(POV Davina)Gawat, kenapa aku bisa bertemu dengan Nesa? Aku harus menghindarinya, sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.“Maaf, Nes, aku harus pulang. Aku banyak urusan,” ujarku menaiki mobilku kembali. Tak jadi membeli paket internet.“Eh tunggu, Vin! Kamu kenapa sih? Padahal aku ingin ngobrol-ngobrol sama kamu. Sudah lumayan lama juga kita nggak ketemu.” Nesa mengikutiku dan berdiri di sebelah mobilku.“Aku sudah menikah, Nes. Jadi aku harap kamu jangan ungkit-ungkit lagi tentang masa laluku,” imbuhku.“Menikah? Kapan? Ya ampun … sama teman sendiri nggak diundang. Sombong kamu ya sekarang. Tapi nggak apa-apa, aku bukan tipe orang pendendam. Oh iya, minta nomor hp kamu dong. Sudah lama kita lost kontak.” Nesa bersiap menyimpan nomorku di ponselnya.“Aduh, Nes, ini sudah malam. Suami aku pasti nyariin. Nanti kapan-kapan, ya ngobrolnya. Aku permisi!” Aku menginjak pedal gas, tanpa memberikan nomor ponselku. Aku tidak mau jika sampai berhubungan lagi dengan temanku itu, dan rahasia m
(POV Rendi)Tok! Tok! Tok!Sebelum berangkat bekerja, aku mampir terlebih dahulu ke kontrakan Mona. Kasihan, dia memberitahu lewat pesan bahwa tak ada makanan untuk sarapan pagi ini. Semua karena salahku. Jika saja aku tidak menabraknya, mungkin sekarang ini Mona masih bisa bekerja. Walaupun tidak berat, namun pekerjaan Mona harus ditunjang dengan penampilan menarik, dan dibayar harian. Entah apa pekerjaannya dia tak menyebutkannya. Aku tak peduli, tidak ingin tahu juga apa pekerjaannya. Namun sayangnya kening dan kaki Mona terdapat bekas luka, yang mungkin membutuhkan waktu lama untuk penyembuhannya.Ceklek!“Eh, Mas Rendi. Ayo masuk, Mas!” ujar Mona.Aku pun masuk ke dalam kontrakan tempat Mona tinggal.“Kakak kamu belum menjenguk kamu?” tanyaku.“Belum, Mas. Entahlah, kami jarang bertemu. Kami sudah terbiasa hidup masing-masing seperti ini. Oh iya, apa kabar Mas Rendi hari ini? Sepertinya Mas Rendi mau pergi bekerja,” tanya Mona.“Kabarku baik, aku memang mau pergi bekerja. Datang
(POV Rendi)“Tapi kenapa kamu nyari pembantunya masih muda, Mas?” Ekspresi Davina seperti khawatir.“Susah sayang, cari pembantu yang sesuai keinginan. Kamu mau pembantu yang sudah tua? Kita cari pembantu itu karena butuh tenaganya loh, bukan umurnya. Lagian kamu kenapa, bukannya senang kok malah merajuk seperti ini?” imbuhku.“Tapi ….”“Sudah, lebih baik kita istirahat saja. Aku tidak mau kamu capek mengerjakan pekerjaan rumah. Kamu itu istriku, Yang, bukan pembantu. Biarlah dengan adanya dia, kamu akan sangat terbantu. Kamu kan nyonya di rumah ini. Masa nyonya nyapu, ngepel, nyuci piring, nggak pantas kan?” Aku berusaha memberi pengertian.“Ah iya lupa, aku belum memperkenalkan kalian berdua. Davina, dia itu namanya Mona. Mona, ini Davina istri saya. Semoga kamu nyaman kerja disini.” Aku mengerlingkan sebelah mataku kepadanya.“I-iya, Pak. Salam kenal, Bu Davina. Semoga saya bisa bekerja dengan maksimal di rumah ini,” sahut Mona.“Mona, nama yang bagus. Tapi tak apalah, jadi mulai b
(POV Rendi)“Davina, kenapa bisa sampai pingsan begini? Mona ….” teriakku.Mona tergopoh-gopoh menghampiriku.“Ada apa, Mas? Ya ampun, kenapa dia bisa pingsan seperti ini?” tanya Mona terlihat syok.“Mungkin efek sakit perut yang dideritanya. Sebaiknya kita bawa saja Davina ke rumah sakit. Aku sangat khawatir jika terjadi apa-apa dengannya,” ajakku.“Jangan!” Refleks Mona berteriak jangan. Apa maksudnya?“Maksud kamu? Kenapa jangan?” tanyaku merasa heran.“Ma-maksud aku … jangan dulu. Aku akan mencoba menyembuhkannya. Sebentar aku bikin ramuan dulu. Sebentar aku bikin dulu di belakang,” ujar Mona.Aku merasa aneh dengan sikap Mona. Apakah dia memang polos atau pura-pura polos saja. Aku bukan lelaki bodoh yang iya-iya saja kepada semua wanita. Tingkahnya yang seperti itu membuat aku ingin tahu lebih dalam tentang dirinya. Bagaimanapun, aku dan Mona baru kenal beberapa hari. Namun kecantikan wanita itu membuat aku nekat membawanya ke rumahku sendiri, tanpa pertimbangan yang matang.Aku
(POV Risa)Empat bulan sepuluh hari telah berlalu. Masa Iddahku setelah bercerai dengan mas Rendi sudah selesai. Kini aku sudah tidak terikat lagi dan bebas untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain. Namun nyatanya lelaki yang aku harapkan menjadi bagian dalam hidupku, dia sama sekali tak menampakkan batang hidungnya lagi.Berbulan-bulan lamanya Jona tak pernah menghubungiku lagi apalagi menemuiku. Apakah Jona mengingkari janjinya? Tapi kenapa?Ingin rasanya aku berteriak, kenapa disaat aku bisa membuka hati aku untuk lelaki itu, justru dia menghilang tak ada kabar sama sekali.Hari ini aku memutuskan untuk tidak berjualan. Aku ingin menemui Jona di rumahnya. Walaupun beberapa kali aku kesana namun tak ada, tapi kaki ini tetap ingin melangkah kesana.Di depan rumah Jona, aku berdiri menatap pintu yang tertutup rapat dan teras yang sudah sangat berdebu.Kenapa Jona meninggalkanku disaat aku menyadari aku mencintai dia. Jika harus begitu, sebaiknya dia tidak usah memberi harapan palsu
(POV Risa)“Ponselku … ponselku nggak ada, tapi tadi ada kok,” ujarku masih terus meraba saku celanaku.“Kok bisa? Coba ingat-ingat lagi, apa mungkin ponsel kamu jatuh saat kamu dikeroyok massa tadi?” tanya pria itu.“Entahlah, saya tidak tahu. Karena sebelum dikeroyok, saya sempat ditabrak oleh copet yang tadi menjatuhkan dompet bapak di hadapan saya. Saya sempat terjatuh tertimpa tubuhnya,” jawabku.“Em … ada dua kemungkinan sih, bisa jadi ponsel kamu dicopet sama wanita itu saat tubuh kamu tertimpa tubuhnya tanpa kamu sadari, atau bisa juga saat kamu sedang dikeroyok massa, ponsel kamu jatuh,” tuturnya.“Iya, Pak, ya sudah tidak apa-apa. Yang penting saya selamat dan bisa kembali pulang ke rumah saya,” imbuhku.“Iya, kamu benar, kamu yang sabar ya, sebentar lagi kita akan segera sampai ke rumah sakit. Oh iya, nama kamu siapa? Tinggal dimana?” tanya pria itu.“Saya Risa, Pak, tinggal di … aw, tolong lebih cepat lagi, Pak. Dada saya sakit sekali,” pekikku.“Kamu tahan dulu ya, Risa.
(POV Bu Imah)Sebenarnya aku tidak tega mengatakan ini semua kepada Risa. Tapi jika aku tidak mengatakannya, mungkin selamanya Risa akan terus berharap Jona akan kembali dan menikahinya. Tapi nyatanya Jona sedang menggandeng tangan wanita lain, keluar dari butik pakaian pengantin. Apa lagi jika mereka bukan mau menikah?“Sayang, aku senang sekali akhirnya kita akan menikah. Ibu kamu juga terlihat sangat bahagia melihat kita bersatu seperti ini.” Aku tidak sengaja mendengar percakapan wanita itu dengan Jona, saat aku sedang sibuk mencari Risa.Kata-kata wanita itu masih terngiang-ngiang sampai sekarang. Aku menatap Risa yang tengah duduk di sofa, mulai mengeluarkan air mata. Sungguh aku tidak tega melihatnya. Aku tidak rela melihat orang sebaik Risa tersakiti seperti ini.Aku memeluknya berusaha menenangkannya.“Jangan menangis, disaat orang-orang pergi meninggalkanmu, tapi tidak dengan Ibu. Ibu ada disini, kamu tidak sendirian, Nak!” imbuhku.“Tapi kenapa, Bu? Kenapa dia tega melakuka
(POV Bu Imah)“Lari … ayo cepat lari!” Orang-orang yang berlari itu semakin dekat. Karena penasaran, aku pun nekat bertanya pada salah satu dari mereka yang melintas di depanku.“Ada apa, Dek? Kenapa lari-lari?” tanyaku.“Itu, huh … huh, ada satpol PP. Cepat lari, sebelum barang jualan ibu diangkut sama mereka,” jawabnya dengan nafas ngos-ngosan.Mendengar itu, aku pun segera mendorong gerobak ku dengan cepat mengikuti anak muda itu.Walaupun tubuhku masih lemas karena haus, aku memaksakan diri untuk berlari menjauh dari tempat itu.Berkali-kali aku menoleh ke belakang, memastikan para satpol PP itu tidak lagi mengejar kami. Tapi sayangnya mereka masih terus mengejar, sehingga pantang bagiku untuk berhenti.Sampai di jalan pertigaan, aku memutuskan mengambil jalan di jalur kanan. Semoga saja mereka tidak menemukanku disini.Aku kembali menoleh ke belakang sambil terus berlari, namun ….Tin ….Saat aku kembali menatap jalanan di depanku, sebuah mobil mewah hampir saja menabrak gerobakk