Share

Nafkah Nasi Aking
Nafkah Nasi Aking
Penulis: Yuni Masrifah

Bab 1 Nasinya Sangat Lezat

"Terima kasih, Mas. Nasinya sangat lezat," ucapku dengan menahan tangis.

Aku memasukkan suap demi suap nasi aking yang diberikan oleh mas Rendi, suamiku.

"Maafkan Mas ya, Ris. Mas belum bisa membahagiakan kamu. Hanya ini yang bisa Mas berikan untuk kamu. Kamu tahu sendiri, kan? Mas hanya seorang kuli serabutan. Penghasilan tidak tentu. Kadang Mas tidak mendapatkan uang sama sekali. Mas harap kamu bisa sabar ya, Ris! Untuk sementara kamu makan saja nasi aking ini, ya!" sahut mas Rendi memberi pengertian.

Aku mengangguk sambil menatap nasi aking yang ada di atas piring.

"Habiskan, kamu mesti jaga kesehatan. Kania masih membutuhkan asi, jadi kamu jangan membiarkan perut kamu kosong," ujar mas Rendi.

Aku kembali menyuap nasi aking ke dalam mulutku dengan perasaan getir.

"Kamu nggak makan, Mas? Ayo makan sama-sama!" ajakku.

Mas Rendi menggeleng sambil tersenyum kecil lalu menjawab, "Tidak, Mas belum lapar. Kamu saja yang makan, nanti kalau Mas lapar Mas pasti makan."

Aku mengangguk, aku salut mas Rendi rela menahan laparnya demi aku bisa makan walaupun hanya dengan nasi aking. Aku segera menghabiskan sisa nasi aking di atas piringku.

"Mas mau keluar dulu ya, Ris!" pamit mas Rendi.

Aku mengangguk, kemudian membereskan piring bekas makanku.

"Oh iya, kalau sampai malam Mas belum pulang, kamu nggak usah khawatir, ya! Mas mau mencari uang untuk membelikan kamu makanan yang layak. Doakan semoga Mas dapat uang," lanjut mas Rendi sebelum benar-benar keluar dari rumah.

"Iya, Mas!" sahutku.

Sudah sebulan ini mas Rendi setiap hari memberiku nafkah berupa nasi aking. Padahal dulunya dia bekerja di sebuah kantor. Tapi sayang, dia terkena PHK dan terpaksa harus bekerja sebagai kuli serabutan. Semua uang yang kami punya habis dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, biaya persalinanku dan juga membayar hutang. Sudah mencari pekerjaan dimana-mana, tapi belum kunjung mendapatkannya. 

Sedih rasanya, tapi harus bagaimana lagi. Pekerjaan mas Rendi tidak tentu dan penghasilannya pun kadang dapat dan kadang tidak. Terkadang mas Rendi hanya membawa uang sebesar sepuluh ribu saja. Beruntung kami tidak hidup mengontrak. Kami tinggal di rumah sederhana peninggalan orang tuaku.

Yang membuatku bertahan berumah tangga dengannya karena mas Rendi begitu baik, sabar, setia, dan aku sangat mencintainya walaupun kehidupan kami tidak seindah yang dibayangkan. Satu hal lagi yang paling penting, ada anak yang menjadi penguat hubungan kami berdua.

Malam pun tiba, aku sedang berkutat menyusui Kania anakku yang masih bayi di dalam kamar.

Tanpa terasa aku pun tertidur di samping anakku.

"Astaghfirullah … banyak nyamuk!" gumamku.

Aku terbangun dari tidurku, akibat gigitan nyamuk yang lumayan banyak dan sangat mengganggu.

"Ya ampun, Nak, kamu juga digigit, ya?" Aku mengibas-ngibas tanganku di atas tubuh Kania.

Beberapa kali Kania bergerak karena merasakan gigitan nyamuk pada kulitnya. Bahkan Kania juga kadang menangis karena terganggu oleh gigitan nyamuk itu.

"Aduh bagaimana ini? Obat nyamuk juga sudah habis," batinku.

Aku pun menoleh ke arah nakas. Aku melihat ada uang koin sebesar Rp.1500 tergeletak di sana.

"Apa aku belikan obat nyamuk saja ya? Tapi Kania gimana ya? Mana mungkin aku tinggalkan dia sendirian. Mana Mas Rendi belum pulang, lagi."

Seketika aku menjadi bimbang. Tidak mungkin juga aku membawa Kania keluar rumah malam-malam begini. Tapi melihat dia yang terus bergerak gara-gara digigit nyamuk sampai kulitnya berbintik-bintik merah, aku tidak tega.

Aku pun mencoba mencari bantuan kepada tetangga untuk dimintai tolong.

Beruntung tetanggaku yang bernama bu Lela, mau dimintai tolong. Dia bersedia menjaga Kania saat aku hendak membeli obat nyamuk.

"Titip Kania dulu ya, Bu. Nggak bakalan lama kok," ujarku.

"Iya tidak apa-apa, Ris. Kalau saja di rumah ibu masih ada obat nyamuk, mungkin ibu bakalan bawain buat kamu. Tapi malah habis," sahut bu Lela.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya permisi dulu ya, Bu!" Aku berpamitan dan segera keluar dari dalam rumah.

Aku mencari obat nyamuk di warung terdekat.

"Wah, sudah habis, Ris. Baru saja obat nyamuknya di borong sama Pak Kasim," ujar pemilik warung.

Terpaksa aku pun mencarinya ke warung yang lain, yang tentunya lumayan jauh dari sini.

Aku berjalan seorang diri, menyusuri jalanan yang masih tampak ramai lalu lalang kendaraan, karena jam baru saja menunjukkan pukul 21.00.

Aku terus berjalan sampai aku tiba di warung yang berdekatan dengan penjual nasi Padang. Dengan berbekal uang 1500 rupiah, aku pun berdiri di depan warung itu.

"Bu, beli obat nyamuknya satu," ujarku memesan.

Pemilik warung itu kemudian mengambil satu buah obat nyamuk bakar dari wadahnya. Kemudian membungkusnya dengan kantong kresek kecil.

Setelah membayarnya, aku pun membalik badan hendak pulang.

Baru saja kaki ini akan melangkah, ekor mataku seperti menangkap seseorang yang sangat aku kenali. Aku pun mengurungkan niatku untuk segera pulang.

Aku menoleh ke arah warung nasi Padang, hendak memastikan seseorang itu.

"Mas Rendi," gumamku menatap ke arah warung nasi Padang.

Terlihat mas Rendi sedang makan dengan lahapnya di barisan meja menghadap pintu keluar.

Aku berdiri mematung menatapnya yang tengah menikmati nasi padang, yang terlihat sangat lezat itu.

Air liurku seakan menetes, melihatnya begitu menikmati.

"Sudah lama aku nggak makan nasi Padang. Mungkin mas Rendi malam ini dapat uang banyak. Alhamdulillah … berarti besok aku tidak usah makan nasi aking lagi. Semoga saja malam ini juga Mas Rendi membawakanku nasi Padang juga," batinku.

Seketika senyumanku terbit, membayangkan apa yang akan mas Rendi bawa nanti.

Ingin rasanya menghampirinya, tapi aku teringat akan Kania, yang aku titipkan pada bu Lela. Tidak enak juga menitipkan anakku terlalu lama. Takut jika bu Lela sudah mengantuk.

Dengan langkah semangat, aku pun berjalan pulang. Tak sabar rasanya, menunggu mas Rendi pulang dan membawakan satu bungkus nasi Padang yang enak itu.

Tiba di rumah, aku melihat bu Lela berbaring di samping Kania.

"Ya ampun, kasihan sekali Bu Lela. Pasti dia sangat mengantuk," gumamku.

Aku langsung menyalakan obat nyamuk bakar. Aku menyimpannya agak jauh dari tempat tidur kami, karena aku tidak mau sampai Kania sesak karena terlalu dekat dengan obat nyamuk itu. Setidaknya tidurnya Kania tenang tanpa ada gangguan nyamuk sama sekali.

"Eh, kamu sudah pulang, Ris? Maaf barusan Ibu ketiduran," ucap bu Lela yang terbangun.

"Nggak apa-apa, Bu. Saya yang harusnya minta maaf, karena saya sudah merepotkan Ibu malam-malam begini," sahutku.

"Tidak apa-apa, Ris. Ya sudah kalau begitu, Ibu pamit pulang dulu, ya! Ibu sudah ngantuk," pamit bu Lela.

Aku pun mengangguk dan mengantarnya sampai teras rumah.

Aku kembali ke kamar dan melihat Kania tidur dengan nyenyaknya. Ada aroma minyak telon yang menguar dari tubuh Kania. Mungkin bu Lela habis membalurnya dengan minyak telon.

Aku merebahkan diri di samping putriku Kania, sembari menunggu kepulangan mas Rendi.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas dan aku masih terjaga.

"Mas Rendi kok belum pulang-pulang, ya!" gumamku melirik ke arah jam dinding.

Aku bangun dan berjalan ke arah ruang tamu. Lalu duduk menghadap kaca jendela, yang sengaja tirainya sedikit aku buka.

Dari luar, tampak mas Rendi berjalan ke arah rumah. Yang membuatku terpaku dan senang adalah, di sebelah tangan mas Rendi ada kantong kresek hitam yang sedang dibawanya.

Aku sangat yakin, pasti itu nasi Padang buat aku. 

Tanpa menunggu pintu diketuk, aku langsung dengan segera membukakan pintu untuk mas Rendi.

Ceklek

"Loh, kamu belum tidur, Ris?" tanya mas Rendi.

"Belum, Mas! Kamu bawa apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku sangat yakin, sesuatu di dalam kresek itu pasti berisi nasi Padang.

"Oh, ini … nih buka saja!" Mas Rendi memberikan kantong kresek itu kepadaku.

Aku pun dengan bersemangat membuka kantong kresek hitam itu dan senyumanku langsung berubah menjadi muram.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status