Share

Bab 4

last update Last Updated: 2021-08-07 11:32:13

Bab 4

     "Apa? aku dan Naura? Kenapa harus kami berdua?" Arsyad melotot keheranan. Hatinya bertanya-tanya ada apa lagi kah ini?

     Arsyad menerka-nerka bahwa sang Ibu  mengajaknya ke rumah Naura, pastilah ada niat tertentu menyangkut perjodohan yang ingin beliau lakukan. Dalam hati Arsyad memohon pada yang kuasa semoga saja Bu Melia terbuka hatinya dan menarik keinginan untuk menyuruh anak lelakinya menikahi Naura.

     "Kenapa harus aku sama Naura, Bu?" Ulang Arsyad.

     "Tidak usah banyak tanya. Cukup kamu ikuti saja. Kau tahu? ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu. Jadi tidak usah khawatir dan berpikir yang tidak-tidak."

     Arsyad sadar betul, setiap Ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk ibunya. Dia tidak meragukan itu. Demi mencegah agar keadaan tidak semakin keruh, Arsyad diam.

     "Arsyad Ibu tahu kamu mencintai Ika. Dan juga Ika istri yang baik. Namun ingatlah, Nak. Seorang laki-laki butuh anak untuk mewarisi garis keturunan. Apalagi kamu anak tunggal. Karena cintamu pada Ika, Ibu tidak menginginkan kamu menceraikannya. Tapi, mintalah ijin padanya untuk menikahi Naura."

     Bu Melia berbicara cukup pelan. Dalam keadaan bimbang, sebenarnya Arsyad menyadari masih ada kebenaran dalam ucapan sang ibu. Ia memang membutuhkan anak untuk meneruskan garis keturunannya.

     "Ya Bu nanti Arsyad pertimbangkan."

     "Berhenti berkata mempertimbangkan. Ibu ingin kamu tidak bersikap bertele-tele seperti seorang pengecut. Kamu laki-laki Arsyad, pasti kamu tahu apa yang harus kamu lakukan ketika istrimu tidak bisa memberimu keturunan."

     "Ya Bu aku tahu itu."

     "Nanti malam bicarakan lah hal itu pada Ika. Kalau dia benar-benar istri yang baik dia pasti mengizinkanmu menikahi Naura. Kalau dia istri yang berbakti, sudah pasti dia akan menerima Naura sebagai adik madunya dengan lapang dada. Ika seharusnya sadar, bahwa Ibu sudah terlalu baik tidak menyuruhmu untuk menceraikan dia."

    "Sudah, tidak usah bicara panjang lebar mengenai Ika, Bu. Semua yang menyangkut soal Ika, biar aku yang mengurusnya." Arsyad bicara sedikit keras.

     "Apa maksudmu bicara seperti itu Arsyad? kamu ingin menentang ibumu ini?"

     "Aku tidak menentang Ibu. Tapi mohon jangan membicarakan Ika terus menerus. Sakit telinga aku mendengarnya." Arsyad bicara tegas.

     Mendengar suara Arsyad yang sedikit meninggi, Bu Melia ragu meneruskan kata-kata. Padahal masih banyak yang ingin Ia ceritakan soal Ika. Dia tahu betul bagaimana sifat Arsyad. Arsyad jarang meninggikan volume suara. Apa lagi di depan ibunya.

     Setelah itu, keduanya diam membisu. Sampai akhirnya mereka tiba di rumah kediaman Naura dan orang tuanya. Sebuah rumah yang lumayan besar berdiri kokoh bergaya minimalis modern.

     Pintu gerbang terbuka untuk mereka. Pelan-pelan Arsyad mengendalikan mobil masuk ke area pekarangan yang juga cukup luas. Seorang wanita seusia Ibunya datang menghampiri.

     "Selamat datang Bu Melia... Sudah ditunggu dari tadi lho, calon besan." Bu Ema, ibunda Naura menyambut senang.

     Arsyad semakin tidak enak mendengar sebutan "Besan" dari mulut Bu Ema. Bu Ema mengulurkan tangannya pada Arsyad, mau tidak mau Arsyad menerima uluran tangan tersebut diiringi dengan senyum yang dipaksakan.

     "Ayo ayo masuk. Saya akan panggilkan Naura."

     Bu Ema mengajak mereka masuk ke ruang tamu.

     "Sebentar ya saya panggilkan Naura nya dulu." Pamit Bu Ema.

     "Iya dong cepat panggilkan dia bilang Arsyad sudah tiba." Bu Melia pun antusias.

     Arsyad hanya bisa diam melihat perilaku dua orang wanita paruh baya di dekatnya. Ada rasa tak suka pada sikap keduanya. Namun apapun keadaannya Bu Melia adalah ibu kandung yang harus dihormati.

     Tidak berapa lama kemudian muncullah Naura dengan berurutan gamis yang anggun menyejukkan mata.

     Seperti perkataan ibunya, Arsyad mengakui Naura memang cantik. Namun sosok Ika terlanjur menguasai hatinya. Akankah posisi Ika tersingkirkan dan diganti oleh Naura? Entahlah, saat ini Arsyad belum mampu untuk menjawabnya.

     "Nah Naura, ini Arsyadnya sudah datang." Bu Ema tidak kalah sumringah.

     Naura mengulurkan tangannya. Mau tidak mau Arsyad kembali menerima uluran tangan itu.

     "Sebentar ya, Naura buatin minuman."

     "Wah Nak Naura tidak usah repot-repot. Tante dan ibumu ingin menyuruh kalian untuk mengambil pesanan kemarin."

     Naura menghentikan langkahnya.

     "Maksudnya aku dan Bang Arsyad yang mengambilkan?" Tanyanya.

     "Iya benar. Kamu dan Arsyad. Tidak keberatan kan?" Bu Ema melirik putrinya.

     "Mmm... Boleh juga sih. Tapi nanti dulu, Naura buatkan minuman dulu sebelum pergi. Kan kasihan Bang Arsyad baru sampai juga." Jawab Naura. Bu Melia terlihat senang mendengarnya.

     "Lihatlah, Naura memang gadis baik, Arsyad." Bu Melia menoleh ke arah Arsyad.

     "Iya, Bu." Jawab Arsyad malas bicara panjang-panjang.

     "Bu Mel, undangannya sudah, tinggal kita mempersiapkan acara pestanya." Bu Ema bercerita.

     "Seperti rencana kita kemarin kan?" Sambut Bu Melia.

     "Iya tidak ada yang berubah. Kecuali untuk gaun itu sesuai selera Naura dan Arsyad."

     Arsyad semakin dibuat bingung dengan percakapan mereka.

     "Kenapa harus sesuai selera saya, Bu?" Arsyad heran. Ada pikiran lain yang singgah di benaknya. Namun pikiran itu dengan cepat ia tepis jauh-jauh.

     "Halah, Nak. Tidak usah bingung. Nanti Naura akan mengajakmu untuk melihat-lihat mana yang kau suka." Timpal Bu Ema.

     "Bisa dijelaskan Bu. Arsyad kurang mengerti arah pembicaraan ibu sama Tante Ema."

     "Arsyad, nanti juga kamu akan mengerti. Yang penting sekarang senangkanlah hati  dengan bepergian bersama calon istrimu. Naura. Dia gadis yang cantik bukan? Pasti mampu membuatmu senang." Bu Melia mengelus pundak putranya.

     "Iya nak Arsyad. kalian harus mendekatkan diri terlebih dahulu. Naura sudah lama merindukan Nak Arsyad." Tambah Bu Ema.

     Tidak lama berselang muncullah Naura bersama 4 gelas minuman dalam nampan yang ia bawa.

     "Nih silakan diminum ya Bang Arsyad, Tante Melia."

     "Terima kasih cantiik." Bu Melia meraih minuman tersebut dan menyeruputnya.

     "Minuman yang sungguh nikmat. Sepertinya Naura memang calon istri yang luar biasa. Sudah cantik, tahu tugas istri bagaimana, sudah begitu berpendidikan tinggi juga. Wanita luar biasa." Kembali bu Melia melontarkan puji-pujian untuk Naura, membuat perempuan itu tersipu.

    Arsyad berpikir, wajar saja ibunya suka dengan Naura. Sepertinya Naura memang baik. Di samping itu, lihatlah kostum yang dikenakannya. Terlihat anggun dan menutupi lekuk tubuh. Tidak salah apabila Bu Melia mengatakan Naura gadis yang alim.

     Namun Arsyad juga sadar bahwa sikap asli dari seseorang tidak bisa dinilai begitu saja dari penampilan.

     "Ya sudah nak Arsyad tidak usah bingung terus. Tuh Naura sudah selesai bersiap-siap. Kalian pergi sekarang ya." Ujaran Bu Ema mengejutkan Arsyad.

     Arsyad melihat Naura sudah rapi dengan gamis panjang lengkap dengan hijabnya.

     "Ayo Bang Arsyad, kita pergi sekarang."

     Naura memegang kunci mobil dan wanita itu mulai melangkahkan kaki keluar air saat mengikuti dari belakang.

     Di dekat mobil, Naura menunggu Arsyad.

     "Bang, Abang yang bawain mobilnya ya. Nih Kuncinya." Naura menyerahkan kunci mobil.

     "Kenapa nggak pakai mobil Abang saja."

     "Katanya nanti ibu ibu kita akan pergi bareng pakai mobil Bang Arsyad. Makanya sekarang kita pakai mobil aku aja deh."

     Tidak mau berdebat Arsyad menuruti keinginan Naura.

***

     "Bang, Abang suka gaun pengantin yang warna apa?" Di dalam perjalanan Naura membuka percakapan.

     "Entahlah, semuanya sesuai selera masing-masing." Arsyad menjawab tanpa menoleh.

     "Iya Abang benar semuanya sesuai selera. Tapi sepertinya kita harus belajar mempunyai selera yang sama."

     "Oh ya? Kenapa?"

     "Abang pura-pura nggak tahu atau gimana sih? Ya sudah kita belok ke sana. Berhenti di sana." Naura menunjuk sebuah gedung besar.

      Arsyad menurut. Dengan segera ia membelokkan mobilnya ke arah yang ditunjuk Naura.

     "Ayo Bang kita masuk ke dalam."

     Arsyad masuk mengikuti langkah kaki Naura. Baru saja masuk, Arsyad dibuat terheran-heran. Rupanya itu sebuah toko yang menjual aneka gaun pengantin mahal.

     "Kok ke sini, Naura? Untuk siapa kita membeli gaun pengantin?" Arsyad yang sedang kebingungan bertanya.

     "Untuk Kita." Jawab Naura tanpa rasa bersalah.

Bersambung...

  

    

 

    

    

    

    

    

    

    

     

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Pake hijab tertutup pakaiannya giliran sama co yg blm mahram malah jabat tgn situ sadar ora?
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
laki2 kok lembek nggak punya pendapat sendiri, bisa disetir.hih gemes .pengen brjek2.
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
suami yang tidak memiliki komitmen mengasihi istrinya yang pertama.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status