnya. Meski makanan itu terasa tidak sanggup untuk melewati tenggorokannya, Ika tetap berusaha. Agar Arsyad mengira ia akan selalu baik-baik saja.

     tanpa Ika sadari, Arsyad memperhatikan tingkah istrinya. selama makan, istrinya itu tetap diam. Hanya sesekali terdengar suara perpaduan sendok dan piring kaca yang ia gunakan memecah suasana ruang makan.

    

***

     Malam menjelang, Arsyad berpikir sudah saatnya untuk bicara. Arsyad menguatkan hati.

     Setelah terasa waktu sedikit tenang, Arsyad mencari Ika ke sana ke mari. Di dapur, tidak ada. Di ruang tamu, di ruang keluarga, di teras, tidak ada.

     "Kemana perginya dia?" Gumam Arsyad.

     Akhirnya Arsyad melangkah menuju ke lantai atas, dilihatnya lah seorang perempuan tengah duduk di balkon seorang diri. Dengan tatapan mata menatap kosong ke luar sana.

     Arsyad merasa perih melihat keadaan istrinya. Perlahan Arsyad mendekati Ika.

     "Ika sayang, mengapa malam-malam malah berada di sini. Sendirian lagi. Kamu bisa kedinginan, Sayang." Arsyad menyapa sambil menyentuh pundak istrinya.

     "Abi juga mengapa sampai menghampiri Ika ke sini. Pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan bukan? Duduklah, Bi. Ami akan dengarkan baik-baik."

     Duggh...

     Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya.

      "Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan.

     "Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan."

    

Bersambung...

    

    

    

   

  

    

    

    

    

     

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Lea Octa
mesti jengkel sama mertua model begitu ....suka g habis pikir dimana perasaannya kaya g ada cara lain aja supaya dpt keturunan
goodnovel comment avatar
Iskandar Suci Iskandar
gimana klw mo dapat bonus
goodnovel comment avatar
Iskandar Suci Iskandar
masih suka baca bonus so habis
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status