Bagai disambar petir, tubuh ini berdiri mematung seakan tak bisa bergerak sedikitpun.Rasa kecewa merajai seluruh tubuh ini. Pemandangan yang aku lihat sangat mengiris hati aku.Benar, ternyata benar apa kata Dela. Di depanku mereka hanya sebatas sepupu. Tapi di belakangku, mereka seperti sepasang suami istri.Jahat, mas Rendi begitu jahat padaku. Mereka berdua bermesraan di dalam rumahku, rumah peninggalan orang tuaku. Bahkan dengan beraninya mereka bermesraan di dalam kamarku dekat anakku yang sedang tertidur pulas.Rasa marah membakar diri ini. Tapi berbuat gegabah pun rasanya akan menjadi masalah baru.Mas Rendi menyadari kedatanganku sontak menoleh dengan tatapan terkejut. Sementara Davina, oh … dia langsung terpejam entah dia hanya pura-pura?"Ris!" Mas Rendi terlihat panik.Melihat pemandangan ini, seketika sebuah ide terlintas dalam otakku."Davina kenapa, Mas? Apakah dia pingsan, sampai-sampai kamu memberikan nafas buatan?" tanyaku yang terlihat bodoh."Em … iya, Ris. Davina
"Aw!" Davina terbangun saat aku menampar pipinya dengan sangat kasar."Ups … maaf, Mbak nggak sengaja. Tapi syukurlah kamu sudah sadar." Aku tersenyum menatap Davina.Ekor mataku menatap pergerakan mas Rendi, yang seperti hendak mendekat ke arah kami. Namun urung dan kembali diam di tempat semula."Sakit, Mbak. Pipiku sampai panas begini," cetus Davina memegangi sebelah pipinya."Mbak minta maaf, soalnya ada nyamuk gede hinggap di pipi kamu. Mbak pikir kamu nggak akan kebangun. Soalnya kamu pingsan sangat lama kayak orang mati dan nggak bakalan hidup lagi," selorohku."Mbak jaga ya ucapan Mbak. Lagian aku begini gara-gara nyariin Mbak. Sampai aku abai dengan kesehatanku sendiri," sergah Davina.Dalam hati aku berkata, ‘pret!’"Iya, sekali lagi Mbak minta maaf sudah membuat kamu susah. Nggak sengaja juga Mbak menamparnya. Iya kan, Mas?" ujarku.Mas Rendi tak menjawab dan hanya mengangguk. Setelah melewati perdebatan kecil dengan Davina. Aku memutuskan untuk segera beristirahat dan meny
(POV Davina)Aku sangat kesal dengan mas Rendi. Bisa-bisanya dia memarahiku, hanya karena aku mencubit Kania. Aku capek, seharian menenangkan anak si Risa itu, tapi anak itu terus menerus menangis. Tapi untung saja tetangga si Risa dengar, dan berinisiatif membelikan susu formula.Muak rasanya aku dengan semua ini. Aku lelah harus berpura-pura menjadi sepupu mas Rendi. Berpura-pura baik, pura-pura manis di depan si Risa. Tapi apa boleh buat, hanya dengan ini cara aku supaya bisa terus dekat dengan mas Rendi.Andai mas Rendi mau, bisa saja kami diam-diam menikah di belakang Risa. Tapi suatu misi yang membuatku dengannya harus melakukan ini.Semula aku tak setuju, tapi mendengar penjelasannya, seketika aku setuju dan mendukung rencana mas Rendi untuk Risa. Aku ingin melihat Risa sengsara. Bodohnya lagi, Risa percaya jika aku adalah sepupunya mas Rendi. Entahlah, apakah dia polos atau benar-benar bodoh.“Maafkan aku, aku sangat mencintaimu, Vin. Aku janji, aku tidak akan memarahi kamu la
(POV Risa)“Mbak, Mbak Risa!” teriak Davina dari dalam kamar.Aku yang masih sibuk berkutat dengan sate, tak menghiraukan teriakannya. Aku tahu, pasti dia akan bertanya kemana tempat tidurnya.“Mbak Risa,” teriak Davina lagi. Kali ini dia datang menghampiriku.“Ada apa sih teriak-teriak?” tanyaku tanpa menolehnya.“Mbak tahu nggak, kemana tempat tidur aku? Kok kamarnya kosong?” Davina balik bertanya.“Tempat tidur? Oh … tadi ada tetangga lagi hamil besar lagi nyari-nyari tempat tidur bekas. Katanya dia mau beli. Ya sudah, Mbak jual saja. Kasihan dia kalau mesti tidur di atas tikar. Mana lagi hamil besar. Lagi pula Mbak sedang tidak punya uang,” jawabku enteng.“Tapi itu tempat tidurku, Mbak!” tukasnya.Aku yang tengah sibuk memanggang sate, menoleh ke arah Davina.“Maaf, itu barang-barang Mbak. Nggak ada salahnya juga jika Mbak jual semua barang-barang Mbak. Bahkan rumah ini pun Mbak yang punya,” ujarku menatap Davina serius.Wajah Davina tampak memerah seperti menahan amarah.“Terus
(POV Rendi)Hampir saja aku keceplosan, tapi beruntung aku bisa mengatasinya . Aku sangat bersyukur Risa tidak curiga sama sekali terhadapku. Aku merasa lega dan berpikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Dalam hati sejujurnya aku masih sangat marah kepadanya. Bagaimana tidak marah, saat aku menginjakkan kaki di halaman rumah pagi-pagi buta tadi, aku melihat Davina sedang terbaring menggigil di teras tanpa alas tidur dan tanpa selimut. Bahkan sehelai tikar pun tak ada.Aku berlari menghampirinya, dan bertanya kenapa dia bisa tidur di luar seperti itu?“Aku … aku tidak diizinkan tidur di dalam, Mas. Risa berubah jadi jahat sama aku. Pertama dia jual tempat tidurku, lalu semalaman aku disuruh tidur di luar. Aku kesal, Mas, aku sakit hati. Aku kedinginan rasanya badanku semuanya sakit,” jawab Davina dengan badan menggigil.Setelah mendengar jawaban Davina, seketika aku naik pitam. Aku masuk ke dalam rumah, tapi sepertinya Risa belum bangun. Tak ingin mengganggu tidurnya Kania, maka aku
(POV Risa)Aku merasa jengah berada di rumah. Bagaimana tidak, satu atap dengan selingkuhan suamiku sendiri. Ingin rasanya aku mengusirnya. Tapi aku juga harus bisa memisahkan suamiku darinya. Hari ini aku memutuskan untuk membawa Kania jalan-jalan ke rumah Eni, berusaha melupakan masalah yang ada.Aku berjalan kaki ke rumah Eni. Bisa saja aku menggunakan uang hasil penjualan tempat tidurku untuk menyewa ojek. Tapi rasanya sayang, uang segini bisa aku gunakan untuk kebutuhanku selama seminggu, itu pun masih ngirit.Setelah lama berjalan lumayan jauh ke rumah Eni. Kini aku dan Kania sudah sampai di pelataran rumah Eni.“Kok sepi, ya? Eni ada nggak ya?” batinku bermonolog.Aku menghampiri pintu rumah Eni, kemudian mengetuknya.Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu, menunggu Eni membuka pintunya.Tok! Tok! Tok!Lagi dan lagi aku mengetuk pintu tapi tidak ada yang membukanya. Kemungkinan Eni tidak ada di rumahnya.Aku memutuskan untuk pulang saja dari rumah Eni.Setengah perjalanan, aku terin
(POV Risa)Kurir yang mengantar paket Dela seperti panik berusaha membuang muka.“Kamu kenapa, Ris? Kamu kenal sama dia?” tanya Dela yang menyadari gelagatku yang tak biasa.“Kamu Anton pacarnya Davina, kan? Yang malam itu mengantarkan Davina pulang ke rumah saya?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Dela.“Bu-bukan,” kilahnya namun terdengar gugup.Tapi aku sangat yakin, dengan apa yang aku lihat, aku tidak mungkin salah.“Jawab yang jujur, kamu pacarnya Davina, kan? Del, kamu mesti tahu, dia pernah diajak Dela ke rumahku dan memperkenalkannya padaku sebagai kekasihnya. Anton, aku ini Risa, kamu pasti masih ingat, kan?” ungkapku.“Serius?” tanya Dela memastikan.Aku mengangguk, aku tak mungkin salah. Jelas-jelas aku masih ingat.“Anton, kita mesti bicara, ini penting,” imbuhku.“Saya sibuk, Mbak, maaf. Lagipula kita tidak ada urusan,” tolaknya.Anton pergi meninggalkan aku dan Dela yang masih berdiri mematung menatapnya.“Maling … tolong ada maling!” teriakku.Dela menoleh ke arahku, d
(POV Risa)Aku sangat geram mendapati Davina yang telah lancang memasuki kamarku. Terlebih aku juga sangat marah melihat Davina mengacak-acak isi lemariku. Berkas-berkas pentingku telah diacak-acaknya. Apa yang sebenarnya yang dia cari di kamarku?“Mbak, a-aku ….” Davina terkejut dengan kepulanganku yang tiba-tiba.Wajahnya yang terlihat gugup membuatku yakin, ada yang tidak beres dalam dirinya.“Sedang apa kamu di kamarku? Keluar kamu dari kamarku!” bentakku amat berang.“Ada apa sih, Ris, kok teriak-teriak!” Dela menghampiriku.“Dia … dia manusia tak tahu diri ini, telah lancang masuk ke dalam kamarku, Del. Lihat apa yang dia lakukan terhadap berkas-berkas penting milikku!” tunjukku ke arah Davina.Dela menatap Davina tajam. Terpancar jelas dari raut wajahnya, bahwa dia pun sangat marah terhadap Davina.“Perempuan tak tahu diri, sudah ditampung gratis, malah mencari gara-gara.” Dela berjalan masuk ke dalam kamarku. Dia menghampiri Davina, tanpa diduga dia menarik rambut Davina.“Aw