Home / Rumah Tangga / Nafkah Nasi Aking / Bab 1 Nasinya Sangat Lezat

Share

Nafkah Nasi Aking
Nafkah Nasi Aking
Author: Yuni Masrifah

Bab 1 Nasinya Sangat Lezat

last update Last Updated: 2024-03-15 13:00:49

"Terima kasih, Mas. Nasinya sangat lezat," ucapku dengan menahan tangis.

Aku memasukkan suap demi suap nasi aking yang diberikan oleh mas Rendi, suamiku.

"Maafkan Mas ya, Ris. Mas belum bisa membahagiakan kamu. Hanya ini yang bisa Mas berikan untuk kamu. Kamu tahu sendiri, kan? Mas hanya seorang kuli serabutan. Penghasilan tidak tentu. Kadang Mas tidak mendapatkan uang sama sekali. Mas harap kamu bisa sabar ya, Ris! Untuk sementara kamu makan saja nasi aking ini, ya!" sahut mas Rendi memberi pengertian.

Aku mengangguk sambil menatap nasi aking yang ada di atas piring.

"Habiskan, kamu mesti jaga kesehatan. Kania masih membutuhkan asi, jadi kamu jangan membiarkan perut kamu kosong," ujar mas Rendi.

Aku kembali menyuap nasi aking ke dalam mulutku dengan perasaan getir.

"Kamu nggak makan, Mas? Ayo makan sama-sama!" ajakku.

Mas Rendi menggeleng sambil tersenyum kecil lalu menjawab, "Tidak, Mas belum lapar. Kamu saja yang makan, nanti kalau Mas lapar Mas pasti makan."

Aku mengangguk, aku salut mas Rendi rela menahan laparnya demi aku bisa makan walaupun hanya dengan nasi aking. Aku segera menghabiskan sisa nasi aking di atas piringku.

"Mas mau keluar dulu ya, Ris!" pamit mas Rendi.

Aku mengangguk, kemudian membereskan piring bekas makanku.

"Oh iya, kalau sampai malam Mas belum pulang, kamu nggak usah khawatir, ya! Mas mau mencari uang untuk membelikan kamu makanan yang layak. Doakan semoga Mas dapat uang," lanjut mas Rendi sebelum benar-benar keluar dari rumah.

"Iya, Mas!" sahutku.

Sudah sebulan ini mas Rendi setiap hari memberiku nafkah berupa nasi aking. Padahal dulunya dia bekerja di sebuah kantor. Tapi sayang, dia terkena PHK dan terpaksa harus bekerja sebagai kuli serabutan. Semua uang yang kami punya habis dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, biaya persalinanku dan juga membayar hutang. Sudah mencari pekerjaan dimana-mana, tapi belum kunjung mendapatkannya. 

Sedih rasanya, tapi harus bagaimana lagi. Pekerjaan mas Rendi tidak tentu dan penghasilannya pun kadang dapat dan kadang tidak. Terkadang mas Rendi hanya membawa uang sebesar sepuluh ribu saja. Beruntung kami tidak hidup mengontrak. Kami tinggal di rumah sederhana peninggalan orang tuaku.

Yang membuatku bertahan berumah tangga dengannya karena mas Rendi begitu baik, sabar, setia, dan aku sangat mencintainya walaupun kehidupan kami tidak seindah yang dibayangkan. Satu hal lagi yang paling penting, ada anak yang menjadi penguat hubungan kami berdua.

Malam pun tiba, aku sedang berkutat menyusui Kania anakku yang masih bayi di dalam kamar.

Tanpa terasa aku pun tertidur di samping anakku.

"Astaghfirullah … banyak nyamuk!" gumamku.

Aku terbangun dari tidurku, akibat gigitan nyamuk yang lumayan banyak dan sangat mengganggu.

"Ya ampun, Nak, kamu juga digigit, ya?" Aku mengibas-ngibas tanganku di atas tubuh Kania.

Beberapa kali Kania bergerak karena merasakan gigitan nyamuk pada kulitnya. Bahkan Kania juga kadang menangis karena terganggu oleh gigitan nyamuk itu.

"Aduh bagaimana ini? Obat nyamuk juga sudah habis," batinku.

Aku pun menoleh ke arah nakas. Aku melihat ada uang koin sebesar Rp.1500 tergeletak di sana.

"Apa aku belikan obat nyamuk saja ya? Tapi Kania gimana ya? Mana mungkin aku tinggalkan dia sendirian. Mana Mas Rendi belum pulang, lagi."

Seketika aku menjadi bimbang. Tidak mungkin juga aku membawa Kania keluar rumah malam-malam begini. Tapi melihat dia yang terus bergerak gara-gara digigit nyamuk sampai kulitnya berbintik-bintik merah, aku tidak tega.

Aku pun mencoba mencari bantuan kepada tetangga untuk dimintai tolong.

Beruntung tetanggaku yang bernama bu Lela, mau dimintai tolong. Dia bersedia menjaga Kania saat aku hendak membeli obat nyamuk.

"Titip Kania dulu ya, Bu. Nggak bakalan lama kok," ujarku.

"Iya tidak apa-apa, Ris. Kalau saja di rumah ibu masih ada obat nyamuk, mungkin ibu bakalan bawain buat kamu. Tapi malah habis," sahut bu Lela.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya permisi dulu ya, Bu!" Aku berpamitan dan segera keluar dari dalam rumah.

Aku mencari obat nyamuk di warung terdekat.

"Wah, sudah habis, Ris. Baru saja obat nyamuknya di borong sama Pak Kasim," ujar pemilik warung.

Terpaksa aku pun mencarinya ke warung yang lain, yang tentunya lumayan jauh dari sini.

Aku berjalan seorang diri, menyusuri jalanan yang masih tampak ramai lalu lalang kendaraan, karena jam baru saja menunjukkan pukul 21.00.

Aku terus berjalan sampai aku tiba di warung yang berdekatan dengan penjual nasi Padang. Dengan berbekal uang 1500 rupiah, aku pun berdiri di depan warung itu.

"Bu, beli obat nyamuknya satu," ujarku memesan.

Pemilik warung itu kemudian mengambil satu buah obat nyamuk bakar dari wadahnya. Kemudian membungkusnya dengan kantong kresek kecil.

Setelah membayarnya, aku pun membalik badan hendak pulang.

Baru saja kaki ini akan melangkah, ekor mataku seperti menangkap seseorang yang sangat aku kenali. Aku pun mengurungkan niatku untuk segera pulang.

Aku menoleh ke arah warung nasi Padang, hendak memastikan seseorang itu.

"Mas Rendi," gumamku menatap ke arah warung nasi Padang.

Terlihat mas Rendi sedang makan dengan lahapnya di barisan meja menghadap pintu keluar.

Aku berdiri mematung menatapnya yang tengah menikmati nasi padang, yang terlihat sangat lezat itu.

Air liurku seakan menetes, melihatnya begitu menikmati.

"Sudah lama aku nggak makan nasi Padang. Mungkin mas Rendi malam ini dapat uang banyak. Alhamdulillah … berarti besok aku tidak usah makan nasi aking lagi. Semoga saja malam ini juga Mas Rendi membawakanku nasi Padang juga," batinku.

Seketika senyumanku terbit, membayangkan apa yang akan mas Rendi bawa nanti.

Ingin rasanya menghampirinya, tapi aku teringat akan Kania, yang aku titipkan pada bu Lela. Tidak enak juga menitipkan anakku terlalu lama. Takut jika bu Lela sudah mengantuk.

Dengan langkah semangat, aku pun berjalan pulang. Tak sabar rasanya, menunggu mas Rendi pulang dan membawakan satu bungkus nasi Padang yang enak itu.

Tiba di rumah, aku melihat bu Lela berbaring di samping Kania.

"Ya ampun, kasihan sekali Bu Lela. Pasti dia sangat mengantuk," gumamku.

Aku langsung menyalakan obat nyamuk bakar. Aku menyimpannya agak jauh dari tempat tidur kami, karena aku tidak mau sampai Kania sesak karena terlalu dekat dengan obat nyamuk itu. Setidaknya tidurnya Kania tenang tanpa ada gangguan nyamuk sama sekali.

"Eh, kamu sudah pulang, Ris? Maaf barusan Ibu ketiduran," ucap bu Lela yang terbangun.

"Nggak apa-apa, Bu. Saya yang harusnya minta maaf, karena saya sudah merepotkan Ibu malam-malam begini," sahutku.

"Tidak apa-apa, Ris. Ya sudah kalau begitu, Ibu pamit pulang dulu, ya! Ibu sudah ngantuk," pamit bu Lela.

Aku pun mengangguk dan mengantarnya sampai teras rumah.

Aku kembali ke kamar dan melihat Kania tidur dengan nyenyaknya. Ada aroma minyak telon yang menguar dari tubuh Kania. Mungkin bu Lela habis membalurnya dengan minyak telon.

Aku merebahkan diri di samping putriku Kania, sembari menunggu kepulangan mas Rendi.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas dan aku masih terjaga.

"Mas Rendi kok belum pulang-pulang, ya!" gumamku melirik ke arah jam dinding.

Aku bangun dan berjalan ke arah ruang tamu. Lalu duduk menghadap kaca jendela, yang sengaja tirainya sedikit aku buka.

Dari luar, tampak mas Rendi berjalan ke arah rumah. Yang membuatku terpaku dan senang adalah, di sebelah tangan mas Rendi ada kantong kresek hitam yang sedang dibawanya.

Aku sangat yakin, pasti itu nasi Padang buat aku. 

Tanpa menunggu pintu diketuk, aku langsung dengan segera membukakan pintu untuk mas Rendi.

Ceklek

"Loh, kamu belum tidur, Ris?" tanya mas Rendi.

"Belum, Mas! Kamu bawa apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku sangat yakin, sesuatu di dalam kresek itu pasti berisi nasi Padang.

"Oh, ini … nih buka saja!" Mas Rendi memberikan kantong kresek itu kepadaku.

Aku pun dengan bersemangat membuka kantong kresek hitam itu dan senyumanku langsung berubah menjadi muram.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 100 Hamil

    (POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 99 Vonis

    (POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 98 Kronologis

    (POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 97 Terkejut

    (POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 96 Dipermalukan

    (POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga

  • Nafkah Nasi Aking    Bab 95 Memancing Kemarahan

    (POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status