Walaupun Arini sudah tidak mau jika di suruh meminta uang pada Kak Rania lagi, setidaknya penghasilan Arini dari berjualan cukup untuk membayar rumah kontrakan setiap tahun dan memberikan uang tambahan untuk Ibu. Namun, setiap aku ingin makan enak Arini tidak bisa memasakan atau membelikan makanan itu karena uangnya sudah di ambil oleh Ibu.Tentu saja aku melampiaskan hal itu pada Arini. Dia bisa bekerja lebih keras lagi atau menyembunyikan uangnya di tempat yang aman agar tidak di ambil oleh Ibu dan Yani. Aku tidak mungkin menyalahkan Ibu karena sudah jadi kewajiban Arini untuk ikut berbakti pada keluargaku. Akhirnya aku pergi ke rumah Ibu yang selalu memasak makanan enak dari mengambil uang Arini secara paksa.Tahun demi tahun berlalu. Rumah tanggaku dengan Arini hanya di isi dengan pertengkaran karena Arini sering mengeluh uangnya di ambil oleh Ibu. Setiap aku mengatakan untuk meminta uang pada Kak Rania jika uangnya kurang, Arini selalu menolak. Untungnya kami masih bisa bertemu d
Aku baru tahu jika Dinda di rawat di rumah sakit saat hari sudah mulai berganti menjadi sore. Ibu yang mendengar telpon dari Arini marah karena rencana kami tidak berjalan sesuai dengan harapan. Bahkan Ibu sampai menggerutu karena Arini tidak akan bisa berjualan selama beberapa hari ke depan karena harus menjaga Dinda di rumah sakit.“Mungkin Dinda hanya di rawat satu hari saja di rumah sakit Bu.” Kataku menenangkan saat aku menaiki taksi online bersama Bapak dan Ibu. Sedangkan Mbak Parti dan Yani naik mobil yang lain.“Mudah-mudahan saja begitu. Oh iya ada kemungkinan lain jika Rania akan datang ke rumah sakit untuk menjenguk Dinda. Kamu bisa gunakan kesempatan itu untuk mencari muka pada kakak iparmu itu Ko.”Sesampainya di rumah sakit, hanya ada Arini yang sedang menjaga Dinda. Di depan semua orang aku bersikap sebagai Ayah yang perhatian pada anaknya yang sedang sakit. Sayangnya sikap Dinda justru terlihat acuh padaku. Ibu sudah menegur, tapi Arini balik berkata dengan mengungkap
Keesokan harinya aku pergi ke toko distributor milik Bu Sumi. Hal pertama yang akan aku lakukan adalah bertanya apakah barang dagangan Arini di ambil karena sering telat membayar atau Arini sendiri yang mengembalikan barang dagangannya agar bisa kabur dariku bersama dengan Dinda. Sesampainya disana aku tidak bisa bertemu dengan Bu Sumi. Hanya salah satu staffnya yang bicara denganku. “Oh untuk barang dagangan milik Mbak Arini memang di ambil lagi mas. Karena kemarin Mbak Arini tidak bisa bayar yang bulan ini untuk biaya menebus obat selama Dinda di rumah sakit.” Kata staff itu ramah. Setelah mendapat informasi, tujuanku selanjutnya adalah pergi ke kampung halaman Arini dan Kak Arif yang jaraknya satu jam saja dari kota ini. Aku sengaja memakai helm, masker dan kacamata agar tidak ada tetangga yang tahu. Karena beberapa orang disini sudah tahu jika aku adalah suami Arini. Rumah sederhana yang terbuat dari kayu itu tampak sudah lapuk. Pintunya bahkan sudah rusak sehingga separuh terb
Sudah satu jam aku memeriksa rumah ini. Bahkan kepala art juga mengijinkan aku untuk masuk ke dalam kamar utama yang di tempati Kak Rania dan Kak Arif. Tapi, aku sama sekali tidak menemukan keberadaan Arini dan Dinda. Tidak lupa aku memeriksa isi lemari di setiap kamar. Siapa tahu ada pakaian anak perempuan. Jika ada pakaian itu, maka kemungkinan besar pemiliknya adalah Dinda. Karena Kak Arif dan Kak Rania hanya punya dua anak kembar laki-laki.Namun, hasilnya sama sekali tidak ada barang yang aku cari. Aku menutup pintu lemari lalu berjalan keluar kamar. Menuruni satu per satu anak tangga hingga tiba di lantai satu.Langkah kakiku berhenti di teras belakang karena lelah. Aku memilih untuk duduk di kursi yang ada disana. Kepala art sudah meninggalkan aku untuk melanjutkan pekerjaannya. Setelah aku mengatakan akan langsung pulang setelah istirahat.Taman di belakang rumah ini sangat indah. Namun, pikiranku terus terfokus untuk mencari keberadaan Arini dan Dinda. Setelah rasa lelahku hi
POV Arini Sejak datang ke rumah Kak Rania dan Kak Arif, kehidupanku jadi jauh lebih baik. Terutama karena bisa melihat Dinda tersenyum lepas bermain bersama kedua kakak sepupunya yang merupakan anak kembar Kak Rania dan Kak Arif. Anak kembar pertama bernama Bagas dan anak kembar kedua bernama Bagus. Mereka adalah kembar identik. Jadi, perlu ketelitian dan perhatian lebih lama agar bisa membedakan Bagas dan Bagus. Aku tidak perlu lagi menyembunyikan uang agar tidak di ambil oleh Mas Eko atau Ibu mertua. Keselamatanku dan Dinda juga jelas akan terjamin selama aku berada di dekat Kak Arif dan Kak Rania. Tidak ada lagi rasa khawatir jika Mas Eko akan menyakitiku dan Dinda lagi. Semuanya terasa sangat menyenangkan. Baru dua hari tinggal di rumah ini, kedua keponakanku itu mengajak Dinda membaca banyak buku di ruang perpustakaan yang luas. Disana tidak hanya ada buku pelajaran tapi juga ada buku cerita khusus untuk anak-anak. Setiap pergi dan pulang sekolah, Dinda di antar oleh sopir khu
Satu hari ini berlalu dengan cepat. Kini hanya ada aku, Dinda dan Anita di dalam rumah. Kemarin Kak Rania langsung pamit pergi ke kantor. Dia bilang akan mengunjungi kami setiap minggu lewat gerbang belakang rumahnya. Kami sudah berkenalan dengan tetangga sekitar. Tapi, aku tidak banyak bicara karena tidak bisa Bahasa Inggris. Bahasa yang harus di gunakan di kampung ini.Jadi, Anita banyak menerjemahkan perkataan para tetangga. Hanya warga yang sudah sepuh atau lansia yang bicara dengan menggunakan bahasa jawa. Mereka adalah pengecualian.Kegiatanku kini tidak hanya berjualan online. Saat pagi hari, aku dan Dinda akan mendapat pelajaran singkat tentang Basaha Inggris. Mulai dari pengucapan, membaca hingga penulisan. Pelajaran yang di ajarkan Anita juga masih berkaitan dengan kegiatan sehari-hari yang harus kami lakukan. Contohnya kata dalam bahsa Inggris saat aku harus membeli keperluan kami di toko.Setelah itu, aku akan sibuk menggambar di depan TV. Sejak Kak Rania mengatakan aku bi
Semua pesan dari Mas Eko aku abaikan. Toh mereka tidak akan bisa melihat nomorku lagi karena sudah aku blokir. Semua nomor pelanggan lama juga sudah aku pindahkan ke hp yang baru. Kesibukan demi kesibukan berlalu tanpa terasa. Kini aku sudah cukup bisa bicara bahasa Inggris untuk keperluan sehari-hari. Tapi, untuk bergabung dengan para tetangga aku masih belum berani. Karena taku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.Anita tetap memaksaku untuk menayapa para tetangga dengan basaha Inggris ala kadarnya. Aku dan Dinda juga di haruskan untuk menulis dan membaca setiap kosakata baru yang tidak kami ketahui. Tentu saja dengan pelafalan yang sudah di benarkan oleh Anita. Rupnya jika praktik setiap hari terasa lebih mudah. Tanpa harus memusingkan tentang tata bahasa Inggris seperti yang harus aku pelajari saat di sekolah dulu.Hari sabtu ini Kak Rania dan Kak Arif bersama anak kembar mereka datang ke rumahku. Dinda sudah bermain bersama Bagas dan Bagus di ruang tengah sambil menonton
Anita segera mengajak aku untuk pergi dari kantin. Aku sudah memakai masker untuk menutup wajah. Sebisa mungkin menundukan kepala agar tidak bertatapan dengan Mbak Parti. Sayangnya langkah kami terpaksa harus berhenti saat pria yang datang bersama Mbak Parti memanggil Anita. Dia mendorong punggungku pelan yang aku artikan agar aku terus berjalan maju. “Aku kira kamu berada di luar daerah sampai harus mengambil pekerjaan secara online.” Masih dapat aku dengan perkataan pria itu pada Anita. Entah apa lagi yang mereka bicarakan. Aku sudah tidak mendengar lagi karena masuk ke dalam lift. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga aku tiba di lobby. Dimana aku harus menunggu? Apakah tempat parkir termasuk aman? “Mungkin aku harus menunggu di dalam toilet.” Kakiku segera melangkah menuju toilet. Tidak lupa aku juga mengirimkan pesan pada Anita. Aku masuk ke dalam toilet untuk buang air kecil lalu keluar menuju wastafel. Suara dering hp di dalam tas membuatku segera mengusap tangan. Saat itu